Cinderella Catastrophe

[—encounter—]

Story © alice dreamland

Cinderella © to the right owner

The Basketball which Kuroko Plays © Fujimaki Tadatoshi

Warning: Typo(s), all in 1st PoV, GoMxReader/OC (possible Kagami/Himuro), HighSchool!AU, don't like? Click 'back'.

Aku tak pernah sekali pun menyangka.

Pada jam dua belas malam, dengan gaun indah menyapu lantai dan sepatu kaca berkerlip tertimpa sinar rembulan—aku bertemu mereka.

Enam pemuda asing berambut pelangi, dengan pakaian memperelok diri. Berjejer rapi di hadapanku yang kini bersandar pada balkoni. Manikku memandang mereka bertanya; toh aku sengaja memisahkan diri dari keramaian pesta.

Dan tanpa aba-aba, satu tangan terulur—meraih pergelangan tanganku yang berbalut sarung tangan putih; menarikku seraya dirinya (seorang lelaki berambut merah) berlari kencang membawaku bersamanya.

Langkahku terpogoh-pogoh, dan sesekali memekik kala memijak menuruni tangga—berhati-hati agar tak menginjak gaun yang kukenakan. Aku berusaha berhenti—namun tak bisa; cengkramannya terlalu erat.

Huh, siapa pula lelaki ini? Seenaknya main tarik dan membuatku berlari dengan gaun dan sepatu favorit! Tidak bisakah ia menjelaskan terlebih dahulu alasannya melakukan ini?

"Hei!" Aku menjerit. Ia tak berbalik—justru mempercepat langkah. Mendecih, aku menoleh ke belakang—mendapati kawan berambut pelanginya berlari menyusul. Kegelapan malam membuatku tak dapat melihat wajah mereka dengan jelas.

Yang pasti, kutahu mereka tak memiliki inisiatif tuk membuatku terlepas dari genggaman pemimpin mereka. Aku menghela napas seraya memfokuskan pandanganku ke depan.

Apa-apaan rombongan pemuda ini? Tidak tahu kah mereka bahwa aku harus segera pergi sebelum keluargaku kembali? Bukannya aku ingin pulang sekarang, hanya saja jika tidak—kemungkinan besar kepergok melarikan diri dari rumah sangatlah besar.

Ya. Aku tinggal dengan seorang ibu tiri dan dua kakak perempuan yang kejam. Mereka memperlakukanku bagai pembantu tanpa memikirkan perasaan yang tersiksa. Cih, sangat egois dan mengutamakan kecantikan—padahal kepribadian jugalah penting.

Hmph, memikirkan harus kembali ke dalam kediaman megah bagai istana (namun merupakan penjara) itu saja membuatku muak. Ingin rasanya minggat dengan kebutuhan semata—namun sulit, dan seringkali benak bertanya:

Apa aku dapat menjadi seseorang yang lebih baik dengan kabur dari rumah?

Sampai sekarang pun aku ragu akan jawaban, berbagai skenario negatif menaungi benak. Bagaimana jika aku tak dapat menemukan tempat tinggal? Apakah aku akan mati kelaparan? Bagaimana jika hidupku menjadi lebih buruk daripada sebelumnya?

Aku takut—dan itulah alasan utama mengapa diriku akhirnya konsisten mempertahankan hidup sebagai adik mereka yang naas.

Seperti Cinderella, bukan?

Itulah pendapatku. Kehidupanku miris bagai kisah klasik tersebut. Dan sekali lagi—seperti Cinderella nekat mendatangi pesta dansa—hari ini, aku mengambil keputusan datang ke pesta bisnis di mana kemungkinan besar berjumpa dengan keluargaku yang berangkat lebih dahulu; tanpa mengundangku.

Ya, mereka tak mengatakan apa pun padaku. Tapi aku tahu—karena saat membersihkan kamar ibu tiriku, secara tidak sengaja kutemukan undangan menuju pesta terkait. Dan yang membuatku kesal—itu ditujukan pada keluargaku.

Hei, bukankah aku juga bagian dari keluarga? Karena itulah aku berhak ikut, bukan? Mengapa mereka bertiga menyembunyikannya? Sungguh, memikirkannya membuat darahku mendidih.

Tapi... apa yang dapat kuperbuat?

Aku tidak berdaya. Bahkan aku takut melawan ibu tiriku (aku lebih memilih memanggilnya seperti ini daripada okaa-san atau okaa-sama; bagaimana pun ia bukanlah ibu kandungku) serta kedua kakakku—mereka memegang kuasa dan kendali hidupku.

Menyebalkan.

Karenanya, pada akhirnya aku memutuskan memasang topeng tak peduli serta tak mengerti—membiarkan mereka pergi dengan mobil keluarga sebelum diriku kembali masuk mempersiapkan diri; mengenakan gaun putih bermaterial utama kain sutra.

Aku sendiri bingung. Beberapa hari lalu, terdapat sebuah paket berisi gaun, sarung tangan panjang, sepasang sepatu kaca putih kebiruan, dan bando senada ditujukan padaku (yang kini kugunakan untuk pesta).

Aneh memang—namun beruntung aku yang menerima saat membersihkan halaman depan. Jika ibu atau kakak, mungkin kini ketiga benda ini telah berganti kepemilikan.

Tapi, aku heran. Bagaimana sang pengirim tahu lokasiku? Atau bahkan—eksistensiku?

Kedua kakak dan ibu tiri sangat menjaga ketat hidupku. Mereka tak ingin aku dikenali sebagai bagian keluarga mereka, bahkan selama sepuluh tahun terakhir—sekali pun tak pernah diijinkan keluar rumah; kecuali membersihkan halaman depan dan belakang.

Sampai sekarang, hal itu masih menjadi misteri yang tak terselesaikan. Meski begitu, aku sangat berterima kasih bagi siapa pun yang mengirimiku paket tersebut. Ia bagai ibu peri dalam hidupku.

Oke, kembali ke cerita.

Akhirnya, aku nekat pergi sepuluh menit setelah ibu dan kakak tiriku pergi—menggunakan taksi. Sebenarnya aku cemas, bagaimana jika mereka tahu aku datang? Apakah mereka akan menghukumku? Mengunciku di loteng seharian tanpa makanan?

Namun sedikit demi sedikit, kegelisahanku hilang kala beberapa kali berpapasan dengan mereka—dan entah mengapa mereka tak mengenaliku.

Mungkin karena di rumah aku mengenakan kain lusuh beserta pakaian bekas? Sehingga kini saat aku merias diri, mereka tak menyadarinya?

Kurasa itulah alasan logisnya.

Kakiku masih berlari menuruni tangga panjang memutar depan rumah bangsawan pengada pesta—tersisa beberapa pijakan lagi. Lelaki di hadapanku terus berlari—menarikku; dengan kawan pelanginya mengekor.

Aku menatap mereka bergantian heran. Aku bahkan tak mengetahui mereka, tapi kenapa mereka tampak mengenaliku? Apakah sebelum ini aku pernah bertemu mereka—hanya saja lupa?

Hm... sepertinya tidak.

Lalu, apakah ini penculikan?

Tapi—hei! Mereka tampak bagai anak SMA atau universitas, sebaya denganku! Melakukan kriminalitas dalam usia muda? Sepertinya tak mungkin. Aku menghela napas—kembali berusaha melepaskan cengkraman sang pemuda merah.

Dan lagi-lagi usahaku gagal.

Aku mulai panik. Tidak mungkin aku berteriak minta diselamatkan, toh kelima teman lelakinya menjaga (atau hanya mengikuti) dari belakang. Juga jika aku menjerit—kemungkinan besar ibu tiri dan kakak-kakakku menyadari kehadiranku sangatlah besar!

Ah—ternyata aku terlalu sibuk berpikir. Hingga saat sadar, aku hampir sampai di depan gerbang mansion tempat pesta berlangsung—dengan keenam pemuda pelangi di sekelilingku mulai memperlambat langkah hendak berhenti.

Napasku terengah-engah dan detak jantung berpacu—mengetahui aku perempuan satu-satunya di sini, berlari menguras cukup banyak energi. Apalagi dengan pakaian semacam ini serta sepatu kaca berhak dua senti.

Hingga saat semuanya menghentikan langkah—aku nyaris jatuh terduduk jika saja tangan kiriku tidak kuletakkan di siku sebagai penopang. Tubuhku membungkuk dengan helaian rambut jatuh ke berbagai sisi kepala.

Dan apa-apaan, lelaki berambut merah (entah deep crimson atau red cherry; sinar rembulan tak begitu membantu) yang menarikku—dan masih mencengkram pergelangan tanganku—bersikap seolah tak peduli!

Padahal aku yakin ia tahu aku kelelahan berlari!

Huff—sabar.

Tarik napas, lepas.

Tarik napas, lepas.

Setelah melakukannya, aku berhasil menenetralisir detak jantung serta deru napasku—meski masih sedikit cepat; setidaknya lebih baik daripada tadi.

Suara decit karet bergesek aspal, serta mesin kendaraan berhenti menyapa telinga. Aku pun menegakkan tubuh—mendapati sebuah limousin hitam panjang memarkir di hadapan.

Mengerjap—sedikit menganga kala sang rambut merah membuka pintu dengan tangan satunya yang bebas; masuk dan menarikku ikut ke dalam mobil, disusul kelima rambut pelangi lainnya.

Limousin itu sangat besar, tempatnya juga nyaman dan bersih. Mungkin luasnya sekamar kedua kakakku atau lebih. Aku terperangah. Biasanya aku selalu dikurung di rumah—tidak boleh keluar bahkan berbelanja; menyiapkan masakan dengan bahan seada yang ditunjuk mereka.

Pintu kendaraan ditutup. Mobil mulai bergerak—membuatku mau tak mau mengambil posisi duduk di kursi hadapan mereka berenam (terdapat dua kursi memanjang seperti di kereta; berhadapan). Pegangan tanganku dilepas.

Cih, jika sudah begini—aku tidak mungkin melarikan diri. Menghela napas, berusaha mengamati mereka satu per satu yang duduk tenang dengan berbagai pose.

Namun sulit—mengingat ini malam hari dan sinar rembulan nyaris tak membantu, begitu pula cahaya yang masuk melalui jendela kaca. Selain itu—yang kuingat hanyalah warna rambut mereka yang berbeda-beda.

Tampaknya keenam pemuda di hadapanku menyadari keadaan yang tak memadai untuk memulai perbincangan, dan seorang lelaki berambut gelap (aku tidak dapat mendeteksi warna rambutnya)—mengulurkan tangan menyalakan lampu.

Detik itu juga—cahaya putih terang dari sebuah lampu kecil menyinari ruangan (yah, kurasa dapat dikatakan ruangan mengingat tempat dalam limousin sangatlah luas). Kedua mataku mengerjap—menyesuaikan iris dengan intensitas cahaya.

Kemudian memandang mereka satu per satu dengan tatapan menyelidik. Sesungguhnya jika dilihat-lihat, mereka semua tampan dan tampaknya tak berbahaya (uh—meski kutahu tampang dapat menipu).

Hanya saja, setelah apa yang terjadi hari ini—aku memerlukan penjelasan rinci dan spesifik akan alasan. Aku menghela napas, mengembangkan senyum tipis—meski keraguan menelusup dada.

"Jadi... ada yang berminat menjelaskan apa yang terjadi? Siapa kalian, dan apa tujuan kalian menculikku?"

.

Latihan buat 1st PoV (soalnya ini kelemahan saya lol). Kayaknya saya biarin aja fic ini dengan 1st PoV kesuluruhan—jadi minna-san pilih namanya sendiri, soalnya ini ngak ngelibatkan banyak nama. Nameless OC itu ngak ngelanggar guidelines, kan?

Kalau ngelanggar, ada yang mau kasih saran nama cewenya? '-') Pilih antara tiga ini ya: Akizuki Airi, Yakimoto Arisu, dan Iwazumi Yukiko.

Makasih yang sudah mau baca~ maaf kalau banyak kurangnya x3

Sekian.

~alice dreamland