My First Love is My Housekeeper
Chapter 8
Genmaicha
Uzumaki Naruto mengatur nafasnya dengan perlahan. Satu, dua, tiga, empat. Tarik napas pelan-pelan, keluarkan pelan-pelan. Ya. Ia yakin seratus persen, hal yang sedang ia lakukan sekarang bukanlah hal yang baik. Sejak kecil ia sudah ditanamkan nilai-nilai moral dari ibunya.
Tentu saja ia tahu bahwa menguping pembicaraan orang lain bukanlah hal yang patut untuk dilakukan. Namun, Hinata dan Itachi sedang berada di ruangan yang sama, berdua saja! Tentu saja Naruto harus mendengar pembicaraan mereka.
Hinata pernah berbicara dengannya di Pulau Bintan mengenai hal ini. Wanita itu akan berbicara terlebih dahulu dengan Itachi mengenai keputusannya untuk menyerahkan diri ke kepolisian.
Sebagai orang yang mencintai Hinata, tentu saja Naruto menghormati semua keputusan wanita itu. Di penjara pun, Naruto akan tetap mengunjungi Hinata. Siapa tahu dengan berjalanannya waktu, wanita itu akan mencintainya. Ia siap melewati segala rintangan untuk memperjuangkan gadis itu. Namun, perjuangan ini juga diliputi dengan rasa khawatir. Bagaimana jika ada hal yang buruk yang terjadi kepada Hinata?
Naruto menatap layar-layar CCTV yang ada di hapadannya dengan gugup. Sebenarnya ruangan VIP Palace Hotel, Tokyo tidak memiliki CCTV, tapi Naruto menyedikannya khusus untuk hari ini. Ia bekerja sama dengan pemilik hotel untuk mengurus semuanya. Ia melakukan ini untuk keamanan Hinata.
Di balik layar CCTV, ruangan VIP itu terlihat dengan jelas. Sang artis kekinian dapat melihat dinding dan lantai kayu yang terlihat tradisional. Tirai-tirai kayu dan lentera kuno membuat ruangan itu terlihat kaku. Namun, ada sentuhan modern dari sofa dan jendela kaca yang memperlihatkan kota Tokyo.
Sebenarnya ruangan ini mirip dengan Hinata... begitu tradisional, tapi juga begitu elegan dan modern. Wanita cantik itu tampak formal dengan blazer dan kemeja. Mungkin ini adalah pakaian yang biasa Hinata kenakan saat menjadi pengacara. Entah apa yang akan dikatakan pengacara cantik ini pada Itachi. Apakah Hinata akan mengeluarkan undang-undang hukum? Ataukah justru bernegosiasi soal kasus ini? Naruto sangat gugup menatap mereka berdua. Semoga saja, tidak ada hal buruk yang terjadi.
"Itachi-san." Suara Hinata yang halus bergema di ruangan CCTV, "Kau mungkin sudah mendengar bahwa kepolisian sedang mencurigaiku."
Fokus Naruto langsung berpindah pada Itachi. Kakak laki-laki Sasuke itu sangat mirip dengan adiknya. Hanya saja kerutan di dahinya dan wajah yang cukup serius membuat pria itu tampak sedikit berbeda.
"Apakah itu alasan kau menghilang dari Jepang?"
Hinata menatap ke lantai dengan masam, kemudian ia menarik napas yang panjang.
"Ya." Hinata tersenyum pahit, "Aku sudah gagal menjadi seorang pengacara."
Kali ini Itachi mengangguk dan menatap Hinata dengan lebih lembut dari sebelumnya. Entah mengapa Naruto dapat merasakan rasa kasihan datang dari dalam hati pria itu. Meskipun Itachi terlihat seperti orang yang serius dan dingin, tapi kelihatannya pria ini lebih memiliki rasa empati daripada Sasuke.
"Kau tidak gagal." Suara Itachi terdengar lebih lembut.
"Jika aku menyerahkan diri ke kepolisian sekarang, karirku sebagai pengacara pasti akan berakhir..." Suara Hinata terdengar semakin samar-samar, "Namun, aku tahu... keputusan ini lebih baik daripada terus berlari dari kenyataan."
"Kau tidak gagal," Itachi melanjutkan, "Kau tahu kenapa?"
Kali ini Hinata terdiam. Meskipun ekspresi wajah gadis terlihat lesu, tapi Hinata masih mempertahankan tatapan matanya yang serius. Wanita itu masih mendengarkan Itachi dengan seksama... Entah kenapa Naruto merasa, ada sebagian dari diri wanita itu yang terus berharap.
Harapan untuk terus menjadi seorang pengacara ada di bola mata hitamnya. Seakan-akan dokumen-dokumen palsu itu tidak ada. Seakan-akan Hinata bisa memulai lembaran yang baru. Tatapan itu sangat Naruto kenali. Tatapan itu adalah tatapan yang penuh dengan ambisi dan harapan.
Itachi melanjutkan, "Apakah kau tidak merasa aneh? Saat kau ditangkap waktu itu, polisi terus mencari bukti, tapi mereka tidak menemukan apa-apa."
"Itu..."
"Saat kau dilepaskan dan kau kabur dari rumahmu, polisi tidak mengirim detektif untuk mencarimu." Itachi terdengar semakin serius, "Kau hanya digosipkan di beberapa majalah dan tabloid, tapi namamu sama sekali tidak muncul di surat kabar."
Kalau dipikir-pikir, Naruto tidak pernah mendengar kabar serius mengenai Hinata. Ia hanya tahu ada kasus semacam ini saat Kushina bertemu dengannya di Singapore. Sebenarnya kata-kata Itachi benar juga. Kenapa bisa seperti ini?
"Polisi tidak bisa menangkapmu, karena kau memang tidak bersalah."
"Apa maksudmu Itachi-san?"
"Aku tidak jadi menyerahkan dokumen palsu itu ke pengadilan. Semua sudah kubakar. Aku menjalankan proses hukum dengan jujur."
Naruto dapat melihat kelegaan muncul di wajah Hinata. Sebenarnya latar belakang Naruto hanyalah sebagai artis dan pembisnis. Ia tidak tahu banyak soal hukum. Namun, secara logika... Jika tidak ada dokumen palsu di pengadilan, itu artinya Hinata tidak bersalah. Jika Hinata tidak bersalah itu artinya wanita itu bebas! Tidak perlu bersembunyi lagi, tidak perlu ditentang oleh Kushina lagi.
Sekarang Naruto bisa dengan bebas mengejar wanita pujaannya!
"Itachi-san." Suara Hinata kembali terdengar, "Kenapa kau memutuskan untuk menjalani prosedur hukum dengan jujur? Bukankah dengan ini dendamu akan lebih besar?"
"Hutang budi."
"Atas?"
"Kau telah menyelamatkan nyawaku dulu. Ingat CPR yang kau berikan padaku?" Itachi melanjutkan, "Kau sebenarnya sangat baik Hinata-san. Maafkan aku, waktu itu aku terbawa emosi dan memaksamu."
"Tidak. Aku tidaklah baik hati..." Hinata menutup matanya sejenak.
"Kalau kau tidak baik hati, aku apa?" Itachi menaikan satu alisnya, "Sudahlah, jika kasus ini selesai, aku harap kau bisa berhenti murung seperti itu."
"Ah, maaf." Hinata berhenti terlihat murung dan langsung memaksakan senyuman yang kaku.
"Untuk apa minta maaf?" Itachi menggelengkkan kepalanya, "Daripada tersenyum kaku, lebih baik kau pergi dan temui artis terkenal itu."
"Naruto-kun?"
"Aku sudah mendengar gosipnya. Walau majalah hanya sempat memotret bayanganmu dari belakang. Namun aku tahu, wanita misterius Uzumaki Naruto itu kau bukan?"
"Aku tidak pantas untuk bersama dengannya. Aku bahkan tidak pernah berpacaran. CPR waktu itu adalah ciuman pertamaku. Aku tidak berhak untuk bersama dengan siapapun."
Naruto langsung tersenyum senang. Jika CPR itu adalah ciuman pertama Hinata. Itu artinya... ciuman yang cepat dan dingin yang Hinata katakan waktu itu adalah CPR? Hanya prosedur kedokteran? Entah kenapa Naruto merasa sangat lega... Namun, di saat yang sama ia merasa kasihan. Meskipun Naruto tidak pernah berpacaran, itu karena ia memang cuek. Namun, Hinata berbeda. Wanita itu tidak pernah berpacaran, karena ia tidak punya kepercayaan diri. Hinata tidak mencintai dirinya sendiri.
Apakah kita bisa menerima cinta orang lain, jika kita tidak mencintai diri kita sendiri terlebih dahulu?
"Kau selalu seperti itu." Itachi melipat tangannya dan menatap Hinata dengan serius.
"Seperti apa?"
"Menkritik dirimu sendiri, merasa tidak pantas, merasa tidak berhak untuk bersama dengan siapapun."
Kali ini Naruto terdiam dan menatap Hinata dengan lembut. Sebenarnya kata-kata Itachi benar. Walaupun di Pulau Bintan, Hinata sudah terlihat lebih berani, tapi ternyata di hati Hinata masih ada rasa benci terhadap diri sendiri. Masih ada kritik yang begitu besar... Padahal di mata Naruto wanita itu begitu luar biasa.
"Itachi-san... aku memang tidak pantas dan tidak berhak untuk bersama dengan siapapun."
"Lalu? Kita semua manusia. Kita tidak sempurna, tapi kita akan terus berkembang setiap hari." Itachi mulai merapikan dasinya dan bangkit berdiri.
Pengacara itu terdiam sejenak. Entah kenapa ditegur oleh orang seperti Itachi tajam juga. Naruto merasa jika Itachi yang cukup jahat saja punya kepercayaan diri, masa seorang Hinata yang seperti bidadari itu malah membenci dirinya sendiri?
"Hinata-san, maaf tapi aku harus pergi setelah ini." Itachi membungkuk, "Jangan terlalu banyak pikiran... Semoga saja setelah ini kau bisa menerima dirimu apa adanya."
Ya... Jika saja Naruto bisa membuat Hinata melihat dirinya sendiri dengan lensa mata Naruto. Mungkin wanita itu bisa melihat kebaikan hati, keberanian, kegigihan dan kelemah lembutan. Jika saja ia bisa meminjamkan bola mata ini... Wanita itu mungkin bisa melihat cahaya yang sebenarnya terpancar dari dalam diri Hinata.
XXX
Sang artis kekinian itu langsung kabur dari ruangan CCTV dan pulang ke rumah. Jika ia bertemu dengan Hinata di hotel, bisa rumit masalahnya nanti. Namun, jika dipikir lagi, ia jadi ingat percakapan di hotel tadi. Ia memandang dinding ruang tamunya dan menghela napas panjang.
"Bagaimana caranya membuat orang lain percaya diri-ttebayo?"
Naruto menaikan satu alisnya sambil berbicara sendirian.
Entah kenapa menyukai seseorang itu sangat memusingkan. Padahal ia pikir semuanya itu mudah, seperti di sinetron. Kalau sudah jatuh cinta, sudah melewati larangan ibu yang galak, kemudian melewati masa lalu yang kelam... Harusnya pasangan itu saling bersama bukan?
Naruto sudah jatuh cinta dengan Hinata, kemudian ia sudah menentang Kushina, Hinata juga sudah melewati jeratan hukum penjara. Sebenarnya Naruto harus bagaimana lagi? Semua rintangan sudah dilalui... Kenapa wanita itu masih tidak bisa menerima cintanya?
Apakah memang karena tidak percaya diri?
Kalau begitu harus bagaimana agar wanita itu percaya diri?
"Apakah aku harus terlihat bodoh?"
Naruto menatap bayangannya di depan kaca, "Mungkin kalau aku terlihat bodoh, Hinata bisa lebih percaya diri."
Ya, bisa juga bukan? Namun, selama ini Naruto sudah banyak berbuat hal bodoh. Lihat, wajahnya saja sudah cukup untuk membuat orang lain tertawa. Sebenarnya, peran-peran film Naruto juga rata-rata pasti punya unsur humornya. Jika dia sudah bodoh dan Hinata tetap tidak percaya diri... Maka ia harus lebih bodoh lagi begitu?
"Argh! Tapi kalau aku tambah bodoh, nanti aku semakin tidak keren!" Naruto menggaruk-garuk rambutnya.
Ia sudah benar-benar pusing. Otaknya tidak pernah digunakan untuk mengejar wanita sebelumnya. Selama ini ia selalu mengikuti aba-aba dari direktur film dan membaca script. Ia benar-benar tidak tahu ternyata jatuh cinta di dunia nyata itu penuh dengan kegalauan.
Perlahan Naruto dapat mendengar suara pintu rumahnya terbuka. Kemudian ia langsung berlari ke pintu masuk, menunggu-nunggu Hinata yang baru pulang dari hotel.
"Naruto-kun?"
Saat ia sampai di foyer, ia langsung menatap wanita pujaannya. Gadis itu sudah mengganti baju formal kantoran tadi dengan dress santai. Senyuman ringan di wajahnya terlihat lebih damai, berbeda sekali dengan ekspresi gugupnya sebelum berbicara dengan Itachi.
Sebenarnya kalau dilihat sekilas, Hinata yang elegan dan cantik memang terlihat percaya diri. Namun, kata orang memang benar, orang yang paling banyak tersenyum di depan umum... biasanya paling sedih saat sendirian. Biasanya orang yang terlihat percaya diri, justru memiliki kegelisahan yang tinggi.
"Bagaimana percakapanmu dengan Itachi?"
Sebenarnya Naruto sudah tahu apa jawaban wanita itu, tapi rasanya aneh jika ia berkata ia menguping dari CCTV. Mungkin pengacara pintar ini justru yang akan membawa Naruto ke pengadilan.
"Ternyata Itachi-san tidak menggunakan dokumen palsu yang kubuat, karena itulah selama ini polisi tidak mencariku." Hinata tersenyum tipis, "Itu artinya aku masih bisa menjadi pengacara seperti dulu."
"Lalu apa rencanamu sekarang-ttebayo?"
Kali ini senyuman Hinata terlihat lebih cerah dari sebelumnya, "Paginya aku ingin menjadi pengacara dan saat pulang aku ingin terus bekerja di sini."
"Kau masih ingin menjadi pengurus rumahku?" Naruto tersenyum senang.
"Iya bekerja di sini tetaplah kewajibanku. " Hinata tersenyum, "Lagipula saat memasak di rumahmu, aku juga bisa mengolah resep baru."
"Mengolah resep apa?"
"Aku ingin bereksperimen dengan teh dan mousse."
"Teh dan tikus?!" Naruto langsung berteriak kaget, "Hinata kau ingin membuat teh yang diseduh dengan mayat tikus?!"
Kali ini Hinata menahan tawanya. Sang artis tidak tahu kenapa gadis itu ingin tertawa. Seingat Naruto mousse itu memang Bahasa Inggris dari tikus.
"Naruto-kun... Mousse bukan mouse." Hinata membetulkan.
"Memangnya berbeda ya?" Naruto menaikan satu alisnya.
"Mousse adalah makanan penutup yang bahan utamanya terbuat dari putih telur, krim dan gelatin."
"Oh!"
Sekarang Naruto merasa dirinya bodoh sekali. Luar biasa, ia tidak mencoba untuk bodoh saja sudah bodoh. Jika ini tidak membuat percaya diri Hinata naik, ia tidak tahu ia harus menjadi sebodoh apa.
"Aku bisa memasak untukmu sekarang kalau kau mau."
"Benarkah?" Naruto tersenyum lebar.
Hinata dengan cepat berjalan ke dapur. Wanita itu mulai membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa bahan dasar seperti putih telur dan bahan-bahan lainnya. Eskpresi wajah wanita itu penuh dengan semangat. Jemari-jemari halus Hinata bekerja dengan cepat. Dalam sekejap bahan-bahan sudah tertata rapih di atas meja.
Seperti biasa, Naruto akan menonton televisi jika Hinata memasak. Dengan santai, Naruto memilih saluran televisi dengan remote control. Tidak ada acara yang menarik, sampai ia akhirnya menatap saluran televisi Uchiha.
"Hinata!" Naruto langsung berteriak kaget, "Sasuke telah menyiarkan Masterchef Selebriti!"
Acara itu sudah setengah jalan. Naruto dapat melihat Sasuke dan juri lainnya mulai mencicipi makanan-makanan peserta. Adegan Sakura dan Sasuke yang bertengkar langsung membuat Naruto kaget. Seingat Naruto, ia sudah meminta pihak televisi untuk memotong bagian pertunangan Sakura dan Naruto. Semoga saja adengan itu tidak disiarkan, kalau sampai disiarkan entah bagaimana jadinya.
"Ah, apakah itu Masterchef yang ada di Singapore waktu itu?" Hinata berbicara sambil mengocok telur.
"Iya." Naruto langsung merasa lega, ternyata bagian pertunangan waktu itu dipotong.
Setelah banyak peserta dievaluasi, acara itu akhirnya selesai. Pemenangnya adalah pemenang yang waktu itu. Lucunya, jadi tidak ada sesi eliminasi. Sasuke telah membuat acara itu berakhir di satu episode saja.
Loh? Kenapa setelah ini malah ada ekstra klip? Naruto dapat melihat adegan terakhir Masterchef itu sekarang penuh dengan behind the scene. Di sana ada Naruto yang sedang bersin berkali-kali karena tepung terigu. Ah! Lagi-lagi dia sama sekali tidak keren! Bagaimana ini?
Kali ini Hinata tertawa kecil. Wanita itu melihat layar televisi sambil menata adonannya. Sebenarnya Naruto memang terlihat bodoh, tapi kalau kebodohannya bisa membuat gadis itu tertawa... Mungkin tidak apa-apa.
"Hinata, kalau kau tertawa kau terlihat lebih santai," Naruto tersenyum hangat.
Kali ini Hinata tampak agak merona. Wanita itu langsung membungkuk dan mengucakan terimakasih. Lucu sekali!
Kali ini Naruto berjalan mendekati Hinata sambil menatap adonan mousse yang sedang dibuat. Adonan itu terdiri dari krim kocok yang kental, kemudian Hinata aduk dengan putih telur yang sudah naik. Putih telur yang mirip dengan awan itu Hinata aduk perlahan seakan-akan Naruto sedang melihat busa ringan dari wonderland.
"Wah seperti busa ya..." Naruto menatap adonan.
"Iya, mousse memiliki tekstur yang ringan dan halus." Hinata menjelaskan, "Biasanya mousse dibuat dengan cokelat."
"Loh, tapi hari ini kau membuatnya dengan teh bukan?"
"Iya, aku ingin bereksperimen dengan teh Gemaicha." Hinata tersenyum hangat.
"Apakah ini teh yang kau suka?"
"Aku suka rasa dan sejarahnya... Apakah Naruto-kun tahu bahwa teh Genmacha dibuat secara tidak sengaja... Seorang pengerajin teh tanpa sengaja menjatuhkan beras di dalam teh hijaunya."
Naruto dapat melihat tatapan Hinata semakin segar membahas teh ini. Kelihatannya teh Geinmacha ini sangat spesial.
"Teh ini lahir karena kecerobohan seseorang." Hinata tersenyum hangat, "Terkadang apa yang dianggap kegagalan justru bisa membuahkan sesuatu yang baru dan indah."
"Ah! Kau melakukannya lagi!"
"Eh?" Hinata tampak bingung, "Bolehkah aku tahu apa yang aku lakukan?"
"Kau menatap ke langit pelan-pelan dengan wajah dreamy... Lalu mengatakan kata-kata mutiara."
"Ah. Maafkan aku." Hinata langsung membungkuk.
"Tidak perlu minta maaf-ttebayo!" Naruto tertawa, "Justru menurutku kau terlihat seperti putri-putri dongeng ketika melakukannya."
Kali ini wajah Hinata merona lagi.
"Sebenarnya hidup itu mirip Genmaicha." Naruto mengambil serpihan daun teh itu dan menikmati aroma berasnya sejenak.
"Bolehkah aku tahu kenapa mirip?"
"Kita melewati banyak kegagalan... tapi di balik itu semua, kita justru menemukan hal baru yang indah."
"Kau benar..."
"Contohnya aku gagal merapihkan rumah, jadi aku membutuhkan pengurus rumah. Lalu kau muncul Hinata. Kau adalah hal yang indah itu."
Kali ini Hinata tidak berani menatap wajah Naruto... Mungkin ia malu. Mungkin saja kali ini kepercayaan Hinata bisa bangkit lebih tinggi lagi.
XXX
Minato telah menghabiskan waktu lima tahun untuk mencari anaknya. Keputusannya buat... ia akan menemukan anak itu. Sebenarnya ia mendengar bahwa mantan pacarnya, Kushina sebenarnya telah melahirkan di rumah sakit sahabatnya. Ia kenal sifat Kushina, ia tahu anak itu pasti miliknya.
Sebenarnya hatinya penuh dengan rasa khawatir. Bagaimana caranya Kushina tega tidak memberitahu padanya soal anak ini. Jika saja wanita itu mengatakan padanya, Minato pasti akan mengasuh anak itu.
Jujur saja cinta antara Minato dan Kushina tidak lagi ada. Minato sudah memiliki istri lain, walau hanya karena pernikahan bisnis. Namun, entah kenapa hatinya terus merindukan anak itu.
"Bagaimana jika kau menemukan anak itu?" Detektif itu bertanya pada Minato.
"Aku akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya kembali."
XXX
TBC
XXX