AYA
Pelampiasan — Ane
AYA

Disclaimer
Naruto ©Mashashi Kisimoto

How Man Giving Natural Birth?
© Pelampiasan Ane

Quote's
© Ded*s Ratu Bumi Tumap*l
Terdapat beberapa quote di chapter ini yang dengan indahnya saya ambil tanpa izin.

Summary
Tiada hal yang lebih mulia ketika seseorang mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan kehidupan baru di dunia. Tak terkecuali seorang lelaki.

Pairing
SasuNaru. Always! Banzai!

Genre
Hurt / Comfort / Family / Romance

Warning
Hal - hal absurd karena yang nulis orang Indo, yang di tulis orang Jepang.

Beta Reader
JustCallMeAzi

Status
Bagian Kelima

Please choose 'back' or 'close' if you dislike this fict.
Happy reading for everyone!

Dilarang copy paste, sebagian atau bahkan keseluruhan dari fiksi ini

AYA
Pelampiasan — Ane
AYA

"Sebentar lagi kau akan dipindahruangkan. Kelas VIP cukup?"

"Semua itu uangmu. Aku tak berhak menentukan."

"Haruskah kita bertengkar saat ini? Kau baru saja melewati masa kritis."

"Berada disisimu selalu membuat emosiku tinggi."

"Haruskah aku menemuimu jika kau telah tertidur?"

"Tidak! Jangan! Aku tak merasa tak nyaman jika selalu merepotkan Mikoto-san. Maksudku... ibumu."

"Sudahlah, lebih baik kau beristirahat."

"Hmm."

Naruto, Saat kau pingsan dulu. Aku bertemu dengan Sai. Dia berpesan jika beberapa teman kampusmu menanyakan perihal keberadaanmu. Tapi aku tak memberitahunya. Aku harap tindakanku benar."

"Masih perlukah aku menjawabnya. Sepertinya kau sudah tau seperti apa kau harus bertindak."

"Apakah kau masih begitu marah padaku?"

"Lupakan percakapan seperti ini. Aku malas membalasnya."

"Aku hanya akan mengucapkannya sekali... Terimakasih untuk tetap sadar demi janinmu."

"Ck!"

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

Naruto terjaga dengan peluh membanjiri pelipisnya. Interaksi dengan Sasuke kala itu menjadi alunan melodi dalam mimpinya. Entah alasan apa hingga dirinya memimpikan hal itu. ia sendiri tak bisa menjawabnya.

Menghela nafas panjang. Naruto mengulurkan tangannya untuk meraih air mineral dalam gelas yang diberi penutup diatasnya. Tiga tegukan Naruto lakukan untuk menyesap tiga perempat air dalam gelas. Kemudian kembali meletakan gelas tersebut ditempatnya.

Sasuke~

Entah mengapa nama itu begitu mengusik Naruto saat ini. Mungkin karena efek dari mimpi yang baru saja ia alami. Dimana ada Sasuke sebagai objek mimpinya.

Ya, mungkin saja.

Entah bagaimana mulanya, namun pikiran Naruto kini tengah melayang. Melayang ke kejadian pra dia dibawa kerumah sakit saat ia mengalami pendarahan.

Kejadian diamana ia benar – benar merasa ketakutan akan kehilangan kandungannya.

Kejadian dimana untuk pertama kali Sasuke melakukan kontak fisik dengannya setelah beberapa waktu ia menghabiskan waktu di apartemen pria berambut unik tersebut.

Kejadian dimana wajah putih Sasuke semakin memucat ketika melihat darah yang menempel ditangan Naruto sesaat setelah Naruto menyentuh bagian belakangnya.

Kejadian dimana Sasuke bergegas membopong Naruto didadanya. Berjalan cepat menuju lift. Meletakkan Naruto di kursi penumpang dengan hati – hati namun tetap bertindak cepat.

Berteriak di ponsel pintar miliknya saat menghubungi pihak rumah sakit dan memberitahu bahwa ia membutuhkan sikap siaga karena butuh pertolongan cepat.

Segala yang Sasuke lakukan kala itu benar – benar terpampang jelas dihadapan Naruto ditengah rasa sakit yang dideritanya. Dan itu sungguh amat menganggu Naruto. Karena hal tersebut terekam jelas dalam ingatannya. Setiap scene dimana menganggambarkan satu jenis ekspresi seorang Uchiha Sasuke.

Kehawatiran!

"Ada apa denganku?"

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

Apa yang tengah terjadi?
Rasa apa ini?
Kenapa perihnya terasa nikmat?
Kenapa pedihnya terasa begitu berarti?
Kenapa justru kegaduhan hati ini terasa inidah?
Mungkinkah aku punya rasa?

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Dimana kau sekarang?"

"Untuk apa menghubungiku?"

"Kau pikir dengan siapa kau berbicara 'Miko?"

"Berhentilah mengangguku. Aku sedang malas berinteraksi denganmu."

"Semakin kau melindungi mereka. Semakin keras pula aku akan memisahkan mereka."

"Apa yang sebenarnya kau inginkan."

"Apa kau sudah gila? Aku tak akan pernah menerima anak dari pemuda sial itu. Hanya akan membawa masalah kedepannya."

"Tidak, jika kita bisa menjaganya."

"Jangan keras kepala. Aku tak akan pernah sudi melakukannya. Pulanglah. Kita bicarakan baik – baik."

"Tidak akan. Tidak akan pernah."

"Mikoto!"

Tut~ Tut~ Tut~

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

Fugaku melempar ponsel miliknya kearah samping kanan. Menyebabkan elektronik berbentuk persagi panjang dengan ukuran lima inch itu menghantam lantai, memantul di tembok, dan kembali tergeletak di lantai.

"Kenapa semuanya jadi tak terkendali? Kehadiran bocah tersebut benar – benar mengacaukan segala hal." Fugaku menghempaskan tubuhnya di bangku putar miliknya, memangku keningnya dengan sebelah tangan. Setelah beberapa saat ia memijat pelipisnya sebagai bentuk dari simbol bahwa ia tengah mengalami rasa pusing, Fugaku memilih untuk mengangkat ganggang telepon kerjanya dan menekan angka 4.

"Shisui. Cari tau keberadaan pemuda bernama Naruto di rumah sakit – rumah sakit daerah ini. Laporkan padaku secepatnya."

"Baik komisaris."

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

Sasuke mendudukan dirinya di sofa milik sang sahabat lama. Punggungnya ia tegakkan pertanda ia tengah dalam keadaan serius. Air muka yang ia tunjukan menegaskan jika perhatiaanya sedang terfokus pada suatu hal. Bibir tipisnya yang sedari tadi terdiam karena ketidakadaan jawaban akan situasi yang ada, mulai berbicara. "Jelaskan!" Ucapnya singkat dan bersifat mutlak.

Itachi hanya menaikan bahunya mendapati sikap dingin adiknya saat ini.

Mata onyx Sasuke terarah pada bocah berumur empat tahun didepannya dengan sebelah alis terangkat. "Sertakan juga siapa anak kecil yang sedang merengek dipangkuan Itachi." Melipat tangan di depan dada, "Selesaikan apa yang kalian mulai."

Mengambil alih tugas dalam menjawab, pria berambut ala tentara tersebut dengan perlahan mendudukan dirinya di kursi kosong sebelah sang suami. Sebelum tepat benar – benar terduduk, tangan kananya menahan perut buncitnya agar tidak tersenggol pahanya sendiri.

"Pertama – tama aku ingin menyampaikan pendapatku tentang dirimu Sasuke. Dan dari yang Juugo telah ceritakan, kau memang tampak telah berubah. Aku bisa melihat dari sikapmu saat ini. Tatapanmu yang kau berikan saat menatap Ryo sudah bisa aku terka jika kau memanglah ingin berubah. Kau siap menjadi seorang ayah Sasuke?" Pria tersebut tersenyum hangat.

"Tak mengherankan saat ini banyak yang mengetahui permasalahnku 'Tachi?" Tak langsung menjawab, Sasuke menatap sang kakak penuh selidik. Sementara pihak tertuduh hanya mengangkat kedua bahunya. "Siap?" Sasuke kembali menatap wajah pria didepannya, "Secara hukum biologi aku memang telah menjadi seorang ayah dari sebuah janin."

Pria berambut ala tentara di hadapan Sasuke menggelengkan kepalanya. Tidak sepakat dengan jawaban Sasuke. "Apa pendapatmu tentang kehamilan seorang pria?"

"Inconceivable."

"Lalu apa pendapatmu tentang kehamilan Naruto?"

"Diluar nalar pikirku. Pada awalnya."

"Bagaimana tindakanmu terhadap Naruto saat ini?"

"Aku hanya ingin merawatnya sebagaimana mestinya. Aku bertindak seperti yang seharusnya."

"Apa arti Naruto yang tengah hamil bagimu Sasuke?"

Butuh beberapa saat untuk Sasuke hingga ia memutuskan untuk menjawab. Dia mengambil kata pertamanya setelah hembusan nafas kedua. "Kalian boleh menertawakanku, hujat jika perlu, tapi aku mulai berpikir tentang karma. Kehamilan Naruto seperti membawa magnet bagiku. Dengan sendirinya aku ingin melindunginya, menjaganya. Tanpa sadar aku mengorek masa lalunya lebih dalam. Dan setelah apa yang aku lakukan padanya..." Sasuke menertawakan dirinya sendiri, "It's funny. But I think I'm getting crazy."

"Aku merasa bersalah padanya. Hal yang tak akan pernah aku pikirkan ketika bersama orang lain. Bahkan Sakura. Yang kulihat kini... hanya ada penyesalan. Seharusnya aku tak melakukan hal 'itu' padanaya. Dan berakhir memberinya beban dengan mengandung anakku. Aku ingin ia berbagi beban itu denganku. Tapi ia selalu menolakku. Aku tak pernah bisa menembus pertahanan Naruto akan tindakannya menghindariku."

"Kau bahkan bisa berbicara panjang lebar rupanya?" Tak ayal pernyataan pria tersebut membuat wajah Sasuke mengeras, tidak suka dikoreksi tingkah lakunya. "Last question." Pria tersebut menyempatkan diri mengelus perut buncitnya sebelum melanjutkan perkataannya. "Janin Naruto—anak kalian. Apa yang akan kau lakukan padanya?"

"Tidak aku, tidak pula Naruto. Kami masih sama – sama muda. Bagiku, menjadi seorang ayah? Percayalah, bahkan saat aku memaksa Sakura mengugurkan kandungannya waktu itu, tak sedikitpun terbesit dipikiranku akan menyandang status tersebut. Tapi kini," menatap Ryo yang tengah bermanja ria di pangkuan sang ayah—yang tidak Sasuke sadari kapan bocah aktif tersebut pindah dari pangkuan Itachi ke pangkuan ayahnya sendiri, "Meski hanya sekali. Meski tak mungkin bagiku untuk terus berada disisinya. Aku ingin melihatnya kelak. Bukan pada Naruto, tapi pada anakku, aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku telah berubah."

"Mulailah dengan mendapatkan hati Naruto. Maka kau akan dekat dengan anakmu."

"Naruto menolak kehadiran janinnya, meski belakangan dia mulai bisa menerima kandungannya. Tak ada kepastian apa dia akan tetap menginginkan anaknya kelak. Aku telah memutuskan, jika Naruto tak ingin anak kami, aku akan meminta ibuku merawatnya."

"Kau salah. Anak kalian membutuhkan kalian. Terlepas dari keberadaan janin Naruto bermula dari sebuah kesalahan, anak kalian butuh kalian agar tak kembali menjadi "salah". Jika ada yang bisa mengerti keadaan Naruto, hanya anak kalian yang bisa. Jika ada yang bisa menerima keberadaan anak kalian, hanya Naruto yang paling mampu. Jika ada yang bisa melindungi mereka, hanya kau yang bisa melakukannya. Ikatan diantara kalian bertiga." Pria didepan Sasuke menolehkan wajahnya menghadap kekanan, dimana sang anak tengah berada.

"Ryo. Kemarilah nak." Kaki – kaki kecil Ryo melangkah dengan riang menuju sang ibu. "Kau tahu ayah sebenarnya seorang perempuan?" Bocoh tersebut menganggukan kepalanya keras. "Tapi sekarang ayah adalah seorang laki – laki. Lalu jawaban apa yang Ryo berikan jika ada yang menanyakan apakah ayah laki – laki atau perempuan?"

"Tak peduli ayah adalah pelempuan atau laki – laki. Ayah tetaplah olang tua Lyo. Lyo bangga punya olang tua sepelti ayah dan papa. Lyo sayang ayah dan Papa. Adik bayi juga." Ryo menambahkan jawabannya dengan mengelus perut buncit sang ayah.

"Percayalah Sasuke. Bukan aku ataupun Juugo yang mengajari Ryo mengatakan hal tersebut. Kata – kata murni muncul darinya."

"Siapa kau sebenarnya?" Kini perhatian Sasuke benar – benar terfokus pada sosok didepannya.

"Namaku lahirku adalah Nii Yugito. Sekarang namaku adalah Yuugi Weston. Mengikuti marga ayah Juugo. Aku seorang transgender Female to Male. Aku melakukannya karena aku begitu mencintai Juugo yang notabene seorang gay. Aku bersedia menjadi laki – laki agar bisa bersamanya. Kemudian kami sadar kami membutuhkan keturunan. Jadi aku memutuskan untuk hamil. Kasusku dan Naruto memanglah berbeda. Tapi aku bisa mengerti kegelisahan yang ia rasa. Maka dari itu, aku bersedia membantumu dalam menghadapi mental Naruto mengenai kehamilannya."

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Naruto. Ibu akan membeli sesuatu di swalayan dekat kantor ibu, sekalian ada beberapa urusan yang harus ibu tangani dikantor. Paling lama mungkin dua jam. Itachi dan Sasuke juga tak bisa dihubungi, sekertarisnya bilang mereka sedang dalam perjalanan bisnis keluar. Apa tidak apa – apa ibu meninggalkanmu."

"Tak apa. Pergilah. Aku masih bisa menjaga diriku sendiri."

Mikoto memandang wajah Naruto dengan tatapan hangat. Tangannya terangkat untuk membelai surai pirang Naruto. "Aku akan berpesan agar suster memeriksa perkembangannmu setiap saat."

"Pergilah," menyingkirkan dengan halus tangan wanita paruh baya tersebut dari kepalanya. "Aku masih bisa menangani ini."

"Baiklah. Ibu pergi dulu."

Safir Naruto tak lepas menatap punggung wanita paruh baya tersebut. Mengantarkannya hingga menghiang dibalik pintu. Menatapnya tanpa berkata – kata. Tak dapat dipungkiri, Naruto mulai nyaman dengan perhatian wanita paruh baya yang membahasakan dirinya sebagai ibu Naruto tersebut.

Membuat Naruto benar – benar bisa merasakan kehadiran sang ibu yang sesungguhnya. Terlepas dari kenyataan bahwa ia tak pernah merasakan hal tersebut.

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Saya mendapatkan data yang anda minta Taisho-sama. Namanya Naruto. Tanpa marga. Dua puluh tahun. Laki – laki. Memiliki rambut pirang, mata biru dan tiga garis halus disetiap pipinya. Tengah dirawat di Rumah Sakit Daerah Yokohama. Tidak ada keterangan apa yang tengah dideritanya. Dia dirawat di kamar inap kelas VIP nomor 108. Namun beredar kabar bahwa—

"Cukup. Kau siapkan saja mobil, kita akan mengunjunginya saat ini juga."

"Baik Taisho-sama."

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

Naruto merasa bahwa ia ingin buang air kecil, maka dari itu, ia memutuskan untuk turun dan membawa sendiri tiang infusnya ke kamar mandi dari pada menekan tombol pemanggil suster. Namun ketika ia melewati lemari pakaian yang memang tersedia di ruang inap kelas yang ia gunakan, Naruto memberhentikan langkahnya. Memandang pantulan dirinya di cermin setengah badan yang tertempel menjadi satu di pintu almari.

Naruto melepas genggaman tangan kanannya di tiang infus. Dan dengan gerakan pelan ia arahkan tangannya menuju kancing tengah bajunya. Membuka bulatan benda pengait antar helai baju tersebut. Diaktivitas terakhir membuka kacing baju, Naruto sempat merasa ragu untuk melanjutkannya. Maka setelah tarakan nafas panjang. Naruto membawa baju bagian depannya mengikuti kedua tangannya yang menjauh.

Buncit. Perutnya benar – benar telah membuncit. Jauh lebih buncit dari terakhir ia melihatnya saat masih tinggal di apartemennya dulu. Naruto memang tak pernah mau melihat cermin. Dan entah mengapa saat ini ia ingin melihat bagaimana perubahan yang tengah ia alami kini.

"Siapa aku sebenarnya?" Naruto membawa kedua tangannya kedepan. Menyentuh perut buncitnya. "Apakah dengan cara ini KAU menunjukan padaku bahwa aku orang yang 'berbeda'? Setidaknya Kau beri aku kisah yang indah."

"Merasa senang dengan keadaanmu, bocah?" Ucapan seseorang dari arah belakang tak ayal membuat Naruto menoleh dengan cepat. "Kali ini aku datang dengan sebuah penawaran."

Fugaku melangkahkan kakinya mendekat ke arah Naruto. Meletakan sebuah map di nakas sebelah ranjang Naruto.

"Tiongkok, Belanda, Amerika. Kau bebas memilih negara manapun. Aku janji, akan memberikan semuanya yang kau minta. Kita buat ulang kehidupanmu. Cita – citamu akan terkabul. Kau bisa memiliki marga. Menyelesaikan kuliahmu di luar negeri. Bekerja diperusahaan terkenal dan memiliki pendapatan besar. Kau bisa membeli rumahmu sendiri, mobilmu sendiri, apapun yang kau minta."

"Apa yang sebenarnya Anda inginkan?" Naruto menutup tubuh atasnya dengan cepat. Membuat Fugaku berhenti ditempat. Ia tak ingin membuat Naruto menjadi ketakutan seperti terakhir kali ia mendatangi pemuda tersebut. Ia tak mau rencananya hancur karena ketakutan Naruto

"Kau tahu dengan jelas apa yang aku inginkan Naruto. Aku tak menginkan garis keturunan putraku lahir darimu. Kau adalah sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan tak patut diteruskan."

"Apa salah'nya'? Bukan Saya yang menciptakan ia ada. Tapi putra Anda."

"Ya. Aku akui Sasuke juga tak bisa dikesampingkan. Ia juga bersalah. Tapi marilah kita bahas dirimu saja. Tidak 'kah kau ingin meraih kebahagianmu sendiri? Kehidupan kecil yang akan kau bangun kelak, sebuah keluarga? Keluarga yang sesungguhnya?"

"Menukarnya dengan hidup janin yang tengah Saya kandung? Jangan gila. Saya tak ingin menjadi pembunuh."

"Dunia memang kejam Naruto. Kebahagian tak bisa diraih dengan begitu mudah. Banyak perjuangan yang harus dilalui. Kita hanya mengambil langkah untuk kebahagian kita bersama. Aku yakin janinmu pasti akan mengerti."

"Anda gila Fugaku-san! Anda tak pantas dengan jabatan yang tengah Anda jalani."

"Semua manusia memiliki kesempatan untuk menjadi kotor Naruto. Mari kita kotor bersama – sama terebih dahulu. Baru kita bisa berhenti dan bertaubat." Fugaku kembali berjalan mendekat kearah Naruto. Berhenti dihadapannya, dan memegang kedua bahu Naruto.

"Kau anak yang baik Naruto. Aku akui itu ketika menyelidiki latar belakang hidupmu. Hanya saja kau anak yang tidak beruntung. Mari kita buat hidupmu lebih berwarna. Kita mulai semuanya dari awal. Aku yakin, hidupmu akan berubah sepenuhnya. Kau hanya perlu menyingkirkan janinmu. Lihat sisi baiknya, kau bisa hidup bebas. Tanpa bayang – bayang tentang bagaimana kehidupanmu dan anakmu kelak. Aku tenang karena bisa melepaskan belenggu yang melingkari putra bungsuku."

"Betapa linciknya Anda. Memanfaatkan latar belakang hidup Saya untuk keuntungan Anda."

"Lihat mataku." Meski dengan gerakan terpatah – patah, Naruto menatap onyx pria berusia empat puluh tahuanan di depannya. "Anak seperti apa yang akan lahir darimu kelak? Dia akan selalu membawa akibat dari kelakuan orang tuanya. Meskipun kau bisa menitipkannya dan menghilangkan jejak bahwa ia anakmu, apa hal itu tak menutup kemungkinan bahwa ia akan diketahui sebagai anak dari seorang pria yang dapat mengandung suatu hari kelak? Kau tahu persis seperti apa itu hidup susah Naruto. Meski sedikit, aku yakin kau masih punya rasa kasihan untuk tidak mengulang kepedihan hidupmu pada anakmu."

Naruto tertunduk, tangannya semakin erat memeluk tubuhnya sendiri. Tak dapat dipungkiri, perkataan Fugaku sedikit menggoyahkan penderian yang sempat tercipta. Kini keraguan kembali membayangi dirinya. "Anda bisa membuat hidup Saya terlihat terlahir kembali. Bukankah Anda juga bisa melakukannya pada'nya' kelak?"

"Kau tau titik poin pembicaraan kita Naruto, Dan itu sudah cukup jelas."

"Tapi bagaimana kita menyingkirkannya? Dokter Tsunade bilang akan sangat membahayakan bagi Saya. Terlibih dengan status Saya yang seorang pria."

"Bisakah aku anggap ini sebagai awal kau setuju dengan tawaranku?"

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Berhentilah menatapku seperti itu Sasuke. Aku benar – benar tak bisa menerka apa yang sebenarnya ingin kau tanyakan."

"Lubang yang mana?"

"Ha?"

"Lubang yang mana yang kau masuki?"

"Lubang apa?"

"Saat kau berhubungan badan dengan suamimu."

"Bisakah kau menanyakan hal yang lebih wajar?"

"Jawab saja."

Juugo harus menarik nafas panjang terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Sasuke. "Kau memang punya aura ultimate. Aku tak akan bisa tak menuruti apa yang kau pikirkan."

Memimum cairan kuning dari gelas bir miliknya, Juugo kembali berbicara.

"Aku tak mengerti rahasia dari sebuah kehidupan. Pemikiran masnusia. Dan hal – hal yang ada di dunia. Tapi aku percaya akan yang namanya takdir. Kita memang dilahirkan dalam dua jenis kelamin. Perempuan dan Laki – laki. Tidak ada kelamin ketiga. Terlepas dari kasus Naruto yang memanglah seorang laki – laki namun dapat mengandung. Hubungan manusia—dalam hal ini adalah seks—sejatinya memang haruslah dilakukan oleh laki – laki dan perempuan. Tapi kemudian muncul beberapa orang sepertiku, yang memang tak bisa memiliki rasa pada lawan jenis. Menjadi gay bukanlah sebuah pilihan. Aku tak mengetahui awalnya, aku tak melakukan apapun hingga jadi begini, semua berjalan begitu saja."

"Dulu aku berpikir aku tak pernah menyukai wanita karena memang masih belum saatnya. Tapi ketika aku merasa tertarik dengan salah satu juniorku dulu, dimana ia seorang laki – laki sepertiku, aku tetap mengalami dilemma yang disebut "susah menerima kenyataan". Tapi belakang aku sadar, cinta mengalahkan segalanya, bahkan logika sekalipun. Dan dengan perjuangan, aku menjalin hubungan dengannya. Tapi itu baru awal kehidupan gay ku. Tidak 'kah kau juga mengalami masa yang sama sepertiku 'Suke?"

"Hn."

"Aku anggap itu iya. Awalnya aku pikir dia akan jadi yang terakhir dalam hidupku. Tapi ternyata bukan. Hal ini tak lantas menjadikanku sebagai pria liar yang mengencani setiap lelaki yang menarik perhatianku. Susah bagi ku—gay tipe denial—mengakui orientasi seksual yang ada. Dan hal ini menganggu hidupku. Kenakalanku semakin menjadi. Semua masalah yang ada membuatku menutup mata akan hadirnya Yuugito. Meski telambat, aku mensyukuri kehadirannya."

"Itu tidak menjelaskan apapun dari pertanyaanku."

Juugo tersenyum, ia merangkul bahu Sasuke. "Secara seksual, ia benar – benar telah terbentuk selayaknya lelaki. Aku melakukannya sama seperti yang kau lakukan."

Sasuke menaikan sebelah alisnya, "Jadi kehamilannya adalah rekayasa? Bayi tabung?"

Juugo menganggukan kepalanya. Membenarkan ucapan Sasuke.

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Apa yang sebenarnya kau pikirkan kini, Sasuke. Sungguh, aku tak bisa menebaknya kali ini." Itachi bertanya sembari menatap lurus kejalanan. Memilih tetap berkonsentrasi saat mengemudi.

Sasuke sedikit merasa bosan dengan ungkapan – ungkapan yang menjelaskan bahw dirinya benar – benar tak dapat di tebak. "Tidak ada."

"Kau memang menyebalkan."

"Ck. Berkonsentrasilah saat mengemudi. Jika perlu, tambah kecepatan."

Tak perlu kata – kata lebih implisit untuk menjelaskan semuanya. Karena Itachi telah memahaminya. Dan sebentuk senyuman mengembang diwajah Itachi.

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

~Jika ada yang bisa melindungi mereka, hanya kau
yang bisa melakukannya.
Ikatan diantara kalian bertiga~

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

Mikoto tiba lima belas menit setelah Fugaku pergi. Ada kemungkinan sepasang suami istri tersebut tidak berpapasan dijalan. Hal ini terbukti dari raut wajah Mikoto yang terlihat masih dalam keadaan baik. Tidak ada guratan atau amarah seperti biasanya ketika sang suami mencoba datang untuk mengganggu Naruto. Bukannya Naruto berharap akan sikap Mikoto padanya. Tapi dengan demikian ia jadi memiliki waktu yang cukup untuk memikirkan penawaran dari Fugaku tanpa campur tangan Mikoto maupun dua Uchiha muda lainnya.

"Apa yang sedang kau lamunkan Naruto?"

Teguran halus wanita paruh baya tersebut sukses membuyarkan konsentrasi Naruto. "Tidak ada. Melamun sudah jadi kebiasaanku akhir – akhir ini."

"Ada baiknya jika waktu luangmu kau gunakan untuk berinteraksi dengan janinmu. Itu akan membantunya belajar tentang dunia diluar kandungan. Atau sesekali hiburlah dia sembari mendengarkan musik."

Naruto tak memberi respon apa – apa saat Mikoto meraih pergelangan tangan kanannya dan meletakkannya diatas perutnya. "Bicaralah seolah dia memang ada dihadapanmu, buat dia seolah mendengarmu." Tapi yang Naruto lakukan hanya mengusap perutnya lembut.

"Sasuke kapan akan kemari?"

"Sasuke?" Mikoto mengulang dengan nada heran. "Mungkin nanti, selepas kerja," meletakan kue jahe dan teh hangat di meja dekat ranjang. "Ada apa."

"Ada yang ingin aku buktikan."

"Apa itu?" Mikoto menarik bangku mendekati sisi kanan Naruto.

"Entahlah. Tapi ini menggangguku."

Kali ini, sebagai respon dari percakapannya, Mikoto menganggat tangannya. Mengusap sayang surai pirang Naruto. Sementara Naruto hanya bisa bersikap kaku.

"Jangan memaksakan hidupmu Naruto. Ada saatnya kau bisa memilih kehidupan yang lebih layak. Tuhan tak akan memberikan hambanya dengan cobaan yang hamba tersebut tak bisa menjalaninya."

"Ibu?"

Mikoto tersenyum penuh kebahagiaan mendengar Naruto memanggilnya demikian. "Iya sayang?"

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Kalian sudah datang?" Mikoto sedang duduk di kursi samping ranjang Naruto. Tangan kananya tak berhenti mengusap dahi si pirang yang tengah terlelap. Sebelah tangannya yang lain mengenggam tangan Naruto.

"Dia baru saja tertidur. Sikapnya hari ini sedikit mudah diatur. Tidak seperti sebelumnya. Ia bahkan menghabiskan bubur yang disediakan rumah sakit dan meminum obatnya tanpa disuruh."

"Syukurlah jika begitu." Itachi menaruh beberapa jenis kudapan di nakas. Kemudian memijat bahu sang ibu. "Kita pulang, bu. Biar Sasuke yang menjaga Naruto."

Mikoto menganggukan kepalanya. "Baiklah. Tapi ada sesuatu yang ingin ku bicarakan dengan Sasuke sebentar. Nanti ibu juga akan memberitahu mu, hanya saja ibu takut Naruto tahu." Beranjak berdiri, "Ibu minta tolong kau bereskan peralatan Naruto dan barang – barang ibu."

Itachi menundukan kepalanya. Menerima dengan baik perintah Mikoto.

"Sasuke, ikutlah denganku sebentar."

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Ibu sebenarnya tidak ingin menghiyanati Naruto dengan menceritakannya padamu. Bisa saja ibu mengurusi tindakan gila ayahmu itu. Hanya saja, ibu sadar ibu tidak bisa menangani ini seorang diri hanya untuk menyenangkan Naruto. Ibu yakin jika kita bekerja sama akan lebih baik."

"Ada apa sebenarnya, bu?" Sasuke mulai melihat ketidakwajaran.

Mikoto menggenggam erat tangan Sasuke. "Jangan terpancing emosi dahulu. Bagaimanapun juga Fugaku adalah ayahmu." Mikoto memberikan sedikit senyuman. "Tadi ibu sempat meninggalkan Naruto. Ada perihal mendadak yang harus di selesaikan, ibu tahu ibu salah—" Mikoto mempercepat ucapannya saat terlihat Sasuke hendak memotong. "—Tapi semuanya masih dalam kenadali. Sewaktu ibu pergi, Ayahmu menemui Naruto lagi. Ia meminta Naruto pergi meninggalkan Jepang."

"Apa?!"

"Naruto hampir termakan ucapan Ayahmu. Hanya saja ia mampu mengulur waktu."

"Naruto menceritakan semuanya padamu?"

"Ya. Meski sedikit pancingan."

"Lalu?"

"Naruto masih dalam keadaan labil Sasuke. Baik kita maupun ayahmu bisa saja memberi akhir yang buruk baginya. Ayahmu sangat jelas ingin melenyapakan janin Naruto. Tapi dengan memaksanya tetap bertahan di tengah tekanan yang ada tak ayal akan menekannya berbuat nekat juga. Paling parah mungkin ia akan membunuh anaknya saat lahir nanti jika terus berada pada posisi ini."

"Lalu bagaimana?"

"Naruto memintaku melenyapkannya dari kalian semua. Ayahmu dan juga dirimu. Tapi aku kembali berpikir, Naruto tak akan kuat menghadapinya seorang diri. Maka, mari kita ikuti permainan ayahmu."

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Kalian sudah selesai?"

Mikoto yang mengangguk sebagai jawaban.

"Kau sudah siap, Itachi?"

"Sudah."

"Baiklah. Sasuke, ibu pamit dulu. Jika ada apa – apa cepat hubungi kami." Mikoto menenteng tasnya kemudian membelai pipi putra bungsunya sebelum pergi.

"Semua jendela telah aku cek. Aman. Beberapa makanan dan minuman dingin sudah aku masukan di kulkas. Baju gantimu aku gantung di lemari."

"Terimakasih."

"Aku pulang dulu." Itachi menepuk bahu Sasuke.

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

Sasuke melepas jas yang sedari tadi dipakainya. Menekuk lengan kemeja hingga sebatas siku. Melonggarkan dasi. Dan duduk di kursi yang tadi diduduki oleh ibunya.

Tangan kanannya mengambil ponsel dari dalam saku celana. Memasang alarm satu jam lebih cepat dari alarm utama. Mencoba bangun lebih dahulu esok pagi agar ia bisa memilih sikap apa yang akan ia tunjukkan saat Naruto bangun.

Kemudian ia duduk dalam posisi yang sama selama setengah jam. Duduk sembari memandang wajah tenang Naruto ketika tidur.

Memandang bulu mata dan kelopak matanya yang bergerak – gerak menandakan sosok tersebut memiliki kilatan ingatan yang disebut mimpi.
Memandang tiga garis halus di kedua pipinya yang nyatanya masih terlihat saat keadaan tenang.
Melihat dadanya yang naik turun dengan teratur tanda bahwa ia bernafas dengan baik.
Memandang perut Naruto. Perut yang tertutupi selimut.

Lama.

Lama sekali. Sangat lama Sasuke memandang objek terebut. Seolah dapat menembusnya dan melihat apa yang ada didalamnya. Seolah hal tersebut nampak nyata.

Memandangnya sembari berharap.

Tangan kiri Sasuke terangkat. Berhenti diudara. Ragu untuk mendarat. Melatakkan tangannya dan merasakan apa yang terjadi. Merasakan perkembangan kandungan Naruto. Merasakan tumbuh kembang anak mereka.

Merasa tak sopan menyentuh seseorang yang sedang menjauhimu, pada selanjutnya Sasuke menarik tangannya kembali.

"Teruslah hidup." Sasuke akhirnya memilih membenarkan anak rambut Naruto yang menutupi dahinya.

Beranjak berdiri, ia merebahkan diri di ranjang khusus keluarga yang menjaga. Meletakkan tangan kanan di atas bantal spons untuk menambah tinggi letak kepalanya. Kemudian menolehkan wajahnya kekanan. Dan Sasuke tertidur sembari menatap Naruto.

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

Sepasang safir mulai terlihat dibalik kelopak mata yang terangkat, terbuka. Menatap lurus pada sosok yang terlelap sembari menatap dirinya.

"Tuhan. Kuatkan aku."

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Naruto..." Mikoto memanggil bahkan sebelum memasuki ruang rawat Naruto. "Ibu bawa ini." Mengangkat kantung kertas.

Naruto menatap kantung yang Mikoto bawa, dan ia merasa familiar dengan logo pada bagian depan kantung.

"Iya. Ibu membelinya di toko dimana kau bekerja." Alis Naruto terangkat. "Sasuke memberitahu ibu, jadi, ibu sekalian saja mengajaknya mampir. Pemilik toko sangat ramah. Ibu bahkan sempat mengobrol dengannya."

"Nenek Chio?"

"Ya. Dia menitipkan salam untukmu. Ia sebenarnya bertanya kau dimana, dan, mengapa berhenti mendadak. Tapi, kemudian ibu bilang, bahwa kau adalah calon menantuku, dan kau akan segera memiliki anak."

"Jadi ibu—"

"—Tidak. Ibu tidak bercerita bahwa kau yang hamil. Dia menduga bahwa anak ibu wanita."

"Owh."

"Ini bolu jeruknya. Chio – san bilang kau menyukainya."

"Terima kasih."

"Oh iya. Sasuke bilang bahwa nanti ia akan membawa seseorang untuk berkunjung."

"Siapa?"

"Sasuke bilang temannya di masa sekolah atau kuliah, ibu lupa. Sasuke juga bilang, bahwa ia laki – laki yang juga tengah mengandung."

"APA?!"

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Halo Naruto."

Seorang pria dengan model rambut layaknya memasuki ruang inap Naruto. Perut pria tersebut sangat membuncit. Seperti tengah hamil tua. Di belakangnya, ada pria lain berambut jingga gelap. Ia tengah membawa seorang anak laki – laki berumur empat tahunan lebih dalam gendongannya.

Terakhir, Sasuke datang paling belakang. Ia tak masuk. Memilih menyandarkan bahunya di daun pintu. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Menikmati interaksi di depannnya.

"Ini untukmu." Pria pertama menyerahkan bingkisan buah. "Yang berebentuk mengerikan itu, namanya buah naga. Sangat baik untuk kehamilan." Ujarnya. "Aku Yuugito. Kau bisa memanggilku Yuu. Aku lebih tua setahun di atasmu. Dia Juugo, suamiku, dan juga teman Sasuke. Dan ini Ryo. Putra pertamaku."

Juugo menunduk memberi salam. Ryo sembunyi di leher sang papa. Takut dengan pandangan menyelidik Naruto.

Naruto terdiam dengan seribu pertanyaan.

"Duduklah. Pilih dimana kalian suka." Mikoto menyambut mereka. Juugo memilih duduk di sofa pengunjung. Yuu duduk di sebelah Naruto.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Baik."

"Ini kehamilan pertamamu bukan. Bagaimana rasanya?''

"Buruk."

Yuugito tersenyum. "Benarkah? Kalau aku. Aku merasa sangat gembira. Setiap bulan aku akan berdiri di depan cermin dengan posisi yang sama dan pakaian yang sama. Aku suruh Juugo memotretku. Sebagai dokumentasi untuk aku tunjukan pada Ryo setelah ia lahir." Yuugito bercerita dengan riang tanpa diminta.

"Kau ingin meyakinkanya bahwa kau yang mengandungnya."

"Pada awalnya memang begitu. Tapi lama – kelamaan aku juga merasa asik sendiri."

"Kau tak merasa aneh? Merasa berbeda?"

"Mengapa aku harus?"

"Karena kau pria."

"Oh ya, ya. Aku pria. Dan aku bisa mengandung. Lantas?"

"Itu tidak wajar. Ini menjijikkan."

"Hey. Tidak ada kehidupan baru yang menjijikan. Darimanapun kehamilan itu bermula."

"Kau mengatakannya, karena kau memang pasangan sesama jenis. Aku tidak. Aku pria normal." Naruto menatap Sasuke yang juga sedang menatapnya. Tapi kemudian, Naruto memilih kembali menatap Yuugito.

"Mmmm. Bisa jadi. Mungkin aku memang mengharapkanya. Tapi aku tak bisa langsung mendapatkannya."

"Kenapa?"

"Bolehkah aku memegang kandunganmu?" Bukan bertanya, Yuugito malah meminta, kedua tangannya sudah ia letakkan di atas ranjang.

Naruto terdiam. Ia menolehkan wajahnya pada Mikoto. Meminta tanggapan.

Mikoto mengangguk.

Naruto menurunkan selimut.

Yuugito langsung menyentuh perut Naruto. Meski masih di lapisi baju rumah sakit, Yuugito masih bisa menerkanya.

"Dia bergerak aktif. Tidak seperti putriku saat ini."

"Janinmu perempuan."

"Ya. Kau?"

"Aku tidak tahu."

"Belum di USG?"

"Aku tak ingin mengetahuinya."

"Buat kejutan?"

"Tidak juga."

"Perutku dulu juga berbentuk seperti ini. Lonjong. Mungkin anakmu laki – laki."

Naruto terdiam.

"Tapi dulu saat aku mengandung Ryo, perutku tak sebesar ini."

Naruto mengadah. Mulai tertarik.

"Saat aku hamil enam bulan. Berat Ryo sudah mendekati dua kilo. Tapi entah mengapa, saat aku hamil tujuh bulan, berat Ryo mendadak turun menjadi tak lebih dari satu kilo empat ons."

"Bagaimana bisa?"

"Dokter bilang aku terlalu banyak berpikir. Terlalu banyak bekerja. Tapi lebih fatal di mental. Mungkin kau benar, statusku dulu, serta keadaan bahwa itu kehamilan pertamaku, banyak beban pikiran yang menghantui. Kau tahu apa yang aku pikirkan saat itu?"

Naruto menggeleng.

"Aku takuuuut. Mungkinkah Tuhan sebenarnya menghukumku dari kehamilan ini. Aku takuuut. Mungkin Tuhan akan mengambilnya dariku. Aku takuuut. Dia akan pergi bahkan sebelum ia datang. Aku takut. Karena aku menyayanginya. Tapi ternyata Tuhan masih memberikan hidayahnya. Aku memang terpaksa melahirkan Ryo di bulan kedelapan. Ryo sangat lemah saat itu. Beratnya hanya satu setengah kilogram. Butuh dua bulan untukmya keluar dari inkubator. Tapi dia selamat. Dia hidup. Di tetap hadir di tengah tengah antara aku dan Juugo."

Naruto menatap Ryo yang tengah di duduk di pangkuan Juugo dan menatap padanya.

"Kau, apa yang kau rasakan?"

Naruto kembali menggelengkan kepala.

"Mau menyentuh kandunganku?"

Naruto mengangguk pelan – pelan.

Beda Naruto. Beda Yuugito. Ia yang menggunakan celana katun dan kaos oblong standar dengan blazer hitam, langsung menyampingkan blazernya, mengangkat kaos oblongnya.

"Mau menyentuhnya sekarang?"

Naruto menegakkan punggungnya, kemudian tangannya menyentuh perut Yuugito. Perut itu sama sepertinya. Terasa kencang. Terasa hangat. Perut itu menampakkan warna kulit yang menggelap di area pusar yang mencuat, ketimbang daerah lain.

Tangan Naruto beralih, menyentuh bekas sayatan yang meninjol di bawah pusar. Tanda operasi sesar. Tanda perjuangan. Perjuangan seorang ibu.

"Sama bukan, dengan kehamilanmu?"

Naruto mengangguk.

"Dia bergerak?"

"Iya. Dia hidup."

"Tentu saja. Aku benar – benar tengah hamil."

Naruto tersenyum. "Naruto. Percayakah jika aku bilang aku bukan gay? Aku juga bukan biseks. Aku bukan wanita, apalagi pria."

Naruto mendongak.

"Aku seorang transgender Female to Male. Aku melakukannya karena aku begitu mencintai Juugo yang notabene seorang gay. Aku bersedia menjadi laki – laki agar bisa bersamanya. Kemudian kami sadar kami membutuhkan keturunan. Jadi aku memutuskan untuk hamil." Yuugitu membelai pipi Naruto sayang.

"Kehamilan kita memang berbeda Naruto. Aku yang notabene perempuan merusak kodratku. Dan dengan terpaksa harus melalui program bayi tabung untuk mendapatkan seorang anak. Aku bahkan sudah tidak bisa melahirkan mereka dengan cara normal. Sudah tidak mungkin. Tapi kau berbeda. Kau memang tercipta seperti itu, kau memang diciptakan untuk bisa mengandung karena hamil. Karena kau mampu."

Naruto jatuh tertunduk dalam.

Yuugito menjauhkan tubuhnya dari Naruto. Menutup bajunya. Dan menundukan tubuhnya. "Aku tahu kau bisa. Kita bisa. Selamatkan bayimu. Dan kau akan merasakan betapa beruntungnya dirimu menjadi seorang ibu. Terlepas siapa sebenernya dirimu." Kemudian mengecup kening Naruto.

"Nak. Kemarilah. Ryo tidak ingin mengenal paman Naruto? Dia akan jadi orang tua teman adik Ryo."

"Pa~" Ryo meminta persetujuan.

"Pergilah."

Ryo turun dari pangkuan sang papa. Kemudian berlari kecil menuju sang ayah.

"Halo paman, nama aku Lyo. Salam kenal. Adek Lyo, nanti teme an sama adek bayi Paman Naluto, ya? "

Tanpa di komando, Naruto tersenyum.

"Ryo lucu. Masak sudah besar masih gak bisa bilang R." Komentar Naruto.

"Paman Naluto, manja."

Semua tertawa.

"Naruto..." Ibu kembali bersuara setelah dari tadi diam. "Kau harus kuat. Jika kau merasa sudah tidak sanggup. Berjuanglah untuk anakmu."

Disudut ruangan, setelah berpindah tempat. Sasuke menatap Naruto dalam pandangan sendu. Menikmati waktu keluarga yang tercipta dengan atmosfir hangat.

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Semua keadaanya baik. Tekanan darah dan tingkat kolesterolnya baik. Hanya saja perlu penambahan nutrisi untuk bulan kedepan." Tsunade memberikan catatan untuk kesehatan Naruto.

"Terimakasih Tsunade-san." Mikoto menerima catatan tersebut.

"Kau. Jadilah pria yang kuat. Jangan kalah dengan semua ini. Aku tahu kau mampu." Menepuk bahu Naruto, Tsunade izin undur diri.

Naruto hanya diam. Tak merespon apapun. Ia akan tetap berada pada sikap diam jika sudah seperti ini. Hanya pada Mikoto, Naruto masih menampakkan sikap manusia wajar.

"Kita pulang." Ajak Mikoto.

Sasuke menyerahkan jaket berbahan tipis degan tudung lebar pada ibunya, namun Mikoto menolaknya. "Bantulah Naruto memakainya. Ibu akan beres – beres."

Sasuke terdiam. Dalam hati ia mengumpat. Mengapa ibunya malah bersikap demikian. Padahal beliau tahu dirinya sedang tidak mampu berinteraksi langsung dengan Naruto.

"Mau aku pakaikan atau—

"—Aku pakai sendiri."

Sasuke menyerahkan jaket biru dongker tersebut.

Saat Naruto berusaha turun dari ranjang—yang kebetulan sedikit tinggi—kesusahan, tanpa persetuan Naruto, ia merangkul pinggang Naruto. Membantunya.

Tangan itu merasa hangat pada punggung yang melengkung dalam. Khas tubuh wanita hamil besar.

"Sudah. Lepaskan." Naruto membenarkan bajunya yang sedikit terangkat saat ia telah berhasil menuruni ranjang. Menutup perut buncit yang terpampang. Kemudian memasang tudung dan menutupi sedikit wajah atasnya.

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Ibu akan mampir setidaknya dua minggu sekali. Memastikan Naruto tetap menyediakan makanan sehat untuk kandungannya. Permen jahe sudah ibu siapkan sekitar empat pack. Kau makanlah sebelum dan sesuah tidur. Dengan begitu tidurmu akan lebih nyaman. Beberpa baju ibu saat masih hamil sudah ibu gantung di lemari Naruto. Ibu pilih yang paling besar. Meski Naruto sekarang amat kurus, tapi ia tetap lebih besar dari ibu. Surat dan perlengkapan ceck up juga sudah selipkan di tas. Terakhir. Jika butuh sesuatu, cepat telepon ibu." Mikoto selama berbicara tak melepas sedikitpun lengan kanan Naruto. Memberi stimulus perhatian akan kasih sayang seorang ibu.

"Sasuke. Tak aman jika kau sering meninggalkan Naruto dalam keadaan seperti sekarang. Ayahmu dan para ajudannya akan kembali mengusik hidup Naruto. Kau ajukanlah surat pengunduran diri. Bekerjalah pada bidang yang bisa kau kerjakan di dalam rumah," Mikoto sekarang menatap putra sulungnya. "Itachi, kau tak keberatan bukan, membantunya lagi?"

"Tidak, bu. Aku siap."

Mikoto tersenyum.

"Ya sudah, ibu pamit pulang."

Untuk terakhir kali, Mikoto menatap Naruto yang tengah menduduk dalam. Menatap sandal rumah sakit yang lebih dipilihnya ketimbang sendal yang disediakan Sasuke dirumah sakit.

"Ibu tidak akan bosan mengatakannya, bahkan untuk kembali mengulangnya sekarang. Naruto, kau harus kuat. Jika kau merasa sudah tidak sanggup. Maka berjuanglah untuk anakmu. Ibu yakin kau mulai menyadarinya."

"Sudah, bu. Ayo kita pulang. Biarkan Naruto beristirahat."

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Kau ingin teh tarik, apa teh hijau dengan kremer?" Sasuke bertanya dari arah dapur.

Naruto tak menjawab. Kedua sapirnya menatap lurus kearah televisi LID 42 inchi di depannya. Tapi semua audio dan visual terlewat begitu saja.

"Naruto?" Sasuke menyentuhkan gelas mug putih 60 CC ke lengan kanan Naruto.

Naruto mendongak. Kedua netranya mentap wajah Sasuke. Bergerak ke kanan dan kekiri dalam jarak kecil. Tampak seoalah mata menangis dalam diam. Tapi dia meneliti. Dan berharap...

"Aku rindu Sakura."

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Bagaimana?" Suara disebrang langsung to the poin. Bahkan sebelum Naruto mengucapkan Halo.

"Ya aku setuju. Tapi ada syaratnya."

"Apapun syaratmu."

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

Mendung benar – benar menyelimuti pemakaman Kazhuhiro (lih: Sesuatu yang makmur). Padahal sejam lalu, saat Naruto dan Sasuke berangkat dari apartemen. Cuaca masih amat cerah. Namun sekarang mendung benar – benar telah berwarna abu gelap. Tinggal menunggu angin untuk kembali menghangatkan awan hingga awan beku terbawah berubah menjadi tetes air hujan.

"Kita akan tetap turun?" Tanya Sasuke setelah mematikan starat on, mobilnya.

Naruto menatap pintu pemakaman. Menggenggam erat safety belt, "Ya." kemudian melepaskannya.

Sasuke mengikuti tindakan Naruto. Turun dari mobil dan mensejajari dimana Naruto berdiri. Memandang depan.

"Kau tahu dimana makamnya?"

"Aku beberapa kali kesini."

Satu alis bersurai pirang tertarik keatas.

Dua kaki beralaskan sendal Teva berwarna hitam oranye melangkah pertama. Empat langkah kemudian, kaki beralaskan sendal Birkenstocks menyusul.

Mereka samapai. Didepan makam Sakura.

"Sudah berapa lama ia meninggal Sasuke? Bisa kau menghitungnya?" Naruto terduduk degan kedua lutut menekan gundukan tanah di depannya.

Tanah itu sudah kering. Tidak lagi berwarna merah. Tidak lagi bertekstur lembut. Tidak lagi tandus. Penuh akan rerumputan.

Makam Sakura memang berbeda, Mebuki merancangnya hanya dengan menggunakan separuh tanah makam Sakura yang diberi tugu, sisanya ditanami rerumputan. Hal ini dilakukan mengingat bagaiman sulanya Sakura terhadap tanaman.

"Kehamilan sudah berjalan di bulan keenam. Berarti sudah tujuh bulan lebih ia dimakamkan." Sasuke yang berdiri di belakang tubuh Naruto memasukan tangannya pada saku celana. Mengamati punggung Naruto yang naik turun, berirama.

"Bibi Mebuki dan Paman Khizasi pasti rajin menghampirinya. Terlihat dari bagaimana bersihnya makam Sakura." Tangan Naruto mengusap tugu Sakura. Disana sudah ada guvi air suci, dan sisa dupa. "Meski terliahat kuat dan tegar, Sakura adalah tipe anak yang manja. Dia sangat dekat dengan ayahnya. Sebab bibi selalu memarahinya yang sedikit ceroboh menaruh barang."

"Ya mereka memang sering datang kesini. Ibu memberitahuku."

"Mendekatlah, Sasuke." Pinta Naruto. Sasuke menurutinya. Ia mengikuti cara duduk Naruto. Hanya saja ia tidak menekan lutunya di tanah. Tungkainya masih kuat menopang. Berbeda dengan Naruto yang kesusahan dengan perut besarnya.

"Hari ini aku datang bersamanya. Orang yang membuat kita bertiga terikat hubungan rumit. Ku harap kau tak marah." Tangan Naruto mula menyalakan dupa.

"Kau ingin aku mengucapkan salam padanya?" Sasuke bertanya sembari ikut meletakkan bunga lily yang ia ingat adalah kesukaan Sakura.

Naruto mengangguk.

"Hei. Apa kabar? Maaf baru menghampirimu saat ini. Ku harap kau tidak meminta pada tuhan untuk turun hujan sebagai hukumanmu untukku."

Naruto tersenyum mendengarnya.

"Sakura. Aku jatuh bangun. Aku merasa ingin meledak. Ingin berkata tak sanggup. Tapi kau pasti menghinaku. Berkata bahwa aku payah. Tapi aku memang payah. Aku mulai melemah. Kehilangan diriku. Kehilangan arah. Aku bingung." Tangan Naruto menggenggam erat botol dupa. "Tapi bukankah setiap manusia berhak lemah? mengalah dengan emosi? Merasa lelah? Berteriak meminta keadilan? Aku berada di posisimu saat ini. Aku mengandung anaknya. Bah. Apa pula yang aku katakan. Ini berasa gatal di bibir, Sakura. Menggelikan. Tapi aku mulai mengakuinya. Salahkah aku mulai menyayanginya?"

Akhir kata Naruto, Sasuke terdangak. Menatap Naruto. Ia mulai menangis. Naruto mulai menangis.

"Kau membencinya, bukan? Marah padanya, bukan? Ingin membunuhnya bukan? Kau ingin lari dari kenyataain ini, bukan? Lari dan bebas dari perilakunya? Lalu mengapa kau yang harus pergi? Tidak sadar—" Naruto menarik nafas yang muali tersedat, tengggorokannya sakit, "—Tidak sadar bukan. Apa yang kau sebabkan karena kepergianmu? Kematianmu hanya menghentikan penderitaanmu saat itu, Sakura. Tapi apa berikutnya? "

"Mungkin dari semua orang yang kau beri dampak atas kepergianmu, Sasukelah yang paling diuntungkan, paling merasa senang, paling lega. Tapi tidak. Tidak Sakura. Sasuke tidak bebas. Ia tersiksa. Ia juga menderita. Bedanya dia mengikatku."

"Bibi Mebuki menggila. Ia nyaris merusak rumah karena kehilanganmu. Anak – anak panti nyaris terlantar karena kehilangan pengasuh tersayangnya. Paman Khi* nyaris menyerah merawat bibi. Tapi ia berhasil. Paman Khi hebat bukan? Tawa panti membawa kembali senyum bibi. Membawa lembali hidup bibi. Membawanya pulang. Lihat? Segalanya pasti ada jalan keluar."

*Khi (panggilan akrab Naruto)

Naruto menarik nafas kuat – kuat. Menetralkan suaranya. Mengadah. Kembali mencoba memasukan air matanya.

Sasuke diam. Dia tahu ini bukan waktu yang pas untuk menghibur. Naruto butuh space. Dia butuh waktu utuk melepaskan semuanya. Mencoba mencari jawaban. Meski dengan sebuah nisan.

Kurang dari delapan detik, Naruto kembali berbicara, "Tapi aku juga tidak akan munafik. Aku tak akan memungkiri yang sudah terjadi. Aku ingin mengakuinya sekarang. Sakura! Aku marah padamu, kesal padamu, kecewa padamu. Aku yang menjagamu sedari kecil. Menemanimu. Membuatmu tetap aman dalam kehidupan modern ini. Tapi kenapa kau menyerah begitu saja padanya? Mengapa kau menyerah pada Sasuke? Memilih bunuh diri? Dimana semua kata – kata motivasimu setiap pagi untukku? Kemana otak jenius pemegang siswi akselerasi terpintar? Kenapa kau memilih bunuh diri?!

Aku kehilangan teman terbaikku sahabatku, saudaraku, sosok yang ku cinta. Kau dengar? Aku mencintaimu. Tapi kau tak akan bisa membalas, Sakura. Karena kau tidak akan ada lagi di kamar sewaku dan memasak untukku. Tak akan ada lagi di perpustakaan dan membantuku belajar, berada dikantin dan memberikan makanan, tak akan ada lagi dan melarangku untuk makan ramen. Kau tidak ada. Tidak ada. Karena kau telah mati. Kau pergi meninggalkanku, Sakura!"

Petir mendung muncul berkilat beberapa kali di langit utara. Berikut dengan angin lembab yang terasa amat dingin. Naruto mengeratkan switer coklat yang akhir ini sering digunakannya.

Menarik nafas panjang.

"Kau pasti tahu, disini aku mencoba menyalurkan amarahmu, mencoba menghilangkan kesalmu, mencoba menyakiti sumber kebencianmu, mencoba meredamkan kekecewaanmu, mencoba membalaskan dendammu. Tapi? Bumerang datang kembali padaku sesaat setelah aku melemparnya. Waktu memberi tamparan. Kenyataan membawaku pula pada penghukuman. Dan semuanya terjadi. Semuanya sudah digariskan. Semuanya sudah diatur."

Katakan padaku sakura. Mengapa sekarang tujuanku berbeda, kebingunganku beralih, dendamku terhenti, obsesiku berbelok, kekecewaanku berubah? Berubah menjadi pengharapan, angan, doa. Doa untuk masa depan. Masa depan yang lebih baik."

Petir kembali menyambar. Lebih besa, keras, dan nyaring.

"Naruto~"

"Apa aku juga sudah beralih menjadi makhluk menjijikan? Apa aku sudah berubah menjadi orang yang berengsek? Menjilat ucapanku sendiri. Aku menginginkannya, Sakura. Aku menginginkannya hadir. Aku menyayanginya. Aku ingin dia lahir. Dan aku butuh Sasuke..." Tangis Naruto pecah saat itu juga tak dapat dibendung. Jatuh menetes tanpa elokan. Sangat deras.

Tanpa jeda, Sasuke langsung membawa Naruto didekapannya. Menariknya dalam sebuah pelukan hangat. Menahan kesedihannya.

Naruto menangis di dada Sasuke. Tangis yang amat pilu. Membuat Sasuke yang mendengarnya ikut merasakan sakit ditenggorokan. Seoalah merakan apa yang terjadi pada Naruto. Atau, itu memang sakit dari dirinya sendiri. Sakit karena ia juga menangis?

Satu air mata turun di pipi kiri Sasuke.

Bersamaan dengan air mata hujan langit. Yang turun serempak membasahi tanah kurburan.

Menyesaki keadaan yang mempermainkan mereka.

Dua anak manusia yang berusaha mencari jawaban.

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

Hujan turun amat deras. Mereka tak sempat berteduh. Tapi jaket kulit berkerah Sasuke menutupi kepala Naruto. Menjaganya agar tidak terlalu lama dijatuhi butiran air bersuhu rendah. Dua bahu bersentuhan selama mereka berjalan. Mengiringi langkah Naruto yang sedikit lebih pendek dari pria setengginya.

Membuka pintu. Menutup pintu. Sasuke berjalan kearah pintu kemudi.

Perjalanan pulang penuh akan kebisuan. Penuh akan pikiran masing – masing.

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Naruto. Cepat ganti bajumu dengan baju hangat. Tidak perlu mandi. Cukup ganti baju. Bilas rambutmu dengan handuk hangat, baru keringkan rambutmu. Usapkan menyak zaitun lalu tempelkan hokkairo* di dada, bawah perut da—"

hokkairo (Plaster penghangat)

Naruto mencegah Sasuke yang melintas di depannya dengan menahan lengannya. "—Sasuke. Aku mengerti. Kau tak perlu mengucapkannya dengan terburu. Aku pasti mendengarkannya. Sekarang, tenanglah."

Gerakan grasa – grusu Sasuke menyiapkan kebutuhan Naruto terhenti. Mata obsidiannya menatap heran Naruto.

"Tolong, bawakan semuanya ke kamar mandi. Dan," Naruto menatap Sasuke lembut, "Berhati – hatilah. Kau juga basah. Lantai akan semakin licin." Melepas genggaman tangan, kemudian beranjak pergi ke arah kamar mandi.

Sasuke berdiri menyamping. Menatap punggung Naruto yang mulai memasuki kamar mandi.

Tak membiarkan dirinya lama terdiam. Sasuke lekas mengikuti Naruto. Setelah, sebelumnya menyambar dua handuk kimono.

Didalam kamar mandi, Naruto telah membuka sweaternya. Kaos beludru miliknya menempel erat di badan, siap di lepas.

Sasuke membalikkan badan. Tak mau menganggu privasi.

"Handuknya Sasuke." Pinta Naruto.

Sasuke menyerahkannya tanpa balik badan. Setelahnya, ia menghidupkan kran setelah mengaturnya dalam sushu hangat. Membasahi handuk yang diambilnya dari nakas kamar mandi.

"Sudah. Berbaliklah." Sasuke berbalik. Naruto telah menggunakan handuk kimono. "Kau tak melepasnya?" Tanya Naruto.

"Tidak. Kau dulu." Sasuke menjulurkan tangannya yang menggenggam handuk hangat.

Naruto menerimanya. Kemudian menunduk. Membersihkan rambutnya dari air hujan dan menggantinya dengan aliran air hangat dari handuk tersebut. Kemudian mengeringkannya dengan handuk kering.

Sasuke menyodorkan minyak zaitun berfolume 100 cc.

"Bagian mana saja?"

"Ketiak."

Naruto mengolesinya dengan memasukkan tangganya dari celah lengan.

"Lalu?"

"Dada."

Naruto membuka sedikit kimononya, dan mengolesinya.

"Perut bawah." Sasuke mengintruksi tanpa menunggu jawaban.

Naruto berganti membuka sedikit kimono bagian bawahnya, dan kembali mengolesinya.

"Dan punggung."

"Punggung?"

"Ya."

"Aku tak bisa melakukannya Sasuke. Mau membantuku?" Naruto berbalik, membuka kimono, dan menurunkannya hingga pinggang.

Sasuke ragu – ragu meletakkan cairan minyak zaitun di tangannya ke punggung Naruto. Ini terlalu tiba – tiba. Ia masih sedikit canggung. Sedikit terkejut.

"Sasuke?" Naruto menolehkan kepalnya sedikit.

Di posisinya, Naruto merasakan tangan dingin Sasuke yang lebih dingin dari tangannya. Tangan dingin yang gemetar saat membalurkan cairan minyak zaitun tersebut. Tangan dingin yang berhenti mengusap dan memegang pundaknya.

Naruto memilih mengadahkan kepalanya. Mencari jawaban pada cermin di depannya. Dan ia terenyak.

Sasuke, merasa miris menatap dua tulang punggung menonjol Naruto, Sasuke mengangkat pandangannya. Sialnya matanya bertemu dengan mata Naruto. Di cermin yang memang terpasang di sisi itu dimana Naruto menghadapnya.

Terlihat. Bagaimana tubuh telanjang Naruto. Perut buncitnya. Pusar menonjolnya. Urat perutnya, stretch mark di pinggang.

Entah keberanian dari mana, kekuatan dari mana, keyakinan darimana. Tapi dorongan hati Sasuke membawa kedua tangannya berada di depan perut Naruto. Merengkuhnya. Merasakan teksturnya. Mengecap kehangatannya. Dan terpekik mendapati pergerakan. Pergerakan pertama anaknya yang ia rasakan. Yang ia dapati dari kehamilan Naruto.

"Dia bergerak."

Naruto tersenyum. "Maafkan aku selama ini. Aku selalu bersikap buruk padamu."

"Aku yang salah. Mengapa kau yang meminta maaf? Aku yang minta maaf."

"Kau sudah mengatakannya jauh – jauh hari. Meskipun kau tak mengucapnya. Itu yang kau lakukan."

"Mengapa mendadak Naruto. Ada apa?"

"Kau bingung?"

Sasuke menaikan sebelah alisnya.

"Kalau kau bingung. Aku lebih bingung, lebih kalut, lebih tertekan. Jadi," Naruto menyenderkan kepalanya di dada Sasuke yang sejajar dengan lehernya, "biarkanlah kita tetap seperti ini. Mengalir apa adanya. Tanpa rasa pasti. Hanya ikatan takdir."

Sasuke tak membalas apapun. Tapi kepalanya ia letakkan di leher Naruto.

Melepas kepenatan hati.

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

Naruto, kau harus kuat. Jika kau merasa sudah tidak sanggup. Maka berjuanglah untuk anakmu. Ibu yakin kau mulai menyadarinya.

"Ya, bu. Aku mulai menyadarinya. Insting seorang ibu."

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Komisaris. Hari ini Sasuke sama dan Naruto pergi bersama ke makam Sakura. Setelah itu mereka tidak pernah keluar hingga waktu makan malam. Tapi Sasuke keluar sekitar setengah jam dan kembali membawa makan malam."

"Apakah sudah ada waktu pasti Naruto keluar sendiri?"

"Pada setiap rabu pagi dua kali dalam sebulan, jam sembilan, Naruto melakukan check up. Sasuke sudah pasti mengantarnya. Dua kali seminggu, Selasa dan Kamis, nyonya Mikoto mengunjungi kediaman Sasuke. Membawakan beberapa kebutuhan rumah tangga tambahan. Setiap hari Jumat, Itachi mengunjungi secara acak. Tapi, Naruto selalu keluar menikmati udara sore di lapangan dekat kompleks Sasuke. dua jam sebelum Sasuke pulang kerja."

"Pergilah."

"Baik komisaris."

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Dimana Naruto?" Tanya Itachi sesaat setelah melepas sepatu kerjanya dan meletakkkannya di loker.

"Sedang tidur." Sasuke menjawab sembari melanjutkan menata majalah dan koran di ruang tengah. Ia tetaplah sang perfeksionis. Keberadaan Naruto tak akan mengubah hal ini.

"Aku bawakan dim sum sayur untunknya."

"Letakkan saja di dalam kulkas. Nanti aku panaskan."

Sesaat, Itachi kembali dan langsung menduduki kursi tepat dibelakang Sasuke berjongkok menata meja.

"Kenapa tidak bilang akan datang?" Sasuke merebahkan punggungnya menyusul Itachi di kursi yang sama.

"Haruskah?"

"Aku tak ingin kau melihatku melipat baju."

Itachi tertawa. "Ingatkan kan aku jika kau itu memakai jasa laundry."

Mereka tertawa. Menikmati masa – masa kebersamaan sebagai keluarga. Telah lama mereka tak mengecapnya. Tumbuh dewasa dan memilih gaya hidup masing – masing membawa mereka menjadi individu yang berdiri sendiri tanpa kembali terikat ikatan keluarga. Dan mungkin, memang masalahlah yang bisa menyadarkan mereka. Memberi tamparan kecil betapa beruntungnya mereka masih memiliki orang yang di sebut keluarga.

"Bagaimana perkembangannya?" Sasuke kembali membuka perkataan.

"Kau benar – benar tak bisa memanfaatkan waktu, Sasuke. Tidakkah kau merasa bahwa sedetik lalu kita masih merasa nyaman dengan suasana yang tercipta?" Itachi berdecih, mengeluarkan gelagat protes.

"Mau aku ambilkan golok dan dan palu, biar kita lebih akrab, he, Itachi?" Sasuke menaikkan alisnya, aksen geram. Namun nada bercanda.

Mereka kembali tertawa.

"Ayah sudah mengetahui semua kegiatan di rumah ini. Termasuk jadwal random ku kemari. Kemungkinan, dia akan menemui Naruto sesaat sebelum kau pulang."

"Kita awasi Naruto."

"Tidak."

"Tidak?"

"Tidak. Dan jangan. Tidak perlu mengawasi Naruto. Hal ini justru akan menjadi laporan untuk Ayah. Biarkan mereka merasa memiliki celah. Jangan. Atau Naruto akan tahu kau telah masuk dalam permainan ini."

"Surat pengunduranku telah jadi, aku siap menyerahkannya kapan saja."

"Kita tunggu waktu kapan ayah menemui Naruto. Setelahnya, baru kau serahkan."

Atmospher kembali tenang. Tenggelam akan pikiran masing – masing.

"Tachi," Itachi berdeham sebagai tanda ia mendengar. "Naruto menangis di bahuku. Dia memberitahukan keinginannya agar aku berada disisinya. Tidak secara langsung. Tapi begitulah yang ku tangkap."

" Lalu apa yang kau rasakan saat ini?"

"Aku punya rasa yang belum ada namanya untuknya. Dan ku biarkan tetap tak bernama. Karena aku takut keliru dan merusak rasa didalamnya."

"Kita anggap saja kau mulai mencintainya."

"Jika memang aku mulai mencintainya. Mungkin aku tidak tau rasanya dicintai dan dimiliki olehnya. Karena yang aku tahu hanya bagaimana rasanya mencintai. Aku hanya tau bagaimana indahnya mencintai dan selalu ingin melakukanapa saja untuk orang yang dicintai. Aku tahu bagai mana rasanya selalu ingin mendukung orang yang dicintai. Selalu bersedia melindungi dan berkorban tanpa mengharap apapun.

Bahkan dapat aku pahami, selalu menyediakan diri melakukan yang terbaik untuk orang yang dicintai. Diminta ataupun tidak. Entah nanti dicintai ataupun tidak. Namun pengorbanan yang bisa diberikan untuk orang yang dicintai adalah keindahan tanpa pamrih yang aku syukuri. Dan buatku cukuplah mencintai tanpa mengharap lebih."

Itachi tersenyum.

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Kagami. Tetaplah berada pada jarak radius dua puluh meter. Jangan munculkan kecurigaan. Sasuke mungkin saja mengawasi kita."

"Baik Taisho – sama."

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

Naruto berjalan seperti biasa sore ini. Mengenakan celana standar berbahan Wedges yang melar sehingga dapat menyamankan membawa perut buncitnya. Kali ini meminjam atau lebih tepatnya menggunakan tanpa izin jaket parasit tebal (jaket gunung) berkerah tinggi milik Sasuke. Ukuranya yang besar dan longgar dapat menutupi perut besarnya. Ia meletakan beberapa coke sehingga memberi kesan menggelembung di dada.

Hal ini ia lakukan agar badannya terlihat besar secara keseluruhan.

Mengunci pintu dan memastikan ia menarik kuncinya, Naruto bergegas turun dari lantai apartemen Sasuke.

Menyusuri jalanan Yokohama, Tokyo. Naruto merasakan hembusan angin kering khas perkotaan. Langkahnya kecil – kecil menikmati semilir angin yang berhembus. Terkadang tangannya terangkat membenarkan letak topinya yang bergeser kebelakang karena diterpa angin.

Sepuluh menit dari apartemen Sasuke jika kau berjalan normal. Tapi butuh tujuh belas menit bagi langkah naruto saat ini. Tiga belokan ke kanan kemudian kekiri setelah persimpangan akan ditemui jalanan lurus. Tepat berada di belakang sekolah menengah tingkat pertama. Terdapat lapangan bebas disana.

Saat sore hari seperti ini. Akan ditemukann beberapa anak bermain sepak bola seusai sekolah. Terkadang juga beberpa keluarga kecil bermain disana. Sekedar menerbangkan layangan pendek atau menghabiskan kembang gula.

Tapi sore ini tak begitu ramai.

Tanah miring yang merupakan akses turun ke lapangan berukuran seratus meter persegi itu hanya berisikan sekelompok anak TK yang sepertinya sedang berlatih acara festival tahunan. Naruto jadi ingat ini mulai memasuki akhir tahun. Lalu ada seorang ibu dan seorang anak kecil yang mungkin berusia sekitar delapan belas bulan. Ia sedang berusaha menyuapinya.

Naruto menghentikan langkahnya. Memilih duduk di rerumputan dan menatap depan. Ke arah aliran sungai yang berjarak lima meter dari lapangan.

Pikirannya kembali melayang. Ke angan kejadian beberapa hari lalu. Saat ia mulai membuka diri untuk Sasuke. Atau setidaknya, ia memang harus melakukannya. Atau Sasuke akan semakin sakit setelahnya.

"Naruto?"

Tanpa perlu menoleh, Naruto tahu jika orang yang menyebut namanya adalah ayah Sasuke. Uchiha Fugaku.

"Anda datang?" Naruto tak berusaha memandang Fugaku.

Ayah Sasuke juga tak memilih duduk di samping Naruto. Ia memilih berdiri. "Tekanan dari masyarakat mungkin sudah mulai mereda. Tapi tekanan dari presiden secara langsung masih ada. Aku hanya ingin memastikan bahwa keputusanmu memilih Kanada."

"Ya. Aku keputusanku sudah bulat. Termasuk jangan campuri kehidupanmu disana."

Fugaku tertawa merendahkan. "Bahkan amat mudah menemukanmu di negara itu. Tapi tidak, terimakasih."

"Aku akan berangkat minggu depan. Ku harap anda menyelesaikan administrasinya."

"Semuanya sudah jadi, bahkan sebelum kau memilih Kanada."

"Aku tak akan terkejut, Fugaku – san."

"Baiklah. Aku pergi."

Baru tiga langkah Fugaku pergi, Naruto memanggil.

"Fugaku – san." Ia tahu bahwa Fugaku berhenti. Maka ia melanjutkan, "Jika aku adalah Sakura, kau juga akan menolaknya?" Naruto mengusap pelan bagian bawah perutnya.

"Yang aku tak sudi mengakuinya adalah anak yang lahir dari kantung menjijikan di dalam tubuhmu. Permisi." Setelahnya Fugaku pergi begitu saja.

Naruto tersenyum. Menalan pil pahit.

Jika ayahnya saja seperti itu. Lantas, mengapa Sasuke menerimanaya?

Pemikiran Naruto terpecah saat seorang anak kecil berlari dari bawah ke atas, saat topi kecilnya terbang di tiup angin.

Berhenti di dekat kaki Naruto.

"Kak, tolong kembalikan." Sang anak kecil meminta izin.

Naruto memungutnya. "Yak. Ini dia. Siapa namamu?"

"Kitsuke."

"Nah. Kitsuke - kun. Mau aku pasangkan."

Anak kecil berambut coklat terang tersebut mengangguk keras. Kemudian berbalik dan memunggungi Naruto.

Naruto dengan hati – hati memasangkan. Kemudian menarik tuas dan mengecilkan ukuran topi. "Nah, jika seperti ini tidak akan lepas lagi."

Kitsuke berbalik. Dan tersenyum. "Terimakasih kak." Dan pergi meninggalkan Naruto.

Naruto kembali menikmati udara sore. Menutup mata dan merasakan angin. Hingar bingar suara anak – anak TK menyanyikan lagi menjaga gunung membuat suasana semakin syahdu. Keceriaan. Ketenangan. Kehangata. Memang memberi nilai positif. Hal inilah yang Naruto cari setiap sore.

Membuka pikiran.

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Sudah pulang?" Sapa Naruto saat mendapati Sasuke telah berada di dapur. Meminum segelas air putih.

"Ya. Kau dari mana?"

"Jalan – jalan. Merenggangkan otot. Aku bosan terus berada dirumah."

"Kenapa tidak menungguku? Bagaimana jika ayah melukaimu lagi?"

"Tenanglah Sasuke. Aku tahu ada Itachi yang entah mengapa selalu bisa membuatku aman sejauh ini."

"Itachi mengirimimu penjaga?"

"Tidak juga sih. Tapi, jika aku aku selamat, bisa jadi seperti itu."

"Mengapa kau tidak menduga itu aku?"

"Ehmmmm." Naruto kehilangan kata – kata.

"Sudahlah. Hari ini aku akan masak sop ayam. Kau ada permintaaan?"

"Bolehkah kau taburi bawang goreng di atasnya. Yang banyak!" Ucap Naruto semangat.

Sasuke tersenyum. "Duduklah. Dan jangan lupa cuci dulu kaki dan tanganmu." Meletakkan gelas, Sasuke pergi beranjak ke arah kamar. "Aku akan ganti baju terlebih dahulu sebelum memasak."

"Sasuke."

"Hn."

"Masukan beberapa tomat."

Tawa Sasuke makin lebar.

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Sedang apa?" Ssuke bertanya sesaat setelah membuka pintu kamar Naruto.

"Ibu tadi membawakan beberapa peralatan merajut. Dan memintaku membuat beberapa pakaian bayi. Tapi ini benar – benar menjengkelkan. Sulit sekaliii~" Naruto yang sedang duduk di atas ranjangnya meletakkan jarum pemintal dan benang rajut di hadapannya. "Aku lebih cocok diminta membenarkan paralon rusak dari pada merajut topi," mendorong peralatan rajut, "Ini membingungkan."

Sasuje semakin masuk ke dalam kamar. "Kau memang laki – laki bar – bar. Urusan pekerjaan kasar nomer satu." Duduk di sebelah Naruto. Menggeser Naruto semakin ketengah ranjang. "Sini. Biar kubantu dirimu."

"Kau bisa merajut?"

"Ya. Ibu memperlakukanku seperti anak perempuan saat aku kecil. Pelampiasan karena tidak bisa kembali hamil dan tak ada anak perempuan."

Naruto tertawa cekikikan.

"Sudah. Jangan tertawa. Sekarang ikat benang pada pengait rajutan, jarum ini bernama hakpen—"

"—Ya. Ibu sudah memberitahunya."

"Baiklah. Sekarang, buatlah simpul menggunakan salah satu ujung benang pada ujung hakpen." Naruto mengikuti intruksi Sasuke.

"Perhatikan sisa benang yang tidak terikat!" Sasuke memberi perintah tegas. "Buatlah dua tusuk rantai dari lubang hakpen. Buatlah bentuk lingkaran!"

Naruto perlu melakukan tiga kali percobaan sebelum ia berhasil.

"Buatlah enam tusuk tunggal pada rantai kedua dari hakpen."

Naruto kembali mencoba.

"Perhatikan baik-baik jika rantai kedua pada hakpen. Yang ini kesini, yang ini situ."

Naruto menggaruk kepalanya sebentar. Kemudian melanjutkan.

"Buatlah tusuk tunggal untuk tiap pola tusukan. Naruto. Apa yang kau buat?! Sini. Aku contohkan!"

Peralatan rajut beralih di tangan Sasuke.

"Yang ini dimasukan kesini. Benang ini ditarik. Kemudian diselipkan, kaitkan dengan hakpen. Lalu tarik. Coba lagi," Sasuke menyerahkan peralatan rajut. Naruto menerimanya.

"Kau memasukkan pada lubang yang salah, idot."

"Sasuke. Kalau kau tak iklash mengajar. Jangan sok memberiku pelajaran. Bajingan. Kau tak pantas jadi guru."

"Aku memang bukan guru. Sekarang lajutkan."

"Bah!"

Satu topi kecil dengan diameter tujuh centimeter itu selesai dalam satu jam empat puluh delapan menit.

"Potonglah benang dengan menyisakan lima sentimeter bagiannya. Tarik benang melalui lubang pada hakpen. Kencangkan tali untuk membuat simpul. Sembunyikan sisa tali dengan menyelipkannya pada rantai."

"Selesaiiiiiii"

"Aku lapar, Dobe. Ambilkan aku kopi."

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

"Semuanya sudah di atur. Beberapa barang sudah sampai di rumah. Kau akan menyusul tiga hari setelah Naruto samapai."

"Apa Naruto tidak akan curiga?"

"Ibu sudah membuat beberapa alibi saat transit nanti. Jadi Naruto akan tetap mengira ia di Kanada. Bukan di Lombok."

"Kenapa kau pilih Indonesia."

"Karena di sana pemandangannya bagus."

"Inggris juga banyak pemandangan yang bagus."

"Juugo dan Yuugito akan ikut tingal disana."

"Ini rekomendasi mereka?"

"Salah satunya."

"Ayah bagaimana?"

"Sudah lupakan. Mungkin saat kau berangkat, dia akan kebakaran jenggot."

"Punya dendam apa kau denganya?"

"Jika aku sukses membantumu, maka jalanku untuk meminta restu menikah dengan pria akan mudah."

"Brengsek. Kau selalu mengumpan kan aku."

"Kau kalah lahir, saja. Mangkanya aku bodohi."

"Menyingkir. Aku ingin pulang."

Itachi terkekeh geli.

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

Sepasang sepatu Monk Strap yang di semir hitam amat—mengkilat—hingga dapat memantulkan apa saja yang berada di sekitarnya dalam jarak dekat tersebut terlihat sedang dilangkahkan oleh sepasang kaki yang terkesan terburu – buru. Menaiki anak tangga berjumlah tiga belas undakan yang di gandakan dua kali hingga ia berada di lantai tiga tempat dimana atasannya berada. Orang tersebut membuka pintu sang Taisho tanpa ketukan seperti aturan sopan – santun seperti biasa.

"Taisho – Sama. Hari ini Sasuke Uchiha resmi mengundurkan diri dari pekerjaaanya. Sementara keberadaan Naruto tak bisa di lacak. Itachi mengeluarkan ultimatum bahwa ia tidak ingin di ganggu." Ucapnya dengan nada keras dan cepat.

"Apa?! Cepat kumpulkan anggotamu. Dan cari mereka.

"Siap laksanakan."

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

To Be Continued

AYA
Pelampiasan—Ane
AYA

Just wanna say, Sorry everybody. Fic ini lama gak di lanjut.

Seneng rasanya, bisa kembali menulis dengan gaya penulisan ini.

Dan... Ini adalah chapter terakhir sebelum aku hiatus lagim bye bye.

P.S: Quote asal comot, gambar asal comot.

P.s.s: makasih kak kagamiyoneko atas saran penulisannya.