A/n : Langsung saja menuju balasan review, ya?

Kagatsune Miku : Ini udah lanjut. Makasih udah dibilang seru ^^

Kazuky : Ini lanjutannya. Makasih dibilang bagus fic-nya ^^

Alisa Riani : Ini udah lanjut. Makasih udah penasaran dengan fic abal-abal ini T^T# terharu

SeptiaNaelufar : Aaaaaa… ini udah lanjut. Tenang, walau update-nya fic ini selambat siput, Bunga janji bakal tamatin fic ini. XP

Victoria : Ah, makasih ya udah suka fic Bunga dan bilang fic ini menarik ^^. Ini udah lanjut. Moga suka, ya?

Mirani Kurai : Ini udah lanjut, Rani-san. Makasih udah suka fic Bunga, bahkan baca hingga berkali-kali. Tapi, maaf ya kalau enggak panjang dan bikin Rani-san kurang puas bacanya. Bunga gak bisa bikin cerita panjang-panjang kalau gak ada niat soalnya… XP

Arigatou yang sudah review, fav, follow, and sekedar baca fic Bunga ^^

Note : #Kazune disini sama sekali tidak pintar dan tidak memiliki banyak fans.

#Karin jadi jenius disini. Sangat jenius malah.

#Kazusa bukan adik Kazune. Tapi, kakak Kazune. Himeka akan tetap jadi adik Kazusa dan Kazune.

#Orangtua Karin dan Kazune masih ada. Michinya yatim piatu dan tinggal sama orangtua Karin.

#Orangtua Kazune : Kazuto Kujyo dan Suzuka Kujyo.

Orangtua Karin : Rakage Hanezono dan Hazuki Hanezono.

Happy Reading, Minna!

Lolicon Love by Bunga Sharesputri

Disclaimer : Kamichama Karin(CHU) Koge Donbo

Don't Like, don't read!

Chapter 3 : Panggung

Kazune masih merasakan nafasnya memburu karena kesal. Michi tak memperhatikannya, teman yang sama bodoh dengan dirinya itu sibuk melihat-lihat sekitar. Michi bahkan tak henti-hentinya tersenyum abnormal sepanjang perjalanan pulang di koridor sekolah.

"Uh, berhentilah tersenyum abnormal begitu!" sergah Kazune tak tahan. Sudah tahu, Kazune lagi panas kepala a.k.a emosi, masih aja sempat senyum-senyum.

Michi menoleh, masih dengan senyum abnormal yang melekat apik diwajahnya-yang sangat ingin Kazune tendang detik itu juga-dan tampang seolah tak bersalah. "Kenapa?"

"Grrr…" Kazune menggeram. Sedetiknya, ia bersyukur pada Kami-sama. Otaknya masih sedikit lebih bagus daripada otak sahabatnya. Sudah lihat kejadian tadi pagi, masih tanya kenapa. Maaf, ada yang punya nomor rumah sakit jiwa?

"Hei, jangan menggeram. Aku tanya kenapa, bukan menyuruhmu menggeram."

Jduak!

Kazune emang raja. Raja tega lebih tepatnya. Baru sedetik yang lalu, Kazune menjedotkan kepala Michi ke dinding terdekat. Sambil berharap otak sahabatnya itu bisa berjalan lancar kembali. Ah, ternyata Kazune tidaklah setega itu. Rupanya tersisip niat baik di balik sifat tega Kazune.

"Hei, apa maksudmu? Kau cari masalah, ya, Kujyo-san?" Michi berujar protes tentang munculnya benjolan bertingkat di kepalanya. Kazune berhenti menapaki koridor dan melirik Michi tajam, setajam silet. Michi langsung mengkeret saat itu juga. Tidak berani mengambil tindakan lebih jauh. Takut, nanti malah jadi daging cincang. Yahh, maklum. Michi masih mau hidup lebih lama lagi.

"Iya-iya, maaf. Lagian, gak mungkin kan aku senyum kepadamu, Kujyo-san? Yang ada aku bakal dianggap Yaoi." Kazune berdecak mendengar ucapan Michi. Yaoi? Tidak, terimakasih banyak. Kazune masih menyukai wanita, jadi terima kasih.

"Hn," tanggap Kazune datar bak papan triplek. Michi mewek, kadang dikacangin tuh sakitnya di sini. Detik itu juga, Kazune menendang Michi menjauh darinya. "Huh, memiliki sahabat sepertimu itu memang menyusahkan."

"Hahahaha…" Michi tertawa keras, menyadari mood sahabatnya yang lagi jelek. Sejelek karya seni yang ia buat minggu lalu. "Kau iri, ya, Kujyo-san? Iya, kan? Kau iri, kan?"

"Tidak."

"Ahahaha… aku tak menyangka kau iri begitu. Kan hanya selisih satu angka saja."

"Iya. Satu angka. Tapi, membuatku masuk kedalam kelas tambahan," balas Kazune kesal.

"Fufufu…" Michi meneruskan tawa jahannam-nya. Ada rasa bahagia di hatinya, begitu tahu Kazune iri padanya. Hm? Tidak kok. Michi tidak bermaksud jahat, tapi ya kau tahulah. Bukankah jujur itu lebih baik? Mungkin saja nanti Michi bakal dikasih tempat terbaik oleh Kami-sama karena sifat jujurnya ini. "Sudahlah, Kujyo-san. Jangan sedih. Mungkin belum saatnya kau keluar dari jadwal kelas tambahan."

Jleb!

Kok perih ya rasanya? Kazune menggertakkan giginya kesal. "Berhenti mengejekku, Nishikiori Michiru. Segala ucapanmu sama sekali tak membantu."

"Ah-uh, oke. Maaf. Habis, tampangmu lucu sih."

"Hn."

Hening. Tidak ada lagi jawaban-super abnormal-dari Michi. Kazune mendengus. Rasanya lelah berdebat begini.

"Ah..." Michi bergumam pelan, sebelum berteriak memanggil dengan suara ultrasonik-nya. "KAARIINNN-CHAANN~!" teriak Michi girang sambil merentangkan kedua tangannya.

Kazune dengan segera menutup kedua telinganya sambil menggumamkan sesuatu, menanggapi kelakuan sahabatnya itu. "Norak."

Siiiiiiiiiinnggggg!

Yang mendengar sepertinya harus rajin mengunjungi dokter THT setelah mengalami tuli sesaat tadi. Karin mendesah pelan, rasanya telinganya sakit sekali.

"Ne, Michi-nii. Tidak perlu berteriak, kan?" tanya Karin. "Telingaku sakit."

"Maaf, Karin-chan." ujar Michi cengengesan. "Hanya terlalu senang."

Karin mengangkat alisnya heran. 'Apa iya itu wajah seseorang untuk minta maaf?' Karin menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa aneh.

"Kukira mulutmu itu harusnya di isolasi saja, Caramel Ultrasonik," ucap Kazune sambil menambahkan kata tambahan di nama panggilan 'sayangnya' untuk Michiru. Sejenak, Karin mengangguk setuju. Membuat pemuda caramel didekat mereka pundung.

"Kalian apa-apaan sih?! Bikin kesal saja!" protes Michi dengan semangat 45-nya yang secara tiba-tiba muncul. Tangannya ia kepal sekuat tenaga. Bermaksud menunjukkan semangatnya yang kini benar-benar membara. Karin dan Kazune sweatdrop berat.

"Ehem." Karin berdehem pelan. "Uh, lupakan saja hal tadi. Anggap tak pernah ada." Iris Green Emeraldnya melirik sekitar. Banyak rupanya yang melihat tingkah tak jelas Michi.

"Ya, kukira begitu. Pura-pura tak kenal saja, eoh?" Kazune mengusulkan idenya.

"Itu benar."

"APA MAKSUD KALIAN, HAH?!"

Uuuh, nampaknya siang yang buruk.

.

.

.

Karin menumpu kepalanya dengan tangan. Nyaris dua jam ia tak mengubah posisinya. Sesekali ia memperhatikan keempat orang didepannya yang tengah berusaha serius mengerjakan soal bergantian. Bahasa Inggris.

"Ne, Karin-chan. Apa jawabanku ini sudah benar?" Karin mendongak, sebelum menerima buku tulis Miyon dan memeriksanya. Sesaat kemudian, ia tersenyum tipis dan mengangguk.

"Sudah, Miyon-nee," jawab Karin singkat. Miyon tertawa gembira.

"Ara, lihat Yuki-kun. Aku menyelesaikannya lebih dulu darimu. Kau kalah," ucap Miyon senang sambil memeletkan lidahnya berulang kali. Yuki tersenyum.

"Kalah? Tidak, kok. Aku hanya membiarkanmu mengumpul lebih dulu. Kau kan lihat sedari tadi, sebelum kau mengumpul aku sudah tak menulis lagi. Jadi, pada dasarnya aku tak kalah, Miyon," jawab Yuki menang. Miyon mengerucutkan bibir saking kesalnya.

Karin kembali mengulum senyum. "Ya, terserah. Kalian bisa kencan berdua kan kalau sudah selesai?"

"Ehh?!" serentak, Miyon dan Yuki menoleh dengan semburat merah diwajah mereka.

"Karin-chan! Jangan macam-macam ya kalau ngomong." Miyon berkacak pinggang lalu menunjuk dahi Karin. "Karin-chan masih kecil, jangan ngomong yang begituan. Dasar nona kecil usil yang tiada duanya."

"Tapi, bukannya kalian berdua pacaran sejak empat hari yang lalu?"

Doenng!

"Eh, benarkah?! Apa aku ketinggalan berita?! Kok kalian bisa pacaran? Kenapa? Siapa yang nyatakan cinta duluan?! Siapa? Siapa?!" telat sudah bila ingin menyesal. Michi si tukang heboh abnormal telah menyatakan kehebohannya lebih dulu.

"Err… Karin, kami bisa istirahat sekarang, kan? A-aku lapar." Yuki menyuarakan suaranya. Hendak melarikan diri dulu dari Michi, sepupu yang menurutnya kurang waras itu. "Toh, pu-punyaku s-sudah selesai," lanjut Yuki meneguk ludah. Miyon mengangguk mengiyakan. Sangat setuju dengan ucapan Yuki.

"Oh, silahkan. Selamat melarikan diri, ya?" Karin menyunggingkan senyum dengan tatapan meledek.

Yuki dan Miyon meneguk ludah. "Oke, bersiap. Satu, dua, KABURRR!"

"HEI, JANGAN KABUR DULU KALIANNNN!" teriak Michi sekuat tenaga sebelum menyusul keduanya pergi.

Drap! Drap! Drap! Drap! Drap!

Karin kembali mengalihkan pandangannya kepada Kazune Kujyo. Dia masih duduk disana, serius mengerjakan soal yang diberikan. Sesaat, Karin terkikik geli.

"Kenapa? Menertawaiku, ya?" ujar Kazune pelan.

"Oh? Kujyo-nii merasa aku menertawaimu?" balas Karin dengan nada yang masih terdengar meledek. Kazune tertegun. "Loh, ada apa?" tanya Karin melihat reaksi Kazune.

Kazune menggeleng. "Tidak. Terkejut saja."

"Hn?"

"Itu, nama panggilanmu untukku berubah…"

"Umh, mau kupanggil dengan KazuBaka-nii saja, hmm?" tanya Karin sambil berdiri dari mejanya. Lalu, berjalan mendekati meja Kazune. Kazune tidak bergeming, dengan wajah super seriusnya ia mengangguk tegas.

"Silahkan. Tapi, jangan panggil aku dengan margaku. Aku tak suka, Karin-sensei."

Karin mengangguk mengerti. "Baiklah. Jadi, ada soal yang sulit?"

"Tidak. Kalau Bahasa Inggris, aku bisa kerjakan sendiri," jawab Kazune, masih dengan tampang super seriusnya. Karin kembali terkikik geli.

"Serius sekali. Jadi, KazuBaka-nii pintar di bidang Bahasa Inggris, begitu?" Karin kembali bertanya. Matanya sesaat berbinar ingin tahu. Kazune mengendikkan bahu, sebelum menaruh pulpennya.

"Tidak tahu. Tak pernah ada yang bilang padaku seperti itu di keluargaku. Bagi mereka, Kazusa lah satu-satunya orang paling jenius di keluargaku. Paling juga Himeka, yang bilang aku pintar bahasa Inggris." Kazune menatap Karin balik. "Aku sudah selesai." Lanjutnya.

Karin menerima kertas soal Kazune dan memeriksanya sebentar. "Umh, Himeka? Siapa itu? Adik, ya?"

Kazune mengangguk. "Kenapa ingin tahu?"

"Ah, tidak juga. Sepertinya, Himeka itu anak yang baik."

Kazune menyeringai tipis. "Baik? Benarkah? Dengan senyuman malaikatnya yang bisa meluluh-lantakkan hati orang lain itu, malah membuatku membencinya saja. Dia selalu bersikap membelaku, membuat orang lain menatapnya dengan tatapan gemas tak berdaya. Bersikap seolah dia dewi penolong dan selalu menatapku kasihan."

Karin mengerjapkan matanya heran, lalu melanjutkan memeriksa hasil pekerjaan Kazune. "Memangnya apa yang salah? Kalau dia menatapmu kasiha-…"

"Aku tidak suka dikasihani," potong Kazune. "Dengar, Karin-sensei. Aku memang tak jenius, tapi aku tak perlu belas kasihan. Aku masih bisa melakukan sesuatu dengan hasil kerja kerasku sendiri. Karena itulah, aku ingin belajar denganmu. Bukankah kau sendiri yang bilang?"

"Benar. Otakmu tidak sama dengan Michi-nii. Daya ingatmu lumayan kuat. Aku tak menyangka, lho, KazuBaka-nii." Karin tersenyum tipis. "Dan kau akhirnya tahu, kita berdua sama. Sama-sama hanya orang dengan topeng baik dan lemah."

Flashback On

Kazune duduk dan melihat bayangannya dicermin kamar. Apa dirinya ini benar-benar bodoh? Pasti iya. Kalau tidak, mana mungkin dia selalu mendapat pujian-pujian tak mengenakkan itu. Yang bahkan berpusat pada keluarganya sendiri.

"Sudahlah. Lebih baik aku menyiapkan bukuku." Kazune menarik tas sekolahnya dan membukanya dengan cepat. Mengeluarkan buku, menyusunnya di meja belajar, memasukkan kembali buku yang ia perlukan, alat tulis, dan siap. Ditaruhnya tas hitam miliknya itu disudut kamar.

"Aku bosan." Ia bergumam pelan. "Aku ingin punya kakak yang baik. Sifatnya seperti Michi, mungkin. Dia ramah dan menyenangkan, konyol, dia juga bodoh seperti aku. Ah, aku juga ingin punya adik perempuan yang manis. Himeka memang tidak buruk. Tapi, aku benci suara aneh-nya yang terlalu lemah lembut itu. Mungkin kalau aku disuruh memilih, aku ingin punya adik yang perhatian, tetapi gayanya seperti orang dewasa. Tunggu! Sepertinya itu malah mirip Karin. Tidak jadi, deh. Akhh! Pusing!"

Kazune terus mengoceh hingga larut malam. Tetapi, hal terakhir yang ia lakukan adalah sama. Bagaimanapun pemikirannya bermula, akhirnya selalu sama. "Pada akhirnya, aku punya kakak, aku punya adik, tapi, aku malah hanya merasakan sendirian."

Sendirian. Itu titik akhir yang selalu ia lakukan.

Tring Tring! Tring Tring! Tring!

Kazune tersentak kaget karena bunyi Handphone-nya. "Ck, siapa sih nelpon malam-malam begini? Gak tahu, ya moodku lagi jelek," gerutunya pelan.

Pik!

"Moshi-moshi."

'Moshi-moshi KazuBaka-nii. Sedang apa?'

"Eh? Siapa, ya?" Alis Kazune berkedut kesal. KazuBaka-nii? Yang benar saja. Keterlaluan memang.

'Tidak tahu? Karin. Karin, nona jenius ini, enggak kenal?'

"Nani?! Darimana kau dapat nomor handphoneku, hah?!"

'Jangan teriak, KazuBaka-nii. Aku dapat dari Michi-nii. Oh, aku punya tawaran untukmu.'

"Tawaran?"

'Hn. Akan kukirimkan email untukmu. Tunggu, ya?'

"Seben-…"

Tuut! Tuut! Tuut!

"Grrr… anak sialan itu… benar-benar menyebalkan!"

Tring!

To : KazuneKujyo

From : KarinHana

Subject : Tawaran bagus

'Aku baru tahu dari Kaa-san, akan ada murid baru disekolah KazuBaka-nii. Sayangnya, keluarganya tak terima, saat tahu anaknya masuk kelas II-II. Jadi, nampaknya anak itu akan menemuimu nanti. Kalau benar dia menemuimu, tolong jalankan akting yang bagus, ya? Tapi, tidak boleh ketahuan sama Tou-san mu. Nanti, aku akan urus sisanya. Jangan bertanya. Aku akan membuat sebuah panggung yang indah untukmu dan Kazusa-nee, KazuBaka-nii…'

Kazune memiringkan kepalanya bingung. Butuh waktu lama agar seluruh isi email itu terproses di kepalanya. Anak baru? Akting? Panggung? Apa maksudnya? dan lagi, apa hubungannya dengan kakak kembarnya itu?

To : KarinHana

From : KazuneKujyo

Subject re ; Tawaran Bagus

'Aku tak mengerti. Apa hubungannya dengan Kazusa? Tapi, baiklah. Aku tak akan bertanya.'

Kazune menekan tombol 'Send' lalu menaruh handphone di meja belajarnya. "Baiklah. Waktunya tidur."

Flashback OFF

"Uh, oke. Baiklah-baiklah. Tapi, menurutmu Kazusa akan terpancing? Menurutku sih tidak." Kazune menumpu kepalanya dengan meja. Ia memasang wajah pasrah sambil menatap was-was pintu ruangan. Takutnya, Michi kembali.

"Tidak, dia pasti terpancing. Aku sama dengan Kazusa-nee. Sama-sama bukan tipe orang yang suka mengalah dan kalah. Ketika merasa terancam, kami akan menyerang lebih dulu. Bedanya, aku tipe orang tanpa ekspesi dan emosi ketika bermain dipanggung. Sedangkan dia, entah apa kamera masih menyala atau tidak, ia selalu memperlihatkan perasaannya." Karin memejamkan mata. "Itulah yang membuat ia akan kalah."

"Perasaan?"

Karin mengangguk lagi. "Selama kamera menyala, aku tak akan memperlihatkan perasaanku. Aku akan berjalan seperti patung tanpa nyawa, seperti boneka yang didalangi. Tapi, aku bukan boneka itu. Aku mendalangi diriku sendiri, bermain seolah ratu dibalik layar. Ketika aku menang, hanya orang lain yang merasakannya. Tapi, saat mereka lengah, aku yang akan menghancurkan mereka." Karin berdiri, menjauh dari meja Kazune. "Aku bermain sebagai malaikat paling baik di panggung, tapi, aku juga bermain sebagai iblis di panggung yang sama."

"Hoh, begitu? Karena itu kau bisa sehebat ini?" tanya Kazune.

Karin tertawa. "Tentu tak semudah itu, KazuBaka-nii. Kau juga perlu otak jenius dan strategi yang baik. Tanpa kedua hal itu, permainanmu dipanggung akan tampak membosankan."

Kazune ikut tertawa. "Aku akan coba untuk mengingat itu."

Cup!

"Eh?"

"Anggaplah ucapan terima kasih." Kazune mengambil tasnya sebelum melenggang keluar ruangan. Karin memegang pipinya yang memerah lalu menggerutu pelan.

"Berhentilah membuatku tertarik padamu."

.

.

.

To Be Continue…

A/n : Bunga tahu, chap kali ini lumayan pendek dan sangat jelek kayaknya. Tapi, ya sudahlah. Bunga sudah nentukan akhir chap ini seperti ini. Jadi terserah mina-san mau komentar kayak apa. Bunga terima dengan ikhlas kok ^^

Ne, mina-san. Bunga mau tanya, apa fic ini perlu ada romance-nya atau enggak kira-kira? Bunga bingung. Akhir kata, review mina-san! ^^