ansatsu kyoushitsu (c) matsui yuusei.
domestic au; ooc; informal language.


Malam semakin melarut. Sebagian besar populasi manusia pada jam-jam seperti ini sedang berada di alam mimpi, mungkin kecuali jika kau adalah petugas keamanan gedung-gedung penting, kasir konbini 24 jam, atau ilmuwan nuklir yang sedang berkutat dengan sepuluh buah paper untuk presentasi dua hari lagi—seperti Karma. Sudah lebih dari lima jam dirinya terpenjara di meja kerja untuk menyelesaikan paper-paper yang harus dipresentasikannya hari Senin nanti, dan hal ini tentu saja membuatnya sedikit kesal karena hei, besok hari Minggu. Waktunya bersantai. Ia bahkan terpaksa harus membatalkan janjinya untuk mengajak istrinya berbelanja besok—beruntung Rio adalah wanita yang sangat pengertian dan bahkan sempat menawarkan diri untuk membantu menerjemahkan paper-paper tersebut ke dalam Bahasa Inggris. (Karma menolak, ia tidak tega harus membuat istrinya begadang juga.)

Di tengah-tengah keheningan malam yang seolah tidak ada akhir, konsentrasi Karma mendadak buyar ketika ia mendengar suara derit dari ranjang tempat Rio sedang tidur. Pada awalnya ia tidak terlalu memedulikan, dan berpikir mungkin Rio hanya sedang mengubah posisi tidurnya, namun pada kenyataannya suara derit itu terus terdengar, ditambah lagi dengan suara gesekan seprai dan kasur. Didorong oleh rasa penasaran, akhirnya Karma menengok ke belakang—tempat ranjang mereka diletakkan.

Sekilas, Rio terlihat seperti sedang tidur biasa. Ia berbaring di atas punggungnya, masih tertutup selimut. Namun sekujur tubuhnya terlihat bergetar sampai-sampai menimbulkan suara derit, dan Karma menyadari bahwa kedua mata Rio terbuka. Buru-buru sang suami melompat dari kursinya ketika ia mulai mendengar suara rintihan muncul, seperti suara seseorang yang ingin berbicara, namun tidak bisa. Dihampirinya Rio, berusaha agar tetap terlihat tenang dan tidak panik. Diperhatikannya napas Rio semakin cepat, matanya berair, dan mulutnya setengah terbuka, tampak berusaha berbicara namun tidak ada kata-kata yang keluar.

"Dek," ucap Karma. "Pelan-pelan. Coba atur dulu napasnya."

".. A-ah, haaa … ah …."

"Sssh, ssh, iya nggak apa-apa, nggak apa-apa. Tenang dulu, tenang dulu. Let your mind take control over your body. Ssh, udah nggak apa-apa."

Tangan Rio bergetar hebat ketika Karma menggenggamnya, bahkan tak lama kemudian telapak tangan mungil itu sudah dialiri keringat dingin sampai-sampai pendingin ruangan juga tidak bisa membantu apa-apa. Alih-alih melepaskan genggaman, Karma justru menggenggam tangan istrinya lebih kuat sambil membisikkan kata-kata penyemangat. Setidaknya hanya itulah yang bisa ia lakukan.

Karma sudah tahu dari Kayano bahwa sejak memasuki universitas, Rio cukup sering mengalami kondisi seperti ini—ketika ia terbangun namun tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali, atau sleep paralysis. Hanya saja, ini kali pertama Karma melihatnya secara langsung; karena sampai malam ini, sleep paralysis Rio belum pernah kambuh lagi dalam usia pernikahan mereka yang baru sebentar itu. Menurut Kayano, biasanya Rio mengalami sleep paralysis ketika ia sedang kelewat lelah atau banyak hal yang tengah dipikirkan. Mengingat hal ini Karma merasa bersalah karena seminggu ini pekerjaannya telah menyita penuh dirinya, tanpa menyisakan cukup banyak waktu untuk memerhatikan keadaan Rio. Ia tidak tahu apakah istrinya ini cukup istirahat, makan dengan teratur, atau apakah ia tengah memiliki beban pikiran yang belum bisa ia bagikan pada siapapun.

Mungkin seandainya ia bisa lebih atentif pada istrinya dalam seminggu terakhir, Rio tidak akan mengalami hal ini.

"… Ma—s—"

Karma menatap Rio lurus-lurus. "Coba tangannya digerakkan sedikit, sayang. Pelan-pelan."

Rio tidak lantas bisa menggerakkan tangannya setelah diminta Karma. Ia merintih berkali-kali seolah melakukan hal tersebut adalah sesuatu yang sangat sulit (Karma meringis mendengarnya) namun akhirnya usahanya membuahkan hasil. Butuh waktu yang tidak sebentar sampai akhirnya Karma bisa merasakan Rio menggenggam balik tangannya. Artikulasi dari kata-kata yang diucapkannya pun semakin jelas dan ritme napasnya yang begitu cepat akhirnya kembali normal.

"… Maaf ya Mas, begininya kumat lagi."

Setelah mencoba menggerakkan tangan, kaki dan kepalanya, kalimat itulah yang pertama terlontar dari mulut Rio. Karma tersenyum geli, kemudian menggunakan salah satu tangannya yang bebas untuk mencubit pipi sang istri.

"Kenapa minta maaf? Adek nggak salah apa-apa kok. Mau dibawain minum nggak?"

Rio menghela napas. "Ya tapi kan jadi malah ngeganggu kerjaan …."

"Ngganggu apa. Nggaklah. Adek itu ngomong kayak ke siapa aja." Karma bangkit berdiri setelah sejak tadi berjongkok di pinggir ranjang. "Mas bikinin susu ya, biar nanti tidurnya lelap lagi."

"Nggak usah Mas, makasih." Rio menggeleng, membuat Karma mengerutkan dahinya. "Aku biasanya kalau habis kambuh gini, takut buat tidur lagi. Mas belum tidur kan? Tidur aja, nanti kerjaan aku yang beresin."

Terang saja Karma menolak ide Rio barusan mentah-mentah. "Nggak lah, enak aja, itu kerjaan siapa. Udah Adek minum susu terus tidur, ya. Mas temenin."

"Eh?" Rio mengerjap-ngerjapkan mata.

"Iya, mau udahan kerjanya, ngantuk. Nanti lagi aja." Karma mengatakan kalimat tersebut sambil berlalu keluar kamar, hendak membuatkan susu hangat. "Tapi nanti Adek bantuin terjemahan, ya?"

Bahkan Karma tidak menengok untuk melihat jawaban dari Rio. Rio menghela napas, sedikit tidak mengerti apa yang harus dilakukan untuk menghadapi suaminya yang kadang seenaknya namun sebetulnya sangat perhatian ini. Ia hanya tersenyum sambil bersyukur dalam hati diam-diam.

Susu yang dibawakan Karma sepuluh menit kemudian rasanya terlalu manis. Rio memprotes, tentu saja, namun Karma beralasan bahwa dirinya tengah mengantuk jadi tanpa sengaja menambahkan gula yang terlalu banyak. Rio tertawa sambil menaruh gelas, kemudian baru saja ia menjangkau kotak tisu di atas nakas untuk mengelap sisa susu di bibirnya, suaminya sudah beraksi duluan.

"…."

Karma menggembungkan pipinya melihat reaksi Rio yang mematung ."… Kenapa sih, kayak nggak pernah dicium suami aja."

"Bukan gitu," kikik Rio, seperti gadis-gadis SMP. "Kaget aja, haha."

Jawaban itu membuat Karma tersenyum, lalu melompat ke atas kasur, duduk menghadapi Rio. "Lain kali kalau Adek kecapekan atau lagi banyak pikiran, cerita-cerita ya. Untung Mas nggak bikin kamu begadang hari ini, kalau nggak bisa makin capek nanti. Mas juga bakal usaha kok biar tetap bisa punya banyak waktu buat Adek."

Rio tersenyum simpul. "Masih capek karena kerjaan pasca konferensi kemarin mungkin, Mas, tapi sekarang udah nggak apa-apa. Mas juga ya, jangan capek-capek lho."

"Iya nggak, makanya ini juga mau tidur." Karma meregangkan tubuhnya, yang pastinya sudah kaku setelah berjam-jam di hadapan meja belajar. "Tapi lihat kamu bikin nggak capek lho."

"Halah." Rio mencibir. "Ya udah, tidur yuk—HWAAH!"

Mungkin karena tidak menyangka sama sekali, Rio refleks berteriak ketika Karma mulai merangkul bahunya dan mendorongnya ke kasur dengan gerakan cepat, namun tidak kasar. Ketika keduanya sudah berbaring dengan cepat Karma menarik Rio ke dalam pelukannya, membuat sang istri tertawa geli.

"Kenapa ketawa?"

"Nggak apa-apa, kok." Rio menyeringai kecil. "Mas udah mandi kan, ya?"

"Iya lah! Wangi begini."

Rio kembali tertawa pelan sebelum akhirnya memeluk balik suaminya—yang tanpa disangka, sudah jatuh tertidur ketika Rio meletakkan tangannya di punggung Karma. Ternyata memang betul-betul sudah capek, batin Rio pelan sambil mengelus pelan punggung tersebut. Ia merapat, berusaha menyamankan diri sekaligus tetap berada dalam kehangatan pelukan keduanya.

"Makasih ya, Mas," bisik Rio sebelum menutup kelopak matanya. "Selamat tidur."


a/n: HARUSNYA SAYA UPDATE LAW OF 90 INSTEAD OF THIS brb mencari pojokan buat introspeksi diri

ps doakan semester ini saya gak kena sleep paralysis lagi sobs