SOUL
.
By donini
.
Jongin,Kim
Kyungsoo,Do (GS)
Luhan,Xi
Joonmyeon,Kim
.
.
.
Jongin kembali mematut dirinya di depan cermin, memastikan tak ada celah sedikitpun untuk kecacatan tempati. Kembali menyisir surai coklat gelapnya saat didapati sehelai rambut mencuat ke atas. Bibir tebalnya ia angkat, menciptakan senyuman terbaiknya.
"Jika cermin itu bisa berbicara, aku yakin cermin itu akan protes terus-terusan melihat wajahmu selama tiga jam lebih."
Seorang pemuda yang lebih pendek dari Jongin tetapi lebih tua darinya itu masuk ke dalam kamar Jongin tanpa permisi. Joonmyeon memang selalu seperti itu. Masuk ke dalam ruang pribadi Jongin tanpa mengucapkan kata 'permisi' atau 'boleh aku masuk?' terlebih dahulu. Lagipula Jongin adiknya,jadi tak masalah bukan?
"Kau seharusnya menyemangatiku,hyung."
"Tanpa semangat dariku pun sudah dipastikan kau akan tetap berani meminang gadis itu." Joonmyeon sedikit meringis saat menyebut kata 'gadis itu'.
"Kyungsoo. Namanya Kyungsoo, hyung."
"Ya, itu."
Jongin tersenyum masam melihat hyung-nya hanya mengangguk tak acuh saat ia memberitahu nama gadis-nya. Joonmyeon memang masih belum bisa menerima Jongin yang dalam hitungan jam lagi akan meminang seorang gadis bernama Kyungsoo itu. Joonmyeon lebih suka Baekhyun, teman Jongin saat di Edinburg dulu untuk jadi calon Jongin. Tapi sayangnya Baekhyun sudah dipinang seorang idol yang sangat terkenal, Chanyeol.
Kyungsoo bukanlah gadis nakal yang suka keluar malam dengan banyak lelaki hingga Joonmyeon membencinya. Tidak. Kyungsoo gadis baik-baik. Bahkan sangat baik. Hanya saja...
Kyungsoo itu kosong.
Kyungsoo itu gadis tanpa jiwa.
Kyungsoo itu gadis tanpa emosi.
.
Kyungsoo awalnya sama seperti manusia kebanyakan, ia memiliki jiwa dan juga memiliki emosi. Kyungsoo tertawa saat merasa bahagia,menangis dikala sedih, dan juga merajuk saat keinginannya tak dipenuhi. Semuanya normal-normal saja hingga saat itu tiba.
Orang tua angkat Kyungsoo memang memiliki catatan penyakit jiwa, hingga mereka—ibu dan ayah angkat Kyungsoo, keduanya sama-sama gila—harus mendapatkan perawatan khusus.
Beberapa tahun mendapatkan perawatan khusus, kedua orang tua angkat Kyungsoo dinyatakan sembuh dan diperbolehkan melakukan aktifitas di luar rumah sakit seperti semula, sebelum mereka masuk ke rumah sakit itu.
Kyungsoo kecil yang masih tak tahu apa-apa merasa senang karena orang tuanya sudah kembali ke rumah kecil mereka. Berbanding terbalik dengan Luhan, pemuda yang merawat Kyungsoo selama kedua orang tua angkat gadis itu dirawat.
Luhan tahu semua tentang kegilaan kedua orang tua angkat Kyungsoo.
Hari pertama semuanya berjalan normal, orang tua angkat Kyungsoo juga menunjukkan sikap yang baik, tak terlihat seperti seseorang yang baru saja mendapatkan perawatan jiwa.
Tiga bulan kemudian semuanya sudah tak sama lagi. Luhan merasa aneh tiap kali ia bertemu dengan Kyungsoo—Luhan tidak tinggal bersama Kyungsoo dan kedua orang tuanya.
Kyungsoo tak pernah lagi tertawa saat Luhan menceritakan sebuah lelucon padanya, padahal lelucon itu adalah lelucon favorit Kyungsoo. Biasannya gadis itu akan selalu tertawa hingga air matanya mengalir. Kyungsoo juga tak lagi menangis saat ia terjatuh dari ayunan saat Luhan mengajaknya bermain di taman pada suatu sore. Kyungsoo juga tak lagi menginginkan banyak hal hingga merengek seperti yang biasa ia lakukan.
Luhan seperti bicara dengan patung pinokio yang belum mendapat sihir jika bicara dengan Kyungsoo. Luhan bahkan tak yakin jika Kyungsoo mendengarkan ia bicara.
"Soo, apa kau okay?" Tanya Luhan saat mereka selesai merapikan tanaman di halaman belakang rumah Luhan.
Kyungsoo menoleh. "Aku okay, ge." Kyungsoo menjawab dengan nada datar tanpa intonasi. Mimik wajahnya juga tak berubah. Setidaknya ia harus merubah mimik wajahnya menjadi ceria untuk meyakinkan Luhan bahwa ia okay.
"Look at me, soo." Seperti robot, Kyungsoo langsung menatap Luhan tepat ke manik mata rusa pemuda yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu.
Luhan rasanya ingin menangis saat mendapati pandangan gadis itu kosong. Warna mata Kyungsoo memang berwarna coklat, tapi Luhan bisa melihat sesuatu yang hitam kelam dibalik mata bulat Kyungsoo. Padahal sebelumnya ia melihat warna jauh di dalam mata itu.
Luhan menampar Kyungsoo cukup keras, penasaran dengan reaksi Kyungsoo. Gadis itu akan marah atau bahkan biasa saja?
Pilihan kedua yang menjadi pemenang. Kyungsoo tetap memasang wajah datar tanpa ekspresi. Kyungsoo bahkan tak menangis,padahal Luhan yakin ia sudah menampar gadis itu cukup keras.
"Apa yang mereka lakukan padamu, Soo?" Luhan membawa Kyungsoo kepelukannya. Air mata sudah mengantri untuk turun melewati pipi Luhan.
"Kau harus ikut denganku, Soo. Aku tak mau mereka memperparahmu lagi. Kita akan pergi dari sini, okay?"
Dan keesokan harinya, Luhan langsung membawa Kyungsoo pergi dengan sedikit bantuan dari para psikiater dan beberapa orang polisi. Orang tua Kyungsoo kembali masuk ke rumah sakit jiwa. Dan kini justru tak akan pernah bisa bebas lagi.
Luhan membawa Kyungsoo pergi ke negara asalnya, China. Disana Luhan membantu Kyungsoo untuk mendapatkan kembali jiwa dan emosinya, tapi sepertinya sudah terlambat. Jiwa dan emosi Kyungsoo entah ada dimana.
Beberapa tahun kemudian, Luhan di pindah tugaskan oleh perusahaan tempatnya bekerja ke Korea, dan disanalah Kyungsoo bertemu dengan Jongin. Mungkin lebih tepatnya Jongin yang bertemu dengan Kyungsoo dan langsung jatuh hati pada gadis kosong tanpa jiwa dan emosi itu.
.
"Soo." Kyungsoo mengalihkan perhatiaannya pada sosok yang memanggil namanya. Luhan berdiri di ambang pintu kamarnya dengan tuxedo warna hitam yang begitu pas di tubuhnya.
"Hai, ge." Bibir heartshape Kyungsoo melengkungkan sebuah senyum. Hanya sebuah lengkukan ke atas di bibirnya. Kyungsoo tak pernah benar-benar tersenyum sejak dua belas tahun lalu.
Saat Luhan membawa Kyungsoo ke China, ia mengajari gadis itu bagaimana cara tersenyum. Melengkungkan bibir bentuk hatinya meskipun di dalam mata bulatnya tak pernah ada senyuman.
"Kau cantik."
"Dan gege tampan. Sangat tampan." Kyungsoo berdiri dari duduknya, membiarkan gaun hijau berbahan sifon itu jatuh menutupi kaki jenjangnya yang terbalut wedges warna hijau yang lebih gelap dari gaunnya.
"Tetap saja gege sudah tua."
"Tiga puluh tiga tahun bukan usia yang tua, ge." Luhan tersenyum. Memperhatikan Kyungsoo yang menatapnya datar dan tatapan mata kosong.
Kyungsoo sangat cantik hari ini. Sebenarnya Kyungsoo selalu cantik setiap harinya. Rambut pinkberry panjangnya di biarkan terurai dengan sedikit gelombang di ujungnya. Wajah datarnya sudah tersapu oleh make up natural. Meskipun mata bulat itu tetap kosong, tapi Kyungsoo tetap cantik dengan segala yang ia punya pada tubuhnya.
"Aku terlihat seperti seorang ayah yang akan melepas putrinya untuk menikah." Luhan membawa Kyungsoo ke dalam rengkuhan hangatnya. Ia semakin terlihat seperti yang ia ucapkan dengan air mata yang berlomba-lomba menghalangi pandangannya.
"Kalau begitu-" Kyungsoo melepaskan rengkuhan Luhan, dan menatap hampa pada manik rusa pemuda yang sudah ia anggap seperti kakak."-Ayah, terima kasih karena telah merawatku dengan baik selama empat belas tahun ini. Terima kasih kau sudah mau menampung patung Yunani ini-" Luhan terkekeh saat Kyungsoo menyebut 'patung Yunani'. Itu yang selalu ia katakan pada Kyungsoo saat ia sedang merasa frustasi pada gadis itu.
"-Terima kasih kau sudah bersedia menjadi jiwa dan juga emosiku." Kyungsoo menghentikan sejenak pidato paginya itu. Mengusak rambut kelabu Luhan kemudian menangkupkan pipi tirus Luhan.
"Kini aku telah menemukan seseorang, maksudku seseorang telah menemukanku untuk meringankan bebanmu."
"Kau bukan beban bagiku, Soo. You're my little sister." Luhan mengecup pipi gembil Kyungsoo.
"Orang itu telah memilihku. Orang itu juga akan menggantikanmu dan akan menjadi jiwa dan emosiku selanjutnya."
"Aku tak yakin Jongin bisa menggantikanku."
"Kau yang terbaik, ge. Terima kasih." Kyungsoo memeluk Luhan dengan cukup erat hingga Luhan tak dapat menemukan oksigennya.
.
Kini Jongin dan juga Kyungsoo sudah siap di depan altar dan di hadapan seorang pedeta. Keduanya tampak begitu serasi. Jongin, si tampan tampak begitu gagah dengan tuxedo abu-abu yang membalut tubuh atletisnya. Kyungsoo,si gadis tanpa jiwa tampak begitu cantik dengan gaun hijau muda yang memperlihatkan bahu sempit nan mulusnya itu.
Hijau?
Jika biasanya setiap pengantin wanita akan mengenakan gaun berwarna putih bersih, tidak dengan Kyungsoo. Gadis itu menggunakan warna hijau sebagai pewarna gaunnya. Itu pilihan Luhan. Pemuda tampan nan cantik itu tak suka melihat Kyungsoo dalam balutan gaun berwarna putih.
'Kyungsoo semakin terlihat seperti sebuah patung Yunani jika memakai gaun putih. Kulit Kyungsoo putih bersih tanpa celah, gaun putih tak akan mampu membuat pesona Kyungsoo menguar.' Ujar Luhan saat ia dan Jongin sedang memilih gaun untuk Kyungsoo.
Dan ya, gaun hijau itu membuat pesona Kyungsoo lebih terlihat. Kyungsoo terlihat seperti kubangan air di gurun pasir. Begitu menyegarkan di tengah kegersangan.
Pendeta itu mulai mengucapkan kata-kata yang akan menjadi janji suci Jongin dan Kyungsoo.
"Ya." Jongin mejawab dengan lantangnya.
"Ya." Berbanding terbalik dengan Jongin, Kyungsoo menjawabnya dengan datar tanpa intonasi.
"Kau boleh mencium mempelai wanitamu." Jongin menatap Kyungsoo yang berdiri di sebelah kirinya sambil tersenyum manis. Jika saja gadis itu memiliki emosi, mungkin pipi gembil yang sudah tersapu blush on merah muda itu semakin bertambah merah muda, merona.
"Kau cantik." Jongin memegang kedua tangan Kyungso lembut, menuntun istrinya untuk menghadapnya.
"Kau juga tampan. Meskipun Luhan ge lebih tampan." Kyungsoo dan Jongin sama-sama melirik ke arah Luhan yang duduk di belakangan Jongin. Luhan tengan sibuk menghapus air mata yang menerobos keluar. Luhan semakin terlihat seperti seorang ayah yang melepas anaknya untuk seorang pria lain.
Jongin kembali menatap Kyungsoo sambil mengusap lembut tangan Kyungsoo. Mencium tangan berhiaskan jemari lentik yang tersampir sebuah cincin yang sama dengan yang ia kenakan, Jongin hampir saja kehilangan satu bulir air matanya.
Jemari yang tadi ia cium kini mengusap lembut tepian mata pumanya. Rupanya sang gadis tak ingin pangeran tampannya menangis.
"Aku emosimu mulai sekarang, jadi biarkan aku menangis di hari bahagia kita." Meskipun harus kembali mendongak, Jongin tetap menatap mata coklat kelam Kyungsoo.
Kyungsoo menundukkan tubuhnya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah suaminya. Tak perduli dengan para hadirin yang masih menunggu ciuman pengantin baru.
"Sekarang kau adalah jiwa dan emosiku, Jongin. Aku tahu."
"Aku senang kau tahu." Jongin mencuri ciuman lembut di bibir istrinya.
"Dan sekarang juga aku adalah kakimu. Kemana pun kau ingin pergi. Katakan padaku. Dengan senang hati aku mengantarmu."
"Aku mencintaimu, Soo."
Jongin menahan tengkuk Kyungsoo agar gadis itu tak bisa menegakkan tubuhnya, mendekatkan bibir tebalnya dengan bibir kissable istrinya, Jongin mulai melumat lembut bibir Kyungsoo.
Ciuman yang dinanti akhirnya terjadi.
.
.
.
TBC/END?
Review juseyo?
Donini.
