Kai pertama kali melihatnya sedang minum kopi di café dekat sekolahnya.

Saat itu hujan cukup deras. Kai yang tidak memakai jaketnya apalagi membawa payung, terpaksa menunggu di halte depan. Ia merutuki bus yang tak kunjung datang. Padahal ia ingin segera bergelung dengan selimutnya, berhubung hari sudah semakin sore.

Rambutnya yang basah menutupi dahi hingga matanya, manis sekali. Seperti anak SMA —kenyataannya ia memang anak kelas akhir. Kai menangkup dan menggosokkan kedua tangannya untuk mencari sedikit kehangatan.

Hari semakin gelap dan bus tidak datang-datang.

Matanya mengitari sekeliling dan pandangannya jatuh di sebuah café tak jauh dari halte tempatnya berteduh. Ia mengingat masih memiliki beberapa lembar yen di dompetnya, jadi ia mengikut saja ketika kakinya menuntun tubuhnya kesana.

Suasana café tidak ramai, namun tidak sepi juga. Kai juga yakin orang-orang akan lebih memilih untuk meminum coklat panas di rumah dari pada di luar. Sial bagi dirinya yang mendapat tugas tambahan dari gurunya karena nilainya merosot —sedikit. Hanya turun tiga poin, dan guru tidak berperikemuridan itu tega menyuruhnya pulang lebih lama.

Kai menunggu coklat panasnya sambil memainkan ponselnya. Meraih coklat panas di gelas styrofoam lalu melangkah ke bangku yang kosong. Ia menarik senyum ketika membaca pesan singkat temannya yang mengatainya bodoh karena mau-maunya menuruti si tua Bangka itu.

Sambil mengetikkan pesan balasannya, ia menyesap minumannya menggunakan tangan kirinya. Hm, minum coklat panas di tengah hujan memang pas sekali. Apalagi jika coklatnya pahit seperti kopi —

—Kopi?

Kai yang masih memikirkan coklat rasa kopinya (sambil memutar-mutar gelas dengan raut wajah ew) tidak menyadari seseorang berdiri di sampingnya sampai orang itu berdehem.

"Maaf— Tapi sepertinya minuman kita tertukar,"

Kai menengadahkan kepalanya. Matanya bertemu onyx sekelam langit malam, dan Kai tahu warna mata itu jarang sekali dan berpikir bahwa bisa saja pengaruh cahaya yang membuat warna mata sebagus itu—

Orang itu berdehem sekali lagi. Menyadarkan Kai dari pemikiran konyol tentang warna iris seseorang. Di tambah rambut berwarna kekuningan seperti surai singa itu cocok sekaali. Kai jadi ingin mewarnai rambutnya seperti itu setelah lulus nanti karena sekolahnya melarang untuk pewarnaan rambut—

"Maaf?" gestur orang itu tampak risih, dan akhirnya Kai sepenuhnya tersadar dari lamunannya tentang pemuda tampan itu.

"Y-ya? Mm— sepertinya memang tertukar," jawabnya kikuk dan mengulurkan gelasnya. "Maaf aku tidak memperhatikan."

"Tidak apa," orang itu meletakkan coklat di meja depan Kai (sekarang Kai mengerti kenapa cokl –minumannya bisa terasa aneh). "Aku tidak suka minuman manis."

Kai tersenyum ketika orang itu juga tersenyum.

"Boleh aku bergabung?"

"Tentu." Jawab Kai.

Sehun. Itu namanya setelah orang itu memperkenalkan diri. Sehun cukup terkesan dengan perjumpaannya dengan Kai, karena bocah itu yang membuatnya tertawa beberapa hari ini. Kai cukup cerewet, dan itu bagus karena Sehun adalah orang yang pasif.

Namun ia akan memperhatikan setiap kata-kata yang keluar dari bibir bocah itu dengan senang.

Mereka berdua tidak tahu siapa yang memulai sehingga mereka bisa sedekat ini, dan bertemu beberapa hari dalam seminggu. Saling berkunjung ke kediaman masing-masing—dan Kai lah yang paling sering datang ke rumah Sehun karena bocah itu tahu Sehun sangat sibuk sedangkan Sehun baru satu kali datang ke apartemen Kai.

Yang Sehun tahu, Kai adalah seorang murid pertukaran pelajar dari Korea di Jepang. Sehun juga sadar bahwa Kai bocah yang pintar dan cepat belajar.

Dan yang Kai tahu, Sehun adalah seorang artis, pelukis. Ia mendapati rumah Sehun penuh dengan lukisan, kanvas, cat air, dan benda-benda lain yang Kai tidak tahu. Walaupun Kai tidak mengerti seni, menurutnya, lukisan-lukisan Sehun itu fantastis dan Kai yakin menyimpan arti mendalam di setiap goresan kuasnya.

Pertama kali Kai menapak di rumah Sehun, ia pikir rumah itu adalah miniatur istana —tidak besar, namun banyak barang mewah dan dua buah mobil sport mahal terparkir di garasinya. Dan Kai iri setengah mati melihat koleksi mahal action figure dari Batman dan Spiderman. Sehun pernah menawarinya untuk mengambil salah satu koleksinya, namun Kai merasa gengsi.

"Sehun, berapa umurmu?" tanyanya suatu kali.

"Tujuh belas?" jawab Sehun sambil bergurau.

"Menurutku kau tiga puluh, brengsek," Kai menyikut Sehun. "Atau mungkin empat puluh."

"Mungkin saja— Yah, aku dua delapan," Aku Sehun saat Kai siap dengan vas bunga di tangannya. Dan kini Kai benar-benar akan melemparkannya ke arah Sehun. "Aku serius."

"Jadi aku berteman dengan om-om."

"Bersyukurlah aku bukan pedofil homo."

Dan mereka berdua tergelak setelahnya.

Satu hal yang membuat Kai penasaran adalah kamar yang tak pernah Sehun izinkan untuk dimasuki. "Kau boleh mengacak-acak rumahku—tapi kalau kau memohon untuk membereskan kamar itu aku akan mengusirmu." Itu kata Sehun ketika Kai bertanya. Nada bicaranya setengah serius dan setengah bercanda.

Kamar itu selalu terkunci dan Sehun selalu membawa (atau menyembunyikan) kuncinya. Dan itu yang membuat Kai penasaran setengah mati.

Pernah suatu kali ia tak sengaja mendapati pintu kamar itu terbuka, hanya sedikit, dan Kai mengintip ke dalamnya. Tidak ada apa-apa. Persis seperti kamar pada umumnya, lebih rapi malahan, mungkin karena tidak pernah dipakai. Namun ada sesutau yang menarik perhatiannya. Ia yakin sekali itu adalah lukisan, dua buah lukisan, yang tertutupi oleh kain putih.

Kai sempat mengira itu adalah lukisan porno Sehun sebelum Sehun memergokinya mengintip. Kai berdalih itu salah Sehun yang tidak menutup pintunya, dan Sehun hanya menghela nafas.

Dan reaksi Sehun yang seperti itu—Kai tidak suka.

Sehun dan Kai, keduanya bukan gay. Mereka yakin orientasi seksualnya lurus. Sangat lurus malahan. Mereka bahkan sering memperdebatkan cup bra gadis-gadis yang mereka temui.

Hanya saja, ada sesuatu yang salah disini. Keduanya tak mengerti apa itu.

Sehun duduk dengan bersandar pada tangan sofa dan berselonjor kaki sambil dengan novel di tangan. Sementara Kai dengan posisi tengkurap di atas badan Sehun, melingkarkan tangannya pada leher jenjang itu sembari memainkan ponselnya.

Serius. Itu bukan posisi wajar dalam pertemanan.

Tapi Kai maupun Sehun tidak peduli. Lagipula Kai menganggap Sehun sebagai pamannya sendiri, dan Sehun tidak keberatan.

Pernahkah kau tahu sesuatu akan terjadi tepat sebelum itu terjaid? Seakan kau oeramal saja. Tetapi biasanya itu karena otakmu telah merangkai hal-hal yang kau tahu dan membuat kesimpulan.

Tapi sebenarnya tidak ada yang bisa menduga jalan Tuhan. Tidak ada yang tahu masa depan akan seperti apa. Begitupun mereka berdua. Berjalan mengikuti alur imajiner tak kasat mata dan mungkin berbeda. Tidak menutup kemungkinan ujung kedua jalur yang berjauhan bisa bersatu.

Ya, seperti itu.

.

THIS IS CRAP lol

Lanjut? Review-nya sayang(?)