F-O-R-B-I-D-D-E-N A-F-F-A-I-R

Sebelum mulai membaca ceritanya atau menuliskan komentar, sangat disarankan untuk membaca author's note di bawah ini.

A/N:

Sepertinya banyak yang sudah mengetahui siapa saya, terlihat dari komentar-komentar pada cerita pertama yang saya publikasikan pada akun ini.

Akun dan cerita-cerita saya sudah ketahuan, sehingga saya tidak bisa mempublikasikan cerita pada akun yang lama atau memposting ulang cerita-cerita lama pada akun yang baru ini. Pada akun ini saya hanya akan memposting lanjutannya saja. Bagi para pembaca yang sudah lupa cerita sebelumnya, sebaiknya berhenti membaca chapter lanjutannya ini jika mulai merasa bingung daripada nantinya menjadi pusing atau merasa kesal karena saya tidak bisa memberikan chapter-chapter sebelumnya.

Demi keamanan akun dan cerita saya ini, mohon tidak menuliskan judul cerita atau penname lama saya secara lengkap (supaya jika di-googling tidak akan muncul link ke sini). Jika akun ini ketahuan juga, terpaksa saya juga harus menghapus cerita-cerita yang saya publikasikan pada akun baru ini dan kemungkinan besar saya tidak akan punya kesempatan lagi untuk muncul di dunia perfanfiksian.

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya dan terima kasih atas perhatian kalian semua.

Chapter 11

Marriage Plan

Seulgi membawa Changmin ke sebuah kafe yang berada tidak jauh dari klab malam tempat mereka bertemu. "Jadi, untuk apa kau mencari Kim Jaejoong?"

"Saya adalah kerabatnya yang baru datang dari desa. Saya tidak mengenal siapa pun di Seoul selain Jaejoong Hyung." Changmin terlihat tenang saat ia mengarang cerita.

Seulgi memicingkan matanya. "Setahuku ia memang berasal dari Seoul. Ia tidak pernah memberitahuku bahwa ia berasal dari desa."

Changmin tersenyum gugup. "Mungkin Jaejoong Hyung malu untuk mengakuinya."

Seulgi terlihat cemberut. "Mungkin saja."

"Jadi, apakah noona tahu di mana ia berada?" tanya Changmin secara langsung.

Seulgi menggeleng. Dari raut wajahnya ia terlihat sangat putus asa. Ia terlihat seperti sedang memiliki masalah yang sangat berat. "Kupikir aku bisa mendapatkan informasi mengenai keberadaannya darimu, ternyata sama saja kau juga tidak mengetahuinya."

"Jika saya boleh tahu, apakah hubungan noona dengan Jaejoong Hyung?" Changmin bertanya dengan sangat hati-hati.

Wajah Seulgi memerah. Ia merasa malu untuk mengakui hubungannya dengan Jaejoong sebagai gigolo dan pelanggan. "Ia adalah temanku. Kami adalah teman dekat."

Changmin bisa membaca raut wajah Seulgi. Ia tahu bahwa Seulgi berbohong. "Benarkah? Bisakah noona ceritakan kepadaku seperti apa Jaejoong Hyung sekarang? Sudah lama aku tidak bertemu dengannya."

"Ia… baik." Seulgi tergagap.

"Dahulu ia terkenal sangat tampan. Apakah sekarang ia masih tampan, atau mungkin bertambah semakin tampan?" Changmin terus bertanya.

"Ya, ia memang tampan, sangat tampan. Ia adalah pria tertampan yang pernah kutemui." Seulgi tersenyum kecut.

"Apakah noona mempunyai fotonya? Aku ingin melihat penampilannya sekarang." Changmin ingin memastikan bahwa Kim Jaejoong yang dikenal oleh Seulgi adalah kekasih ayahnya itu atau bukan. Ia merasa sangat gugup dan tidak sabar untuk menantikan jawaban Seulgi.

"Hmm, sebentar." Seulgi mengotak-atik ponselnya. "Aku tidak tahu apakah aku menyimpan fotonya atau tidak." Ia menyimpan cukup banyak foto Jaejoong, tetapi foto-foto tersebut tidak pantas untuk diperlihatkan kepada orang lain.

Changmin berdebar-debar. Ia berharap bahwa Kim Jaejoong yang dikenal oleh Seulgi bukanlah Kim Jaejoong yang ia kenal. Dalam lubuk hatinya ia berharap bahwa kekasih ayahnya itu adalah pria baik-baik. Ia akan merasa sangat kecewa jika ternyata terbukti bahwa Jaejoong Hyung-nya itu adalah seorang gigolo. Ia merasa telah dibodohi.

Akhirnya Seulgi menemukan foto Jaejoong dengan pose yang layak. Pria itu berpose dengan mengenakan pakaian formal dan sedang menggenggam segelas minuman. Ia mengambil foto tersebut saat mereka bertemu di klab malam. "Ah, ini dia!" Ia menunjukkan ponselnya kepada Changmin.

Deg! Jantung Changmin berdetak kencang saat ia melihat foto Jaejoong pada ponsel Seulgi. Ia tidak bisa berkata-kata, ternyata benar bahwa Jaejoong adalah seorang gigolo. Ia merasa syok. Ia belum siap untuk menerima kenyataan ini.

Seulgi menatap Changmin dengan heran. "Apakah kau baik-baik saja? Apakah ia adalah Jaejoong yang kau kenal?"

Changmin tersadar dari lamunannya. Ia segera mengendalikan dirinya. "Ya, benar. Ia adalah Jaejoong Hyung yang kukenal." Ia memaksakan senyuman di wajahnya.

Seulgi menghela nafas. "Kupikir aku bisa segera menemukannya."

"Maaf, aku tidak bisa membantumu, Noona." Changmin merasa semakin penasaran mengapa Seulgi ingin sekali bertemu dengan Jaejoong. "Mengapa noona ingin sekali menemuinya."

Seulgi terlihat menerawang. "Ah, tidak apa-apa. Aku hanya merindukannya. Sudah lama aku juga tidak bertemu dengannya. Ia menghilang tanpa kabar."

"Apakah noona tidak mengetahui di mana ia tinggal?" tanya Changmin.

Seulgi menggeleng. Wajahnya masih terlihat murung. "Aku tidak pernah pergi ke tempatnya. Aku juga tidak pernah menanyakannya. Aku menyesal, mengapa aku tidak pernah berpikir untuk menanyakannya?"

Sesaat Changmin merasa iba kepada Seulgi. Namun, ia segera menepis perasaannya itu. Seulgi bukanlah wanita yang pantas untuk dikasihani.

Seulgi melirik jam tangannya. "Aku harus pergi sekarang."

Changmin mengangguk. Ia juga berdiri setelah Seulgi berdiri.

"Kita bisa saling memberi tahu jika salah satu di antara kita ada yang menemukannya." Seulgi memberikan nomor teleponnya kepada Changmin.

"Saya tidak memiliki telepon seluler." Changmin tidak ingin berurusan lagi dengan Seulgi. "Nanti saya akan menghubungi noona jika saya sudah memilikinya."

"Baiklah." Seulgi pun membayar minuman mereka dan pergi meninggalkan kafe.

Changmin mengikuti Seulgi keluar dari kafe tersebut. Namun, saat ia baru saja melangkahkan kakinya keluar dari kafe, secara tidak terduga wajahnya dihantam oleh sesuatu. Ia terjatuh dan tersungkur ke tanah.

"Jadi, kau adalah pria yang telah menghamili tunanganku?" Seorang pria yang kira-kira berusia hampir sama dengan Yunho mengangkat Changmin dari tanah dan hendak memukul Changmin lagi.

"Hentikan!" Seulgi mencoba untuk mencegah pria itu memukul Changmin lagi. "Pemuda itu bukanlah Kim Jaejoong."

Changmin merasakan cairan kental menetes dari lubang hidungnya. Hidungnya berdarah karena pukulan tadi.

Pria yang mencengkeram Changmin segera melepaskan Changmin. Ia teriihat sangat murka.

Seulgi menangis. "Hentikan! Jangan melukainya! Ia tidak tahu apa-apa."

Pria tersebut menatap Seulgi dan Changmin bergantian. "Siapa dia? Mengapa kau menemuinya?"

Seulgi mengasihani Changmin. Ia tidak ingin Changmin terlibat ke dalam masalah yang sedang dihadapinya. "Aku tidak sengaja bertemu dengan pemuda itu saat aku sedang mencari Jaejoong di klab. Ia sama sekali tidak ada hubungannya dengan Jaejoong."

Changmin mulai mengira-ngira. Jadi, Jaejoong telah menghamili Seulgi yang merupakan tunangan dari pria tinggi besar yang telah memukulnya itu? Pantas saja Seulgi mencari-cari Jaejoong.

"Biarkan ia pergi!" Suara Seulgi terdengar lirih.

"Aku mengampunimu kali ini." Pria tersebut menatap tajam Changmin. "Jangan temui lagi tunanganku!" Ia kemudian beralih kepada tunangannya. Ia menarik lengan Seulgi dengan kasar. "Kau tidak boleh menemui pria lain. Jika aku melihatmu sedang bersama pria lain, aku akan menghajar pria itu dan jika aku berhasil menemukan Kim Jaejoong, aku akan mencincangnya."

Seulgi tampak sangat ketakutan. Ia tidak melawan saat tunangannya itu menyeretnya dengan kasar.

Changmin menatap kepergian Seulgi dengan pria yang telah memukulnya. Perangai pria tersebut sangat bertolak belakang dengan ayahnya yang lembut dan penyayang. Namun, ia bisa memaklumi kemarahan pria itu. Pria mana yang tidak akan marah jika tunangannya berhubungan dengan pria lain hingga hamil? Meskipun begitu, tetap saja perlakuan pria tersebut kepada Seulgi tidak dapat dibenarkan. Pria tidak boleh memperlakukan seorang wanita dengan sangat kasar, apalagi saat ini Seulgi sedang mengandung, mengandung anak Jaejoong.

.

.

.

Changmin pulang ke rumah saat matahari sudah tenggelam. Untung saja ia pulang lebih dahulu daripada ayahnya. Ayahnya tidak boleh melihat kekacauan pada wajahnya.

"Kakak dari mana saja? Mengapa baru pulang?" Jiyool melihat kakaknya pulang. "Ya, ampun! Apa yang terjadi kepada kakak?" Ia melihat pipi kiri Changmin terlihat sedikit lebam dan lubang hidung sebelah kirinya ditutupi kapas.

"Aku terjatuh." Changmin berusaha untuk tidak menghiraukan Jiyool dan menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya.

"Kakak pasti berbohong." Jiyool mengikuti Changmin. "Kakak pasti berkelahi."

Changmin membiarkan Jiyool mengikutinya sampai ke kamar. Pasti akan sangat sulit untuk menghindar dari adiknya itu. Ia mengambil pakaiannya dari dalam lemari dan pergi ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya."

.

.

.

Saat Changmin keluar dari dalam kamar mandi, ia masih melihat adiknya di kamarnya. Adiknya itu memegang kotak P3K sekarang.

"Aku akan mengobati luka kakak." Jiyool menarik Changmin untuk duduk di hadapannya. Ia mulai mengoleskan obat pada pipi Changmin yang lebam. "Ini akan mengurangi rasa sakitnya dan membuat lebamnya lebih cepat sembuh."

Changmin tidak berkata apa pun. Ia membiarkan Jiyool mengobati lukanya. Pipi kirinya terasa panas. Seketika ia teringat akan ibunya. Saat ia masih kecil ia merupakan bocah yang sangat aktif, senang berlari ke sana kemari. Ia menangis saat kakinya tersandung batu dan lututnya berdarah. "Kemarilah! Sini ibu obati lukamu!" Tak terasa air matanya mengalir.

"Mengapa kakak menangis?" Jiyool berhenti mengobati luka Changmin.

Changmin segera menghapus air matanya. Ia tidak boleh terlihat rapuh di hadapan adiknya. "Ah, tidak apa-apa. Obatnya membuat lukaku semakin terasa pedih."

Jiyool terkekeh. "Jika kakak mempunyai masalah, ceritakan saja kepadaku! Aku tidak akan mengatakannya kepada ayah. Aku berjanji."

"Sudah kukatakan bahwa aku terjatuh, bukan berkelahi." Changmin tidak ingin membuat Jiyool khawatir.

"Yang benar?" cibir Jiyool. "Apakah kakak berkelahi karena perempuan?"

Changmin menatap tajam adiknya. "Aku tidak berkelahi. Berapa kali harus kukatakan kepadamu bahwa aku sama sekali tidak berkelahi?"

Jiyool tertawa puas. "Kakak payah! Memalukan! Hanya karena luka seperti itu saja sampai menangis."

Changmin mulai merasa kesal. "Kau! Apakah aku perlu memberikan luka yang sama kepadamu agar kau bisa merasakan apa yang sedang kurasakan?"

Jiyool mulai ketakutan. Ia tergesa-gesa meninggalkan kamar kakaknya. Sepertinya sang kakak telah kembali ke sifat asalnya.

.

.

.

"Min, kenapa wajahmu?" Yunho memecah kesunyian. Ia menyadari lebam pada pipi kiri Changmin sejak awal, walaupun putranya itu berusaha menutupinya dengan terus menunduk.

"Ia berkelahi karena seorang gadis." Jiyool terkekeh. Ia berusaha untuk melupakan masalah dalam keluarganya. Ia ingin semuanya kembali seperti sedia kala.

Yunho tidak ingin memarahi Changmin. Hal itu akan memperburuk hubungannya dengan sang anak. "Lain kali kau harus lebih hati-hati. Wajah tampanmu menjadi terlihat jelek."

Changmin mengangkat kepalanya. Ia merasa tidak perlu lagi untuk menyembunyikan wajahnya dari Yunho. "Mengapa ayah tidak memarahiku dan menceramahiku karena aku berkelahi?"

Yunho menghela nafas. "Ayah berpikir bahwa kau sudah dewasa. Kau sudah tahu mana yang benar dan salah. Ayah pikir tidak ada gunanya lagi memarahi atau menasihatimu."

.

.

.

Setelah makan malam Changmin langsung kembali ke kamarnya. Ia perlu menenangkan diri dan banyak berpikir.

Jiyool menerobos masuk ke kamar kakaknya. "Apakah kakak bertengkar dengan ayah?"

"Tidak." Changmin mulai membuka-buka buku pelajarannya. Ia ingin Jiyool berpikir bahwa ia sedang belajar agar adiknya itu pergi dari kamarnya.

Jiyool tidak mengerti kode yang diberikan oleh Changmin. Ia duduk di samping kakaknya. "Jika kakak mempunyai masalah, terutama dengan ayah, kakak bisa bercerita kepadaku."

Changmin menoleh ke arah adiknya. "Sejak kapan kau bersikap seperti ini?"

"Jika kakak bisa berubah, aku pun bisa." Jiyool tersenyum dengan bangga. "Kita tidak bisa terus-menerus bersikap seperti anak kecil, bukan?"

Changmin tertawa. "Di mataku kau tetaplah anak kecil."

Jiyool cemberut. "Aku bukanlah anak kecil lagi."

Changmin masih tertawa. "Ya ya ya, kau bukanlah anak kecil, melainkan bayi raksasa. Sana pergi! Aku mau belajar!"

"Huh! Kakak jahat!" Jiyool berdiri. "Aku menyesal karena telah bersikap baik kepada kakak. Seharusnya tadi aku tidak mengobati luka kakak. Huh!" Ia pun meninggalkan kamar kakaknya. Ia masih mendengar tawa Changmin.

.

.

.

Jiyool merasa bingung. Ia tidak bisa berkonsentrasi dalam belajar. Ia tidak bisa begitu saja mengabaikan masalah keluarganya. Apa yang harus ia lakukan? Ia tidak bisa diam saja dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Jiyool menghampiri ayahnya yang sedang membaca buku dan menikmati secangkir teh di ruang keluarga. Ia duduk di sebelah Yunho. "Apakah aku mengganggu ayah?"

Yunho menutup buku yang sedang dibacanya. "Tidak, Sayang! Ada apa?"

"Sudah lama kita tidak mengobrol berdua," ujar Jiyool.

Yunho membelai kepala putrinya. Putri kecilnya itu sekarang sudah besar. "Maafkan ayah karena tidak mempunyai banyak waktu untukmu! Ayah sampai tidak menyadari bahwa kau sudah sebesar ini. Hehehe!"

Jiyool bersandar pada bahu ayahnya. "Aku menyayangi ayah."

Yunho masih membelai kepala putrinya. "Ayah juga menyayangimu, sangat menyayangimu."

"Aku juga menyayangi kakak," lanjut Jiyool. "Ibu juga."

Yunho terdiam. Ia masih merasa bersalah kepada mendiang istrinya dan juga Changmin.

Jiyool menatap mata ayahnya. "Apakah ayah bertengkar dengan kakak?" Ia masih berpura-pura tidak tahu.

Yunho memaksakan senyumannya. "Mengapa kau berpikir seperti itu?"

"Aku merasa ada yang berbeda dengan sikap kalian berdua." Jiyool terlihat sedih.

Yunho tidak membalas. Ia tidak mengira bahwa Jiyool akan berbicara serius dengannya. Jiyool juga ternyata sudah besar.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam keluarga kita dan mungkin sebaiknya aku tidak mengetahui apa pun," ujar Jiyool. "Namun, aku tidak bisa berpura-pura dan menganggap bahwa semuanya baik-baik saja. Aku merasa tidak nyaman. Aku merasa bahwa keluarga kita tidak seperti dulu lagi. Dahulu saat ibu masih hidup, kita adalah keluarga yang bahagia dan harmonis. Meskipun ibu sakit, kita saling menyayangi dan hidup bahagia. Bisakah kita seperti itu lagi?" Ia mulai meneteskan air mata.

Hati Yunho semakin terasa berat. Kini Jiyool juga menjadi pihak yang tersakiti.

"Jika tidak bisa seperti itu, bisakah kita berpura-pura bahwa keluarga kita baik-baik saja?" Air mata Jiyool jatuh semakin deras.

"Apa yang kau bicarakan, Nak?" Yunho memeluk putrinya. "Tentu saja semuanya baik-baik saja. Aku dan kakakmu hanya sedikit cekcok, bukan masalah yang besar. Sebentar lagi juga kami akan berbaikan."

Ayah berbohong. "Syukurlah kalau begitu. Aku tidak perlu khawatir."

"Tentu saja." Yunho tersenyum. Ia tidak ingin membuat Jiyool bersedih. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Lebih baik kau fokus belajar untuk ujian."

"Ayah benar." Jiyool mengusap air matanya. Ia memaksakan senyumannya.

"Sudah malam, tidurlah!" Yunho menepuk punggung Jiyool.

"Ayah…" Jiyool menggigit bibirnya.

"Ya?" sahut Yunho.

"Apakah ayah akan menikah lagi?" tanya Jiyool.

Yunho merasa bingung. Tak pernah terpikirkan olehnya untuk menikahi Jaejoong. Memangnya bisa? Ia bahkan merasa tidak yakin sampai kapan hubungan mereka akan bertahan. "Ayah tidak tahu."

"Apakah ayah mencintai wanita lain selain ibu?" tanya Jiyool takut-takut. Ia tidak bisa menahan diri untuk menanyakan hal ini.

Yunho menggeleng. "Tidak."

Ayah berbohong lagi. "Benarkah? Apakah ayah tidak berbohong kepadaku?"

"Tidak ada wanita lain selain kau, ibumu, dan juga nenek di hati ayah." Tentu saja Yunho berkata jujur.

Jiyool menghela nafas. Ia tidak tahu bagaimana ia akan memaksa ayahnya untuk berkata jujur. Malam ini ayahnya sudah dua kali mengatakan kebohongan kepadanya. "Baiklah kalau begitu."

"Apakah kau akan memberikan restumu jika ayah berhubungan dengan orang lain?" Yunho menatap putrinya dengan serius.

Jiyool tidak menyangka bahwa Yunho akan menanyakan hal ini. Ia terdiam selama beberapa saat. "Apakah ayah akan memutuskan hubungan ayah dengannya jika aku tidak menyukainya?"

"Mengapa kau tidak menyukainya?" Yunho merasa bahwa nafasnya terasa berat.

"Karena aku tidak ingin siapa pun menggantikan posisi ibu," jawab Jiyool. Sejujurnya ia merasa takut sang ayah akan marah kepadanya.

"Bagaimana jika ia adalah orang yang baik dan menyayangimu dan juga kakakmu? Apakah kau akan menerimanya sebagai pendamping ayah?" lanjut Yunho.

Jiyool menggeleng. "Aku tidak tahu, Ayah. Aku tidak tahu." Ia merasa sangat tidak rela jika ayahnya mendapatkan pendamping yang baru. "Sebaik apa pun dirinya, ia tidak akan pernah bisa menggantikan ibu."

"Tidak ada yang akan menggantikan ibumu, Sayang, tidak akan pernah ada. Ibumu selalu memiliki tempatnya sendiri di hati ayah," ujar Yunho.

Jiyool menangis lagi. Ia tahu bahwa ia sangat egois. Ia merasa sangat takut. "Aku tidak ingin kehilangan ayah. Aku takut ayah tidak akan menyayangiku lagi. Aku takut ayah akan melupakan ibu."

Yunho menggeleng. "Tidak, kasih sayang ayah kepadamu dan Changmin tidak akan pernah berubah. Ayah juga tidak akan bisa melupakan ibumu. Ia adalah wanita yang sangat berarti bagi ayah. Setiap ayah melihat wajah anak-anak ayah, ayah selalu teringat akan ibu kalian. Kita bisa menjadi keluarga yang bahagia."

"Saat ini ayah bisa berkata seperti itu. Apakah ayah bisa menjamin bahwa yang nanti terjadi akan seperti yang ayah katakan?" Jiyool masih bersikeras tidak ingin mempunyai ibu tiri. "Bagaimana jika diam-diam ia mulai ingin menguasai ayah? Bagaimana jika perlahan-lahan ia ingin menyingkirkan kami dari hidup ayah?"

"Tidak semua ibu tiri seperti ibu tiri Cinderella," balas Yunho. "Lagipula kau dan Changmin sudah besar. Kalian adalah anak-anak pemberani, tidak akan ada ibu tiri yang bisa menindas kalian. Kalian berdua adalah anak-anak yang cerdas. Kalian akan tahu apa yang harus kalian lakukan jika kalian merasa bahwa ayah sudah mulai tidak peduli kepada kalian."

Jiyool terdiam. Pikiran-pikiran buruk mulai semakin banyak melintas di kepalanya.

"Begini saja…" Yunho menghela nafas. "Ayah akan memberikan semua kekayaan ayah kepada kalian berdua. Ayah akan menuliskan nama kalian pada sertifikat kepemilikan rumah, perusahaan, dan lain-lain. Kalian berdua bisa mengusir ayah kapan pun kalian mau." Ia tampak putus asa dalam meyakinkan Jiyool.

"Jadi, benar ayah mempunyai kekasih? Apakah ayah terlampau mencintainya, sehingga ayah rela melakukan semua itu? Apakah ayah lebih memilihnya daripada kami, anak-anak ayah?" Jiyool mulai emosi.

Tampaknya Yunho sudah salah langkah. Ia membiarkan Jiyool mengetahui bahwa ia mempunyai seorang kekasih. "Ayah tidak ingin memilih salah satu. Tidak bisakah kita semua hidup bahagia sebagai sebuah keluarga? Tidak bisakah kau menerima kehadirannya di sisi ayah?"

"Ayah tamak," ujar Jiyool.

"Maafkanlah ayah atas keserakahan ayah! Itu karena ayah mencintai kalian semua. Ayah tidak sanggup untuk memilih salah satu." Perasaan Yunho kepada Jaejoong sudah terlalu dalam. Ia tidak ingin melepaskan Jaejoong, tetapi ia juga tidak ingin kehilangan anak-anaknya.

"Untuk meraih sesuatu, terkadang kita juga harus mengorbankan sesuatu," ujar Jiyool.

Yunho mengangguk. "Kau benar, Sayang. Akan tetapi, bukan berarti yang harus ayah korbankan adalah orang-orang yang ayah cintai."

Jiyool merasa sangat lelah. Ia tidak ingin melanjutkan perdebatannya dengan sang ayah. "Aku sudah lelah, Ayah. Aku ingin tidur."

"Kalau begitu, tidurlah!" Yunho merasa bahwa dirinya sudah kelewatan. Tidak seharusnya ia berdebat dengan Jiyool.

"Aku akan melupakan pembicaraan kita malam ini. Aku akan menganggap bahwa tidak ada pembicaraan seperti ini di antara kita. Bisakah kita berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja?" tambah Jiyool.

"Maafkanlah ayah, Nak!" Yunho menyesali pembicaraannya dengan Jiyool malam ini.

"Selamat malam, Ayah!" Jiyool mencium pipi Yunho.

"Selamat tidur, Nak!" balas Yunho.

Jiyool pun melangkah menuju kamarnya. "Aku menyayangi ayah. Aku ingin ayah bahagia." Ia menoleh sebentar sebelum ia menaiki tangga.

"Ayah juga menyayangimu, Nak!" Yunho merasa gagal sebagai seorang ayah.

.

.

.

To: Jaejoong Oppa

Ternyata memang benar bahwa ayah mempunyai seorang kekasih. Ayah bahkan berniat untuk menikahinya.

Jiyool tidak tidur. Ia mengirim pesan kepada Jaejoong. Saat ini hanyalah Jaejoong yang bisa ia ajak bicara.

Jiyool tidak segera mendapatkan balasan dari Jaejoong. Ia juga tidak berharap banyak dari Jaejoong. Sekarang sudah malam, mungkin saja Jaejoong sudah tidur. Ia pun mencoba untuk memejamkan matanya. Namun, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Ia pun memeriksa ponselnya dan membuka pesan balasan dari Jaejoong.

From: Jaejoong Oppa

Menikah? Bagaimana ayahmu akan menikahi kekasihnya? Apakah ia mengatakan siapa kekasihnya?

Jiyool mengetik balasan untuk Jaejoong.

To: Jaejoong Oppa

Ayah tidak mengatakan siapa wanita itu dan aku pun tidak berani untuk menanyakannya. Kurasa wanita itu bukanlah Bibi Junsu. Ayah tidak akan mungkin berani untuk menikahi Bibi Junsu. Bagaimana dengan Paman Yoochun dan anak-anak mereka?

Sesaat kemudian Jiyool mendapatkan balasan lagi dari Jaejoong.

From: Jaejoong Oppa

Lalu apakah kau akan mengizinkan ayahmu untuk menikah lagi?

Jiyool segera mengetik pesan balasan untuk Jaejoong. Tiba-tiba saja rasa kantuknya hilang. Jaejoong benar-benar bisa membuatnya nyaman. Mungkin ia akan lebih rela jika Jaejoong yang menjadi ibu tirinya. Andaikan saja Jaejoong adalah seorang wanita, ia pasti akan menjodohkan ayahnya dengan Jaejoong.

To: Jaejoong Oppa

Aku tidak aku bisa memutuskannya jika aku tidak tahu siapa dia? Aku tidak yakin bahwa ada wanita yang benar-benar baik dan layak untuk mendampingi ayah selain ibu. Lebih baik oppa saja lah yang menjadi ibu tiriku. Hahaha!

Jiyool menunggu balasan dari Jaejoong. Akan tetapi, Jaejoong tidak kunjung mengirimkan balasan kepadanya. "Sepertinya oppa tertidur."

.

.

.

Jantung Jaejoong berdetak dengan cepat. Jiyool pasti bercanda, bukan? Anak itu pasti tidak akan mungkin merestui hubungannya dengan Yunho. "Andaikan saja ia berkata sungguh-sungguh."

Jaejoong tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan kata-kata Jiyool. Jiyool mengatakan bahwa Yunho menyinggung pernikahan. Mustahil baginya dan Yunho untuk bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan. Namun, kata-kata Jiyool membuat dirinya berangan-angan. Ia membayangkan dirinya, Yunho, dan kedua anak Yunho membangun sebuah keluarga. Ia mulai mengharapkan hal yang tidak mungkin terjadi.

.

.

.

"Aku sudah memikirkannya semalaman, Chun." Yunho memanggil Yoochun ke ruangannya. "Aku akan menikahi Jaejoong."

"Apa?" Yoochun terkejut bukan main. Ia hampir terjatuh dari kursinya. "Yunho, apakah kau sedang bercanda? Kau pasti bercanda, bukan?"

Yunho menggeleng. "Aku serius. Aku akan meminta Jaejoong untuk menikah denganku. Kami bisa pergi dan menetap di negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis."

Yoochun semakin syok. "Lalu bagaimana dengan anak-anakmu, perusahaanmu, bisnismu? Apakah kau akan meninggalkan semuanya demi pria itu?"

"Aku akan menitipkan bisnisku kepadamu. Kau sudah membantuku menjalankan bisnis kita selama bertahun-tahun. Aku merasa yakin bahwa kau bisa menjalankannya tanpa diriku." Yunho menjelaskan. "Jika anak-anakku tidak ingin ikut bersamaku, tolonglah jaga mereka untukku! Aku juga akan memindahkan kepemilikan semua harta kekayaanku atas nama kedua anakku."

Yoochun mulai merasa pusing. Ia tidak pernah menyangka bahwa Yunho akan menganggap hubungannya dengan Jaejoong seserius ini. "Lalu bagaimana denganmu? Bagaimana kau akan hidup di negeri asing bersama Jaejoong jika kau meninggalkan semua uangmu di sini?"

"Tentu saja aku akan menyisakan sedikit uang dalam rekening tabunganku. Kurasa sepuluh persen sudah cukup untuk memulai usaha di sana. Sepertinya aku tidak akan terlalu kesulitan untuk memulai usaha baru. Bukankah kita juga memulai bisnis kita ini dari nol? Aku akan hidup dalam kesederhanaan di sana. Asalkan Jaejoong berada di sisiku, aku pasti akan bisa melalui segala kesulitan."

"Cinta sudah membuatmu gila, Yunho." Yoochun tidak habis pikir dengan rencana Yunho.

Yunho tersenyum tipis. "Sepertinya begitu."

"Aku merasa tidak yakin bahwa kau akan sanggup untuk hidup tanpa anak-anakmu," lanjut Yoochun.

"Suatu saat mereka juga akan pergi meninggalkanku untuk menikah dan membangun keluarga baru. Saat hari itu tiba aku akan sendirian lagi. Dengan siapa aku akan menghabiskan masa tuaku?" balas Yunho.

"Apakah kau berpikir bahwa Jaejoong akan bersedia untuk hidup susah di negeri asing bersamamu? Kau tahu sendiri bahwa gaya hidupnya sangat glamor. Ia hidup dalam kemewahan di sini, apartemen mewah, mobil mewah, pakaian bermerk." Yoochun berbicara panjang lebar.

"Aku akan menjelaskan kepadanya mengenai kondisi yang akan kami hadapi di negeri asing. Jika ia tidak bisa meninggalkan hidup mewahnya di sini untuk ikut bersamaku, ya aku tidak akan jadi menikahinya dan aku harus mengakhiri hubungan kami. Jika ia lebih memilih kehidupan mewahnya di sini daripada aku, itu artinya ia tidak cukup mencintaiku. Ia tidak layak atas semua pengorbananku. Demi dirinya aku bahkan harus mengorbankan anak-anakku." Yunho sudah memutuskan.

Yoochun menghela nafas. "Sepertinya tekadmu sudah bulat. Aku tidak bisa berbuat apa pun untuk mengubah keputusanmu, walaupun aku tidak setuju dengan tindakanmu itu. Aku hanya bisa mendukungmu dan mendoakanmu."

"Kau memang sahabatku, Chun!" Yunho memeluk Yoochun. "Maafkan aku karena selalu merepotkanmu! Kau selalu ada di saat aku membutuhkan dukungan darimu."

Yoochun menepuk punggung Yunho. "Jika bukan aku yang mendukungmu, lalu siapa lagi?"

.

.

.

Setelah berkonsultasi dengan Yoochun, hari itu Yunho langsung mengurus pemindahan kepemilikan harta-harta kekayaannya. Ia juga mentransfer sembilan puluh persen uang dalam rekening tabungannya ke rekening tabungan anak-anaknya. Ia merasa sudah mantap dengan keputusannya ini. Nanti sore ia akan melamar Jaejoong. Ia membeli sepasang cincin sebagai tanda bahwa ia benar-benar serius untuk melamar Jaejoong.

Jika Jaejoong menerima lamarannya, Yunho akan memberi tahu kedua anaknya mengenai hal tersebut. Dengan atau tanpa restu dari Changmin dan Jiyool, ia akan tetap menikahi Jaejoong di Belanda dan akan menetap di sana. Jika kedua anaknya merestui rencana pernikahannya dengan Jaejoong, ia akan mengajak mereka untuk ikut bersamanya meninggalkan Korea. Bagaimana pun ia ingin sekali mereka berempat hidup bersama sebagai sebuah keluarga. Jika anak-anaknya tidak mau ikut dan lebih memilih untuk tinggal dan menetap di Korea, ia tidak akan memaksa. Mereka bisa saling mengunjungi kapan pun mereka mau.

.

.

.

Changmin merasa perlu berbicara dengan Jaejoong mengenai profesi Jaejoong sebagai gigolo. Ia tidak ingin ayahnya terus dipermainkan oleh Jaejoong. Ia berpikir bahwa ayahnya pasti tidak mengetahui profesi Jaejoong tersebut. Jika ayahnya tahu, mana mungkin ayahnya mau berhubungan dengan pria itu. Ia juga perlu membahas mengenai kehamilan Seulgi. Jika memang benar bahwa Jaejoong telah menghamili wanita itu, Jaejoong harus bertanggung jawab atas perbuatannya itu dan meninggalkan Yunho.

"Hyung, apakah hyung ada waktu? Aku perlu membicarakan sesuatu dengan hyung?" Changmin menelepon Jaejoong.

"Aku sedang berada di apartemenku. Kau datang saja kemari."

"Baiklah, aku akan ke sana sekarang." Changmin baru saja melewati gerbang sekolahnya.

.

.

.

Jaejoong sedang menunggu kedatangan Changmin. Ia merasa sangat gugup. Ia terus saja mondar-mandir di apartemennya. Ia juga sudah menyiapkan cemilan untuk Changmin.

Ting tong! Jaejoong segera berlari untuk membuka pintu apartemennya. Itu pasti Changmin yang sudah ia tunggu-tunggu. "Cha… Yunho?"

"Mengapa kau terkejut melihatku?" tanya Yunho.

"Aku tidak menyangka bahwa kau akan datang. Mengapa kau tidak mengabariku terlebih dahulu?" balas Jaejoong.

"Aku ingin memberi kejutan untukmu," jawab Yunho. "Jadi, bolehkah aku masuk?"

"Oh, tentu saja. Silakan!" Jaejoong lupa untuk mempersilakan kekasihnya itu untuk masuk. Sangat berbahaya jika sampai ada orang yang melihat Yunho berada di depan pintu apartemennya. "Bukankah kau mengatakan bahwa kita tidak bisa bertemu dahulu untuk sementara sampai masalah dengan Changmin selesai? Apakah masalahnya sudah selesai?"

Yunho menghela nafas. Masalahnya dengan Changmin belum bisa ia selesaikan dengan baik. Changmin belum bisa merestui hubungannya dengan Jaejoong. Ia memeluk pinggang Jaejoong dan mencium kekasihnya itu. Ia sudah sangat merindukan sang kekasih.

Jaejoong membalas ciuman Yunho. Ia pun sangat merindukan Yunho. "Ada apa kau datang kemari? Ini belum gelap. Apakah kau tidak takut ada orang lain yang melihatmu datang kemari?"

"Aku sangat merindukanmu. Aku tidak bisa menahannya lagi." Yunho terkekeh. Ia mulai menciumi leher Jaejoong.

"Kau nakal!" Jaejoong merasa geli.

Yunho mendorong tubuh Jaejoong merapat ke tembok. "Aku benar-benar merindukanmu. Apakah kau juga merindukanku?" Ia mulai menelusupkan tangannya ke balik kaus Jaejoong.

Jaejoong terkekeh. "Aku juga sangat merindukanmu. Akan tetapi, seharusnya kau bisa lebih berhati-hati lagi. Kau tidak boleh datang kemari saat hari masih terang."

Yunho berhenti menciumi Jaejoong dan menatap kekasihnya itu. "Mau bagaimana lagi? Aku sudah sangat tidak sabar untuk mengatakan sesuatu kepadamu."

"Apakah itu?" tanya Jaejoong penasaran.

Yunho mengambil sebuah kotak kecil dari dalam saku celananya. Ia membuka kotak tersebut di hadapan Jaejoong, menampakkan sepasang cincin Cartier. "Maukah kau menikah denganku, Kim Jaejoong?" Raut wajahnya terlihat serius, menandakan bahwa ia tidak sedang bermain-main.

Jaejoong tercengang. Ia menatap sepasang cincin di hadapannya. Semalam ia bermimpi bahwa ia dan Yunho menikah.

"Mengapa kau diam?" tanya Yunho. "Apakah kau tidak menyukai cincinnya?"

Jaejoong menutup kotak cincin tersebut. "Yunho, bangunlah! Kita tidak mungkin menikah. Kita berdua tahu bahwa hubungan kita ini tidak akan bisa diterima di masyarakat."

"Aku tidak mengatakan bahwa kita akan menikah di Korea," balas Yunho santai.

Jaejoong menaikkan alisnya. Ia menatap Yunho dengan penuh tanda tanya.

"Aku berencana untuk pindah ke Belanda. Di sana kita bisa menikah secara legal." Yunho memberitahukan rencananya kepada Jaejoong.

Jaejoong masih belum bisa mencerna maksud perkataan Yunho. Ia masih merasa syok. "Apakah kita akan meninggalkan semua yang ada di sini?"

"Ya, tentu saja, kita akan meninggalkan semuanya. Kita bisa memulai hidup baru di sana. Kita akan memulainya dari awal," jawab Yunho.

"Bagaimana dengan Changmin dan Jiyool? Apakah kau sudah mendapatkan restu dari mereka?" Jaejoong masih belum merasa yakin dengan rencana Yunho.

"Jika kau menerima lamaranku, aku akan membawamu untuk bertemu mereka malam ini. Kita berdua akan memberitahukan rencana kita kepada mereka," lanjut Yunho.

"Bagaimana jika mereka tidak menyetujuinya?" tanya Jaejoong lagi.

"Aku akan tetap menikahimu." Yunho menatap Jaejoong dengan serius. Ia juga menceritakan bahwa ia sudah memberikan hampir semua kekayaannya kepada kedua anaknya tersebut. "Jadi, apakah kau mau menikah denganku dan meninggalkan semua kemewahan di sini?"

Jaejoong merasa sangat bingung. Ia merasa senang jika ia bisa terus bersama dengan Yunho. Namun, ia tidak bisa membiarkan Yunho untuk meninggalkan anak-anaknya. "Ayah macam apa kau?" Ia tiba-tiba marah kepada Yunho. "Bukanlah harta melimpah yang dibutuhkan oleh seorang anak, melainkan kasih sayang dari orang tuanya." Ia tidak ingin Changmin dan Jiyool menjadi seperti dirinya yang kekurangan kasih sayang dari orang tua. "Mereka sudah tidak punya ibu, apakah kau tega meninggalkan mereka?"

Yunho merasa tertampar oleh ucapan Jaejoong. Ia tidak menyangka bahwa Jaejoong akan berkata demikian, ternyata Jaejoong sangat memikirkan anak-anaknya.

"Jika mereka tidak merestui hubungan kita, aku bersedia mundur dan berpisah denganmu." Berat rasanya bagi Jaejoong untuk mengatakan hal ini. "Cinta adalah sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan, bukan kesengsaraan. Apalah arti cinta kita jika hal itu justru membuat orang lain menderita? Apakah kau berpikir bahwa kita akan bisa hidup bahagia jika orang-orang yang sangat berarti bagi kita hidup menderita karena kita?"

"Jadi, menurutmu kita harus bagaimana?" Yunho menanyakan pendapat Jaejoong.

Jaejoong memaksakan senyumannya. Ia menghela nafas. "Malam ini kita berdua akan berterus-terang kepada mereka. Jika kita tidak berhasil meyakinkan mereka, terpaksa kita harus putus. Hubungan kita tidak akan bisa dilanjutkan lagi. Hubungan yang hanya akan menyengsarakan anak-anakmu harus diakhiri."

Yunho memeluk Jaejoong dengan erat. "Aku tidak ingin berpisah denganmu."

Jaejoong membalas pelukan Yunho. "Aku juga. Akan tetapi, kita tidak mempunyai pilihan lain. Kita tidak boleh membuat orang-orang yang kita sayangi menderita oleh keegoisan kita."

Yunho menatap wajah Jaejoong sekilas dan mencium kekasihnya itu. Bisa jadi setelah malam ini ia tidak akan bisa menemui Jaejoong lagi. Kemungkinan mereka untuk berhasil mendapatkan restu dari Changmin dan Jiyool sangat kecil. Ia ingin berpuas-puas untuk mencium kekasihnya itu.

Jaejoong membalas ciuman Yunho. Ia ingin menumpahkan rasa rindunya kepada sang kekasih.

Ting tong! Bel apartemen Jaejoong berbunyi.

Yunho menghentikan ciumannya. "Apakah kau sedang menunggu seseorang?"

Jaejoong kembali teringat akan Changmin. Changmin lah yang sedang ia tunggu, bukan Yunho. Yunho sudah membuatnya lupa bahwa ia sedang menunggu kedatangan Changmin. "Itu pasti Changmin. Ia mengatakan bahwa ia ingin membicarakan sesuatu denganku."

"Kau bukalah pintunya, aku akan bersembunyi di kamar. Jika itu benar-benar Changmin, aku akan keluar." Yunho berkata kepada Jaejoong. Tidak ada gunanya ia bersembunyi dari putranya itu.

Jaejoong membuka pintu apartemennya. Ia menemukan sosok Changmin di hadapannya. "Silakan masuk! Aku sudah menyiapkan makanan ringan untukmu."

Changmin melihat sepatu ayahnya lagi di rak sepatu Jaejoong. "Ternyata ayah sedang berada di sini, kalau begitu, sekalian saja. Aku bisa berbicara kepada kalian berdua langsung." Ayahnya itu tetap saja nekat menemui Jaejoong, padahal ia sudah melarangnya. "Ayah, kau bisa keluar sekarang! Kau tidak perlu lagi bersembunyi. Ini aku, Changmin."