Rivalovey

By: Hyelaflaf

Naruto © Masashi Kishimoto

Story © Hyelaflaf

Main Cast: Shikamaru x Temari

WARNING!

OOC, Banjir Typo, Abal, Gaje, Bikin mual, mules(?), Author amatir, DLDR.

Happy reading~

Japan. 8 years later.

Shikamaru berjalan tergesa melewati lorong rumah sakit. Ia baru saja selesai lembur menangani suatu kasus saat seorang tetangga mengabarkan kalau ibunya jatuh pingsan dan dibawa ke rumah sakit.

Memang sudah seminggu belakangan ibunya mengeluh tidak enak badan, tapi wanita itu selalu menolak pergi ke dokter.

Selalu sok kuat. Ibunya memang begitu. Terlebih sepeninggal ayahnya, sang ibu jadi semakin berusaha terlihat sebagai wanita tegar dan independen. Bahkan mati-matian menolak saat Shikamaru menawarkan untuk mempekerjakan asisten rumah tangga.

Sekarang sang ibu yang kuat itu akhirnya tumbang juga 'kan.

Shikamaru menghela napas lalu membuka pintu ruang 207. Dan nampaklah sang ibu tengah duduk bersandar di ranjang sembari berbincang akrab dengan seorang dokter.

"Oh? Shikamaru?" wanita itu menyadari kedatangan anaknya lalu tersenyum. "Selamat datang."

Shikamaru mendengus lalu menghampiri ibunya dengan langkah lebar, tak memperhatikan dokter yang duduk di sebelah ranjang. "Ibu, kan sudah aku bilang jangan terlalu banyak beraktivitas, jadi sakit begini 'kan." Pemuda itu mengeluh gusar.

Yoshino terkekeh. "Aduh, kau ini semakin besar kenapa malah jadi cerewet?"

"Ibu …." Shikamaru lelah hati.

"Oh iya, lihat Shika, kau kenal dokter ini?" sang ibu tiba-tiba menunjuk semangat dokter yang tadi berbincang dengannya.

Shikamaru mengalihkan pandangan pada objek yang dimaksud ibunya. Baru ia sadar kalo dokter itu adalah seorang perempuan, rambutnya coklat keemasan, agak pendek dan dikuncir dua, wajahnya oriental dan kulitnya putih susu, memiliki iris teal jernih, hidung mancung, dan bibir tipis yang mengulas senyum remeh.

Sepertinya ia kenal senyum itu.

"… Temari?"

"Lama sekali kau mengenaliku, bahkan Bibi Yoshino memiliki ingatan yang lebih tajam darimu."

Ah, gadis ini masih saja menyebalkan.

Tapi Shikamaru sudah kebal. "Kapan kau kembali ke Jepang?"

"Bulan lalu." Jawab gadis itu singkat.

Shikamaru mengagguk paham, lalu kembali beralih pada ibunya. "Dokter bilang ibu sakit apa?"

"Hanya kelelahan dan rematik. Sepertinya aku memang sudah tua." Wanita itu mengeluh samar.

Temari tersenyum. "Bibi masih secantik dulu, kok."

"Aku sebenarnya tidak begitu suka dengan rumah sakit dan dokter, tapi kalau itu Temari-chan, jadi tidak masalah." Yoshino tersenyum, merasa senang bertemu lagi dengan gadis kesayangannya.

Temari nyengir lebar. "Ah, bibi bisa saja." gadis itu melihat arloji—bukan lagi jam tangan sport, yang melingkar di pergelangan tangannya. "Oh, sepertinya aku harus pergi. Aku akan main lagi nanti, Bi."

Temari tersenyum pada Yoshino—Shikamaru seratus persen diabaikan, lalu beranjak keluar kamar. Tapi sebelum menutup pintu gadis itu sempat melongok dan berkata, "jaga Bibi Yoshino, ya, pemalas."

Shikamaru menanggapinya dengan decihan dan menggumam tidak jelas.

"Dia tidak berubah, ya," Yoshino tertawa. "Kau tahu tidak, Shika? Temari itu katanya sempat direkrut rumah sakit ternama Perancis, loh, keren ya anak itu."

"Ya, dia 'kan memang pintar." Shikamaru menjawab tak acuh, mengambil tempat yang ditinggalkan Temari.

"Kau juga sama pintarnya," ucap sang ibu dengan senyum. "Ah, pasti cocok sekali kalau dia jadi menantuku …."

Shikamaru hampir kolaps.

"Ibu …," pemuda itu menghela napas, lelah hati. "lihat dia sekarang, gadis itu pasti sudah punya pacar—atau malah suami."

"Tidak, kok, dia sendiri cerita kalau dia sempat hampir dijodohkan, tapi menolak karena ingin fokus berkarir."

Ibunya terkekeh, matanya berkilat jahil. "Tapi ibu pikir mungkin kalau denganmu dia tak akan menolak," wanita itu menyenggol lengan anaknya. "Sana, jadilah lelaki sejati dan beri dia cincin."

Sumpah, demi apa, ibunya sekarang sudah mirip gadis remaja dalam mode fangirl. Ya ampun.

Shikamaru facepalm. "Lihat nanti sajalah, Bu."

Hoho, sepertinya anakku akan melepas masa lajang dalam waktu dekat. Pikir Yoshino semangat.

Ampun, deh.

Tapi intuisi wanita itu hampir selalu tepat, kalian tahu?

.

Setelah tiga hari dirawat, Yoshino akhirnya diperbolehkan pulang. Temari mati-matian mengingatkan wanita itu untuk tidak melakukan aktivitas berat dulu, yang dibalas wanita itu dengan iseng;

"Kau ini sama cerewetnya dengan Shikamaru, kalian jodoh, ya?"

Dan Temari hanya bisa menyangkal dengan wajah merah padam. "Tidak, kok."

"Sudah siap, Bu?"

Shikamaru yang tadi mengurus administrasi dan tetek bengek lainnya kembali.

Yoshino mengangguk lalu menatap Temari sedih. "Sebenarnya bibi merasa agak berat karena harus berpisah denganmu, Temari-chan."

Temari tersenyum, memeluk wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu keduanya itu. "Tenang saja, Bi. Aku akan mengunjungi Bibi seperti dulu lagi, kok." Ucapnya setelah melepaskan pelukan mereka.

Senyum Yoshino merekah. "Benarkah?"

"Ya, tentu."

"Ah, pasti menyenangkan sekali, bibi agak kesepian sejak Shikamaru mulai bekerja. Bahkan di hari libur pun ia jarang di rumah."

"Ibu …." Shikamaru merasa agak bersalah. Tapi mau bagaimana lagi? Pekerjaannya sebagai polisi memang menuntut untuk berkorban banyak waktu.

"Hm," Temari mengingat-ingat. "Kurasa akhir pekan ini aku bisa datang berkunjung."

"Baiklah, kalau begitu bibi akan siapkan sup kenchin yang banyak!"

Temari tertawa. "Jangan terlalu memaksakan diri, Bi. Kita 'kan bisa membuatnya bersama." Gadis itu kembali mengulas senyum. "Sekarang sebaiknya Bibi pulang dan istirahat yang cukup untuk akhir pekan nanti."

"Ibu dengar 'kan? Ayo kita pulang." Shikamaru mengambil tas besar dari atas ranjang rumah sakit, lalu mempersilahkan ibunya keluar kamar lebih dulu.

Pemuda itu berhenti sebentar di ambang pintu, menoleh ke belakang. "Temari?"

"Ya?" Temari yang hendak ikut keluar menatapnya bingung.

Shikamaru menatap iris teal Temari lama. Mata itu masih sama jernihnya. Salah satu daya tarik Temari yang tak pernah disadari oleh si pemilik sendiri.

Pemuda itu menggaruk tengkuknya lalu menggeleng. "… tidak jadi."

.

Temari benar-benar menepati janjinya untuk berkunjung di akhir pekan. Saat bangun tidur dan turun untuk sarapan, Shikamaru mendapati gadis itu sudah di dapur tertawa bersama ibunya.

Pemuda itu bersedekap, menyender di tembok dan memperhatikan interaksi kedua wanita itu dari jauh. Ibunya tak berhenti tersenyum sejak tadi. Shikamaru tak pernah melihat ibunya sebahagia itu sejak kematian ayahnya dua tahun lalu.

Kedatangan Temari tampaknya mengembalikan aura cerah dalam diri ibunya.

Pemuda itu berpikir sejenak, lalu beranjak kembali ke kamar untuk mandi dan bersiap-siap. Jalan-jalan sedikit dengan mantan rivalnya sepertinya boleh juga.

Tak butuh waktu lama bagi Shikamaru untuk bersiap, karena pada dasarnya dia memang orang yang simple, kelewat simple malah. Jadi setelah siap dengan kaus oblong, celana jeans, dan jaket, ia pun turun menghampiri sang ibu dan Temari di dapur.

"Kalian masak banyak sekali." Komentarnya begitu melihat hidangan di atas meja makan.

Yoshino menoleh, agak terkejut melihat anaknya sudah rapi. "Mau kemana kau?" tanyanya.

Temari tersenyum mengejek. "Kau bangun pagi? Sepertinya ini hanya akan terjadi sekali seumur hidup, ya."

Shikamaru mengabaikan ejekan itu. Ia mencomot sepotong tempura lalu berjalan mendekati dua wanita paling merepotkan itu.

"Aku mau pinjam gadis ini sebentar." Shikamaru menunjuk Temari. Yang ditunjuk syok sampai hampir menjatuhkan piring.

Ibunya tersenyum mahatahu. "Ah, Ibu mengerti. Tak perlu terburu-buru pulang juga tak apa, kok."

Temari melotot. "Ta-tapi, Bi! Masakannya—"

"Masakannya akan baik-baik saja tanpa kalian," potong Yoshino, mengambil alih spatula dari tangan Temari lalu mendorong bahu gadis itu pelan. "Sekarang pergilah, mumpung langitnya sedang cerah."

Shikamaru menyambutnya dengan menarik pergelangan Temari. "Kami pergi."

"Tu-tunggu! Nanas jelek! Bibi, aku—"

"Selamat bersenang-senang, ya, kalian!"

Lambaian tangan dan senyum jahil Yoshino adalah hal yang terakhir Temari lihat sebelum keluar dari Kediaman Nara.

.

Temari memberengut, memainkan sundae di tangannya dengan sendok. Ia tidak mengerti kenapa Shikamaru tahu-tahu menyeretnya pergi ke café ini, dan hanya berakhir dengan pemuda itu tak mengatakan apa-apa.

Maksudnya, ini kan awkward sekali bagi Temari yang belakangan baru menyadari bahwa usahanya move on selama delapan tahun ini sia-sia.

Iya, sepertinya guna-guna yang digunakan Shikamaru padanya terlalu ampuh sampai-sampai Temari tidak tertarik pada pria eropa yang sepuluh kali lipat lebih menarik dibanding seonggok nanas tukang tidur.

"Mana kuncir empatmu?"

Temari mendelik. Serius, apa pemuda ini mengajaknya kemari hanya untuk menanyakan hal itu? Neptunus, ia ingin sekali menyiram wajah nanas ini dengan pupuk kompos.

"Kuganti, gaya rambut itu terlalu kekanakan."

Shikamaru mendengus remeh. "Jadi kuncir dua tidak kekanakan, ya?"

"Kau mengajakku kemari hanya untuk menghina gaya rambutku?" ia membalas sengit.

Shikamaru menguap tak peduli, mengorek telinganya dengan kelingking. Membuat Temari hampir hilang kendali.

"Bukan, aku ingin membicarakan sesuatu yang lain." Ucap pemuda itu kemudian.

Temari berkedip. "Ap—"

Belum juga kalimatnya selesai, ponsel gadis itu berdering. Temari meraih smartphonenya dari tas selempang yang ia bawa. Di layar tertera nama adiknya; Gaara.

"Moshi-moshi."

"Kak, ayah menyuruhmu segera menikah."

Twich!

Temari pikir hal penting apa yang membawa adiknya untuk menelepon, dan ternyata hanya karena ini?! Sudah cukup tadi Ino menelepon dan memintanya datang ke pesta pernikahannya bawa pasangan, sekarang Gaara juga ungkit-ungkit soal pacar.

Seriously, apa kini semua orang berniat menghancurkan akhir pekannya?

"Aku tahu, aku tahu. Bisakah kalian berhenti mempermasalahkannya? Toh, aku masih muda. Umurku masih 25 tahun."

"Bukan begitu, katanya ayah mau bertemu pacarmu."

"Pacar? Pacar yang mana?"

"Si Nara itu, katanya kau ke rumahnya 'kan hari ini?"

Oke. Temari merasa bagai teko mendidih sekarang.

"Dia bukan pacarku!"

Dan dengan bernafsu, gadis itu mengakhiri panggilan lalu membanting ponselnya ke meja. Beruntung tidak sampai pecah.

Shikamaru memperhatikan dalam diam sampai Temari sadar lalu menatapnya garang. "Apa lihat-lihat?!"

Sifat galaknya tidak hilang rupanya.

Shikamaru nampak tak gentar meski dibentak, seperti kalian tahu, dia sudah biasa. Pemuda itu hanya memasang wajah datar dan mengeluarkan sepucuk surat dari saku jaketnya. "Aku mau bicara soal ini."

Bola mata Temari hampir copot. Ia mengenali surat itu sebagai surat yang ia tulis delapan tahun lalu. Tapi … bagaimana bisa?

"Aku 'kan sudah menyuruhmu memusnahkannya!" Temari memekik tertahan. Wajahnya merah padam karena malu dan marah.

Shikamaru angkat bahu. "Surat ini 'kan jadi milikku setelah kau berikan, terserah aku mau mengapakannya."

"Ugh …," Temari facepalm. Menutupi wajahnya yang sudah merah seluruhnya. "lalu sekarang apa maumu?"

Shikamaru mengusap tengkuknya, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela di sampingnya. "Kau … masih suka padaku?"

Wajah Temari makin panas, ia bahkan sudah merasa lemas sekarang. "Me-memangnya kenapa kau ingin tahu?" gadis itu merutuki kalimatnya yang terbata.

"Kau tahu 'kan, ibuku menyukaimu?"

Temari mengangguk. "Sepertinya begitu."

"Aku juga."

"Oh—hah, APA?!" Temari melotot.

Shikamaru membalasnya dengan sorot tenang. "Aku juga suka padamu. Memang mengherankan kenapa aku bisa suka pada gadis menyebalkan, sadis, dan tukang pukul sepertimu. Tapi, yah, begitulah. Tidak ada gadis lain yang semerepotkan dirimu."

Temari bingung, haruskah ia merasa senang atau kesal dengan pernyataan pemuda Nara satu ini.

"Tentu saja tidak ada yang sepertiku, aku 'kan tidak punya kembaran." Cibir gadis itu akhirnya, menutupi rasa malunya.

Shikamaru tak mempedulikan cibiran itu, ia menaikkan sebelah alisnya. "Jadi?"

"Jadi …," Temari kembali memainkan es krimnya, lalu menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Ugh, ya, kupikir aku memang butuh pasangan untuk dibawa ke pesta pernikahan Ino." Ucapnya pelan dengan wajah merah.

Shikamaru mendengus. "Bilang saja kau mau."

"Diam kau!" Temari kembali mendidih.

Shikamaru terkekeh, menepuk kepala gadis itu pelan. "Baiklah, ayo kita pulang, Ibu pasti sudah menunggu." Pemuda itu bangkit.

Temari mengernyit. "Jadi kita ke sini hanya untuk itu?"

Shikamaru mengangguk dengan wajah datar. "Kenapa? Kau mau sesuatu yang lebih?"

Tidak ada yang lebih menyebalkan dari wajah malas Shikamaru saat mengatakan hal menyebalkan itu dengan nada santai kayak di pantai.

Temari mengalungkan tasnya, lalu pergi dengan kaki dihentak kasar. "Mana mungkin! Dasar nanas gila!"

Shikamaru tersenyum geli. "Dasar dia itu …." Lalu cepat-cepat menyusul mantan rival(?) yang sekarang merangkap pacarnya.

"Jangan merajuk begitu, kalau masih ingin kencan bilang saja, merepotkan sekali kau ini."

"DIAM KAU NANAS!"

.

End.


Balasan review non-login:

hana: whaaa maafkan aku karena langsung menyelesaikan ff ini(?), ini udah cukup panjang belum? Hehe X'D terima kasih sudah mereview~

ishimura nayame: yupp, ini sudah dilanjutt~ terima kasih sudah mereview~~

Fycha Hyuura: Hoho, iya tuh, harus begitu dong, kalo ga gitu ga selesai2 nanti fanfic ini X'D /plak terima kasih reviewnya~~


A/N:

Holaa~~

Jadi begini, setelah bolak-balik baca ulang fanfic ini saya ngerasa kayaknya banyak yang perlu direvisi. Saya sempet niat mau unpublish trus di re-write, tapi takut justru nanti ujungnya malah jadi discontinue.

Akhirnya saya milih buat tetep ngelanjutin ff ini, meskipun ceritanya bakal jadi agak 'maksa', tapi yang penting saya ga jadi tukang php(?) karena mendiscontinuekan(?) ff ini, biar bagaimanapun saya tahu suka duka hanya bisa jadi reader:" /plak

Tapiiii… kalau ada waktu saya tetep usahakan buat merevisi ff ini, nanti kalau udah rampung baru saya re-publish hehe XD

Oiya, saya juga ngeganti genre ff ini, karna kayaknya lebih cocok kalo saya jadiin humor aja:")

Anyway terima kasih banyak yaa buat readers-tachi; reviewers, followers, dan favoriters(?) yang udah nyemangatin saya sampai bisa menyelesaikan Rivalovey. I love you full~ X'D

Juga terima kasih buat my beloved rival yang menginspirasi saya buat bikin ff ini muehehee XD /duagh

Tolong maafkan segala kekurangan 'Rivalovey' dan yang buat(?), berhubung lagi bulan puasa, bagi yang menjalankan marilah kita bermaaf-maafan XD /plak

Sekian dari saya, sampai ketemu lain waktuuu~~! /wushhh