"Aku pulang."
Hening.
"Selamat datang, Sakura-chan."
Tidak ada siapapun di balik suara itu, selain air mata yang menggenang, dan juga titik sadar bahw asalnya dari tenggorokan milik Sakura sendiri.
seperti apa ya, rasanya di sambut ketika pulang sekolah... oleh ibu?
Disclaimer (C) MASASHI KISHIMOTO
Jangan di kopas ya
.
.
.
Dua : Mom
.
.
.
.
"Ayah, ibu mana?"
Gadis berusia tujuh tahun tersebut memandang polos sang ayah yang baru saja pulang dari kantor.
"Ibu sedang berpergian."
.
.
.
.
"Ayah, ibu mana? Aku ingin raporku juga di ambil ibu, seperti yang lainnya."
Kabut tipis melingkupi dua netra sang ayah. Sakura,yang saat itu masih berumur delapan tahun, mulai menangis lantaran tidak pernah mengetahui pasti keberadaan ibunya.
"ibu..."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"...sudah meninggal dunia."
Waktu itu umurnya masih kecil, bukan hal yang mudah hidup tanpa merasakan kasih sayang seorang ibu.
Sampai saat ini pun tidak mudah. Tidak akan pernah mudah.
Baik ayah, mau pun dua pasang kakek dan neneknya, selalu mencurahkan segala perhatian pada Sakura.
Ia tidak pernah kekurangan perhatian atau pun kasih sayang.
Tapi mengapa hantinya tetap... hampa.
Ibu. Rasanya seperti apa memiliki ibu?
Ruangan itu semakin gelap, Sakura sama sekali tidak berniat menyalakan lampu, atau menutup jendela. Biarkan semua seperti ini.
Seolah-olah kamar ini tengah gundah bersama pemiliknya.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Sakura.
"Sayang? Kau di dalam?"
Sakura tersentak, kemudian bergegas membuka pintu kamarnya.
"Ayah!" ia segera mengahmbur kepada sosok dewasa yang dua hari ini menghilang dari pandangannya.
"Kenapa belum ada lampu yang menyala? Kau tidak apa-apa kan selama dua hari ini ayah keluar kota? Ayame kemana? Bukan kah ayah sduah menyuruhnya untuk menjagamu selama ayah pergi? Astaga, rumah ini gelap sekali, apa kau baru saja ketiduran sayang? Atau—"
"Hari ini ulang tahun ibu."
Hening. Sakura semakin mengeratkan pelukannya. Matanya basah.
.
.
.
.
.
.
"Tadaima."
"Wahh... anak tampan ibu sudah pulang, eh, itu payung milik siapa?"
Sasori mencium punggung tangan ibunya, kemudian menoleh ke arah payung yang ia biarkan terbuka. Tetesan air hujan membasahi lantai, membasahi ujung sepatu basahnya.
"Temanku, bu. Hari ini ibu masak apa?"
Sang ibu tersenyum simpul mendapati kilatan berbeda dari netra putra semata wayangnya.
"Ibu akan senang sekali jika Sasori-kun mau memperkenalkan dia, lho."
Sasori memutar mata, ia mendengus geli. Ibunya pasti penasaran.
"Aku mau ganti baju dulu,bu."
Dari balik punggung, Sasori dapat mendengar jelas tawa kepuasan dari ibunya. Berbeda darinya, sosok ibunya jauh lebih hangat dan mudah bergaul dengan orang lain. Ayah Sasori sudah meninggal ketika Sasori kelas enam sekolah dasar. Ayahnya adah seorang nahkoda.
Di ujung tangga menuju lantai dua, Sasori berbalik, menatap ibunya dengan pandangan yang sulit di artikan. Lalu ia tersenyum simpul ketika sang ibu menghilang di balik tirai menuju dapur dengan senandung-senandung lagu—entah apa itu.
.
.
Di hadapan cermin Sasori menatap pantulan dirinya, ia membuka satu persatu kancing seragam lembabnya.
Pada kancing terakhir ia berhenti.
Ia mendengus sebal sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi.
Sempat terpikirkan olehnya, meski hanya sebentar. Namun itu adalah Sakura—kekasih taruhannya.
.
"SASORI, MAKANANNYA SUDAH SIAP!"
Sasori mendengus geli, terkadang ibunya lebih mirip Kin—sepupunya dari suna—yang suka berteriak sesuka hati di dalam rumah.
"Sebentar bu."
Sasori hendak menaruk handuk sembarangan di atas ranjang, kemudian pandangannya bertemu dengan sebuah bingkai foto berwarna hitam.
Berisi dirinya ketika berusia tujuh tahun, ibunya dalam balutan kimono, dan ayahnya yang terlihat gagah dengan seragam kebanggaannya.
Sasori tersenyum simpul.
Hari itu masih sangat jelas dalam ingatannya.
Hari kamis, dan matahari terik menyapa kulitnya. Ayahnya mencium ibu—di kening, hari itu ibu menangis, khas ibu jikalau ayah akan pergi berlayar. Namun hari itu tangisan ibu lebih lama dari biasanya. Sasori kecil hanya bisa terdiam menatap keduanya.
Ayah melepas pelukan ibu kemudian berjongkok, menyamakan tinggi badannya dengan tinggi badan Sasori. Hari itu ayahnya memeluk lama sekali, Sasori kecil menangis, seakan merasa tidak akan menemui ayah untuk di peluk kembali.
"Ayah pasti akan kembali, jaga ib,ya? Sasori jagoan ayah."
.
.
Sasori menghela napas pendek. Hari ini hari kamis, hari ini hujan.
Hari ini adalah hari kepergian ayah.
.
.
.
.
"Sasori-kun, lama sekali sih. Jadi laki-laki itu harus melakukan segala sesuatunya dengan cepat. Seperti ayahmu."
Sasori sempat terkejut, namun satu senyuman hangat timbul ketika ibu tengah menatapnya dengan senyuman tulus.
Ibunya tak lagi mengingat mendiang ayah dengan rona kesenduan.
Semua hal sudah berubah, termasuk ia yang semakin dewasa, dan ibu... yang makin kuat setiap harinya.
"Nah, ibu buatkan anak ibu yang kehujanan ini sup miso. Ayo kita makan dulu, setelah ini ibu ada operasi di rumah sakit."
Lagi-lagi ibunya tersenyum manis.
Sinar matahari pada hari kamis bertahun-tahun lalu kini berpindah pada senyuman ibu.
.
.
.
.
Selepas mengantar ibunya ke rumah sakit, Sasori memilih untuk bersantai di sebuah cafe yang menyediakan buku untuk di baca oleh pengunjung.
Waktu menunjukan pukul lima sore, hujan sudah reda sejak satu jam yang lalu.
Sasori memesan kopi, kemudian berkutat dengan buku pilihannya.
Ia melirik jam tangan, baru setengah jam ia menghabiskan waktu di sini namun rasanya sudah bosan.
Sasori menghela napas, ia menoleh ke arah samping. Matanya memicing, seorang perempuan bersuarai merah muda terjatuh ketika sebuah sepeda motor melewatinya. Pengendara sepeda motor tersebut pergi begitu saja, menyisakan perempuan tadi yang tengah di bantu berdiri seorang pria paruh baya.
Sasori mengikuti perintah kakinya, ia berdiri, agak cepat melangkah keluar cafe tersebut. Mengampiri sang perempuan, meninggalkan kopi yang sudah ia bayar—namun sama sekali belum ia rasakan.
.
.
.
"Haruno."
Sakura menoleh, ia menemukan Sasori dalam balutan mantel hitam khas cuaca dingin seperti ini.
"A—Ah,Sasori-san? kenapa bisa ada di sini?"
"Ayo, rumah kita searah."
Sasori tersenyum kepada pria paruh baya yang tadi membantu Sakura berdiri. Sakura mengernyit ketika mulai mengikuti langkah Sasori. Ia berhenti ketika darah mengalir dari lututnya.
"Naiklah."
Sakura tergagap ketika melihat Sasori berjongkok di hadapannya.
"D-digendong? T-tap—"
"Mobilku ada di sebelah cafe itu, naiklah sebelum hujan."
Sakura menatap punggung itu, ia tersenyum tipis.
Di balik wajah yang tidak pernah perduli itu, tersimpan banyak hal yang tidak semua orang dapat melihatnya.
Satu jam yang lalu, setelah hujan reda Sakura memilih untuk sebentar berjalan-jalan ke toko buku yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Kesedihan hari ini bersama ayahnya biarlalah berlalu.
Mereka berpelukan sanagat lama sebelum suara dering telepon ayah menyela.
Urusan kantor, dan ayah harus pergi.
Setelah di ucapkannya kesepakatan akan mengunjungi makam ibu akhir pekan ini, ayahnya pergi dengan meninggalkan kecuman lama di keningnya.
Ia membalas di pipi.
Tidak ada buku yang menarik perhatiannya, ia memilih meninggalkan toko buku. Baru beberapa langkah hendak menyebrak jalan, sebuah motor yang tiba-tiba muncul dari tikungan mengenai tubuhnya hingga terjatuh.
.
.
.
.
Ruangan itu tidak terlalu besar, tidak pula sebaliknya. Sangat pas, sederhana namun tidak menghilangkan kesan mewah jikalau ti cermati dari barang-barang yang ada di sana.
Semua yang ada pada ruangan ini sangat sempurna, namun aura seperti dalam rumahnya sendiri terasa disini juga. Sepi yang begitu kental.
"Maaf menunggu lama, ah, Ayame-san sudah membuatkanmu minuman ternyata."
Sasori mengangguk singkat, kemudian ia berdiri setelah menengguk sedikit jeruk hangat di atas meja.
"Aku pergi dulu, ibuku pasti sudah menunggu." Ia sedikit berbohong mengingat ibunya baru akan selesai setengah jam lagi.
"A-a, terimakasih ya Sasori-san mau mengantarku pulang, aku antar sampai pintu ya?"
Sakura tersenyum simpul, sebuah hal yang menahan Sasori untuk mengatakan 'tidak'.
Ia mengangguk, kemudian mereka beriringan dengan cara berjalan Sakura yang agak pincang.
"Memangnya tidak sakit?"
Sakura menoleh ke arah Sasori yang ternyata tidak sedang melihatnya.
"Sudah enakan, aku baru tahu kalau kau bisa mengobati sekaligus mengurut kakiku yang terkilir."
Kali ini Sasori menoleh, membuat Sakura gugup sendiri.
"Ibu yang mengajariku."
.
Mobil hitam Sasori sudah menghilang dari pandangan, namun senyum simpul pada bibir gadis itu belum juga menghilang.
Ia menatap langit pukul tujuh malam. Tidak ada bintang, mungkin karena Sasori membawa semua kedalam matanya.
Tbc.
...
.
.
..
Review non log-in:
Riyu yakin nih kalo inces? xD Hinatasakura sodaranya bukannya? Hehe udh kejawab di chap ini kan mereka apa? Iwahashi hani Syukurlah kalo nggak ribett, hehe Felicia hehe iya ini malah judulnya aku ganti ini, makasih ya? Ryuhara shanchi wkwkw aku ngakak baca ripiu kamu *cubit pipi* kita liat aja deha nanti gimana xD
Untuk yang log-in silahkan check pm
Terimakasih, sampai ketemu di chap selanjutnyaaaa... *peluk satu-satu*