.

.

The Rocker that Holds Me

[Sasuke Uchiha x Sakura Haruno] Kakashi Hatake x Naruto Uzumaki x Gaara Sabaku

.

Naruto Masashi Kishimoto-senpai

re-write The Rockers that Hold Me by Terri Anne Browning

.

Warning! : This story does not belong to me, I just change the

characters in it and a few paragraphs to support the

definition of a character in it

.

Note : Kakashi, Sasuke, Naruto dan Gaara berumur 30tahunan. Sakura lebih muda 10tahun dari mereka '.

.

Happy Reading and Enjoy!

.

Saat itu hujan. Aku suka hujan, tapi tidak dengan guntur dan kilat. Cahaya kilat tidaklah seburuk guntur yang menggemuruh. Itu mengingatkanku pada Ibuku ketika dia sedang murka, melayang karena obat terlarang, minuman beralkohol, dan laki-laki.

Hari ini aku mendapat dosis ganda amukan karena ada badai yang mengamuk di luar dan monster Ibuku yang mengamuk dalam kemarahannya. Aku berharap dan berdoa pada Tuhan bahwa dia hanya akan pergi tidur seperti yang biasa dilakukannya. Tapi sepertinya Tuhan tidak mendengarkan doaku saat ini. Tampaknya Tuhan tidak pernah mendengar doaku di setiap aku berdoa kepada-Nya. Aku mulai bertanya-tanya apakah Dia benar ada? Seperti yang selalu disampaikan pendeta yang selalu singgah berulang-ulang kali bahwa Dia ada. Ibuku sering mengutuk Tuhan, jadi aku pikir dia percaya kepadaNya.

Hujan membasahi baju kaus tipis dan celana leggingku. Aku menyelinap keluar jendela sesaat setelah ibuku selesai denganku. Hujan menyapu airmataku dan darah yang mengalir dari luka yang ditinggalkan ibuku setelah dia mengejarku dengan sebuah cambuk dan tinjunya. Air dingin menyengat tubuh berbilur dan memarku, tapi aku telah terbiasa dengan rasa sakitnya.

Secepatnya setelah kaki telanjangku menginjak tanah di luar trailerku, aku berlari dengan cepat ke arah celah kecil berumput yang membatasi trailer dimana aku tinggal dengan trailer yang dianggap Sasuke sebagai rumah. Aku berdoa semoga ibunya belum memutuskan untuk membersihkan kamarnya, semoga beliau tidak mengunci jendela kamar seperti yang selalu dibiarkan Sasuke tidak terkunci untukku, sekedar untuk berjaga-jaga.

Ketika aku naik pada ember tua berukuran lima galon yang kugunakan sebagai tangga, aku merintih saat menemukan bahwa benar ibunya telah berada di kamarnya. Jendela terkunci.

Aku menggigil sekarang karena hujan bertambah deras, dan aku tak punya sepatu, jas bahkan tempat hangat untuk berlindung. Aku tahu tidak ada gunanya untuk mencoba berkeliling di trailer-trailer sekitar.

Ayah Kakashi ada dirumah dan aku tak akan pernah masuk kesana ketika ada kesempatan bisa menemukanku. Trailer Naruto & Gaara hanya punya jendela kecil yang terlalu tinggi untuk dinaiki oleh kaki kecilku, kecuali salah satu dari mereka membantuku.

Sebuah isakan kecil keluar dari bibirku saat aku menyibakkan rambut basah dan kusutku dari wajahku, hanya untuk berjengit ketika aku menyentuh pipiku yang bengkak. Ibuku seorang yang ahli dalam menampar wajahku. Dan hari ini dia

tepat pada sasarannya, mengingat jumlah obat yang dipakainya dan minuman keras yang habis ditenggaknya. Terdengar suara berisik dari seberang halaman rumput kecil. Ibuku telah kembali untuk ronde kedua dan dia telah mengetahui ketidakberadaanku.

Jantungku berpacu, aku melakukan hal yang hanya bisa aku pikirkan. Aku menarik drum yang menopang trailer Sasuke. Aku menarik dan menarik, mengiris tanganku saat aku melakukannya. Tapi, akhirnya dengan rintihan kemenangan aku berhasil menariknya cukup kebelakang sehingga aku bisa merangkak bersembunyi di bawah trailer. Begitu aku sudah di bawah, aku mendorong drum itu kembali ke tempatnya setelah itu. Aku menahan jeritan saat aku bersandar dan tanganku menyentuh bangkai tikus. Aku mengelap tanganku di celana lembabku dan memeluk tubuhku agar aku tidak bersentuhan

dengan tikus itu lagi.

Kepalaku bersandar pada pondasi dan kupejamkan mata, berdoa semoga Ibuku tidak akan berpikir untuk mencariku disini.

.

.

Aku pasti tertidur. Ketika aku bangun, aku mendengar Sasuke dan Kakashi memanggil namaku. Mereka terdengar panik.

"Sakura?" Sasuke tepat disampingku di sisi lain dari drum. "Saku?"

Aku meraih drum dan menariknya ke belakang cukup untuk melihat keluar. Pada awalnya mereka tidak memperhatikanku. Sasuke berdiri bersama Kakashi, keduanya memakai baju band mereka yang aku bantu untuk mendesainnya. Kakashi memegang stik drum di tangan kirinya sementara yang satunya terkepal.

Sasuke terlihat khawatir. "Dia tidak akan pergi jauh".

"Dasar pelacur sialan Jika saja mereka tidak akan membawa Sakura dari kita seperti yang kupikirkan, aku akan segera langsung menelpon polisi," omel Kakashi.

"Tapi mereka akan melakukannya, Kashi. Dan kemudian dia akan berada di tempat yang lebih buruk dari sebelumnya. Setidaknya kita bisa menjaganya," ujar Sasuke padanya.

Ini adalah topik pembicaraan yang sama yang selalu mereka bahas setelah kejadian penganiayaan. Jika mereka menelpon polisi, dinas sosial akan membawaku pergi. Tempat penampungan tidak lebih aman dari Ibuku. Mungkin lebih buruk. Aku berumur 7 tahun dan aku mengerti maksudnya. Sasuke dan yang lainnya telah menjelaskan padaku berulang kali.

Aku menarik drum itu lebih mundur lagi dan perlahan merangkak keluar. Aku kaku dan terluka. Lumpur menempel di bekas luka cambukan dan goresan di tanganku dari pondasi. Aku lebam dan memar. Dan aku mulai merasakan gatal ditenggorokanku yang akan berakhir dengan radang tenggorokan. Tiba-tiba ada lengan kuat yang menarikku keluar. Begitu ujung kakiku terlihat, aku segera dipeluk Sasuke.

"Sial" seru Kakashi.

"Diam, Kakashi," Sasuke membentaknya sembari mempererat pelukannya padaku. Aku bisa melihatnya berpikir keras. Dia sedang berpikir kemana harus membawaku, menyembunyikanku. Aku mendengar suara tawa dari trailerku—Ibuku pasti sedang kedatangan salah satu teman lelakinya, dan terdengar suara televisi dari trailernya—jika Ibunya melihatku seperti ini, beliau akan langsung menelpon polisi, tidak ada pilihan lain.

"Ayahku sudah pergi," Kakashi telah mulai berjalan menuju trailernya.

"Ayo Sasuke."

Aku menggigil sesampainya kami di kamar Kakashi. Aku kedinginan, sungguh kedinginan dan terluka parah.

"Kita harus membuatnya hangat," ujar Sasuke. "Mulailah menyalakan air panas supaya aku bisa memandikannya".

Kakashi tidak berkata apa-apa saat dia meninggalkan kamar dan aku mendengar bunyi air menyala dari ruangan sebelah. Sasuke mengajakku berdiri di kakiku dan mulai melepaskan baju basahku. Aku tidak membantah saat dia melepaskan celana leggingku bersama dengan celana dalamku. Dia menarik napas panjang saat dia melihat memar; luka yang menganga di kaki dan tanganku, satu dipunggung dan sepanjang perutku.

"Maafkan aku, Sakura," bisiknya. "Aku sangat menyesal."

Aku terdiam sebab aku tak mengerti mengapa dia meminta maaf. Bukan dia yang memukulku. Ini bukan salahnya. Aku mungkin seorang gadis kecil, namun aku tahu dia takkan bisa selalu melindungiku. Dia punya band, dan hari ini mereka bermain musik di sebuah pesta untuk beberapa orang anak dari sekolahnya. Aku berharap dia mengajakku, tapi aku sadar seorang anak berumur 7 tahun di pesta anak SMA bukanlah ide yang bagus. Shane mencoba menjelaskannya padaku dan aku hampir yakin aku mengerti alasan tersebut.

"Sasuke," Kakashi memanggil dari kamar mandi. "Aku kurang yakin apakah ini terlalu panas atau tidak. Kemarilah dan periksa ini."

Sasuke menuntunku dengan tangannya ke kamar mandi kemudian membungkuk untuk mengetes suhu air. "Ini kelihatannya sudah pas," dia mengangkatku dan menempatkanku di air.

Aku merengek ketika air menyentuh lukaku. Itu sakit namun panas dari air terasa enak di kakiku yang dingin. Tak lama kemudian aku berhenti menggigil. Sasuke membersihkanku, berusaha bersikap lembut saat dia membersihkan luka di tubuhku. Rahangnya mengeras dan kurasa ada air mata menggenang di matanya. Kemudian setelah rambutku bersih dan wangi, dia mengangkatku keluar dari air, membungkusku dengan handuk. Kakashi memegang sekotak plester luka dengan gambar putri kecil di atasnya yang sangat kusukai. Tapi ada juga sebuah salep lengket di tangannya yang lain dan aku menggelengkan kepalaku.

"Tidak, itu sangat perih."

Sasuke menggosokkan handuk ke seluruh tubuh basahku, masih berusaha untuk lembut. Beberapa luka berdarah lagi dan perih saat terkena gosokan handuk. Ketika dia selesai dia mengambil salep dariku dan aku menjauh "Tidak, Sasuke," rengekku. "Aku tidak mau itu."

"Aku tahu, Sakura. Aku tahu ini pasti sakit, tapi kau tidak mau terinfeksi, kan?" Dia berkedip-kedip dan kurasa dia sedang menahan diri untuk tidak menangis. "Jika kau terinfeksi, maka kau harus ke dokter dan mereka akan menyuntikmu."

Itu kata-kata ajaibnya. Aku benci disuntik. Aku benci dokter. Jadi aku duduk di bak cuci kecil dan membiarkannya mengoleskan salep ke seluruh tubuhku, mencoba bertahan untuk tidak merintih karena sakit ini. Tak lama setelah dia selesai, salep itu hampir habis. Kakashi menolongnya memasang plester luka. Setelah selesai, mereka mencium luka itu dan mengatakan hal yang selalu mereka katakan.

"Semoga lekas sembuh."

Kakashi memakaikan salah satu kemejanya untukku. Tapi karena kebesaran mereka menyimpulnya, sehingga aku tidak akan jatuh terjerembab saat berjalan. Ketika aku telah berpakaian, Sasuke mengangkatku dan membawaku kembali ke kamar Kakashi. Mereka menempatkanku di tempat tidur kecil yang berlawanan dengan dinding dan memakaikan selimut yang beraromakan seperti Kakashi. Gaara dan Naruto memasuki ruangan. Gaara menjinjing tas dari WalMart dan mengeluarkan sekotak obat-obatan. Mereka memberiku sedosis besar Tylenol dan kemudian menyuapiku. Naruto telah mampir di McDonalds dan membelikanku paket chicken nugget. Perutku berbunyi dan aku sadar aku belum makan sejak kemarin.

Perutku sakit saat kunyahan pertama. Aku duduk dan memegang perutku hingga sakitnya hilang kemudian melahap habis sisa nugget dan kentang goreng. Aku tidak minum Sprite yang mereka beli sampai aku selesai makan. Ini sungguh enak. Akhirnya aku meraih mainanku, boneka binatang dengan rambut aneh dan baju kaus.

Aku mendekapnya erat di dadaku saat Sasuke menyisir rambut kusutku. Rambutku saling menarik, karena jarang disisir, tapi aku tak mengeluh dan dia berlaku lembut. Selama sisir itu bekerja di rambutku, mataku semakin berat. Tak lama aku pun tertidur...

.

.

Aku membuka mata begitu bus berhenti. Sambil meringis, aku mendorong diri untuk bangun dari sofa dan melihat sekilas keluar. Bus wisata terparkir di parkiran sebuah hotel. Bus lainnya penuh dengan para kru dan dua trailer beroda delapan belas di tarik dibelakangnya, penuh dengan segala perlengkapan panggung dan band. Aku ingin mandi dan tidur sepanjang malam yang benar-benar penuh, tapi aku masih punya banyak hal yang harus dilakukan.

Berdiri, aku berjalan menuju bagian belakang bus untuk membangunkan yang lain. Naruto tengkurap di tempat tidur paling

bawah. Dia memegang sebotol Jack Daniel's di tangannya, setengah botolnya telah kosong. Di atasnya Gaara sedang mendengkur, bassnya di dekap erat ke dadanya. Di sisi lain Kakashi sedang mengigau, bergumam tentang beberapa "pengacau".

Sambil mendesah, aku mengguncang bahunya terlebih dahulu.

"Kashi," aku harus mendekat ke telinganya dan meneriakkan namanya. Mereka semua tukang tidur yang parah, tapi Kakashi-lah yang terparah.

"Kashi Ayolah, mari kita pergi tidur di tempat tidur yang sebenarnya." Kakashi menguap kemudian membuka matanya. "Saku?"

Aku menyeringai ke arahnya. "Siapa lagi?" aku mencium pipinya dan menarik lengannya. "Bangunlah, kita sudah sampai."

Ketika dia sudah duduk, aku pindah ke Gaara. Yang harus aku lakukan hanyalah mengambil bassnya. Dia mengencangkan

tangannya di sekitar bassnya dan bangun. "Aku sudah bangun," gerutunya.

"Naruto." Aku mengambil botol Jack Daniel's dari tangannya dan menutupnya kembali. Punggungnya telanjang dan tato Demon's Wings sepanjang punggungnya itu menekuk saat aku membangunkannya. "Ugh, kau benar-benar harus mandi."

Aku hampir muntah mencium bau minuman keras di napasnya saat dia berbalik dan menarikku ke arahnya. "Bangun kau, Pemabuk."

Dia mencium pipiku sebelum dia melepaskanku dan aku berdiri, bergerak maju menuju akhir bus.

"Kalian semua segera berpakaian. Setelah aku membangunkan Sasuke, aku akan mengurus masalah kamar kita... Jangan kembali tidur, Kakashi," aku memperingatkannya. Mengetahui dia akan melakukannya. "Aku punya seember air es untukmu jika kau melakukannya."

Dia menggumam mengutukku, tapi aku hanya menyeringai. Televisi menyala. Aku mematikannya dan menjatuhkan diri di sofa di samping Sasuke. Dia tidak memakai apa - apa kecuali celana boxernya. Aku tidak berhenti untuk mengerlingkan mataku pada dadanya yang keras dan perutnya yang kencang. Aku sudah melakukannya berulang kali sebelumnya. Malahan aku membungkam mulutnya dan mencubit hidungnya, butuh beberapa detik saat sebelum dia tersentak dan

mendorongku jatuh.

"Sialan." Dia menggerutu tapi membantuku untuk bangun dari tempat aku terjatuh. Aku berdiri sambil tertawa dan meraih kaus Demon's Wingsnya.

"Apakah tidurmu nyenyak?"

"Aku baru saja tertidur beberapa jam lalu," dia mengambil kaus yang aku berikan padanya dan memakainya. "Banyak hal yang aku pikirkan. Lagu-lagu yang ingin keluar tapi terkunci di otakku.

"Aku bermimpi," curhatku.

Dia menegang, mengetahui bahwa mimpi-mimpiku tidak pernah menyenangkan. "Kau baik-baik saja?" tanyanya sembari meraih tanganku dan menarikku ke pangkuannya. "Mau membicarakannya?"

Menenangkanku, dia menyisir rambutku dengan jari- jarinya. Aku memejamkan mata dan mengubur wajahku di lehernya.

"Oh Tuhan, dia begitu harum seperti biasa, kalian semua menjagaku. Itu salah satu dari sekian banyak mimpi ketika Ibuku mencambukku."

Lengannya yang keras memelukku dengan erat. Jari-jarinya mengencang di ikatan rambutku, tapi aku tak protes. "Aku benci wanita sialan itu," ucapnya. "Semoga dia membusuk di neraka sana."

Aku sangat setuju. Ibuku meninggal 6 tahun yang silam akibat overdosis obat-obatan terlarang. Untuk berkata aku merasakan kasihan rasanya merupakan pernyataan yang berlebihan. Semua yang aku rasakan ketika aku menemukan tubuh dinginnya terbujur kaku saat aku pulang dari sekolah hari itu hanyalah kelegaan yang sangat luar biasa. Aku 15 tahun dan aku bebas dari penyakit yaitu Ibuku.

"Aku butuh kopi," Sasuke berdiri dengan aku masih dalam pelukannya. Aku memeluknya dengan erat untuk beberapa detik kemudian melepaskannya. "Aku pastikan kau akan mendapatkannya," aku berbicara dari balik bahuku saat aku melangkah menuju bagian depan bus.

"Itu bukan tugasmu untuk mendapatkannya" Dia berteriak kepadaku.

Tapi memang iya. Sepanjang hidupku, Sasuke dan lainnya telah merawatku. Bahkan ketika mereka harus meninggalkanku setelah mendapatkan tawaran kontrak sepuluh tahun silam, mereka masih memperhatikanku. Mengirimkan aku uang dan hadiah-hadiah. Memastikan seseorang mengecekku setiap hari.

Mereka tengah mengadakan tour, melakukan apa yang harus dilakukan oleh para rocker, tetapi mereka tetap menelponku setiap hari. Ponsel yang mereka berikan padaku adalah satu-satunya penghubungku ke mereka. Aku bisa menelpon, mengirim pesan singkat, mengirim surel atau apapun yang aku inginkan atau butuhkan, sehingga aku bisa berbicara dengan mereka setiap hari. Kemudian ketika Ibuku meninggal, mereka kembali, meninggalkan segalanya segera setelah aku menelpon Sasuke. Mereka mengurus pemakaman. Dan disaat petugas Dinas Sosial datang mencoba membawaku, mereka membelaku dengan mengatakan bahwa aku adalah bagian dari mereka. Mereka membawaku jauh dari kehidupan gelap trailer dimana selama ini kami dibesarkan.

Mereka membelikanku laptop, mengatur agar aku mengikuti kelas online sehingga aku bisa menyelesaikan pendidikanku dari balik bus. Para priaku takkan pernah meninggalkanku lagi. Dan aku berhutang pada mereka untuk selalu merawatku. Menjemputku, memulihkanku. Menjaga kewarasanku. Memberiku makan. Memberiku pakaian. Menyayangiku. Tidak semua orang bisa melakukannya.

Tapi Sasuke, Naruto, Gaara dan Kakashi berbeda. Mereka mengenalku sejak aku berumur 5 tahun. Membawaku di bawah sayap-sayap gelap mereka, melindungiku meskipun mereka 10 tahun di atasku. Mereka adalah keluargaku dan kini adalah saatnya aku untuk merawat mereka. Jadi aku mengurus semuanya. Mereka ingin kopi, aku bawakan mereka kopi. Jika Naruto ingin sekotak Scotch berumur 50 tahun yang baru, yang sangat mustahil untuk di dapat, aku pastikan dia akan mendapatkannya. Aku mengurus semuanya, dari pemesanan kamar hingga perempuan.

Yeah, aku telah menjadi seorang profesional yang mampu menyingkirkan wanita-wanita manapun yang telah lewat masa

keberadaannya. Dan itu biasanya terjadi di pagi hari berikutnya.

Dua jam kemudian, aku telah mengatur mereka berempat masing-masing di kamarnya. Aku menghabiskan waktu lebih lama di kamar Naruto, untuk memastikan dia mandi dan menggosok giginya. Memberikannya sepasang pakaian bersih dan menyuruhnya tidur. Ketika aku menuju kamarku, aku merasa melayang. Aku mandi dengan cepat dan hampir terlelap sebelum kepalaku menyentuh bantal.

"Saku," Kakashi menggedor pintu kamarku membangunkanku beberapa jam kemudian. Aku menatap jam, melihat bahwa sudah saatnya menuju Civic Center untuk mempersiapkan konser malam ini dan bangun dari tempat tidur. Aku membuka pintu untuk Kakashi supaya dia tidak merubuhkannya. Dia berjalan masuk saat aku mengganti baju tidurku.

"Kau baik- baik saja, Saku?" tanyanya bahkan tidak pusing untuk mengalihkan pandangannya saat aku memakai bra dan memasang kaus Demon's Wings dari atas kepalaku. "Kau tidak pernah lewat tertidur sebelumnya."

Kenyataannya aku merasa tidak enak badan untuk akhir-akhir ini. Tapi, aku tak berniat untuk memberitahukannya. Dia akan memberitahu ke yang lain dan mereka akan mengerumuniku, memaksaku untuk pergi ke dokter. Aku benci dokter "Baru saja mengalami malam yang sulit kemarin." Elakku.

"Mimpi buruk."

Aku menarik celana dalam baru dan kemudian memasang celana jins ketat. Sepatu bot selutut dengan hak 3 inci dan aku siap. Aku mengikat rambut berantakanku menjadi ekor kuda. Tidak perlu berdandan, lalu berputar dengan dia masih menatapku.

"Aku baik- baik saja, Kashi." Aku memeluknya erat dan berjinjit untuk mencium pipinya.

"Tenang." Aku menarik satu tanganku ke atas dan mengusap kepala peraknya. Dia ingin itu tetap berkilau. Itu sangat seksi dan semua orang sangat ingin mengusap kepalanya. Tetapi dia hanya menyukainya jika aku yang melakukannya.

"Aku pikir kita perlu sebuah liburan," ujarnya saat mengikutiku keluar dari kamar. "Mungkin kita harus kembali ke rumah untuk beberapa saat."

Aku meliriknya melalui bahuku saat aku memencet tombol lift. "Dan dimana tepatnya rumah itu? Kita telah tinggal di bus selama 6 tahun ini."

"Sasuke berbicara tentang membeli rumah. Tapi kita tidak bisa memutuskan dimana kita akan menetap. Naruto menyarankan di California, Gaara ingin ke Boston." Dia mengangkat bahunya sambil melangkah masuk bersamaku ke dalam lift. "Bagaimana menurutmu?"

Sejujurnya, aku tak tahu apa yang aku pikirkan. Aku akan mengikuti kemanapun mereka pergi asalkan kami tetap bersama. Aku tidak perduli. Tapi aku tidak menyangka mereka akan secepat ini menetap, bahkan di saat kita telah lelah untuk pindah dari satu tempat ke tempat lain. "Aku tak pernah memikirkannya," ucapku padanya.

"Well, kau harus memikirkannya. Kami ingin tahu dimana kau ingin tinggal dan menetap. Kau tahu kemanapun kau pergi, kami akan mengikutimu."

Kata-katanya menghangatkan hatiku dan aku memeluknya erat. Dia mencium puncak kepalaku dan kami keluar dari lift di lantai dasar. Sasuke, Naruto, dan Gaara sudah menunggu kami. Mereka semua memberiku tatapan khwatir, tapi aku hanya melewati mereka menuju ke limo yang sudah menunggu di luar.

Menyiapkan peralatan dan melakukan cek suara adalah hal-hal yang tidak mampu aku lakukan. Jadi, aku memilih untuk berurusan dengan urusan di belakang panggung. Aku memastikan buffet makan malam telah tersaji rapi sehingga para priaku dapat makan sebelum mereka tampil malam ini. Kemudian aku mengecek daftarku tentang apa yang harus dilakukan untuk menyiapkan diri menghadapi grup fans belakang panggung.

Kebanyakan dari mereka adalah perempuan, yang semuanya berharap untuk dapat berakhir di ranjang setidaknya salah satu anggota band Demon's Wings. Aku membenci satu persatu dari mereka, namun aku hanya memberi tatapan dingin meremehkan ke arah mereka sebagai gantinya. Mereka juga membenciku, karena siapapun yang menjadi penggemar Demon's Wings pasti tahu bahwa hanya aku perempuan yang berarti bagi semua anggota band. Aku memastikan fans setia belakang panggung tetap menempati area yang disediakan untuk mereka dimana para keamanan mengawasi mereka laksana elang- untuk menghindari salah satunya masuk ke ruang ganti untuk sebuah 'seks kilat' atau lebih parahnya untuk mencari ketenaran karena telah berhasil membunuh seorang rocker terkenal- sementara aku memastikan para priaku sudah diurus dengan baik. Aku lega ketika melihat mereka makan di kamar gantinya.

Begitu pula dengan Naruto, walau dia tetap membuatku menggelengkan kepalaku saat aku melihat dia lebih memilih minum Jack Daniels dibanding soda ataupun air putih. Aku mengambil botol itu dari tangannya dan menggantinya dengan sebotol air dingin dan berbalik untuk melihat apakah yang lain membutuhkan sesuatu.

Ketika mereka telah selesai makan, aku membuang piring mereka ke tempat sampah dan memastikan bahwa mereka telah memegang sebotol Air ataupun Gatorade. Mereka butuh cairan karena sebuah konser selalu menghabiskanya. Terutama Sasuke yang bernyanyi sambil berlari di atas panggung.

Aku menatap mereka satu persatu, menikmati ketampanan sejati mereka masing-masing. Naruto dan Gaara dengan rambut pirang dan rambut merahnya, keduanya ini begitu tampan dengan struktur wajah yang tegas dan tubuh langsing berotot yang ditutupi tato. Kakashi dengan kepala peraknya dan mata onyx sayunya yang selalu menatap datar. Dia tinggi, dengan semua ototnya yang membuncah keluar, membuat orang terkagum kagum akan dirinya yang entah bagaimana dapat memainkan drum dengan begitu lancar.

Untuk beberapa detik lebih lama aku membiarkan mataku menatap Sasuke. Dengan suaranya yang mampu mengacaukan wanita luar dalam dan sepasang mata kelamnya yang sebagian tersembunyi di balik tirai lembut bulu mata hitam dan tebal, tidak banyak wanita yang mampu untuk mengatakan bahwa seorang Sasuke Uchiha tidak mempengaruhi gairah mereka bahkan hanya secuil sekalipun. Tubuh langsing berotot dengan wajah yang membuat para Dewa menangisi

hari kelahirannya dan tubuh setinggi dengan para saudara band yang lainnya, dia telah membuat seluruh penggemar yang mengikuti Demon's Wings karena cinta, nafsu maupun iri kepadanya.

"Jadi yang mana malam ini? Pirang, coklat atau rambut merah?" aku bertanya sambil menaikkan alisku dan senyuman tipis di bibirku.

Gaara menyeringai ke arahku dari sofa tempat dia berbaring. "Aku akan mengambil salah satu dari masing-masing mereka."

Aku memutar mataku padanya. Dari mereka berempat, Gaara adalah playboy terbesar. Membawa satu persatu dari tiap tipe wanita menurutnya "ringan". "Hmm... ada banyak pilihan sih, tapi seperti biasa pasti yang pirang yang lebih banyak. Tolong berhati-hatilah." Aku menatap Naruto penuh arti. "Kau sudah bersiap, kan?"

"Sakura," nampak sedikit rona merah dipipinya. Aku terus menatapnya sambil mengangkat alis. Akhirnya dia membuang muka. "Aku punya kondom," gumamnya.

Yang lain hanya tertawa mengejek. Aku mengabaikan mereka ketika berbalik ke pintu. "Kalian punya wawancara jam 9 pagi besok. Aku telah mengatur agar kita dapat menggunakan salah satu ruang pertemuan sesampainya kita di hotel. Jadi, kumohon bawa badanmu keluar dari kamarmu sebelum aku menggedor pintu kamar kalian."

Aku tahu aku harus memperingatkannya sekarang sebab aku takkan bisa membayangkan akan dapat bertemu mereka lagi setelah konser hingga pagi menjelang. "Naruto, jangan buat aku memandikanmu di pagi hari. Secepatnya bersihkan badanmu dari aroma pelacur dan minuman."

"Oh Tuhan, Sakura" Dia berteriak kepadaku. "Kenapa kau hanya memarahiku hari ini?" Aku berhenti sejenak di pintu dan berbalik untuk melotot padanya.

"Tolong lakukan saja, Naruto."

Dia menggerutu dan aku merasa sedikit buruk karena memperlakukannya begitu kejam. Tapi dia seorang pria dewasa dan

lebih sering daripada tidak aku memandikannya karena dia terlalu mabuk atau terlalu melayang untuk melakukannya sendiri. Konser hampir selesai ketika aku merasakan ponselku bergetar.

Aku mengambilnya dari kantong belakang celanaku dan melihat nama manajer Demon's Wings. Dia menyukaiku karena aku melakukan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Sementara dia enak-enakan tidur di rumahnya di ranjang besarnya yang nyaman, aku disini bekerja keras untuk para priaku.

"Apa yang kau inginkan?" Bentakku sambil mendekatkan ponsel ke telingaku, berjalan menjauh dari panggung sehingga aku bisa lebih jelas mendengarkannya daripada suara band. Genma Shiranui tertawa, membuatku ingin menampar wajah

tampannya. "Siapa yang mengencingi cherrio-mu?"

"Aku sedang kesal," sungutku padanya, tidak yakin mengapa aku jadi pemarah sore ini. Tapi dia seharusnya sudah terbiasa dengan sifatku ini. Aku benci dia "Apa yang kau inginkan?"

"Seperti biasa... Dominasi dunia... Miliaran Dollar. Dan sebuah band yang membuatku terlihat bagus. Aku punya beberapa dari hal yang terakhir aku sebutkan tadi."

Aku memutar mataku. Demon's Wings adalah band paling keren yang ditanganinya. Mereka lebih dari membuatnya tampak bagus. Mereka membuat orang-orang berpikir betapa jeniusnya dia "menemukan" mereka.

"Sasuke mengatakan bahwa dia ingin mengambil waktu liburan musim panas, jadi aku hanya ingin memberitahumu bahwa Tur "Other World Demon's Wings' telah aku pindahkan ke bulan September."

Ini mengejutkanku. Sasuke tidak pernah menyebut apapun tentang liburan musim panas. Kenapa dia tidak memberitahuku? Aku menatap tajam ke belakangku, berharap aku bisa mendapatkan jawaban dari Sasuke sekarang. Tapi sepertinya hal itu harus menunggu. Semenjak tur musim panas dipindahkan, kami hanya memiliki waktu beberapa minggu ke depan untuk menyelesaikan tur di Gulf Coast.

"Oke," jawabku pada Genma. "Kirimkan padaku rincian jadwal barunya. Aku akan memastikan semuanya diurus dengan baik."

"Aku tahu kau bisa. Karena itu aku sangat menyayangimu, Tuan Putri. Kau membuat hidupku lebih mudah."

Aku menggertakan gigi. "Jangan panggil aku Tuan Putri", aku berteriak padanya dan mengakhiri pembicaraan. Aku sangat tidak menyukai si brengsek itu. Dan aku tidak suka dipanggil Tuan Putri. Si brengsek itu tahu, tapi dia selalu melakukannya setiap kali ada kesempatan. Suara Sasuke di panggung menyadarkanku dari kebencianku kepada Genma dan aku mengalihkan perhatianku kembali kepada para priaku. Suara Sasuke sungguh membuat populasi para wanita mabuk kepayang.

Ketika salah satu speaker berdentum keras tak sengaja di dekatku, aku segera tersentak sadar dari lamunan penuh hasratku dan segera mencari kesibukan. Aku tidak bisa membiarkan orang lain mengetahui bagaimana Sasuke mempengaruhiku. Aku tahu bahwa dia tidak merasakan hal yang sama. Untuknya dan para pria yang lain aku adalah adik kecil perempuan mereka. Mereka akan menyerahkan nyawanya untukku, sama seperti yang akan kulakukan untuk mereka.

Perpaduan antara parau dengan serak dan rayuan merupakan belaian pada tempat kegelapan diantara kedua kaki wanita. Aku jauh daripada kebal pada suara itu dan malah menemukan diriku membiarkan hasratku padanya terlihat saat aku berdiri disana menonton pertunjukan band mereka.

Dan bila pada Sasuke aku tidak lain hanyalah gadis kecil yang telah dia rawat sepanjang 17 tahun masa hidupnya. Aku mengabaikan perasaanku karena aku tahu bahwa bukan aku yang diinginkannya. Kebahagiaannya lebih penting daripada kebahagianku. Dengan bibir gemetar, aku meyakinkan diriku untuk tidak mendengarkannya bernyanyi lagi di sisa malam ini.

Aku tidak pernah menjadi penyuka muntah. Aku telah membersihkan lebih banyak muntahan orang lain daripada diriku sendiri selama bertahun-tahun. Sebagian besar muntahan ibuku, dalam beberapa tahun terakhir ini para priaku – terutama Naruto. Tapi aku sendiri?

Aku hanya melakukannya beberapa kali seumur hidupku. Pagi ini adalah salah satunya. Aku tahu bahwa aku takkan bisa menahannya secepat mungkin saat aku turun dari tempat tidur. Perutku memberiku peringatan dua detik sebelum aku mencoba untuk melompat dari tempat tidur. Aku melakukannya di ujung tempat tidur sebelum aku membersihkan semua sedikit makanan yang aku paksakan untuk ditelan sehari sebelumnya. Baunya sangat tidak mengenakan daripada melihatnya. Secepatnya ketika aku bisa sedikit menguasai refleks mualku aku berlari ke dalam toilet sehingga aku bisa menyelesaikannya.

Rambutku menghalangi pandanganku dan aku memuntahi rambutku juga sebelum aku bisa menyingkirkannya dari wajahku. Baunya membuatku mual dan aku muntah sampai aku kehabisan nafas. Air mata bercucuran di wajahku, alisku berkeringat dan perutku terasa bergulung.

Aku berdoa kepada setiap Tuhan yang kuketahui dan memohon ampun. Tidak ada yang terjadi. Bahkan aku harus memaksa diriku untuk berdiri sendiri pada kakiku yang goyah dan memegang mulutku dibawah kran air sampai aku bisa menghilangkan sebagian besar rasa pahit di dalam mulutku.

Aku ingin mandi tetapi pertama aku harus membersihkan kekacauan di kamar tidur sebelum aku melakukannya. Ketika akhirnya aku mandi aku merasa lebih baik setelahnya. Tetapi aku terlambat sehingga tetap membiarkan rambutku basah dan tergesa-gesa berpakaian sebelum membangunkan para priaku.

Aku tidak terkejut ketika menemukan Gaara masih diselimuti gadis-gadis ketika aku membuka pintu kamar hotelnya. Aroma seks di dalam ruangan sangat kental membuat perutku protes, tetapi aku menelan rasa pahit di mulutku dan menyeretnya keluar dari bawah ketiga gadis.

Tanganku mengepal di rambutnya dan aku menyentakknya sampai ia berdiri. "Cepat mandi" perintahku, sedang tidak ingin berurusan dengan para gadis nakal setelah mengalami pagi seperti tadi.

"Aku memberikan ceramah pada adikmu tentang hal ini, tetapi ternyata kau yang harus aku urus pagi ini."

"Sakura" Gaara protes ketika aku memaksanya berjalan pancuran air berdiri dan memutar air dingin dengan kekuatan penuh.

"Sialan,"

"Turun ke lantai bawah dalam sepuluh menit," Aku berteriak padanya sebelum membanting pintu kamar mandi di belakangku.

Para pelacur di tempat tidur terbangun dan aku membelalak jijik pada mereka. "Ambil baju kalian dan keluar. Kalian mempunyai waktu dua menit sebelum keamanan melemparkanmu keluar, berpakaian atau telanjang. Aku tidak perduli."

Kakashi masih tidur ketika aku berjalan ke dalam kamarnya. Aroma seks masih tertinggal di dalam kamar tetapi dia sendirian di tempat tidur. Aku bahkan tidak mencoba membangunkannya dengan lembut. Aku mengisi air ke dalam gelas dan membuangnya ke kepalanya.

"Aku bangun. Aku bangun." Dia megap-megap.

"Bagus." Aku membentak lalu meninggalkannya untuk bersiap. Aku terkejut menemukan Sasuke sudah bangun. Ketika aku meletakkan kunciku di pintunya ternyata sudah terbuka. Dia sudah berpakaian. Rambutnya tebal sudah tertata. Seperti biasa melihatnya aku merasakan sakit di tempat yang tidak seharusnya sakit. Dahinya berkerut khawatir saat melihatku.

"Sakura. Merasa lebih baik, baby girl?"

Berlari kesana kemari membuatku pusing dan perutku masih protes. Tetapi aku tidak ingin berdebat dengannya. Jika dia tahu aku sakit dia akan memaksaku untuk pergi ke dokter. Tidak akan terjadi.

"Terimakasih sudah bangun." Gumamku.

"Saku..." Dia memanggil pelan ketika aku meninggalkannya.

Aku mengabaikannya dan melangkah ke lift dan pergi ke lantai atas. Kamar Naruto berbau keringat, minuman keras dan seks. Tapi untungnya gadis atau beberapa gadis mengingat jumlah bungkus kondom di atas lantai di samping tempat tidur lenyap. Dia sepertinya sudah bangun ketika aku masuk ke dalam. Tentu saja karena kepalanya ada di dalam toilet. Suara muntahannya membuat reflek muntahku bereaksi dan aku muntah ke dalam wastafel. Cairan pahit hijau adalah semua yang dapat kuhasilkan dan aku memutar keran air sehingga aku dapat menelan beberapa tegukan air. Setidaknya sekarang aku mempunyai sesuatu untuk di keluarkan.

Tangan Naruto yang berkeringat menyentuh punggungku. "Saku?" Suaranya parau memanggil namaku dan aku melihat sekilas kepadanya, menyeka keringat dari atas bibirku. "Kau tidak apa-apa?"

Aku memberinya senyum lemah. "Sepertinya kita berdua mengalami pagi yang buruk." Gumamku.

Dia mengerang saat berdiri. Pantatnya telanjang tapi tak dari kami perduli. Aku telah melihat setiap inci dari tubuh para priaku. Tidak ada yang memalukan dari bagian tubuh kami.…

Tidak ada satupun yang mengedipkan mata ketika kami melihat satu sama lain telanjang. Oke mungkin aku mengedipkan mata sekali atau dua ketika aku melihat Sasuke telanjang, tapi aku tidak akan membiarkan mereka tahu. "Kau tidak pernah sakit."

Aku mengangkat bahu. "Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatikan. Pergi mandi, oke?"

Dia mengangguk dan aku berbalik pergi. "Sikat gigimu." Aku mengingatkannya.

.

.

Sepuluh menit kemudian mereka telah duduk di sofa panjang di ruang pertemuan. Hidangan makanan pagi telah disiapkan. Aku mencoba bernafas melalui mulutku untuk mengatasi aroma yang tidak mengenakan. Biasanya aku akan menyiapkan sepiring makanan dan secangkir kopi, tetapi pagi ini aku rasa aku tidak bisa berurusan dengan itu dan tidak muntah. Untungnya tidak ada satupun dari mereka perduli bahwa aku tidak menyiapkan segala kebutuhan mereka.

Wartawan dari majalah Rock America telah mulai mengajukan pertanyaan pada mereka. Kurus dengan kacamata tebal dan suara sengau membuatku saraf bawahku merinding mendengar setiap perkataan yang diucapkan dari mulutnya, aku heran bagaimana laki-laki seperti ini bisa menjadi wartawan di dunia musik rock. Mungkin mempunyai seseorang ayah orang penting. Aku tidak yakin dan aku tidak perduli.

Dia seseorang yang ingin mengetahui apa yang juga ingin diketahui semua fans Demon Wings. Bagaimana mereka bertemu? Apa makna signifikan dari nama band? Apa yang mereka lakukan saat musim panas? Kapan mereka akan membuat album baru?

Seperti yang selalu mereka lakukan mereka tidak pernah menjawab dua pertanyaan pertama dari orang tersebut-tidak ada yang tahu dari mana mereka berasal atau bagaimana kehidupan mereka sebelum terkenal; kebanyakan merupakan bentuk perlindungan mereka padaku karena gaya hidup ibuku yang tidak menyenangkan walaupun kehidupan masa kecil mereka juga tidak begitu bahagia. Tetapi mereka selalu menceritakan secara detil tentang musim panas dan lagu-lagu baru yang Sasuke sedang kerjakan untuk album mereka selanjutnya.

Sejam kemudian lelaki itu berdiri dan pergi. Setelah berjabat tangan dengan semua orang dia berbalik padaku. "Jadi bagaimana rasanya kamu bekerja untuk Demon Wings?"

"Sakura bukan pembantu." Kakashi memberitahu pria itu, yang mana kami semua sudah tahu bahwa pria itu sudah mengetahuinya.

"Wawancaramu telah selesai."

Nada peringatan tegas dan jelas dari suara sang drumer dan membuat wartawan itu segera kabur. Kakashi bisa mejadi si 'kepala panas', mudah marah dalam satu waktu dan cepat melayangkan sebuah tinju. Aku harus menjamin dia untuk keluar beberapa kali dari penjara karena ia terlibat perkelahian.

Aku menunggu beberapa saat untuk memastikan pria itu pergi sebelum aku berhadapan dengan mereka. "Aku ingin meminta maaf karena bersikap mengesalkan kemarin dan pagi ini."

Aku mengatakan pada mereka, penuh penyesalan. Aku tidak sering bersikap mengesalkan pada para priaku. Sejujurnya aku bisa menjadi seorang ratu jahat jika aku mau, tetapi bukan pada mereka.

"Duduk, Saku." Kakashi memerintahkan padaku. Ketika aku hanya berdiri, dia menarik tanganku dan mendorongku ke sofa diantara dia dan Sasuke.

"Kita perlu bicara."

Aku menggigit bibirku, takut jika mereka membuatku pergi ke dokter. Atau berteriak padaku. Dari kedua pilihan aku pikir aku memilih diteriaki, tapi keduanya tetap akan membuatku menangis.

Tangan Sasuke membungkus disekitar pundakku, jarinya bermain di ujung rambutku yang masih basah. Ini menenangkan dan hanya dengan berada didekatnya membuatku aman dan dicintai. "Sakura, kami bisa melihat jika kau mulai lelah. Ini tidak apa-apa. Kita semua seperti itu. Itu sebabnya kami memutuskan berlibur di musim panas."

"Aku sudah tahu bahwa kau merencanakan liburan musim panas ini."

Aku memutar mataku padanya. "Genma menelponku kemarin malam."

Aku mengatakan padanya ketika ia terlihat bingung. "Kita akan tur bersama Sasori dan tur Otherworld dimulai bulan September."

"Genma sialan." Kakashi bergumam. "Kami ingin mengejutkanmu."

"Ngomong-ngomong... Kami berfikir untung menyewa sebuah rumah di suatu tempat. Tetapi kami pikir kau yang ingin memilihnya." Sasuke tersenyum padaku, senyumnya selalu membuatku hatiku nyeri untuk sesuatu yang tidak mungkin aku miliki. "Dimanapun di dunia ini yang kamu inginkan, Saku. Pilih sebuah tempat, temukan sebuah rumah untuk kita dan dimana kami bisa menghabiskan musim panas kita."

Daguku bergetar. Aku lega mereka tidak berteriak, bahwa aku tidak dikhianati Naruto mengadukan keadaanku tadi pada yang lain dan mereka tidak memaksaku untuk pergi ke dokter. Jadi kenapa tiba-tiba aku terisak-isak?

.

To Be continue

.

Taraaaaa.. siapapun jangan bunuh saya XO! Karena saya belum menyelesaikan fic lain malah udah publish fic baru..

Tapi tenang saja, saya masih akan lanjutin fic-fic yang tertunda. Karena saya mulai merasa kejenuhan saat menulis dan tak bisa saya hindari. Satu-satunya yang saya lakukan untuk mengembalikan mood dengan membaca novel atau fic dan berharap bisa segar kembali.. terutama rated M #plaaakkk.