Because I could watch you, for a single minute,

And find a thousand things,

That I love

About you…

-unknown-

.

.

.

.

.

.

DISCLAIMER: I DO NOT OWN NARUTO. All publicly recognizable Naruto characters, settings, etc. are the property of SJ and the mangaka. No money is being made from this work. No copyright infringement is intended. Big influence from LOVE 911 / Bandage / Band Aid, Korean Movie (2012) starred Han Hyo Joo and Go Soo! Almost total same-plot! I write this only for fun!

.

.

.

.

Warning (s): AU, Drama, and OOC (I made Naruto 30 y.o and Sakura 27 y.o as an excuse for the OOC-ness, haha :D)

.

.

"Jadi, bagaimana kabarmu? Maksudku—juga kabar teman-teman lainnya?"

Sakura berjalan tenang, beriringan dengan Naruto di sampingnya. Keduanya berjalan menjauh dari kantor pusat, berjalan-jalan di trotoar sekitar. Angin siang yang cenderung sejuk mengalir perlahan, menggoyangkan helai-helai rambut Sakura, juga menggoyangkan ujung rok putih selututnya. Beberapa kali Sakura merapikan rambutnya, menyelipkan sejumput sisi poninya di balik telinganya. Perempuan itu menarik napas lebih panjang. Aroma angin yang lewat di bawah pepohonan yang menghias sepanjang sisi trotoar membuat bahu Sakura terasa rileks.

Perempuan itu tersenyum simpul.

"Baik. Semua berjalan seperti biasa."

"Benarkah?"

"Sedikit lebih sepi. Mungkin karena … kau—dan Ino tak ada."

Sakura menoleh, masih tersenyum lebar. "Sungguh?"

"Baru tadi saat makan siang, Kiba membicarakanmu dan Ino." Naruto mengangkat kedua bahunya. Kedua kepalan tangannya bersemayam rapi di saku celana. "Kangen sepertinya."

"Kau sendiri?"

"Aku?"

Sakura tertawa pelan. "Aku bercanda." Sakura menghentikan langkahnya.

Naruto bahkan tak tahu apakah kalimat Sakura 'bercanda' itu justru adalah gurauan semata—bahwa intensi sesungguhnya perempuan itu memang menanyakan pendapat pribadinya.

Sakura terdiam, menatap gapura kecil dengan lorong masuk.

Sebuah kuil.

"Mau mampir sebentar?"

Naruto sempat terdiam. Namun lelaki itu akhirnya mengangguk.

.

.

.

.

EMERGENCY LOVE

Chapter 9 [Final Chapter]

.

.

.

Kuil itu cenderung bersih dan tenang. Meski berada di tengah kota, karena lokasinya masuk ke dalam sebuah gang, begitu memasuki pelatarannya yang hanya terhias sedikit daun kering dari pepohonan rimbun di depan teras, suasana menenangkan bisa dengan mudah menyergap Sakura dan Naruto.

Naruto membuka pintunya perlahan. Terdengar suara deritan lirih dari pintu kayu sewarna kulit kumbang musim panas itu.

Sakura melongok ke dalam lalu melangkah masuk—namun ia tak mendahului Naruto. Ia biarkan lelaki itu tetap setengah langkah di depannya. "Berdoa?"

Naruto mengangguk tanpa menoleh. Ia rogoh kantong celananya, mencari koin untuk dilemparkan. Lelaki itu diam, berdiri dan memejamkan mata, menggumam doa yang tak dapat didengar Sakura.

Sakura tak berdoa. Ia hanya memandangi punggung lebar Naruto dengan tatapan kosong.

"Kau berdoa apa?" celetuk Sakura.

Naruto melirik ke belakang sedetik lalu menggeleng. "Kalau aku mengatakannya, itu bukan doa namanya. Itu diskusi."

Sakura tertawa pelan. Selama beberapa detik, ia biarkan Naruto berdoa. Perempuan itu menarik napas panjang dan memasang sebuah senyum tipis di bibirnya. "Mendoakan mendiang istrimu, ya?"

Mendadak, bahu Naruto terasa tegang.

Sakura melangkah mundur—hanya selangkah. "Sebenarnya, aku menemuimu karena ingin bicara saja." Sakura mengedarkan pandangannya ke sekeliling kuil. "Mengingat apa yang ingin kusampaikan padamu, rasanya mendadak memalukan sekali."

Naruto berbalik. Ia hanya memasang wajah bingung.

Sakura mengangkat kedua bahunya. "Berbaliklah."

"Hah?"

"Kubilang berbaliklah," perintah Sakura lagi.

Meski agak tak paham, Naruto menurutinya. Ia berbalik, kembali membelakangi Sakura.

Sakura menarik napas dalam-dalam. Punggung Naruto kembali terlihat jelas memenuhi ruang pandangnya. Perempuan itu mengulum bibirnya. Tangannya merapikan poninya ke belakang. "Sejak kecil, banyak orang yang memujiku, mengatakan bahwa aku pintar. Bahwa Sakura pintar, sangat pintar, anak yang pintar, terus menerus seperti itu sampai di titik di mana aku meragukan sendiri apakah aku memang benar-benar pintar atau tidak." Sakura mengucapkannya dengan sedikit cepat.

Naruto mengerutkan alisnya.

"Tapi aku akhirnya sadar bahwa sebenarnya itu salah. Bahwa aku tidak benar-benar pintar. Di titik ini, aku merasa, sudah sepantasnya bagiku untuk melepaskan semuanya, menyerah pada segalanya."

Naruto hampir menoleh—

"Termasuk menyerah padamu, Naruto."

Naruto membeku. Terdengar helaan napas panjang dari Sakura di belakangnya.

"Tapi kalau dipikir-pikir pun, aku memang tidak pernah benar-benar memilikimu, kan?" tanya Sakura—namun perempuan itu tak meminta jawaban. Ia hanya memandangi punggung Naruto, melihat bagaimana lelaki itu tak bergerak, membatu di posisinya. Sakura tahu jawabannya sendiri. "Aku benar-benar bukan perempuan yang pintar, Naruto. Benar-benar … bukan."

Naruto menelan ludahnya.

"Itulah kenapa meski aku tahu kenyataannya, aku tetap saja tak bisa berpikir dengan jernih. Apa pun yang terjadi, meski aku tahu hatimu milik orang lain, namun tetap saja … aku mencintaimu."

"…"

"Aku sangat … mencintaimu."

Naruto memejamkan matanya. Suara goyah Sakura menggema dalam kepalanya.

"Jika suatu saat kau melihat aku datang mencarimu, aku mohon, pura-puralah kau tidak melihatku. Sembunyilah. Menghindarlah." Sakura menggigiti bibirnya kuat-kuat. Perempuan itu bersyukur, matanya sudah terlalu mengering untuk mengalirkan butiran air dari sana. "Karena aku tak yakin, apa aku punya kepercayaan diri untuk menghentikan perasaan yang menyakitkan ini."

"…"

Melihat bahwa sepertinya Naruto tak akan merespons, Sakura hanya bisa tersenyum. Perempuan itu berbalik, menggumamkan 'selamat tinggal' dan menghilang. Ketika Naruto menoleh ke belakang, ia hanya melihat pintu kayu yang tertutup dan berdebam dengan deritan—yang mengiris sesuatu dalam rongga dadanya.

.

.

O.o.O.o.O

.

.

Sirine serempak dibunyikan. Kakashi berjalan di lorong gedung, memakai rompinya dengan terburu-buru dan segera dikerumuni tim SAR yang lain. Beberapa di antaranya membawa kertas informasi, sementara sisanya bersiap menuju armada. Lee muncul dari salah satu ruangan, merapikan rompinya juga dan segera menghampiri Kiba.

"Ke mana Naruto?"

Kiba menggeleng. "Sejak habis makan siang, dia menghilang."

Kakashi mendengus cukup keras. "Lee, cari rute tercepat ke perfektur yang akan kita tuju secepatnya."

"Siap!"

Seluruh anggota tim bergegas naik ke armada. Kendaraan besar itu hampir meluncur melesat pergi ketika mereka melihat sosok Naruto, tengah berjalan gontai di sekitar gerbang masuk menuju gedung. Kakashi melongok keluar jendela, meneriakinya dengan keras. Ada Kiba juga yang mengumpat, memberi tanda Naruto agar segera masuk ke dalam mobil SAR.

Naruto tak benar-benar mendengar ocehan semua orang. Ia agak pening. Sebotol minuman isotonik dingin yang disodorkan Lee menenangkannya sesaat.

Tak butuh waktu lama, kendaraan-kendaraan tim SAR sampai di lokasi. Di depan mereka, tampak bangunan konstruksi setengah jadi. Banyak batang-batang besi kerangka bangunan yang masih terlihat di beberapa sisi, dan polesan semen di sana sini. Terlihat pula beberapa terpal lusuh berwarna oranye kecokelatan di beberapa sudut.

Beberapa orang berlarian mendatangi tim SAR, mengabarkan bahwa sebagian besar sudah dievakuasi, namun masih ada beberapa orang tertinggal di dalam. Bangunan sudah hampir runtuh. Pondasinya anjlok dan konsen utama tim SAR adalah menyelamatkan sisa manusia di dalam sana.

"Ini, Pak."

Kakashi menerima beberapa lembar kertas bertuliskan identitas karyawan yang belum terevakuasi juga foto berwarna. Kakashi langsung bergerak cepat menginstruksikan timnya. Ia membuka denah bangunan dan menunjuk titik-titik di mana karyawan-karyawan itu terakhir terlihat. Lee membantu Kakashi membuat pola arah rute yang harus diambil para tim.

"Aku akan mencari di sini." Sebuah telunjuk mendadak menunjuk satu titik dalam sketsa denah bangunan. Titik itu yang paling jauh dari pintu masuk utama, begitu masuk ke dalam.

"Naruto?"

Lee menoleh kaget. "Kauyakin?"

Naruto mengangguk.

"Aku akan ikut," ujar Kiba.

"Baiklah. Kita mulai sekarang!" perintah Kakashi.

.

.

O.o.O.o.O

.

.

"Aku menemukannya!" Kiba berteriak nyaring.

Naruto menoleh cepat. Ia melompati beberapa reruntuhan puing potongan bata bangunan diikuti Tenten yang ikut muncul dari satu-satunya akses masuk dengan membawa sekotak peralatan medis—karena tak ada anggota medis lain yang mampu kali ini. Lelaki pirang itu bergerak secepat mungkin. Di ujung ruangan, Kiba menunjuk lantai. Seorang lelaki paruh baya terbaring tak berdaya. Setengah tubuh bawahnya tertutup balokan semen dan tak terlihat.

Wajah lelaki itu memucat. Sebagian wajahnya berdebu terkena sisa butiran debu bangunan yang rontok. Bibirnya kering dan dahinya berkerut karena menahan rintihan. Beberapa kali matanya terbuka, memastikan apa memang ada orang di dekatnya—tim penyelamat yang ia nantikan.

"Paman, kau tak apa?" tanya Naruto, berjongkok dan menepuk bahu lelaki itu dengan lembut.

Sedikit tersentak, lelaki itu mendongak. Bibirnya merekah melihat sosok Naruto.

Penyelamatnya.

"Aku … akan selamat, kan?"

"Kami di sini akan mengusahakannya." Naruto bangkit berdiri, mendatangi Kiba yang banyak memandangi sekitar. "Bagaimana kondisi di sini?" tanyanya dengan suara lebih lirih.

Kiba menelan ludah. Ia melirik lelaki yang terbaring itu dengan tatapan iba. Kiba mundur selangkah, memberi tanda Naruto dan Tenten untuk berdiskusi dengan lebih lirih. "Aku sudah mengecek bangunannya. Ini … berbahaya."

"Bahaya?" tanya Tenten mulai merasa tak enak.

"Beton yang menimpa kakinya itu tidak bisa disingkirkan."

"Kalau kita gunakan peralatan pengangkat—"

Kiba menggeleng cepat.

"Apa bangunannya akan runtuh?" tanya Naruto yang membaca situasi.

Kali ini, Kiba mengangguk. "Kautahu, kita tak mungkin mengangkat beton itu dengan alat tanpa membuat bangunan ini runtuh. Lantai di atasnya sudah siap ambruk. Salah sedikit saja, semuanya akan rata dengan tanah."

"Apa … aku akan selamat?" tanya lelaki malang itu lagi dari ujung ruangan.

Naruto menoleh. Ia berpikir keras. Tapi ia merasa buntu kali ini. Otaknya menolak berpikir.

Tenten yang tahu ini saat yang sulit bagi Naruto dan Kiba, menarik napas panjang dan bergerak mendekat pada lelaki itu. "Paman, situasinya agak sulit."

"Apa aku akan selamat?" ulangnya. "Aku tidak akan selamat, ya?"

"Tidak, kami akan mengusahakannya." Kiba bergerak, meyakinkan lelaki itu. "Hanya saja, bangunan ini tinggal menunggu ambruk. Tapi kita punya satu kesempatan untukmu."

"Kesem … patan?"

"Kami akan memberi tiang-tiang penyangga di sekitarmu, agar saat bangunan ini runtuh, semuanya bisa menopangmu dari reruntuhan. Perkiraan waktunya tak lama. Begitu roboh, kami akan segera menjemputmu."

Lelaki bertubuh besar itu berkedip-kedip. Sesaat, ia diam, namun kemudian ia menggigiti bibirnya. "Artinya, kalian akan meninggalkanku?"

"Tak akan lama," jawab Tenten. "Kami janji tak akan lama, Paman."

Naruto menangkup wajahnya. Apa yang disampaikan Kiba dan Tenten memang opsi satu-satunya. Tapi bahkan kesempatan terbaik pun memiliki risiko. Lelaki itu tak bodoh. Ia pun pasti tak percaya sepenuhnya pada ide ini. Namun semuanya tahu, tak ada jalan lain.

Beberapa saat suasana berubah hening. Hanya terdengar samar suara butiran-butiran pasir yang berjatuhan dari langit-langit bangunan yang sudah retak.

"Paman?" panggil Tenten.

"Boleh, aku pinjam ponselmu?" tanya lelaki itu.

Tenten sempat terdiam dua detik. Namun ia buru-buru merogoh saku rompinya.

Meraba layar ponsel Tenten, lelaki itu menekan opsi telepon pada nomor asing. Wajah murung lelaki itu berubah sumringah ketika ia mendengar sahutan dari seberang.

"Sayang?"

Naruto menoleh seketika.

"Sepertinya aku … akan pulang terlambat," ujarnya lirih—namun berusaha keras tak terdengar goyah. "Apa Chouchou sudah tidur? Ya, ya, katakan padanya untuk tidur duluan. Jangan lupa kau makanlah dulu. Sayang? Tolong … ciumkan keningnya untukku." Lelaki bernama Akimichi itu menjauhkan ponselnya lalu menarik napas panjang. Butiran air mata membasahi sisi matanya yang kering. Tak ada suara gemetar. Hanya tangisan tanpa suara. "Aku menyayangimu."

Lalu telepon itu ia matikan dan segera ia kembalikan pada Tenten. Perempuan itu menelan ludah, mengantonginya dan melangkah mundur. Naruto maju menggantikannya. "Kami akan memasang alat-alatnya sekarang."

Lelaki itu hanya mengangguk lemah.

Kiba dan Tenten mulai bergerak, begitu juga Naruto.

"Aku selalu … menjadi orang yang selalu memperhatikannya. Maksudku … mengucapkan selamat tidur, memintanya menjaga kesehatan, memintanya untuk menjaga anak kami, dan menunjukkan … bahwa aku sangat menyayanginya."

Naruto yang tengah membongkar pasang beberapa pipa menoleh.

Dilihatnya lelaki itu memejamkan matanya. Senyuman tipis terhias di bibirnya yang sedikit gemetar.

"Kami sudah selesai." Kiba berdiri, menghampiri Naruto diikuti Tenten di belakangnya.

Naruto masih tak mengalihkan pandangannya dari sosok lelaki pekerja itu. Menarik napas panjang, setelah beberapa detik, barulah Naruto berbalik menoleh pada Kiba dan Tenten. Ia tersenyum ringan. "Kalian pergilah."

Mata Tenten membulat.

Kiba tersedak. "Ap-apa—"

"Paman?" panggil Naruto. "Aku akan mencoba mengangkat beton ini dengan alat-alat yang ada. Kami akan memakai pompa udara untuk memberi ruang antara kakimu dan beton yang menimpa itu."

Lelaki itu mendongak, membuka matanya.

"Bangunannya pasti akan roboh. Itu sudah pasti. Tapi kita punya kesempatan untuk segera lari begitu kakimu bebas."

"Naruto—"

"Apa kaumau?" tanya Naruto, mengabaikan teriakan Kiba.

"Aku tidak mau ditinggalkan di sini," jawab lelaki itu cepat. "Aku mau. Selamatkan … aku."

Tenten jatuh berlutut. Ia berjongkok dengan lutut gemetar. "Paman! Kumohon pertimbangkan. Dalam perjalanan keluar, kalian berdua bisa lebih terjebak. Maksudku, ini akan membahayakan nyawa Narut—"

"Tenten!" teriak Naruto. Ia hampir menarik Tenten namun Kiba mencengkeram bahunya lebih kuat.

"Kau ingin mati sampai sebegitunya, hah!" bentak Kiba. Mata lelaki itu berair, meski suaranya terdengar kuat tanpa sedikit pun goyah. "Naruto!"

Naruto memandangi Kiba. "Aku tak akan mati. Laki-laki ini juga tak akan mati."

"Narut—"

Butiran pasir menghujani mereka lebih intens.

Tenten mulai terdengar terisak.

"Kaubawa Tenten keluar. Kalau Tenten ikut terkubur, Lee akan membunuhmu," gurau Naruto pada Kiba.

'Bugh!'

Kiba menghantam pipi Naruto dengan kuat.

Tenten langsung bangkit dan menahan Kiba.

"Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau mati di sini."

Naruto mengusap ujung bibirnya. Diam-diam, ia tersenyum. "Saat kalian keluar, pastikan jalur keluarnya bersih."

Gemuruh suara bangunan lagi-lagi terdengar.

"Pergi sekarang!" bentak Naruto kali ini.

Meski ragu, Tenten menarik Kiba keluar. Tenten kenal betul Naruto. Lelaki pirang itu tak akan menarik keputusannya. Begitu kedua rekannya keluar dari ruangan, Naruto mengembuskan napas kuat-kuat. Ia kembali berjongkok dan memasang airbag di samping paha Akimichi yang terjepit.

"Kau sudah siap, Paman?"

Lelaki itu hanya memandangi Naruto dengan tatapan nanar.

Naruto perlahan tersenyum. "Kita akan selamat. Percaya padaku. Kau akan tetap hidup. Demi Chouchou dan istrimu."

Akimichi kembali bergetar. Ia menggigit bibirnya dan air matanya kembali bermuara. "Terima kasih banyak … sungguh."

Naruto mengangguk dan mulai bekerja. Ia akan meletakkan beberapa airbag mini. Dengan sedikit tekanan udara, ia bisa mengangkat beton itu beberapa senti. Saat beton terangkat, pipa-pipa penyangga yang tadinya difungsikan untuk menahan reruntuhan di atas tubuh Akimichi, akan terdesak naik dan retakan di langit-langit akan melebar—yang mana, bangunan di atasnya akan kehilangan penyangga stabil dan pasti akan jatuh dan runtuh. Ia punya waktu kurang dari satu menit begitu airbag-nya terpompa.

"Hei."

Naruto menoleh sesaat.

"Kau juga akan selamat."

Naruto terpekur.

"Demi orang yang kausayangi. Kau juga akan … tetap hidup." Akimichi tersenyum teduh pada Naruto.

Detik itu, Naruto membeku.

.

.

O.o.O.o.O

.

.

"Berjanjilah sesuatu padaku."

Naruto membelai punggung Sakura, membuat perempuan itu berbalik menghadap padanya.

"Kalau pekerjaanmu membuatmu dalam bahaya, jangan melakukannya. Kalau kau takut, larilah," jelas Sakura. Sudah seminggu ia bersama dengan Naruto. Melihat lebih dalam tentang lelaki itu, membuat Sakura takut—takut jika Naruto akan terluka, oleh pekerjaannya. Sebagai seorang dokter, ia dibuat berjengit tiap mengekuri setiap senti kulit Naruto. Ada saja, bekas luka di sana. "Jangan melakukan hal yang mengancam nyawamu."

Naruto menarik lengan Sakura, membawanya lagi dalam dekapannya. "Bukankah itu sama saja menyuruhku berhenti bekerja?"

"Ide bagus!" Sakura tertawa.

"Lalu, apa yang harus kulakukan?" Naruto membelai helaian poni Sakura.

"Membersihkan rumah, menyiapkan makanan, menjaga anak-anak."

"Anak-anak?"

"Anak-anak kita nanti," celoteh Sakura.

"Kau bahkan sudah memikirkannya?"

Sakura mengangguk. "Shinachiku? Anmitsu?"

Naruto tergelak. Lelaki itu lalu menatap mata Sakura dan tersenyum. Perlahan, ia diserang kantuk lagi.

Sakura cemberut. Ia meraih tangan Naruto, mengaitkan kelingkingnya. "Janji?"

Naruto membuka matanya.

"Berjanjilah. Janji seumur hidup?"

Tetaplah … hidup.

.

.

O.o.O.o.O

.

.

"Kuso."

Naruto menahan senyumnya sendiri. Entah kenapa, bayangan itu kembali berputar di kepalanya. Ia tak bisa tak mengumpat. Bagaimana bisa, bayangan perempuan itu singgah di kepalanya di saat-saat seperti ini?

Karena pertanyaan Akimichi kah?

"Demi orang yang kausayangi. Kau juga akan … tetap hidup."

"Kau ingin mati sampai sebegitunya, hah!"

Tidak, Naruto tak ingin mati.

Ia tak akan mati sekarang.

"Berjanjilah."

"Sial, aku jadi merindukanmu sekarang," gumam Naruto tanpa sadar.

Lelaki pirang itu menunduk. Akimichi memandanginya dengan senyuman tulus, membuat Naruto menggeleng dan menggosok ujung hidungnya. "Kita mulai sekarang, Paman?"

Akimichi mengangguk.

Tekanan angin dimasukkan. Kantong udara mulai mengembang. Beton di kaki Akimichi tak lagi bergeming. Sedikit getaran kecil, kemudian disusul suara gemuruh dari atas. Naruto segera mendudukkan Akimichi dan memeluk punggungnya, bersiap menariknya.

Tekanan udara dalam kantong membuatnya mengembang. Tembok besar itu makin naik. Butiran pasir dari langit-langit berjatuhan makin kuat.

"SEKARANG!"

Naruto menarik tubuh Akimichi, memaksa lelaki itu berdiri begitu kakinya lolos dari puing besar tembok yang memenjaranya beberapa jam terakhir. Lelaki itu berteriak dan merintih kuat, namun kakinya sudah menjejak. Ia memeluk bahu Naruto. "Bisa!"

Naruto mengangguk dan keduanya tertatih keluar dari ruangan. Beberapa detik sudah terlewat. Setiap waktu yang terlewat, bongkahan besar dari atas satu persatu berjatuhan.

Keduanya goyah ketika lantai yang mereka jejak, bergoncang—seolah ada gempa bumi.

"Bangunannya akan ambruk!" Naruto memasangkan topi yang dipakainya di kepala Akimichi dan masih berusaha keras tertatih keluar mencari jalan keluar. Pandangan mulai terbatas dan jalur mulai dihujani reruntuhan.

Pandangan Naruto tertutup ketika bunyi debaman keras terdengar—bangunan itu ambruk, merata dengan tanah, menjatuhinya.

.

.

O.o.O.o.O

.

.

"Mana Naruto!" teriak Kakashi yang menghampiri Kiba dan Tenten.

Kiba berjalan dengan linglung dan Tenten masih sesenggukan. Kakashi mencengkeram kerah pakaian Kiba dan mengumpat. "Bagaimana bisa kaubiarkan—" Lelaki itu hampir menerjang ingin kembali ke dalam bangunan, namun Kiba memeluk kakashi, menahannya.

"Dia ingin menyelesaikannya … sendiri."

"Kiba!"

"Dia berjanji akan selamat, Kapten!"

"Apa—"

Lalu suara gemuruh menggema. Di depan mata semua orang di luar bangunan, bangunan tua itu ambruk, roboh merata dengan bumi. Suara gemuruhnya membuat Kiba jatuh terduduk. Tangisannya pecah seketika.

.

.

O.o.O.o.O

.

.

"Ah! Masih sepagi ini kenapa macet sekali?" umpat Ino. Perempuan itu menekan klakson mobilnya beberapa kali, mengeluh mengapa banyak kendaraan memenuhi jalanan padahal hari belum terlalu siang. Sialnya lagi, hujan turun sejak tadi dini hari.

Sakura hanya tersenyum mendengar omelan Ino yang tak ada habisnya. Ia memijit keningnya sembari mengalihkan pandangan ke jalanan sekitar.

"Semoga saja kita sampai di rumah sakit sesuai jadwal operasimu."

Sakura tak merespons. Perempuan itu mengulurkan tangannya, menghidupkan radio untuk meredam omelan dan gerutuan Ino yang tak ada habisnya.

"—kondisi terbaru, dikabarkan masih ada satu pegawai yang tertinggal di dalam bangunan Perfektur Chiba yang dikabarkan runtuh konstruksinya sejak semalam. Korban berinisial AC dan tidak hanya itu, ada satu petugas SAR yang ikut terjebak dalam reruntuhan bangunan bernama Uzumaki. Mari kita doakan agar evakuasi lancar dan keduanya diberi keselamatan—"

Ino menoleh cepat pada Sakura begitu nama Naruto tersebut. Dilihatnya jemari Sakura yang tadinya membesarkan volume radio mengalami tremor ringan. Jemari kurus itu merambat ke roknya, mencengkeramnya lebih kuat.

Bagaimana bisa, lelaki itu dengan mudahnya, membuatnya hampir terkena serangan jantung?

"—berita selanjutnya, mengenai kemacetan lalu lint—"

"Sakura?"

Sakura menoleh pelan, sangat pelan. Pandangan matanya kosong. Mulutnya terbuka namun tak ada kalimat yang keluar dari sana.

"Sakura!" Ino menyentak bahu Sakura, menyadarkan sahabatnya.

Sakura menutup mulutnya dengan tangannya. Sejenak, ia langsung mencari tasnya, mencari ponselnya—dan menghubungi seseorang.

.

.

O.o.O.o.O

.

.

Suara isakan itu tak berkurang.

Kiba harus berulang kali memencet hidungnya, menahan agar suaranya masih bisa terdengar oleh Sakura di seberang. Ujung hidungnya benar-benar memerah. Ia menarik napas panjang. Sisa-sisa hujan masih membasahi rambut dan bahu pakaiannya. Ia begitu setia menunggui tim lain melakukan evakuasi dan mencari Naruto serta Akimichi.

"Sudah beberapa jam sejak … bangunannya runtuh. Tim kesulitan, apalagi sempat … hujan."

Kiba dapat mendengar deburan napas berat Sakura di seberang. Perempuan itu tak terlalu banyak bicara. Hanya menanyakan beberapa keadaan dan terdiam mendengar Kiba yang justru masih terpukul berat.

"Aku akan mengabarimu segera jika Naruto sudah … ditemuka—"

Kalimat Kiba terhenti ketika matanya menangkap mesin pengeruk berjalan lambat memasuki area parkiran yang mengelilingi bangunan. Kiba tanpa sadar menutup teleponnya dan berlari meneriaki kendaraan itu. Tak hanya Kiba, Kakashi membanting helmnya dan berlari ke arah yang sama.

"MAU APA KALIAN?"

Sang sopir truk melongok menatap tim Kakashi dengan heran. "Kami diminta untuk mengangkat puing-puing—"

"Apa kau tidak tahu kalau masih ada manusia yang terjebak di sana?" tanya Kakashi tak percaya.

Seorang eksekutif pemilik bangunan bersama kapten peleton lain mendatangi Kakashi. "Akan makan waktu lama kalau evakuasi manual. Toh kita sudah memperkirakan di mana titik Uzumaki dan Akimichi berada, kan—"

Kakashi mencengkeram jas lelaki di hadapannya. "Apa kau mau kukubur hidup-hidup?"

Suasana mendadak menjadi tegang.

Kiba mencengkeram rambutnya keras.

"KAPTEN! Kami menemukannya!" teriak Lee yang berlari dari dalam pintu evakuasi darurat bersama beberapa personel SAR yang lain.

Seluruh tim berlarian, menuju dalam bangunan, bergerak cepat tak memedulikan medan yang sulit karena banyaknya bongkahan-bongkahan material bangunan yang cukup besar.

"Kami menemukan keduanya!" info Lee. Di lokasi, di sebuah lorong, beberapa anggota SAR mengangkat bongkahan kayu dan tembok, menarik sebuah tangan dan kepala berhelm. "Akimichi-san!"

Lelaki itu bergerak lemah, lalu terbatuk-batuk. Ia berkedip-kedip begitu ia melihat regu penyelamat. "Aku … t-tidak apa-apa. Di-dia—"

Lee dan Kiba buru-buru menyingkirkan bebatuan lain.

Rekan mereka, Uzumaki Naruto, terbaring tertelungkup tak bergerak. Banyak luka lecet bahkan lehernya. Tangan Kiba yang gemetaran meraih leher sahabatnya, mencari denyut di sana. Terdiam beberapa saat, ia menggigit bibirnya kuat. Air matanya yang sempat kering membanjir lagi. Namun lelaki itu tertawa kecil. "Dia masih hidup."

.

.

O.o.O.o.O

.

.

"Eh, dia tertidur?" Sakura menarik napas.

Ketika Sakura menoleh barusan, Naruto di sampingnya memejamkan matanya mengenal aroma ini. Mengedarkan pandangannya, mata perempuan itu melebar.

Laut!

Naruto benar-benar membawanya ke laut!

Sakura tersenyum lebar. Ia menepuk-nepuk pipi Naruto, mencoba membangunkan lelaki itu.

Naruto berdeham kuat—setengah mendengus.

Sakura mendesis lalu berkacak pinggang. Laki-laki di hadapannya ini benar-benar menyebalkan! Tapi toh, biarlah. Yang penting, laut!

Sakura turun mobil perlahan. Angin sore yang hangat langsung menerjangnya. Senyum di bibirnya merekah sempurna. Tangannya terlempar ke udara. Sedetik, perempuan itu berteriak keras, menantang angin dari laut.

Di dalam mobil, Naruto membuka satu matanya.

Ia menahan tawanya sendiri. Membuat Sakura merasa sebal, mendadak menjadi keahlian seorang Uzumaki Naruto. Lelaki itu mengulum bibirnya dan tersenyum. Ia menyandarkan kepalanya lagi. Udara hangat laut membuat wajahnya ikut menghangat.

.

.

O.o.O.o.O

.

.

Terdengar suara dengungan.

Tak hanya itu, ada suara isakan dan genggaman yang kuat pada satu tangannya. Ketika Naruto membuka matanya, yang ia lihat hanyalah atap-atap berwarna putih. Naruto melirik sampingnya. Sedikit mendongak, alis lelaki itu berkerut. Ada Kiba duduk di sampingnya. Tangannya masih tergenggam kuat. Kiba menunduk dalam-dalam. Sementara di ruangan sempit itu, ada Tenten pula yang menutupi wajahnya. Bahunya bergetar hebat.

"Bangun … Bodoh," bisik Kiba—masih tetap tertunduk.

"Baiklah."

"HAAHHH!" Pekikan menggema serempak.

Kiba dan Tenten terperanjat mundur. Punggung Tenten sampai menabrak beberapa barang dan membuatnya berjatuhan. Mata lebar perempuan itu berkedip-kedip. Kiba pun tak jauh beda. Melihat Naruto tengah memandanginya, ia tadi sontak melemparkan genggaman tangannya. Mulut Kiba terbuka lebar.

Naruto terbatuk dan menggaruk kulit lehernya.

"Kau … sadar?" tanya Kiba lirih, ragu.

Naruto mengedarkan pandangannya. Ia lalu memandangi Kiba lagi dan mengangguk. "Aku haus. Boleh aku minta minum?"

"MINUM! MINUM! AIR!" Tenten panik. Ia mencari botol air mineral besar dan memberikannya pada Kiba untuk disalurkan pada Naruto.

Naruto langsung menenggaknya tanpa ragu. Tenang, namun isi air dalam botol itu perlahan tandas.

Kiba dan Tenten saling bertukar pandang. Sedetik, Kiba tertawa dan Tenten tersenyum lebar.

"Kau benar-benar punya banyak nyawa, Senpai," ucap Tenten lega.

Kiba tertawa keras.

"Di mana kita sekarang?" tanya Naruto. "Dan lelaki yang kita tolong—"

"Kautolong," koreksi Tenten, "dia baik-baik saja. Kakinya terdapat retak tulang tapi dia … baik-baik saja. Kita di ambulans sekarang."

"Ambulans? Mau ke mana kita?"

Kiba mengangkat tangannya, hampir memukul kepala Naruto namun urung. Lelaki itu mendengus keras di sela tawanya. "Ke rumah sakit, tentu saja! Kau tidak kunjung sadar sejak ditemukan. Membuat semua orang panik dan mengira ada yang salah."

Naruto mengangguk-angguk. "Tunggu, kaubilang kita perjalanan ke rumah sakit?"

Tenten mengangguk pasti.

"Kenapa sepertinya kendaraan ini tak bergerak?"

"Sedang macet sekali di luar. Ini jam macet."

Naruto mendesah panjang. Lelaki itu menggeser posisinya dari ranjang lalu menggerakkan lehernya. Ia lalu mendorong pintu belakang ambulans, membukanya lebar.

Sinar matahari yang terang sempat menyilaukan matanya. Kendaraan itu tengah melewati jembatan. Pantulan sinar dari permukaan sungai berkilauan. Angin segar membuat Naruto tersenyum lebar. Beberapa baris kendaraan yang juga terjebak macet di belakang ambulans bergeming. Naruto melompat turun.

"Naruto!" teriak Kiba lagi.

Naruto menggerak-gerakkan kakinya, membuat gerakan seolah melakukan jogging. "Aku perlu meregangkan otot. Aku bisa ke rumah sakit sendiri."

"Ap—"

Naruto melambaikan tangannya dan menjauh dari mobil. Ia mulai berlari.

"Naruto!" Kali ini suara Kakashi. Kepala lelaki itu menyembul dari jendela bagian kemudi ambulans. Mata lelaki itu melebar sempurna, terkaget melihat si kepala pirang berlari melewati mobil begitu saja. "Naruto! Sial! Kau mau ke mana?"

Naruto menoleh ke belakang dan tersenyum lebar. "Lari-lari!"

"Apa? Jangan gila!"

"Menemui Sakura."

Jawaban itu membuat Kakashi yang bengong akhirnya tersenyum paham. "Bodoh sekali."

.

.

O.o.O.o.O

.

.

"Sakura! Kau mau ke mana!"

"Macet," jawab Sakura singkat. Perempuan itu turun dari sedan Ino dan menunjuk-nunjuk ujung jalan. "Aku lari saja ke rumah sakit. Tidak ingin ketinggalan jadwal operasi, kan?"

Tak menunggu respons Ino, Sakura bergerak menjauh.

Kiba sudah mengiriminya pesan.

Naruto ditemukan dan ambulans sedang menuju rumah sakit.

Naruto.

Naruto.

Nama itu berputar dalam kepalanya. Bak magis, bayangan tentang Naruto memberi kekuatan di kedua kakinya. Dua kaki ringkih itu mendadak melangkah cepat, membuat Sakura berlari, seiring detik yang berlalu, semakin kencang perempuan itu berlari. Angin menabraki kulit wajahnya. Beberapa pejalan kaki di trotoar menoleh pada Sakura. Namun perempuan itu tak peduli lagi. Rumah sakit adalah destinasinya.

Ia perlu melihat Naruto.

Detik ini juga.

Air mata terkumpul di mata Sakura. Sekuat apa pun ia menggigit bibirnya, Sakura tetap merasa air mata menumpuk di pelupuk matanya. Pandangannya yang kabur membuat Sakura berhenti. Perempuan itu menyeka air matanya, menarik napas panjang dan berlari lagi.

Lebih kencang.

.

.

O.o.O.o.O

.

.

Naruto berlari.

Lelaki itu menerjang masuk ke rumah sakit. Penampilannya yang lusuh dengan luka-luka lecet di kulit tubuhnya menarik perhatian banyak pengunjung rumah sakit di lobi. Lelaki itu menghentikan lajunya di depan meja resepsionis, membuat beberapa perawat memekik kaget.

"Dokter Haruno ada?"

"A-apa?"

"Haruno Sakura?"

Perawat itu tersentak. Begitu ia sadar dari kagetnya, ia menoleh pada rekannya. "Bukannya dokter Haruno sudah tidak bekerja di sini?"

Naruto mengerutkan alisnya sembari mengatur napas.

"Iya, tepat setelah pasien yang koma itu mendadak bangun, dokter Haruno lepas dari tuntutan, kan?" bisik perawat lain di belakang si resepsionis. "Tapi dia tetap mengundurkan diri."

"Kudengar dia juga sedang sakit, kan?"

"Apa?"

"Maaf. Tapi memang dokter Haruno sudah tidak bekerja di sin—" Perawat itu melongo. "Tuan?"

Naruto berlari keluar. Lelaki itu menyusuri jalanan tak jauh dari rumah sakit lalu merogoh kantong celananya. Sial, ponselnya tidak ada. Apa sebaiknya ia menunggu Kiba dan yang lainnya? Atau ia mau nekat mencari ke apartemen Sakura? Sakit, katanya?

Sosok perempuan di seberang jalan yang berlarian membuat Naruto menoleh.

Sakura.

Sakura.

Itu Sakura.

"Sakura!" panggil Naruto. "Sakura-chan!"

Yang dipanggil tertegun dan laju larinya memelan. Perempuan itu merapikan rambutnya yang berantakan dan menoleh ke sekitar. Ketika namanya disebut lagi, Sakura menoleh ke trotoar seberang. Perempuan itu membeku.

Naruto tersenyum dan melambaikan tangannya.

Sakura mengalihkan pandangannya, menggigit bibirnya.

Lampu penyeberangan menyala hijau. Beberapa orang mulai menyeberang dan Naruto memberi tanda pada Sakura. Keduanya bergerak, ke jalur penyeberangan dan bertemu. Sakura mendongak beberapa detik.

Naruto melempar cengiranny—

"Baka!" Sakura menendang kaki Naruto. "Kukira kau mati!"

Naruto menggeleng pelan. "Aku sudah berjanji akan tetap hidup."

Sakura menghela napas panjang.

"Kau lari-lari begitu mau ke mana?"

"Mencarimu." Sakura mengulurkan tangannya, mengecek beberapa luka gores di wajah dan leher Naruto. "Kau mau ke mana?"

"Mencarimu."

Sakura mengulum bibirnya. "Mencari … ku?"

Naruto mengangguk. Wajah pucatnya merona.

"Apa … yang akan kaulakukan setelah mencariku, maksudku, menemukanku seperti sekarang."

Naruto menoleh ke sekitar. Masih ada beberapa detik sebelum lampu penyeberangan berubah merah. Beberapa orang yang menyeberang lalu lalang melewati Naruto dan Sakura. Naruto tersenyum dan menunduk pada Sakura. Tanpa aba-aba, lelaki itu mengecup bibir Sakura sedetik—membuat Sakura mematung.

Sakura tak berekspresi, ia hanya mendongak menatap Naruto tak percaya.

"Dekat dengan kematian membuatku sadar bahwa hidupku berharga, untuk orang lain yang masih hidup untukku, menerimaku … mencitaiku." Naruto menunduk, lalu mengangkat Sakura dalam pelukannya—memeluk pinggang Sakura dan mengangkat tubuh perempuan itu.

Sakura terkaget.

Mau apa Naruto?

Orang-orang mulai memandang keduanya—menjadikan keduanya pusat perhatian. Detikan lampu berubah warna menjadi merah. Namun menunduk memandangi wajah Naruto yang masih tersenyum padanya membuat Sakura luluh. "Bodoh sekali."

Sakura membungkuk dan menangkup pipi Naruto.

Perempuan itu menciumnya, mengecup Naruto lebih lama.

Mengabaikan dunia—yang diam-diam memandangi keduanya dengan senyum merekah.

Tak ada klakson yang meraung-raung mengganggu mereka.

Ketika tautan bibir itu terlepas, Naruto menurunkan Sakura. Digenggamnya jemari Sakura dan dibawanya perempuan itu menepi.

"Kudengar kau mengundurkan diri dari pekerjaan doktermu…"

"Begitulah," jawab Sakura. Senyum terkembang di bibirnya. "Ah, apa yang akan kulakukan setelah ini?"

"Membersihkan rumah, menyiapkan makanan, menjaga anak-anak."

"Anak-anak?"

"Anak-anak kita nanti," celoteh Naruto. "Shinachiku? Anmitsu?"

Sakura tertawa kencang. "Menjadi istri petugas SAR? Boleh juga."

.

.

O.o.O.o.O

.

.

"Wohooo!" Kiba bersorak di tepian jalan.

Ino menghentikan mobilnya di dekat ambulans tim SAR. Dilihatnya rekan-rekan Naruto bersorak sorai. Dilihatnya pula Lee memeluk bahu Tenten sementara Kiba bersiul. Menyadari ada Ino, pemuda jabrik itu mendekat pada Ino.

"Senang melihat mereka?"

Ino mengangguk. "Ternyata begini akhirnya."

Kiba tersenyum teduh. "Bukankah ini akhir yang indah?"

Melihat lelaki berisik di sampingnya tersenyum membuat Ino mendengus. "Baiklah, kau benar. Jangan melihatiku begitu. Kenapa? Kangen?"

"Seperti Naruto ke Sakura?"

Ino mendesis menahan tawa.

Kiba bersiul sekali lagi, memanggil Naruto.

Naruto dan Sakura menoleh dari seberang jalan, melambaikan tangannya—dengan sepasang senyum bahagia.

.

.

.

END

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A/N

Yaaas!

Finally done. Meski sempat terhenti selama beberapa minggu dan mudik ke desa eaaa! Semoga kalian suka dan enjoy. Maafkan atas feelnya yang datar. But I still hope you enjoy it, Readers! Sembilan chapter yang menyenangkan. Segala terima kasih untuk Go Soo dan Han Hyo Joo atas film roman yang keren gak ketulungan!

Thanks untuk reader. Untuk proyek multichap selanjutnya, nantikan Dare You To Kiss Me, fic NS semi Fantasi, AU setting Tokyo, romance comedy. Masih proses ngetik baru dapet 3 chapter. Begitu complete, akan mulai dipublish perminggu seperti Emergency Love. Again, terima kasih banyak atas support dan reviewnya yang sangaaat menyenangkan.

Mohon support dan doanya selalu untuk karir menulis baik Masahiro Night Seiran maupun Daisy Ann!

ARIGATOU! SEE YOU IN THE NEXT STORY!

REVIEW?

.

.

.

.

.

.

V