Kisah ini masih ada kelanjutannya. Apa kau bisa menerka apa yang pangeran kecil itu lakukan ketika ia dilarang lagi bertemu dengan temannya?

Merajuk? Marah?

Haha~ Tentu saja… Dia 'kan hanya anak-anak biasa.

.

THE LITTLE PRINCE

.

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

fanfiction presented by InfiKiss—

Rated : K+

Genre : Friendship

~Maaf jikalau pengkarakteran di fanfiksi ini sedikit OOC dan typos~

.

.

.

TIGA

Dia Yang Dirindukan

.

Entah sudah berapa jam pangeran muda itu duduk sambil bertopang dagu menghadap keluar rumah dari balik jendela. Ruang tengah merupakan titik paling sempurna untuk melancarkan aksi merajuk. Selain merupakan tempat yang akan selalu dilalui jika yang lain lalu-lalang di dalam rumah, juga tempat yang paling dramatis karena posisi jendela yang menghadap persis ke jalan utama dari rumah ke wilayah hutan Kokonose. Siapapun yang baru datang dari dalam hutan, jikala melihat ke rumah, pasti akan langsung menemukan pangeran itu tengah menekuk wajah di jendela.

Marah.

Yang ia tahu, ia tak boleh ke kota dulu untuk sementara waktu. Kuroko tidak menjelaskan alasan lebih mendetail kepada Akashi. Hanya saja karena Akashi sendiri masih sembilan tahun, ia pun tak perlu alasan pasti karena begitu tahu dilarang, ia langsung ngambek mengurung diri satu malam. Besoknya sih memang sudah keluar dari kamar, tapi malah mogok bicara. Untuk anak-anak, alasan tak pernah memiliki arti karena sekali mereka dilarang, jalan terakhir agar larangan dihapuskan adalah dengan mengeluarkan jurus andalan…

Tantrum—memangnya kamu balita?

Murasakibara dan Kise mengintip dari balik jalan masuk menuju ruang tengah.

"Dia beneran ngambek."

"Jelas saja. Pangeran seharusnya main ke kota hari ini karena sudah menjadi rutinutas tiga kali atau dua kali sehari ke kota." Kise mengangguk seolah berusaha memahami kondisi saat ini. "Ah, yang penting Kuroko sudah mengirim kabar ke sahabat pangeran kalau ia tak bisa ke kota untuk beberapa hari ke depan."

Murasakibara yang notabene lebih tinggi dari Kise melirik kepala kuning itu ragu. "Kise-chin yakin hanya untuk beberapa hari?"

"Humm… Tidak juga, sih."

"Nah! Bagaimana kalau ini saatnya semua berubah? Aka-chin akan dikembalikan ke kerajaan dan kehidupan damai disini berakhir. Itu artinya Aka-chin akan berpisah juga dengan temannya itu."

"Itu hanya kemungkinan terburuk." Kise menengadah untuk menatap langsung manik amethyst milik Murasakibara yang berkilat ragu. "Bagaimanapun para Dewan Istana masih belum yakin mengenai lagenda negeri ini. Sampai usia tujuh belas, kalau tak ada hal aneh yang memang tampak di perkembangan pangeran, barulah mungkin mereka akan mempertimbangkan. Meski pemegang kekuasaan tertinggi, Sang Raja tetap tak bisa menentukan segalanya sesuka hati apalagi jika menyangkut tentang lagenda yang berkembang di negerinya."

Murasakibara mengangguk namun masih memperlihatkan tatapan ragu. Kedua pemuda itu kembali menatap sosok pangeran kecil yang ada di jendela. Anak itu sudah berdiri sambil melakukan pemanasan tubuh. Kedua tangan digerak-gerakkan bergantian ke atas dan ke bawah. Lalu menundukkan badan sambil merentangkan tangan ke bawah hingga menyentuh atas sepatunya. Sekali, dua kali, hingga delapan kali.

"Apa yang Aka-chin lakukan?"

Kise tersenyum iseng. "Menurutmu, Murasakibaracchi?"

"Ah—!" Murasakibara tersentak saat melihat apa yang terjadi di depan mata.

Pangeran kecil mereka menaikkan satu kaki ke kusen jendela. Bertopang dengan tenaga penuh lalu berjongkok dengan dua kaki di jendela. Kepala berambut merah itu menoleh ke belakang seolah mengecek keadaan. Dengan sigap Kise dan Murasakibara bersembunyi di balik tembok.

"Aman…" Ia berbisik.

"Kise-chin…dia mau…"

"Menurut Murasakibaracchi apa lagi selain kabur?"

"Hup!" Dengan satu gerakan, tubuh mungil itu meloncat dari jendela. Jatuh sesuai arah gravitasi di permukaan tanah dengan cekatan. Detik berikutnya sosok kecil Akashi sudah tampak berlari menjauh dari rumah mereka dan masuk ke dalam hutan.

Kise dan Murasakibara hanya bisa sekali menggeleng sambil terkikik geli melihat kelakuan Akashi. Dikiranya tak ada seorangpun yang melihat kelakuannya.

Murasakibara menepuk pundak Kise. "Bertaruh, yuk… Dia akan tersesat atau nggak?"

"Sepuluh keping yen untuk pulang sebelum senja dengan kondisi pakaian kotor karena bermain seharian. Pangeran bukan anak lemah yang akan merengek kalau tersesat di hutan, sih~"

"Oke." Murasakibara setuju. "Kalau begitu sepuluh yen dengan kondisi perut kelaparan dan berhenti merajuk dengan kita semua karena suasana hatinya sudah membaik."

~OoOoOoOoO~

Udara yang bertiup sungguh segar untuk hari ini. Angin tidak berembus terlalu cepat. Karena sudah hampir memasuki musim dingin, para hewan yang akan melakukan hibernasi pun mulai sibuk hilir-mudik menimbun makanan. Ini merupakan momen yang paling menarik hati Akashi. Biasanya ia dan Kise akan bersembunyi di semak belukar yang dekat dengan sarang para tupai dan menghitung berapa kali tupai-tupai akan keluar masuk sarangnya dalam waktu beberapa jam. Kadang mereka akan bermain tebak-tebakan atau taruhan kecil sebagai pengisi waktu luang seusai belajar di hutan.

Akashi bisa membaca arah mata angin dengan mudah. Ia pun memiliki pandangan mata yang cukup tajam di siang atau di malam hari. Sebagai seorang pangeran, ia memang diharuskan memiliki banyak kemampuan yang sewaktu-waktu bisa melindungi dirinya sendiri. Pendengarannya mampu menangkap suara yang pelan dari jarak beberapa meter, karenanya mudah bagi Akashi untuk menemukan dimana para tupai bersarang.

Akashi sudah berjongkok sambil memainkan ranting pohon di sebuah akar pohon tua yang menyembul keluar dari dalam tanah. Ujung ranting ia gunakan untuk membuat guratan-guratan abstrak di tanah. Jika ia melihat tupai yang tengah diperhatikan pulang ke sarang, barulah gerakannya akan terdiam. Menurut Akashi, dari semua hewan yang ada di hutan, tupai merupakan hewan yang paling mudah ditemukan dan dibaca gerakannya. Juga hewan yang paling mudah membuat kagum karena gerakannya yang lincah meski tubuhnya kecil.

Kise sekali pernah mengatakan kepada Akashi; "Meski bertubuh kecil, tupai juga memiliki keinginan besar untuk bertahan hidup di hutan, karenanya mereka diberkahi tubuh yang gesit untuk melindungi diri dari predator. Pangeran pun begitu. Meski masih kecil dan hidup bersama lima pengawal yang bisa bertarung, bukan berarti Anda bisa bersantai setiap saat. Bahaya selalu ada dimanapun Anda berada. Karena itu kami mengajari Anda berbagai macam teknik untuk melindungi diri sendiri karena Pangeran harus menjadi anak yang kuat."

Dulu ketika Kise mengatakannya, pipi Akashi merona merah muda karena semangat yang terbakar penuh di dada. Kise mengatakannya ketika usia Akashi masih lima tahun dan sampai sekarang itulah yang menjadi pegangannya untuk terus menjadi lebih kuat.

Manik merah delima itu menyipit saat melihat seekor ular jenis trimeresorus albolabris merayap turun dari rerimbunan pohon menuju sarang si tupai. Ular hijau berekor merah yang ia tahu berbisa cukup berbahaya. Bahkan jika manusia terkena bisanya, akan terkena efek rasa sakit atau bengkak dalam waktu satu minggu jika tidak segera diberi pertolongan

Akashi berdiri tegap. Kini pandangannya lihai mencari sesuatu di permukaan tanah sambil sesekali kembali memperhatikan dimana posisi ular tersebut berada. Sebuah batu berdiameter tujuh sentimeter pun diraih. Cukup berat dan berguna.

Mata Akashi menatap tajam sang ular yang sudah berjarak semakin dekat. Akashi bisa melihat ekor tupai itu menyembul keluar dari lubang sarangnya. Dengan langkah hati-hati, Akashi mendekati pohon oak tempat ular dan tupai itu berada. Berusaha sepelan mungkin untuk tidak menimbulkan suara sambil mulai mengukur jaraknya dengan sang ular. Batu ditangan kanan digenggam sempurna dan kayu di tangan kiri ia gunakan sebagai senjata jika ular itu nanti berbalik menyerangnya.

Ketika ia rasa jaraknya sudah cukup. Akashi mengayunkan tangannya kuat-kuat dan melemparkan batu tepat hingga membentur bagian tubuh si ular hingga ular itu melayang jatuh membentur tanah.

"Sip!"

Karena panik, ular itu langsung merayap masuk ke semak belukar. Akashi tersenyum bangga sambil menatap sarang dimana si tupai malah bersembunyi karena mendengar suara berisik di sekitarnya tadi.

"Oke, tupai! Kamu aman!" seru Akashi meski ia tahu tupai itu tak mungkin memahami bahasanya. Tentu saja ia tak mendapat timbal balik apapun dari tupai yang tetap enggan menampakkan diri di atas pohon.

Akashi tertawa sendiri menyadarinya. Meski bermain sendirian di hutan juga tak terlalu kesepian karena merasa sudah terbiasa. Namun tetap ada sisi di dalam hatinya yang merasa jenuh karena tak ada yang bisa diajak berbicara dengan normal. Mendadak wajahnya cemberut begitu mengingat apa yang Kuroko katakan dua hari lalu bahwa Akashi tidak boleh ke kota dalam waktu beberapa hari dulu.

"Tetsuya-nii payah," Kedua tangan diletakkan di pinggang.

SRAKK—! Sebuah suara menginterupsinya.

Tatapan Akashi berubah siaga saat menoleh ke belakang. Tepat ke asal suara. Suara tersebut bukan suara yang mungkin ditimbulkan oleh binatang kecil. Ada kemungkinan pemburu liar yang kadang ada di hutan Kokonose meski hutan itu termasuk hutan kerajaan yang tidak boleh sembarang dimasuki. Atau kemungkinan terburuk lain adalah hewan liar yang tengah bersiaga untuk memangsanya.

Tangan yang menggenggam kayu mencengkram benda itu semakin erat. Disembunyikan ke balik punggung.

Salah satu pelajaran berpedang yang Aomine ajarkan; "Baca situasi dan jangan sembarangan menyerang. Ketika kau sudah memastikan dimana posisi musuh berada dan kondisinya, bergerak mendekat secara pelan dan setenang mungkin. Disaat ada celah, langsung hunuskan pedang ke titik buta lawanmu untuk mengejutkannya dan serang ia sebelum berhasil membaca gerakanmu."

SRAKK—! Suaranya kembali terdengar sekali.

"Siapa?!"

Hening…

"Manusia atau hewan…?"

"…long."

"Huh?" Kening Akashi mengkerut.

"Tolong aku…"

Suara manusia.

"Hei, yang tadi berteriak. Tolong aku…" Merintih.

Tanpa pikir dua kali Akashi langsung berlari ke semak dimana ia yakini sebagai sumber suara minta tolong tadi. Tubuh anak itu mematung saat melihat apa yang ada dibalik rumput tinggi disana.

Seorang laki-laki berjubah coklat terang dengan wajah berbintik-bintik merah yang kelihatannya gatal sekali. Akashi menemukan sekelompok tanaman Ivy beracun yang memang tumbuh subur di dekat pria itu. Dengan mudah anak itu bisa mengambil kesimpulan bahwa pria tersebut baru saja memegang atau terkena cairan dari sang Ivy yang memang bisa menyebabkan peradangan di kulit atau mungkin gatal-gatal.

Akashi bersimpuh di dekat pria itu. "Anda terkena getah Ivy, Tuan…"

"Nak… Rambutmu…"

Akashi langsung tersadar bahwa ia tak memakai tudung kepala ataupun jubah. Semua pengawalnya selalu melarang Akashi melepas tudung kepala ketika bertemu dengan orang asing di kota. Tapi karena tengah main di hutan, Akashi tentu tidak memakai tudung kepala. Jadi karena orang asing itu menyebutkan rambut Akashi, anak itu reflek menutupi kepalanya dengan kedua telapak tangan kecilnya.

Namun orang asing itu malah tersenyum. "Tidak apa-apa, Nak… Kau tak perlu menyembunyikan warna rambutmu dariku. Merah…sungguh warna yang indah."

Selain para pengawalnya, lalu Ogiwara Shigehiro, kini muncul lagi satu orang yang mengatakan bahwa rambut merah Akashi begitu indah.

~OoOoOoOoO~

"Tumbuhan Ivy termasuk tumbuhan yang tumbuh subur di hutan Kokonose ini," Akashi menghela napas sambil menatap lekat sepasang onyx yang kini terpusat penuh kepadanya. Ditariknya tangan kanan pria berjubah coklat tersebut dan disibakkan pelan jubah yang menghalangi. "Biasanya cairan Ivy akan membuat iritasi bagian tubuh yang terkena saja, tapi sepertinya Anda cukup sensitif sehingga dengan mudah rasa gatal dan iritasinya menyebar ke beberapa bagian kulit yang lain."

Pria itu mengangguk-angguk hingga tudung yang melindungi kepala berambut hitamnya pun lepas. "Kau masih kecil, tapi tahu banyak tentang tumbuhan beracun."

Senyum bangga mampir di wajah polos anak itu seraya ia melepaskan tangan pria asing di depannya. "Itu karena Ryouta-nii selalu mengajakku ke dalam hutan untuk mempelajari banyak hal. Ryouta-nii itu pemburu yang hebat sekali. Bisa membaca arah angin dan perubahan cuaca, mengerti banyak sekali tanaman beracun juga tanaman obat-obatan karenanya sedikit-demi-sedikit aku bisa belajar."

Pria itu mengangguk sekali lagi.

"Nah, Tuan… Boleh aku membantu Anda?"

"Wah, benarkah? Kau sangat baik, Nak." Pria dengan wajah tirus itu tersenyum di balik kedua bola mata onyx yang tak lelah memperhatikan Akashi. Tangan kiri terangkat untuk mengusap kepala berambut merah milik Akashi.

Akashi sendiri tidak merasa jengah atau canggung dan membiarkan pria itu mengusap kepalanya. Di matanya, pria ini tidak tampak berbahaya. Ia mungkin hanya seorang pria dari kota yang sedang masuk ke hutan dan tersesat. Akashi bukan tipe yang akan pura-pura buta jika ada orang lain yang membutuhkan pertolongan.

Dari kantung kain kecil yang ia gantung di ikat pinggang, Akashi mengeluarkan sebuah tube berbentuk bulat kecil.

"Setiap main ke hutan, aku selalu membawa beberapa perlengkapan. Salah satunya gel dari lidah buaya. Ryouta-nii memberikannya kepadaku. Katanya, ini akan berguna kalau aku terkena getah tumbuhan yang membuat iritasi kulit." Jelasnya panjang lebar. "Ivy memiliki racun yang disebut toxicodendrol yang berada di setiap bagiannya. Dulu, waktu aku masih berumur empat tahun, aku juga pernah sekali terkena racun dari Ivy. Sama seperti Tuan, karena kulitku sedikit sensitif jadi racunnya membuat gatal sekujur tubuh." Ia terkekeh malu-malu dan membuka tutup tube ditangannya.

Jemari kecil Akashi dengan cekatan mengoleskan gel lidah buaya di setiap ruam merah di kedua tangan dan wajah pria asing tersebut. Untuk sejenak, kedua orang tersebut sama sekali tak berkata selain menikmati suara burung-burung yang bernyanyi riang di dalam hutan.

Hingga tak terasa lima menit pun berlalu dalam keheningan.

"Selesai!" Akashi tersenyum lebar. "Dengan ini ruamnya akan segera sembuh."

"Terima kasih." Senyum tulus terlukis di wajah tegas pria berjubah tersebut saat ia menatap Akashi lekat. "Siapa namamu, Nak?"

"Akashi Seijuurou, Tuan."

Tangan pria itu bergerak mengusap wajah Akashi. "Aku Nijimura. Kau boleh memanggilku Paman Nijimura kalau mau, Nak."

Dan untuk pertama kalinya Akashi menatap lurus sepasang onyx teduh namun menyiratkan kebijaksanaan tersebut. Akashi tak mengerti perasaan apa yang melintas di relung dada. Seolah ada rasa rindu dan familiar yang begitu kuat saat ia menatap kedua mata pria di depannya. Suara berat pria itupun seperti membawa Akashi tenggelam ke dalam sesuatu ingatan yang tak bisa ia putar—entah apa.

Seolah mereka berdua pernah bertemu sebelumnya.

~OoOoOoOoO~

"Shintarou-nii! Selesai!"

Kacamata Midorima hampir saja terjatuh ketika si Guru Istana tersebut membersihkan kedua lensanya dengan kain kecil. Sepasang emerald-nya bekerjap kaget ke arah anak kecil yang buru-buru merapikan semua buku-buku tebal tentang hubungan diplomatik Kerajaan Rakuzan dengan negeri lain. Menumpuknya menjadi satu bagian cukup tinggi dan membawanya dengan sedikit kewalahan untuk diletakkan di meja Midorima Shintarou.

Peluh mengalir setitik dari kening Akashi setelah ia meletakkan tumpukan buku itu disana. "Aku sudah selesai membacanya dan mengingat hampir lima puluh persen isi perjanjian Kerajaan Rakuzan dengan Kerajaan Seirin. Shintarou-nii bilang aku boleh main kalau sudah mengingat minimal lima belas persen isi perjanjian 'kan. Jadi sekarang aku bisa main ya, ya, ya?" Tak sabaran mungkin memang sudah melabeli sifat dasar anak kecil satu ini.

Sejak awal Midorima tahu Akashi memang pintar—mendekati genius—tapi menghapal lima puluh persen pasal perjanjian antara kerajaan yang notabene berjumlah sangat banyak dalam waktu tiga jam tetap saja menakjubkan.

"Kau yakin sudah ingat?"

"Melekat pas di kepala!"

"Kalau nanti lupa?"

"Tinggal dihapalkan lagi saja, dong!" Akashi nyengir iseng.

Ah, namanya juga anak-anak. Midorima bukan guru yang hobi memaksakan target.

"Kau ini, Pangeran…" Tawa kecil lolos dari bibir tipis Midorima. Tangannya mengusap kepala Akashi lembut. "Jangan lupa bawa perlengkapanmu ketika memasuki hutan."

"Siap, Tuan!" Akashi memberikan hormat patuh dan beringsut memeluk Midorima sekali sebagai ucapan terima kasih. Berikutnya, anak itu sudah dengan gesit berlari keluar dari ruang belajar dan meninggalkan Midorima sendirian dengan setumpukan buku tebal yang menanti untuk dipelajari.

~OoOoOoOoO~

Suara gemerisik air yang mengalir menjadi senandung tenteram bagi siapapun yang melintas di dekat hulu sungai. Sungai Souryou merupakan salah satu sungai di wilayah Negeri Rakuzan yang mengalir membelah di sepanjang wilayah hutan Kokonose. Kadang, kalau cuaca sedang bagus, Akashi dan kelima pengawalnya akan menghabiskan waktu di tepi sungai untuk berkemah dan memancing selama dua hari satu malam. Sungai Souryou merupakan spot terbaik yang ada di hutan Kokonose karena satu-satunya sumber air sehingga tak jarang ada hewan seperti rusa atau kuda liar yang beristirahat di sekitar sana. Juga tempat dimana banyak berbagai macam jenis tumbuhan bisa tumbuh dengan sangat subur karena mendapat pasokan sinar matahari yang paling banyak dari seluruh bagian di hutan.

Tapi siang ini berbeda. Akashi disana bukan bersama dengan kelima pengawalnya melainkan dengan Paman Nijimura yang ia temui dua hari lalu di dalam hutan.

Pria berjubah coklat yang mengaku bernama Nijimura itu tengah bermalam di hutan demi mengerjakan beberapa penelitiannya tentang hewan. Ia mengatakan akan berada di hutan selama beberapa hari dan meminta Akashi menememaninya jika anak itu senggang. Karenanyalah Akashi selalu meminta izin bermain ke dalam hutan jika ia telah menyelesaikan semua pelajaran hariannya.

"Umpanku dimakan!"

Nijimura terkejut saat Akashi berteriak nyaring.

Anak kecil itu langsung menarik kuat pancingan ditangan. Namun ketika mata kail itu melayang di udara, ikan yang tengah tersangkut di ujungnya terlepas dan kembali masuk ke dalam air untuk melarikan diri.

"Uwaa!" Karena menarik terlalu kuat, Akashi malah kehilangan keseimbangan dan membuat tubuhnya bergelinding ke belakang dan terjatuh dari atas batu besar tempatnya tadi duduk. Jatuh dengan posisi pundak dan kepala menempel di rumput sedangkan pantat dan kakinya masih bersandar di pinggir batu.

Nijimura tertawa keras-keras. "Nak! Sudah kubilang kau harus tenang kalau umpanmu kena!" kikiknya geli sambil mengulurkan tangan kearah Akashi yang berusaha bangun.

Akashi meraih uluran tangan Nijimura. "Huh… Aku lupa sekali, Paman." Kembali anak itu merangkak naik ke atas batu dan duduk bersila sambil melempar kailnya lagi ke dalam air. "Aku senang memancing. Tapi biasanya kalau berkemah disini dengan kakak-kakakku, kami tidak pakai kail. Daiki-nii lebih senang menggunakan tombak dan kami bisanya menangkap ikan di tempat yang arusnya cukup deras."

"Seperti beruang saja." Nijmura tersenyum.

Anggukkan kuat diberikan Akashi sebagai jawaban. "Tetsuya-nii memang selalu mengatai Daiki-nii seperti itu kalau kami sudah menangkap dengan tombak. Tapi menyenangkan sekali."

Entah pikiran apa yang muncul di benak anak itu, tiba-tiba ia meletakkan pancingan di atas batu dan merosot turun darisana. Nijimura hanya memperhatikan dengan kening mengkerut. Akashi berlari masuk ke dalam hutan selama beberapa menit dan kembali ke sungai dengan sebuah tombak ditangan.

"Akashi! Darimana tombak itu?!" Nijimura melotot tak percaya. Tubuh jangkung itu langsung berdiri dan sempat kehilangan keseimbangan saat meloncat turun dari atas batu. Wajahnya menyiratkan khawatir pasalnya anak sembilan tahun itu tengah membawa tombak yang panjangnya lebih dari tubuhnya.

Akashi nyengir sambil berdiri di pinggir sungai dengan kedalamannya yang cukup dangkal. "Ini tombak yang biasa kami pakai kalau berkemah disini. Kami sengaja meletakkannya di dekat sini agar tidak perlu membawanya bolak-balik ke rumah."

"Berbahaya—hey!"

"Aman, kok!" Buru-buru Akashi melepaskan sepatu bootnya dan menggulung celana panjang hingga selutut. "Aku bisa menombak ikan dengan baik, Paman. Daiki-nii dan Ryouta-nii merupakan yang paling hebat dalam menangkap ikan."

Akashi berjalan masuk ke dalam sungai. Membiarkan aliran sungai yang cukup kuat menabrak kaki-kaki pendeknya. Di tepian sungai, sepasang onyx Nijimura memperhatikan saksama sosok anak yang begitu tangguh di depannya. Senyum terulas tipis, namun menyiratkan seberkas luka di wajahnya. Akashi terlalu muda untuk bisa menebak kondisi perasaan orang dewasa. Senyum cerah yang terlukis di wajah itu seolah mentari hangat yang menyinari hari Nijimura selama di hutan Kokonose.

"Aaa!"

Teriakan Akashi membuyarkan lamunan Nijimura yang sempat terbang ke awang-awang.

Tubuh mungil Akashi sudah jatuh terduduk di dalam sungai. Sekujur tubuhnya basah kuyup dengan tombak yang tergeletak jauh di dasar sungainya. Bibirnya mengerucut sebal karena masih belum terlalu lihai menangkap ikan dengan tombak. Nijimura yang tadinya terkejut kini malah tertawa lepas melihat anak itu.

Akashi melirik Nijimura sengit.

Seolah sadar dengan tatapan kesal, pria itu segera melepas jubah coklat yang setia melindungi pundaknya selama ini. Ini pertama kalinya Akashi melihat bagaimana pakaian yang Nijimura kenakan. Dibalik jubah itu ia mengenakkan kemeja putih dengan lambang kerajaan yang cukup familiar baginya. Lambang kerajaan Rakuzan.

Nijimura mengulurkan tangan dan Akashi menyambutnya dengan diam. Namun saat kedua tangan itu saling berpegangan, Akashi langsng nyengir iseng dan menarik Nijimura hingga jatuh masuk ke dalam air. Tawa kencang menggema dari Akashi.

Nijimura kehabisan kata-kata. Ingin marah, tapi juga tidak bisa. Akhirnya pria itu malah tertawa sambil menarik Akashi ke dalam pelukanya dan mengacak kepala berambut merah itu kuat-kuat. Akashi sendiri tidak menolak. Ia menikmati tiap sentuhan hangat Nijimura di kepala.

Sentuhan yang begitu familiar dan merindukan.

~OoOoOoOoO~

Api unggun sudah menjadi penghangat diantara Akashi dan Nijimura. Baju Akashi dijemur sehingga kini Akashi hanya mengenakkan jubah Nijimura sebagai pelindung badan. Sedangkan Nijimura yang notabene tengah berkemah di hutan sudah mengganti bajunya dengan yang kering. Aroma ikan bakar masuk ke cuping hidung Akashi dan seketika membuat perutnya berbunyi menagih untuk segera diisi.

Nijimura mendengarnya dan tersenyum. Perlahan ia berdiri sambil membawa satu ikan bakar yang disinyalir telah matang dan duduk di samping Akashi. "Makanlah. Kau pasti lapar telah main seharian disini…"

"Terima kasih, Paman."

Matahari memang masih bercokol mesra di atas langit meski semburat oranye sudah mulai tampak. Selama Akashi makan, Nijimura tak banyak berbicara dan memilih mengatur kayu di api unggun mereka agar tidak segera padam.

Sampai akhirnya anak kecil itu menyodorkan ikan bakarnya kepada Nijimura. "Paman makan juga?"

"Untukmu saja. Aku masih belum terlalu lapar…" Nijimura tersenyum.

Akashi hanya mengangguk dan kembali menghabiskan ikan bakarnya yang tinggal setengah bagian.

Bagi Nijimura, waktu yang ia lewati bersama anak kecil yang ia temui di hutan ini memang sungguh berharga. Seolah tengah membayar sisa waktu yang ia lewati beberapa tahun ke belakang. Entah sudah berapa kali ia mencuri pandang untuk sekedar memperhatikan Akashi apalagi ketika duduk bersebelahan seperti ini.

Sungguh mengingatkannya kepada sosok yang begitu ia cinta dan rindukan di dunia ini…

"Paman," panggilan Akashi menginterupsi, "sampai kapan Paman akan berada di hutan Kokonose?"

"Besok aku akan kembali kota."

"Eh?" Gerakan makan Akashi terhenti. "Besok ya…" lalu bergumam pelan. Entah kenapa ikan ditangan sudah tak membuatnya berselera sekarang. Karena jika Nijimura pergi, hari-hari Akashi tanpa teman bermain akan berakhir lagi. Bukan berarti kelima pengawalnya tak bisa diajak bermain. Hanya saja sesekali Akashi pun ingin mendapat teman lain diluar kelima pengawal yang sudah seperti kakak sendiri.

Seolah mampu membaca pikiran Akashi, pria dewasa itu kembali mengusap kepala Akashi. "Tidak apa-apa. Kita akan bertemu lagi…"

"Benarkah?"

"Aku janji." Nijimura menatap lurus ke manik crimson milik Akashi. "Laki-laki tidak boleh menarik kata-katanya."

DEG—!

Mata Akashi mengerjap begitu Nijimura mengucap kalimat tadi. Itu adalah kalimat yang selalu ia lontarkan jika mengikat janji dengan orang lain. Entah bagaimana dan kenapa, pria asing dihadapannya ini begitu menyatu dengan Akashi. Seolah mereka adalah dua pasang tubuh yang memang saling berhubungan dan sudah saling mengenal sejak lama sekali.

Akashi begitu merindukan sosok yang bahkan tak sanggup ia tebak siapa gerangan orangnya.

"Kau selalu bercerita tentang orang yang kau panggil kakak. Apa mereka kakak kandungmu?"

"Maksudnya Daiki-nii dan yang lainnya?" Manik crimson Akashi menatap lurus ke api unggun di depan. "Mereka bukan kakak kandung, tapi bagiku mereka adalah satu-satunya keluarga yang aku punya." Senyum tipis mampir di wajah polos anak itu.

Nijimura terdiam. Ia menelan ludah. Entah kenapa ada rasa pilu kini menyesap jauh ke relung hatinya. "Keluarga kandungmu? Maksudku…Ayah dan Ibu?"

"Tidak ada."

DEG—!

"Aku bahkan tidak tahu apakah aku punya Ayah dan Ibu atau tidak." Akashi tersenyum lebar sekarang sambil menatap Nijimura. "Tapi aku tak peduli. Meski aku kadang penasaran, tapi aku rasa tak ada gunanya. Bagiku, asalkan aku bisa hidup dengan kakak-kakakku dan terus bersama mereka, itu jauh lebih cukup daripada sibuk memikirkan Ayah dan Ibu yang bahkan tak pernah aku ketahui bagaimana sosoknya—" Kalimat Akashi terputus saat Nijimura menarik anak itu di dalam pelukannya.

Akashi langsung bungkam. Kedua lengan kekar itu membelenggunya sangat erat.

"Paman…?"

"Ibumu…mungkin ia tidak memiliki warna mata dan rambut yang sama denganmu. Tapi warna merah yang ada padamu sungguh warna yang indah… Warna yang membuatku merasa begitu hangat dan bahagia."

"Paman kenapa? Kok tiba-tiba begini?"

"Aku…hanya merindukan puteraku."

"Jadi Paman sudah punya anak?"

Nijimura melepaskan Akashi. Kedua tangan diletakkan di pundak. Sepasang onyx dan crimson bersiborok dalam satu garis lurus. Senyum tulus yang kembali melukiskan penyesalan kembali terlukis di wajah Nijimura.

Ia mengangguk. "Usianya sembilan tahun. Persis sepertimu. Dia anak yang sangat pintar dan penuh semangat, juga polos. Persis sepertimu. Jika aku bertemu dengannya, aku akan memeluknya persis seperti aku memelukmu. Jadi, meski kau tak tahu bagaimana rupa ayahmu, aku tak keberatan jika kau menganggap pelukan dariku adalah pelukan yang mungkin diberikan ayahmu jika kalian bertemu nanti."

Akashi tak paham benar makna yang tersirat dari ucapan Nijimura. Namun ia mengangguk dan kembali menerima satu pelukan lagi dari Nijimura. Tatapan pilu yang tampak jelas di sepasang manik Nijimura membuat anak itu tak memiliki kata-kata untuk melarang pria dewasa tersebut menghadiahkan satu pelukan untuknya.

Mungkin tak apa-apa.

Sekali-kali… Seperti ini juga tak apa.

~OoOoOoOoO~

"Pangeran!" Kuroko berlari cemas ketika melihat Akashi datang dari jalan setapak menuju hutan yang menyambungkan rumah kayu mereka. Manik teal itu tampak ketakutan. Buru-buru ia bersimpuh di depan Akashi untuk menyamakan tinggi dan menatap lekat crimson yang terpantul di mata Akashi. "Sudah hampir senja dan Anda baru kembali. Kami sangat cemas. Baru saja kami berniat mencari Anda ke dalam hutan…"

Anak itu tentu tidak terlalu merasa bersalah. Ia tertawa pelan. "Maaf, Tetsuya-nii. Aku keasyikan main dengan Paman."

Midorima, Kise, Aomine dan Murasakibara segera berlari menyusul menghampiri mereka berdua. Rasanya ingin sekali Aomine menjitak kepala merah itu karena terlalu khawatir. Tapi pertanyaan yang terlontar dari bibir Kuroko membungkam mereka semua…

"Paman?" Kuroko mengerutkan alis.

Akashi mengangguk. "Paman Nijimura. Selama tiga hari ini aku selalu bermain dengan Paman Nijimura di hutan. Paman Nijimura adalah seorang peneliti hewan yang tengah berkemah di hutan tapi besok mau pulang. Tadi aku juga diantar sampai sana." Akashi membalik badan dan menunjuk ke satu titik di dalam hutan.

Dengan cepat Kise berlari ke arah yang Akashi maksudkan. Entah kenapa wajah kelima pengawal Akashi kini semua berubah tegang.

Murasakibara yang tak ingin anak itu sadar, segera menghampirinya. "Aka-chin… Ayo masuk ke dalam dan mandi dulu. Aku membuat sup tofu untuk makan malam."

Mata Akashi langsung berbinar bahagia. "Yeaaa!" Tanpa banyak bicara, anak itu langsung berlari meninggalkan keempat pengawalnya dan masuk ke dalam rumah kayu.

Kini mereka berempat saling melempar tatapan heran. Kise yang kembali pun hanya menggelengkan kepala seolah apa yang tadi ia kejar tak ia temukan dimanapun. Untuk satu detik, mereka berlima seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Nijimura…" Midorima bergumam. "Nama itu jelas bukan nama asing bagi kita semua."

"Tapi kenapa?" Aomine bertanya.

Kise maju selangkah sambil menyodorkan tangannya. "Aku memang tak menemukan siapapun. Tapi di sebuah batang pohon, aku melihat ini diselipkan disana." Ada sebuah amplop dengan stempel asli kerajaan tertera di atasnya.

Midorima yang mengambilnya segera membuka isinya dan membaca keseluruhan pesan yang tertulis di balik selembar kertas dari dalam amplop. Matanya mengerjap tak percaya dan kembali menatap teman-temannya. "Surat undangan untuk pesta ulang tahun pangeran yang diadakan bulan depan."

"Bulan depan… Tunggu!" Kuroko tersentak. "Bukankah itu artinya pangeran akan berusia sepuluh tahun?"

"Usia dimana semua anggota kerajaan akan melewati upacara kedewasaan dan menerima takhta sebagai calon pewaris istana…"

Gumaman Aomine membuat semuanya terdiam.

"Untuk pertama kalinya…kita akan masuk ke kerajaan bersama dengan Aka-chin."

"Apa yang harus kita katakan kepadanya?"

"Nijimura…" Kuroko masih bergumam tak percaya. "Itu adalah nama keluarga Raja Shuuzou sebelum Raja menikahi Ratu Shiori. Aku tak menyangka kalau hal ini akan terjadi. Jadi maksud Raja Shuuzou dengan menemui pangeran adalah yang seperti ini… Aku tak tahu apa yang harus aku katakan kepada pangeran selanjutnya…"

Suasanya kembali hening.

"Artinya pangeran telah bertemu langsung dengan Sang Raja tapi ia tak mengenalinya. Upacara kedewasaan di ulang tahunnya yang kesepuluh nanti, akan menjadi pertanda dimana alarm tanda bahaya akan berbunyi."

"Kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk yang ada."

.

.

~To Be Continued~

.

.

A/N :

Halooo! ^^

Akhirnya aku bisa apdet chapter ketiga dan aku semakin gagal paham dengan isi yang agak menuju ke hurt.

Di chap ini Ogiwara hanya muncul sebagai nama, yaa... Gomen. Tapi tenang, Dedek Ogi akan muncul di chapter depan ^^ Rencananya fic ini akan kutamatkan di chapter kelima (berarti dua chapter lagi) dan semoga tidak ada kendala dan tidak malah semakin kepanjangan kayak gerbong kereta. Huhuhu~

Aku ucapkan terima kasih untuk yang telah membaca chapter sebelumnya. Mungkin di chapter ini akan menemukan agak banyak typo(s), jadi mohon diberitahu kalau memang ditemukan.

Saran dan masukan masih tetap diterima, kok. :)

.

SPECIAL THX UNTUK Ichirisa yang mengoreksi perihal usia Akashi yang salah di chap ini, saya sudah memperbaikinya segera. ^^ Silahkan siapapun yang menemukan typo yang bisa merubah keterangan cerita mungkin bisa memberitahukannya kepadaku agar bisa segera kuperbaiki. Makasih yaa~

.

At least, semoga chapter ini menarik.

See you next chapter!

Sign,

InfiKiss