Captivated

Chapter 1 : Danger

by: alestie

Disclaimer : Fiksi.

Pairing : Bangtan Boys – Kim Taehyung/Jeon Jeongguk

Words : 3500+

Rate : T

Genre : Romance, Drama, AU: School-Life.

Warning : BoyxBoy. Strong Language. Blackmailing. Underage. Rating may change, may not.

Summary :

"...kau menuruti apapun perintah guru-gurumu, kan? Kau suka perhatian, kan?" Seringai berbahaya terukir di ujung bibirnya, ia menjilat bibir bawahnya sendiri dengan gerak lamban. "Bagaimana kalau mulai hari ini, aku akan melatihmu menjadi seorang dongsaeng yang baik—dan kau bisa mulai mendengarkan semua perkataanku dengan manis tanpa banyak bertanya, yah, Jeon Jungkook sang murid teladan?"


Hai hai, yeorobun! Ane datang lagi bawa fanfic Vkook~ *kibarbendera*

Ohya, harap dibaca warningnya ya. I'm serious. Ini AU dan beda banget atmosfirnya sama karya ane yang sebelumnya—Countdown—yang fluffy. Keliatan kan, dari summary nya? Ane berusaha masang cuplikan yang paling menggambarkan konten fic ini nantinya. Jadi, kalo yang nggak suka overdominance, itu tombol backspace belom jebol kan? Silakan dipencet.

Don't Like, Don't Read. Happy reading!


Story :

Jika kau berbicara soal Jeon Jungkook, maka satu kata yang paling menggambarkannya adalah kesempuraan.

Namja itu punya segalanya; Ia murid teladan yang mendapat peringkat pertama di tes masuk Akademi, ia perwakilan siswa baru yang memberikan ceramah di depan aula ketika upacara penerimaan murid baru, ia mantan kapten di klub sepak bola SMP nya dulu, dan ia memiliki paras bak malaikat.

Semua orang menyukainya. Siswi-siswi tergila-gila kepadanya, ia mempunyai banyak teman. Dan semua guru memberikannya kepercayaan absolut tanpa syarat.

Ayahnya seorang direktur perusahaan ternama, ibunya seorang politikus. Ia tak memiliki saudara. Hartanya melimpah ruah, dan ia bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan.

Jungkook sempurna, dan ia bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan.

Apapun, kecuali kebebasan.

Segalanya terlihat sempurna, dan semua orang bilang, ia anak yang luar biasa beruntung dan bahagia. Masa depan yang cerah telah mengukir jalannya di depan matanya. Semua orang iri padanya; semua orang ingin menjadi seorang Jeon Jungkook.

Segalanya terlihat sempurna; segalanya terlihat tak ada cela, sebelum Kim Taehyung datang ke dalam hidupnya untuk membawa perubahan yang tak pernah sedikitpun ia sangka sebelumnya.


Jungkook adalah remaja yang hidup dengan rutinitasnya. Bangun pagi-pagi, mandi, memakai seragam, memasak sarapan, makan, mencuci piring, kemudian berangkat ke sekolah. Jarak dari apartemennya ke sekolah kurang lebih sepuluh menit, ia akan berjalan dengan langkah santai sambil membaca bukunya dan menyumpal kedua telinganya dengan earphone.

Hal pertama yang dilakukan Jungkook ketika menginjakkan kaki di sekolah adalah masuk ke ruang guru. Ia anak yang pandai bicara; walaupun tergolong siswa baru, semua guru menyukainya. Ia akan bertemu wali kelasnya dan mulai berdiskusi tentang banyak hal. Sesekali ia akan membantu guru-guru lainnya; mengantarkan catatan, fotokopi, bahkan hingga mengoreksi.

Jungkook adalah siswa yang aktif; para senior dari berbagai ekstrakulikuler sudah mulai menawarinya untuk masuk ke klub mereka. Ia multi-talenta; hampir tak ada yang tak bisa dilakukannya. Namun sesuai hobinya; akhirnya ia memilih untuk masuk klub sepak bola. Dengan cepat, ia merambat menjadi anggota inti kesebelasan di bulan kedua semenjak awal perekrutannya.

Sebagai seseorang yang supel dan observatif, Jungkook hampir mengenal semua orang penting di sekolahnya. Ia bahkan mencoba menghafal orang-orang yang tidak dikenalinya. Ia akan menyapa mereka jika tak sengaja berpapasan nanti.

"Jeon Jungkook-ah, kebetulan sekali kau di sini!" suara panggilan yang familiar menyapa Jungkook ketika ia melewati tangga di lantai dua. Jungkook menoleh, ah, Seokjin-sunsaengnim, pikirnya. Seokjin adalah guru pelajaran Biologi sekaligus wali kelasnya. Sang guru tersenyum lebar, "Bisa minta tolong antarkan ini ke ruang administrasi? Saya ada urusan lain." Pintanya bersiap menyerahkan setumpuk tinggi folder dan buku.

"Ah, tapi saya ada kelas di—"

"Sebentar saja." Kini ia terdengar sedikit memaksa, semakin menyodorkan tumpukan bukunya. "Ya?"

Jungkook menggigit bibir bawahnya ragu, kemudian mengangguk dan menerima tumpukan itu setengah hati. "Baik, sunsaengnim." Jawabnya memaksakan anggukan patuh.

Sang guru tersenyum, "Kau memang selalu bisa diandalkan, Jungkook-ah. Kalau begitu, sampai bertemu nanti. Semoga harimu menyenangkan." Ucapnya sambil menepuk pundak muridnya beberapa kali.

Jungkook membalas senyumannya sopan. Setelah sosok Seokjin hilang dari pandangannya, ia segera berlari. Ia tak punya cukup waktu untuk ini semua. Ia bisa terlambat. Ia berlari sekencang-kencangnya. Koridor sekolah sudah kosong, siswa-siswi pasti sudah memasuki kelasnya. Melihat kondisi jalanan yang sudah sepi, Jungkook semakin panik dan mempercepat langkahnya.

Hingga—

BRAK!

Jungkook tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Begitu tersadar, ia telah tersungkur jauh dan berkas-berkas titipan gurunya telah jatuh berserakan. Pantatnya sakit sekali, tetapi ia berusaha untuk segera bangkit. Pandangan matanya masih kabur, dan begitu melihat siapa orang yang baru saja ditabraknya, Jungkook menelan ludahnya.

"Aish, lihat kemana sih, kau ini." Ujar sosok di hadapannya sambil menepak jas miliknya yang kotor karena terjatuh.

Kim Taehyung.

Jungkook tidak pernah mengenal kakak kelas di hadapannya secara personal, tetapi ia banyak mendengar rumor tentangnya. Siapa yang tidak mengenal Kim Taehyung? Siswa kelas tiga yang paling disegani siswa-siswi di sekolahnya. Hanya dia dan sekelompok gengnya saja yang berani mengecat rambut dan memakai piercing ke sekolah. Lebih lagi, warna yang dipakai untuk rambutnya adalah oranye, berani sekali. Ia juga dikenal selalu membawa kamera di kantungnya, entah untuk apa. Taehyung adalah berandalan yang pernah diskors karena berkelahi dengan siswa SMA sebelah, tetapi memiliki kawanan yang besar di mana-mana. Selain sosok yang ditakuti, ia juga disegani. Karisma memancar jelas dari wajah dan posturnya.

Meskipun begitu, banyak orang memperingatinya untuk jangan sampai berurusan dengan Kim Taehyung. Kau tak akan menyukai endinngnya—mereka bilang.

Mencari aman, Jungkook segera berdiri dan membungkuk, "Ma-Maafkan aku, sunbaenim!" Ia terpaku dalam posisinya, terlalu takut untuk mengangkat wajahnya.

Hanya hening yang terjadi selanjutnya. Hati Jungkook menjerit; ia sudah terlambat!

"Nama?" suara serak Taehyung datar, bagai menusuk telinganya. Taehyung menanyakan namanya? Apa ia akan dihafal dan sesuatu buruk akan terjadi padanya?

Menyadari jika ia tak ingin menghabiskan waktu lebih lama di dekat namja di hadapannya, Jungkook akhirnya menjawab. "Jungkook… Jeon Jungkook." Ujarnya perlahan mengangkat tubuhnya. Ia melihat Taehyung telah mengambil beberapa kertasnya yang berjatuhan. Ia sedikit tidak menyangka; tetapi akhirnya ia memutuskan untuk tak memikirkannya dan ikut memunguti berkas-berkas lainnya ke tangannya.

"Jeon Jungkook? Kelas 1-A itu? Siswa emas itu?" Taehyung kembali bertanya sambil masih mengumpulkan sisa folder-folder yang berserakan, sesekali memeriksa apa yang tertulis di dalamnya.

Namja berambut hitam itu tidak yakin harus menjawab apa. Akhirnya ia berkata, "Ne, sunbae. Saya Jeon Jungkook. Kelas 1-A." ujarnya sekali lagi.

"Oh, aku banyak mendengar tentangmu." Ketika mengucapkannya, Taehyung tersenyum; dan Jungkook nyaris terkagum dengan parasnya yang mempesona. "Jadi, apa yang dilakukan siswa teladan sepertimu di sini? Bel sudah berbunyi sejak tadi." Tuturnya kemudian.

Namun, sebelum Jungkook sempat menjawabnya, Taehyung menaikkan nada bicaranya, "Kau terlihat persis seperti yang orang-orang bilang," lanjutnya sambil terkekeh renyah, "Kau tampan, kau cantik," kedua matanya mengamati Jungkook dari ujung kepala hingga kakinya dengan gerak lamban, "Terlihat pintar, rapi," seringai kembali muncul di bibirnya. Jungkook merasa sesak, ia tak nyaman dipandang seperti itu. Taehyung melangkah mendekati namja yang lebih muda, "Sepatu bermerek, jam bermerek; orang kaya," tangan kanannya perlahan naik, meraih dagu Jungkook untuk mengangkat wajahnya pelan.

Jungkook terpaksa membalas tatapan mata kakak kelasnya, ia ingin ini semua cepat berakhir. "Tapi sayang sekali, kau anjingnya guru-guru tak berguna itu, ya?" bisik Taehyung lirih.

Mendengarnya, mata Jungkook melebar, keningnya berkerut tidak terima. Ia menepis tangan Taehyung dari wajahnya. Ia marah sekali dikatai begitu. Siapa yang anjing?! Ia segera menatap balik namja di hadapannya dengan pandangan berapi-api.

Tampak terkejut dengan respon Jungkook, ia mengedipkan matanya beberapa kali. "Ah, maaf jika kata-kataku menyinggungmu. Tidak sengaja." Ucapnya kemudian sambil tersenyum, tidak terdengar menyesal sama sekali. Ia menyerahkan berkas-berkas yang dikumpulkannya tadi kepada Jungkook dengan santai. "Itu berkas si Seokjin, kan? Belajarlah untuk menolak, Jungkook-ah." Taehyung berkata setelah namja yang lebih kecil menerimanya tanpa berkata apapun.

"Terima kasih atas bantuan anda, sunbae. Maaf, saya harus pergi. Saya sudah terlambat untuk masuk kelas." Jungkook berkata dan membungkukkan badannya cepat. Ia ingin segera pergi dari situ.

Taehyung tersenyum, membiarkan Jungkook berlalu melewatinya setengah berlari.

Ia segera menemukan hal lain yang bisa digunakannya untuk bermain.


Tanpa bisa dihindari, ia terlambat untuk kelas selanjutnya. Untung saja ia seorang Jeon Jungkook, guru itu langsung dengan mudah mempersilakannya masuk tanpa banyak mengomel. Jungkook bersyukur untuk itu; harinya sudah cukup buruk karena kejadian barusan. Bahkan sampai jam makan siangpun, ia masih saja memikirkannya. Mengesalkan sekali.

"Jungkook-ah, kau baik-baik saja?"

Suara cemas teman di sampingnya, Park Jimin, memecahkan lamunan Jungkook. Ia segera tersenyum, "Aku? Tentu saja aku baik-baik saja." Jawabnya berusaha terdengar senormal mungkin.

"Benarkah? Kau terlihat—stress? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" tanya Jimin meyakinkan, penuh perhatian.

Jungkook menggeleng, "Aniya, aku hanya sedikit melamun tadi. Aku baik-baik saja." Ujarnya berdusta.


Bodoh sekali!

Bagaimana bisa ia menghilangkannya?!

Ia baru menyadari ponselnya raib dari saku celananya saat ingin menghubungi kapten sepak bolanya untuk izin latihan. Jantungnya langsung berdebar kencang. Apa ia menjatuhkannya? Kapan?

Jungkook menghubungi resepsionis barangkali ada orang yang menemukannya dan mengembalikannya ke sana, tetapi tidak ada. Ia mencari di ruang guru, tidak ada. Ia mencari di lokernya berulang kali, tidak ada. Ia mencari di semua kelas yang ditempatinya seharian ini, tidak ada. Ia mencari ke ruang administrasi, tidak ada. Ia bahkan mencari ke kantin dan lapangan—tidak ada.

Ponselnya tak ada dimanapun!

Dan ketika ia nyaris ingin menangis karena hari sudah mulai sore, ia merasakan ada tepukan di pundaknya dari belakang.

Dengan malas, Jungkook menoleh.

"Yah, Jungkook-ah. Mencari sesuatu?"

Begitu melihat sosok yang muncul di belakangnya, jantungnya bagai berhenti berdetak untuk sekian persekon. Mulutnya sedikit menganga. Bola matanya hanya menangkap seringai mengerikan dari namja yang berhasil membuatnya kesal beberapa jam lalu. Kim Taehyung.

Mengingat kejadian itu, Jungkook seakan baru menyadari; mungkin ponselnya terjatuh saat bertabrakan tadi?

"S-Sunbae…" ujarnya terbata, "Aku—aku mencari ponselku, apa kau melihatnya? Warnanya putih, ukurannya sebesar ini, mereknya—"

"Ini?" sebelum Jungkook selesai mendeskripsikan barang yang dicarinya, Taehyung telah mengeluarkan sebatang ponsel putih dari sakunya. Ia melihat mata Jungkook yang langsung berbinar cerah, kemudian menghela napas lega. Taehyung kemudian tersenyum, "Tadi jatuh saat kita bertabrakan." Jelasnya singkat.

Jungkook segera mengangguk-angguk, mengulurkan tangannya untuk meraih ponselnya senang. "Syukurlah… Jeongmal gamshahamnida, Sunbae." Ia mengambil ponselnya dari tangan Taehyung, kemudian segera memasukkannya ke dalam saku celananya. "Sungguh, terima kasih." Ulangnya sekali lagi, tersenyum lebar. Ia segera merasa bersalah tadi telah bersikap kurang ajar dengan kakak kelasnya. "Sunbae—uh, soal yang tadi—aku… aku minta maaf sudah berbuat kasar padamu." Jungkook berkata sepenuh hati. Ternyata Taehyung tidak seburuk yang orang-orang bilang.

"Tidak masalah, aku sudah melupakannya." Jawabnya cepat. "Oh iya, namaku Kim Taehyung, kelas 3-D, tadi kita tidak sempat berkenalan." Taehyung mengulurkan tangannya, "Kau bisa memanggilku 'hyung' mulai sekarang. Kau anak baik, aku tertarik denganmu." Ungkapnya seraya menunjukkan, baris giginya yang putih dan rapi.

Jungkook terdiam sejenak, sebenarnya ia sudah mengenal siapa namja di hadapannya tanpa harus berkenalan. Tapi akhirnya, ia meraih tangan kakak kelasnya setengah ragu, "Jeon Jungkook. Senang berkenalan denganmu, Taehyung sunhyung." Koreksinya segera.

Jungkook merasakan Taehyung sedikit meremas tangannya ketika bersalaman dengannya, namun ia segera menafikkannya. Mungkin perasaannya saja. Hari sudah semakin sore, ia ingin pulang, tapi tidak tahu harus bagaimana mengatakannya kepada hyung barunya yang telah susah payah mengantarkan ponselnya kepadanya.

"Kau—kau belum terburu-buru pulang, kan?" pertanyaan Taehyung membuat Jungkook terkesiap, ia seakan dapat membaca pikirannya.

Dengan berat hati, Jungkook menggeleng, "Tidak, hyung." Ia berkata sambil tersenyum.

"Baguslah!" Taehyung berseru cepat, wajahnya tampak ceria, "Kalau begitu ceritakan tentang dirimu sambil kita berjalan." Usulnya sembari mulai menyusuri koridor sekolah yang sudah sepi.

Jungkook terdiam, ia mengikuti langkah Taehyung. Merasa namja yang lebih tua menunggunya mengeluarkan suaranya, Jungkook pun memulai pelan, "Aku—aku berasal dari Sekolah Menengah Swasta di Busan. Saat ini aku tinggal di apartemen, kedua orang tuaku masih menetap di Busan. Dan… aku anak tunggal." Ia bercerita, menggantungkan kalimat terakhirnya. Ia berpikir apakah ini relevan bagi Taehyung, karena namja itu selalu terlihat bosan dengan apapun.

Taehyung mengangguk-angguk, "Lanjutkan." Imbuhnya.

Namja berambut hitam itu mengernyitkan keningnya heran. Perlukah? Tetapi ia merasakan ada sesuatu dalam diri Taehyung yang membuatnya kesulitan untuk menolak perkataannya, "Aku suka olahraga, aku bergabung di klub ekstrakurikuler sepak bola. Aku juga suka menggambar. Kelahiranku 1997…" Jungkook menjeda, tak tahu apa lagi yang harus diberitahunya kepada hyungnya. Lagipula mereka kan baru saja kenal.

"Apa lagi?" desak namja yang lebih tua, terdengar tidak sabar.

"Uh…" Jungkook tampak berpikir keras, "Apa yang ingin kau tahu, hyung?" tanyanya menyerah.

"Semuanya." Jawab Taehyung cepat. Ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Jungkook, "Beritahu aku semuanya." Desisnya tajam, tetapi masih menyunggingkan seulas senyum 500 wattnya.

Jungkook kembali terdiam lagi. Ia akhirnya berkata lagi, "Uh, golongan darahku A, ulangtahunku 1 September. Aku sempat berhenti satu tahun setelah SMP… aku—aku pergi ke LA untuk mempelajari seni," ujarnya mulai terbata. Mata Taehyung menguncinya, seakan memaksanya untuk terus berbicara. "…aku suka warna merah—aku ingin bisa menyanyi…" lama kelamaan, Jungkook menyadari jika bicaranya mulai kacau. Seharusnya ia tak perlu memberitahu hal-hal tentang dirinya yang notabene trivia dan pribadi. Itu tidak penting.

"Yang lainnya?" Taehyung kembali menekannya dengan senyumannya.

Namja yang lebih muda mengencangkan genggamannya di pegangan tas ranselnya. Terlalu lama di dekat Taehyung membuatnya gugup; padahal ia sebenarnya orang yang sangat supel dan mudah dekat dengan siapa saja. Tak terpikirkan lagi, akhirnya Jungkook menggeleng lemah, "Kupikir tak ada lagi, hyung." Decitnya lirih.

Taehyung tiba-tiba merangkulkan tangannya di atas pundak dongsaengnya, membuat namja yang lebih pendek menarik napasnya terkesiap. Taehyung terkekeh, entah mengapa terdengar mengerikan di telinga Jungkook, "Mengapa kau tidak mulai bercerita tentang rahasia-mu?" katanya dengan intonasi yang berbahaya. Bulu kuduk Jungkook langsung menegang, jantungnya berdebar tak karuan. Ia terus menunduk, berharap langkahnya cepat-cepat membawanya keluar dari bangunan sekolah—jauh-jauh dari namja yang semakin mendekatkan bibirnya ke sisi wajahnya. Sebelum sang dongsaeng sempat berkata apapun, Taehyung berbisik di telinganya, "Sesuatu yang kau tak ingin semua orang mengetahuinya? Rahasia yang dimiliki murid teladan paling sempurna sepertimu?"

Jungkook merasa sangat tak nyaman. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya, ia menelan ludahnya bulat. Kerongkongannya terasa kering. Ia mendesah pelan, "…hyung, aku tak mengerti apa yang kau bicarakan." Ujarnya berusaha terlihat tenang.

"Kalau begitu akan kubuat kau mengerti—" Taehyung justru semakin mengeratkan rangkulannya, "—hei siswa teladan yang biseksual?"

Mata Jungkook mendelik ngeri, mulutnya sedikit terbuka karena terkejut. Jantungnya bagai melompat ke ubun-ubun. Ia terus menundukkan kepalanya, menahan napasnya yang mulai tidak teratur. Ia berkata pada dirinya sendiri untuk tenang. Ia harus tenang, seperti Jeon Jungkook yang biasanya. Ia tertawa gugup, "A-Apa yang kau katakan, hyung? Bercandamu keterla—"

"AHAHAHA," tiba-tiba namja yang lebih tua tertawa keras, sukses membuat Jungkook bergidik ngeri. "Jeon Jungkook, daebak! Kau aktor ulung! Kalau aku produser, mungkin aku sangat ingin merekrutmu." Sindirnya, "Tapi sebaiknya kau segera hentikan permainan drama bodohmu; karena kau tahu? Aku melihat semuanya di ponselmu. Aku mengambil memorinya dan membuka semuanya; bahkan aku punya back up nya di mac-ku. Oh iya, kalau kapan-kapan kau butuh pendobrak sandi, kau bisa meminta teman bermainku yang bernama Namjoon. Dia jenius." Taehyung memberikan impikasi dengan bisikannya yang rendah dan menakutkan. "Dan jika kau bertanya mengapa aku melakukannya—aku bosan. Kupikir ini akan sangat menyenangkan. Bukankah begitu, hei, tuan penjilat kecil?"

Jika interval tingkat berbahaya berkisar di antara satu sampai sepuluh, mungkin bagi Jungkook, detik ini adalah sebelas. Kepalanya kosong, ia tak bisa memikirkan apapun untuk kabur dari situasi seperti ini. Ia terlalu panik, sudah terlambat untuk menyesali keteledorannya beberapa jam lalu yang mustahil ditariknya kembali.

Jungkook berusaha memberontak dari rangkulan sang berandalan. Belum lebih dari satu langkah ia menjauh, Taehyung telah menahan pergelangan tangannya kuat dan mendorongnya ke dinding dengan keras. Suara hantaman punggungnya yang bertemu material solid di belakangnya membuat Jungkook mengerang tertahan. Kedua kaki Jungkook terasa lemas, posisinya terhimpit di antara lengan Taehyung yang bertengger di samping kepalanya.

"Kau mau kemana?" Taehyung bertanya dengan tatapan mata elangnya, tetapi sang siswa kelas satu terus menundukkan kepalanya; seperti kelinci yang tergigit kakinya oleh serigala.

Berusaha menata napasnya yang bergetar, Jungkook berbisik, "…aku—aku mau pulang…"

"Pulang?" ulang Taehyung dengan tawa sinisnya, "Kau tak peduli dengan data menarik yang baru saja masuk di laptopku? Aku bebas melakukan apapun dengannya?Jadi menurutmu, apa yang harus kulakukan dengan informasi berharga ini? Mungkin aku bisa mulai dengan meng-upload kabar ini ke website resmi sekolah, atau mengirimnya ke kepala sekolah; kalau siswa ter-emas-nya adalah seorang bi—"

"Aku bukan biseks!" Jungkook memotong, mengeluarkan semua keberaniannya untuk berteriak.

"Ya, tapi kau bisa menyukai baik namja atau yeoja, kan?" ujar Taehyung menyudutkan, "Aku bisa melihat dari wajahmu yang lugu—kau bahkan belum pernah membuka situs-situs porno, kan? Terlalu noble untuk melakukannya? Merasa bersalah?" lanjutnya bertubi-tubi. Ia mengamati namja sempurna di hadapannya yang terdiam seribu bahasa, ketakutan tampak jelas di matanya. "Lucu sekali membaca curhatan yang kau tulis di dalam situ, seperti gadis remaja yang kesepian. Pesan-pesan dari teman sekelasmu saat SMP dulu yang kau suka, dari hyung-hyungmu. Wow. Jadi apa ini? Kau masuk ke sekolah ini karena mengejar sunbae mu? Hoseok itu teman sekelasku, kita sering bermain billyard bersama saat liburan—OH! Pantas saja kau bergabung tim sepak bola! Kaptennya kan Hoseok! Ah ah, masuk akal! Pintar sekali, dasar penji—""

"Hentikan." Jungkook mendesis, suaranya bergetar seperti menahan tangis. "Jangan. Kumohon, hentikan. Jangan katakan apa-apa lagi." Pintanya lemah sambil menggelengkan kepalanya pelan.

Senyuman melebar di bibir Taehyung, "Bukan begitu, kan, caranya meminta sesuatu, siswa teladan?"

Jungkook mengatur napasnya, menarik dan menghembuskannya dalam ritme yang lamban. Perlahan, ia mengangkat kepalanya, memandang wajah hyungnya dengan wajah kalah. Mata kelincinya tampak sudah merah dan berkaca-kaca, "Kumohon, hyung," ulangnya, menginjak mati-matian harga dirinya. Seumur-umur, Jeon Jungkook belum pernah memohon dan ditindas seperti ini. "Apa yang kau inginkan? Sebutkan nominalnya. Akan kutransfer besok pagi-pagi sekali." Ia menawarkan dengan nada frustasi.

Senyum di bibir Taehyung lenyap seketika, wajahnya mengeras pertanda ia tidak senang. Ia segera menjambak sisi rambut di pelipis kanan sang dongsaeng dan mengerlingnya tajam, "Uang?" desisnya garang, "Karena kau orang kaya, kaupikir kau bisa menyelesaikan semuanya dengan uang? Kau pikir aku preman murahan, hah?" suaranya tenang, tetapi bagai mencabik telinga Jungkook karena intonasinya yang jauh dari kata bersahabat.

Bola mata Jungkook bergetar ketakutan, napasnya tersengal. Wajah Taehyung dekat sekali dengan wajahnya, bahkan ia bisa merasakan hangat hembusan napasnya menyentuh permukaan kulit di wajahnya. Ia tak berani mengatakan apapun.

Taehyung melepaskan cengkeramannya, mengatur emosinya. "Jungkook-ah. Aku tidak ingin uangmu." Katanya menurunkan nada bicaranya, "Daripada itu… Bagaimana kalau kau melakukan sesuatu yang lebih menyenangkan untukku?"

Jungkook bersumpah jika ia melihat kilatan terhibur di mata hyungnya yang berbahaya; dan ia merasa semakin ciut dalam himpitannya. Ia menelan ludahnya sekali lagi.

Taehyung mengangkat wajah dongsaengnya dari dagu runcingnya, menatap setiap detil wajah sempurnanya lamat-lamat, "...kau menuruti apapun perintah guru-gurumu, kan? Kau suka perhatian, kan?" Seringai berbahaya terukir di ujung bibirnya, ia menjilat bibir bawahnya sendiri dengan gerak lamban. "Bagaimana kalau mulai hari ini, aku akan melatihmu menjadi seorang dongsaeng yang baik—dan kau bisa mulai mendengarkan semua perkataanku dengan manis tanpa banyak bertanya, yah, Jeon Jungkook sang murid teladan?"

Jungkook terdiam, terlalu gentar untuk mengatakan apapun yang ada di kepalanya. Kerongkongannya kering, napasnya tak beraturan. Taehyung melanjutkan kata-katanya, "Kau hanya perlu melakukan apapun yang kuminta; datang setiap kali aku memanggilmu, tertawa ketika aku menyuruhmu tertawa, diam ketika aku menyuruhmu diam—hanya menjadi seorang dongsaeng yang manis dan penurut. Itu saja." Tambahnya dengan evil smirk yang semakin jelas.

Namja yang lebih muda masih terdiam, menatap hyungnya dengan pandangan tak percaya. Ia menggigit bibir bawahnya, "…apa ini semua menyenangkan bagimu? Memerasku padahal aku bahkan tak pernah sekalipun berusaha mengganggumu?" Jungkook bertanya dengan mata yang siap menjatuhkan air mata kapan saja.

"Sayang sekali, tapi begitulah," Taehyung menjawab dengan hembusan napas, berlagak pura-pura menyesal, "Sekarang, aku akan bertanya sekali lagi. Kita deal atau tidak?" desaknya tak sabar.

Tak ada respon, namja berambut hitam itu tampak berpikir keras. Posisinya saat ini tidak nyaman sekali. Taehyung masih mengangkat wajahnya dengan jemarinya; membuatnya sulit untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia lelah sekali hari ini. Ia mengutuk hari yang semakin sore dan koridor sekolah yang sudah benar-benar kosong. Tak adakah yang akan datang menyelamatkannya dari situasi terburuk ini?

Merasa namja di hadapannya mulai tidak sabar, akhirnya, Jungkook berbisik lemah, "…deal, dasar brengsek." ujarnya tanpa berani membalas tatapan hyungnya yang mengintimidasi.

Senyuman di bibir Taehyung mengembang lebar, adrenalin yang aneh menyeruak hebat di seluruh saraf-sarafnya. "Kau bisa melakukannya untukku? Menjadi dongsaengku yang manis dan penurut?"

Jungkook mengatur napasnya, sebelum kemudian mengangguk dua kali.

"Wow, daebak!" seru Taehyung sumringah, melepaskan Jungkook dari himpitannya dan melangkah mundur. Belum sempat Jungkook menghela napas lega, Taehyung berkata, "Bagaimana jika kita mencobanya satu kali?" ide hyungnya nyaris membuatnya tersedak.

"Jungkook-ah, berputar di tempat." Taehyung segera berujar dengan nada memerintah.

Walau ia merasa sangat kesal, akhirnya Jungkook menuruti apa kata namja yang lebih tua. Ia ingin semuanya cepat selesai. Dengan langkah malas, ia berputar di tempat. Seperti orang bodoh saja, rutuknya dalam hati.

"Sekali lagi,"—dan Jungkook berputar sekali lagi.

"Berputarlah satu kali lagi," –Jungkook berputar sekali lagi, dan bahkan ia tidak tahu apa menyenangkannya melihat dirinya berputar-putar seperti orang idiot. Ia semakin merasa tak nyaman, apalagi dengan fakta bahwa Taehyung mengamatinya dengan begitu intens.

"Manisnya, kau mendengarkan apa kataku dengan baik." Taehyung mengulurkan tangannya untuk mengusap ujung kepala dongsaengnya dengan sumringah.

Jungkook memutar bola matanya, kesal, "Sekarang bolehkah aku pulang?" tanyanya kemudian.

"Tentu, aku akan mengantarmu." Taehyung mengangguk bersemangat, merangkul Jungkook dan mulai berjalan. "Hari sudah malam, aku takut terjadi sesuatu denganmu." Katanya sambil terkekeh.

Namja yang lebih muda mencibir, "Kau hanya ingin tahu dimana apartemenku, kan, dasar cumi-cumi."

Taehyung tertawa renyah mendengar respon sarkastik dongsaengnya, "Anak pintar," ia mengusapkan poninya ke kepala Jungkook gemas, "Oh iya, tadi aku sudah mengatur speed dial-mu. Nomorku kutaruh di nomor 1." Katanya enteng, "Aku memasang lagu Baby Justin Bieber untuk setiap panggilan dariku, dan suara beep tiga kali untuk pesan. Supaya kau bisa segera tahu kalau aku menghubungimu. Aku tidak suka menunggu." Tukas Taehyung kemudian, segera mendapatkan desahan panjang dari dongsaengnya.

Sialan. Jungkook hanya bisa merutuk dalam hati.

Saat itu, Jeon Jungkook belum mengetahui;

Bahwa sesuatu yang besar—yang tidak pernah ia sangka sebelumnya, akan terjadi kepadanya.


- Bersambung -


A/N :

Thanks for reading! ^^

Is this genre alright? lol.

Sebenernya ane agak nggak yakin mau bikin tema blackmail, dan ini udah ditulis delet tulis delet beberapa kali biar engga terlalu ofensif, tapi tetep kerasa dominannya si Tae. Terus terus, ane juga nyari padanan kata yang cocok buat 'blackmail', tapi engga nemu yang sreg. Ngancem, memeras, maksa? Nggak kena semua sebenernya ._. tapi yasudahlah.

Anyway, always appreciate reviews, favs, and follows! Get updated!