FIELD OF THE MOON FLOWER

Disclaimer: Harvest Moon dan karakternya milik Natsume, saya cuma punya plot fanfic ini.

Warning: Alternative Universe

Characters: From AWL & MFOMT.

6

"The Bride"

.

.

Udara mulai menghangat. Titik-titik hijau muncul di atas tanah, di balik sampah-sampah dedaunan yang basah oleh lelehan salju. Tunas dedaunan kembali bersemi. Bahkan pucuk-pucuk semak Dogtooth flower mulai menampakkan kuncup bebungaan ungu nya. Merekalah para ephemeral flower, penanda bahwa musim dingin benar-benar sudah berakhir, dan telah dimulainya musim semi.

Ah, musim semi!

Para petani menyambut musim ini dengan bahagia. Pekerjaan mereka akan semakin sibuk di ladang dan sawah. Mereka tak akan lagi menghabiskan waktu di tambang atau di rumah membuat kerajinan. Aliran irigasi kembali disalurkan ke ladang-ladang penduduk. Air dari bukit masih dingin, terkadang bercampur bongkahan es. Para tupai yang berhibernasi selama beberapa bulan ini juga keluar dari lubang pohon karena mencium bau musim semi. Mereka kembali menjelajah untuk mencari kenari-kenari kering yang tersisa.

"Harvest spirits~ Harvest spirits~ Hendak ke mana? Hendak ke mana? Hendak ke kebun, hendak ke kebun. Ping, ping, ping, bunga-bunga mekar. Pyong, pyong, pyong, buah-buah tumbuh. Ping, pyong, ping, pyong, Harvest spirits melompat~"

Lagu kanak-kanak itu mengalir di sepanjang jalan kecil di pinggir sungai. Claire yang menyanyikannya. Begitu sampai di bagian Ping-pyong-ping-pyong, ia tak lupa berjalan sambil melompat-lompat.

Hari sudah siang. Di bawah langit biru awal musim semi yang cerah, Claire menyusuri tepian sungai, menyisir kebun-kebun yang ada di desa kecil itu dengan batang kayu kurus yang ia ayun-ayunkan senada nyanyian riangnya. Sebatang rumput kering tersampir di sisi mulutnya –ia meniru Tuan Gustafa sang seniman. Seandainya ia harvest spirit, ia akan menggunakan batang kayu kurus itu sebagai tongkat sakti untuk memekarkan bunga dan menumbuhkan buah. Imajinasi bocah itu memang tak terkalahkan. Bagi Claire, semua hal menarik. Semua hal bisa dinikmati –sesederhana apapun itu.

"Claiiirreee!"

Mata Claire menyipit saat mendengar seseorang memanggilnya di ujung jalan. Seorang wanita dengan gaun biru tua dan topi bundar besar tampak melambaikan tangan ke arahnya. Satu tangan lainnya memegang tas jinjing yang cukup besar. Wanita itu berusia 20 tahun-an dan wajahnya cantik. Rambutnya hitam pekat, tampak bervolume dengan potongan bob pendeknya. Ia tahu wanita itu.

"Bibi Manna!" seru Claire seraya menghambur memeluk wanita itu. Manna menyambut pelukan yang hanya menggapai perutnya itu dengan hangat.

"Eeeh, kau tambah tinggi ya! Kau juga makin cantik! Aah, kau semakin mirip ibumu, Claire!" kata Manna sambil menarik-narik kedua pipi Claire dengan gemas. Claire yang dicubit pipinya tak berusaha berontak terlalu keras. Ia hanya mengayun-ayunkan tongkatnya, minta dilepaskan, dan berakting seolah-olah itu sangat sakit.

"Hayaa? Ihuhu hangkik?" tanya Claire dengan mata berbinar. Maksudnya: Oh ya? Ibuku cantik?

Manna mengangguk semangat dan melepaskan jepitannya di pipi Claire. Ia lalu melanjutkan, "O-iya! Meski aku juga cantik, sih. Ngomong-ngomong, cewek-cewek di ibukota itu juga sebenarnya biasa aja. Cuma kebetulan saja make up mereka tebal-tebal. Kalau bicara soal kecantikan alami, orang seperti aku lah yang akan menang. YA KAN, CLAIRE?"

Claire tak mendengarkan ocehan panjang lebar Manna tadi, malah sedang konsentrasi menangkap capung. Manna tersenyum getir. Barusan ia memang bicara banyak sekali. Itu kebiasaannya yang sulit dihentikan. "Oh, Claire, Nenek dan Kakek sehat?"

Mendengar kakek dan neneknya di sebut akhirnya Claire mengalihkan pandangannya dari capung kepada Manna, "Uhn, sehat!" jawabnya.

"Hee... lalu, si tua itu?"

Claire memiringkan kepalanya, tidak mengerti.

Manna tampak gregetan. "Alaah~ Si tua itu~ TAKAKURA!"

JDUG!

"Siapa yang kau maksud?" sebuah suara parau terdengar dari belakang Manna. Wanita itu langsung nyengir kuda begitu melihat si pemilik suara: Takakura. Sebuah buku tua tipis bersampul coklat tersampir di tangannya, menjadi senjata yang baru saja menyambar kepala Manna.

"Ooh, halo kak!" sapanya, berlagak sakit sambil mengelus-elus kepalanya –yang sebenarnya sama sekali tak sakit. Bibirnya membulat saat menyadari buku-buku yang tampak baru tersampir di lengan kiri Takakura. "Ho! Baru beli?"

"Hm," jawab Takakura pendek.

"Untuk Gray?" celetuk Claire. Kepalanya menyembul takut-takut dari balik pinggang Manna. Bocah kecil itu masih takut pada Takakura.

"Gray?" ulang Manna. Itu nama yang belum pernah di dengarnya. Logikanya bergerak dengan cepat, dan sebuah kesimpulan pun muncul di kepalanya, "Eeh? Kau menikah lagi?! SEJAK KAPAN?! Beraninya kau menghianati kakakku!"

Manna panik. Wajahnya saat panik benar-benar ekspresif. Tangannya menunjuk tak percaya pada Takakura, lalu menutup mulutnya dengan satu tangan lainnya. Sejak dulu gadis itu selalu begitu. Dan itu membuat urat marah Takakura mencuat.

"Bisa tenang sedikit?!" geram Takakura, suaranya sangat keras hingga membuat Manna dan Claire begidik. Ia lalu berdecak kesal, "Ck! Gray itu cuma anak kecil. Kau sama sekali tak berubah. Untuk apa kau kemari, hah?"

Pertanyaan kasar itu menyentak di hati Manna. Ia tak terima. "Hah, memangnya tidak boleh? Ini tempat kelahiranku kan~ aku juga mau ke makam kakak."

Takakura tak menjawab. Ini memang tempat kelahiran Manna. Ya, Manna merupakan adik mendiang istrinya. Beda usia mereka sangat jauh, hampir 10 tahun. Sehingga kakaknya sering menganggap Manna seperti anak sendiri.

"Oh, dan aku ingin menikah di sini," lanjut Manna.

"He?"

"Kakak ipar harus jadi pendamping pengantinnya, oke?!" paksa gadis itu tanpa membiarkan Takakura mengutarakan keberatan apapun. Ia lalu berbalik dan pergi dengan menenteng tas besar di tangannya. "Nah, aku ke penginapan Bibi Ruby dulu ya. Ayo, Claire!"

Yang diajak hanya manut dan ikut berjalan menuju penginapan. Di perjalanan, mereka menyanyikan berbagai lagu kanak-kanak desa. Lagu tentang Harvest Sprites, kapal laut, dan hewan-hewan. Sebelum ke penginapan, Manna berbelok ke rumah Nina untuk mengantar Claire sekaligus menyetor muka pada kakek-nenek Claire. Mereka akrab sebab Manna memang sudah lama tinggal di desa ini sebelumnya. Berita pernikahan Manna membuat Nina kaget bercampur bahagia.

"Aku mau ke tempat Bibi Ruby dulu, pesan kamar."

"Aaah, untuk calon suami mu juga? Dua kamar kan?" selidik Nina.

Manna menggeleng, "Satu saja! Besok kalau dia datang akan kusuruh menginap di rumah kakak, hehe!"

Pernyataan Manna barusan membuat alis Nina berkerut sedikit. "Eh… kau belum ke rumah Takakura ya?"

Kepala gadis berambut hitam itu memiring sedikit, "Belum, kenapa?"

Nina tersenyum geli. "Ada sedikit perubahan tahun ini. Coba kau ke sana dulu. Tempat kakakmu jadi sedikit lebih ramai dari biasanya sejak musim dingin lalu."

Manna membulatkan bibirnya. "Ooh?"

~000~

Benar saja apa yang dikatakan oleh Nina. Halaman rumah Takakura kini tak lagi sepi dan suram seperti dulu. Lima anak ada di sana, berdiri berjarak-jarak sambil mengayunkan pedang kayu. Manna mengenal tiga dari mereka: Rock, Hugh, dan Stu. Dua lainnya tampak asing…

Huh.

Asing?

Tidak juga. Ia pernah melihat wajah itu…

Bukan di sini. Tempat yang sangat jauh dari sini…

"Eh… Huh?"

Tanpa sadar Manna meletupkan kekagetannya. Claire yang berada di sebelahnya lalu menarik-narik rok biru tua panjangnya, meminta perhatian. Hal itu berhasil mengembalikan kesadaran Manna ke tubuhnya.

"Yang rambut orange itu Gray, yang rambut coklat itu Cliff," jelas Claire tanpa diminta. Ia melanjutkan dengan bangga, "Mereka semua murid Takakura!"

Mendengar perkataan jujur Claire itu sontak membuat Manna memasang ekspresi tak percaya. Dicampur dengan kekagetannya barusan, ia tak bergeming dari memandang bocah-bocah yang jelas sedang berlatih ilmu pedang. "Mu… rid?"

"Uhn!" sahut Claire bersemangat. Ia langsung menarik tangan Manna dan mengajaknya duduk di teras belakang rumah panggung Takakura. Dari sana ia tak bisa melihat latihan pedang anak-anak di halaman rumah depan, namun ia masih bisa mendengar suara pekikan-pekikan semangat mereka.

"Susah sekali!" kata Claire. Matanya berbinar-binar. Ingin ditanya lebih jauh. Ingin bercerita panjang lebar. Manna yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri hanya menyahut seadanya.

"Oh.. apanya?"

"Jadi murid Takakura! Bibi Manna tahu, mereka itu…."

Bercelotehlah gadis kecil itu panjang lebar. Mulai dari kedatangan Gray dan Cliff, ujian bagi mereka berdua, kemampuan Gray dan Cliff, lalu bagaimana Hugh dan lainnya bisa ikut menjadi murid Takakura. Cliff kini tinggal di rumah Takakura, membantunya apa saja. Koleksi buku Takakura juga bertambah sejak ada Gray. Bahkan Takakura kadang mau menjelaskan beberapa buku filsafat jika diminta.

Manna terbengong mencerna segala informasi yang sebenarnya urutannya berantakan dari Claire. Begitu banyak hal berubah dalam satu musim. Sulit dipercaya.

"Eiits. Tunggu dulu Claire," Manna mengatupkan mulut Claire yang terus saja mengoceh dengan ujung jemarinya. "Jadi, Gray hilang ingatan."

Claire memberi satu anggukan.

"Terus, Cliff… bekas budak?"

Dua anggukan.

Alis Manna mengernyit. Ia lalu menghela napas sambil tertawa geli, menggelengkan kepalanya beberapa kali. Dilihatnya langit Forget-Me-Not Valley yang biru nan luas. Ia berpikir…. Betapa desa kecil ini damai seperti selalu. Seluas langit di atasnya, hati penduduk desa ini pun luas –seperti selalu. Mungkin ia terlalu lama tinggal di hingar bingar kota. Ia lupa betapa desa dan alam yang telah membesarkannya ini mengajarkannya tentang kebaikan, kebijakan, dan kasih sayang kepada sesama.

"Astaga. Hebat betul," gumam Manna. Senyumnya mengembang.

Calon pengantin itu lalu bangkit dari duduknya.

"Nah, Claire. Aku pergi dulu ke rumahmu," pamit Manna. Belum sempat Claire bangkit dan meminta ikut, Manna menghentikannya. "Claire di sini saja."

"Yaah… Kenapa?" tanyanya kecewa. Ia terbiasa mengintil Manna jika gadis itu pulang ke desa.

Manna tersenyum sok bijak, lalu mencolek hidung si kecil pirang itu dengan telunjuknya. Gayanya santai seperti biasa. "Ck. Urusan orang dewasa. Hoho."

"Heeee," respon Claire malas. Tapi ia menurut. Mungkin Manna ingin membicarakan masalah pernikahannya dengan nenek. Untuk sesaat Claire menoleh kembali ke arah Manna pergi. Bibi yang selalu dikaguminya itu tampak tergesa. Kenapa tidak sekalian saja tadi waktu bertemu Nenek? Oh, mungkin lupa.

.

.

.

Matahari hampir tenggelam di arah barat. Cahayanya merah temaram. Tinggal menunggu waktu hingga gelap benar-benar menguasai langit. Pekarangan rumah Takakura kini sudah sepi. Latihan pedang yang selalu di adakan setiap pagi adalah satu-satunya yang menghidupkan rumah kayu tua itu. Meskipun di sore hari, yang memang sudah jadi rutinitas, Cliff akan menghangatkan air mandi dengan kayu bakar dari sisi luar kamar mandi. Tepat di atas celah tungku kayu bakar itu terdapat bak mandi besar. Di dalamnya saat ini Takakura berendam dengan air hangat. Cliff yang mengatur suhunya. Jika Takakura bilang sudah terlalu panas, Cliff akan berhenti meniup. Jika masih kurang, ia akan menambah apinya. Mereka akan bergantian sesudahnya –Cliff mandi, Takakura yang mengatur panasnya. Rutinitas ini sudah mereka lakukan beberapa bulan ini. Ya, sejak Cliff memilih tinggal bersama dengan gurunya itu.

"Hey, Cliff!" seru Takakura, menegakkan tubuhnya sedikit untuk melihat ke jendela kecil yang dibatasi oleh ruji-ruji bambu, dan Takakura melihat Cliff dari sana. Hanya dinding kayu yang membatasi mereka, sehingga sebenarnya Takakura tak perlu bicara keras-keras. Tapi memang sudah tabiat bicaranya begitu. Selalu seperti orang marah.

"Ya?" sahut bocah bersurai coklat itu. Tak panik. Sudah terbiasa dengan gaya bicara sang guru.

"Minggu depan aku akan ke Ibukota. Kau mau ikut?"

Mata Cliff membesar. Ia ingat dulu ia tinggal di sana bersama majikannya. Berbeda dengan desa ini, di ibukota ada banyak sekali penduduk dan rumah-rumahnya berdekatan. Di sana juga ada banyak tempat makan yang menyajikan berbagai jenis makanan, bahkan dari negeri yang sangat jauh. Warung, pedagang, ribuan manusia. Oh, dan Istana Kerajaan Aerandria yang sangat megah. Ibukota…

"Aku mau!" jawab Cliff semangat.

Takakura menyandarkan kembali kepalanya pada tepi bak mandi, merasakan nyamannya air hangat. "Gray bilang kau dulu tinggal di Ibukota?"

"Ya!" Cliff mengangguk, meski Takakura tak bisa melihatnya. "Mendiang majikanku tabib kerajaan. Beberapa kali dalam sebulan kami ke istana untuk memeriksa kesehatan angota kerajaan," lanjutnya.

Tak ada reaksi dari Takakura meski sebenarnya Cliff menunggu-nunggu. Mungkin pria tua itu tak tertarik dengan kisahnya. Cliff memandangi api yang memercik tak terlalu besar. Ia lalu mengalihkan pandangannya pada langit merah di atas kepalanya. Ia tak yakin kenapa, tapi matahari merah selalu membuat hatinya sakit. Indah, tapi hatinya sakit. Ia menundukkan kembali kepalanya, melihat api yang mulai mengecil. Ah. Pemandangan yang lebih nyaman dari pada langit merah.

Suara tumpahan air membangunkannya dari lamunan. Sebentar kemudian Takakura sudah mengenakan bajunya dan berdiri di sampingnya. Takakura tak banyak menunjukkan ekspresi seperti biasanya, hanya raut wajah pemarah yang memang sudah tak bisa diubah.

Berlatar langit yang mulai dikuasai gelap, dengan cahaya api sebagai satu-satunya penerangan, Takakura memberi isyarat agar Cliff segera mandi. Tanpa bertanya lagi Cliff langsung masuk melalui pintu belakang rumah. Terdengar lagi suara tumpahan air. Cliff telah masuk ke dalam bak mandi.

Bukannya duduk di depan api, Takakura berjalan menjauh.

"Lihat? Menurutmu dia berbohong?"

Takakura bertanya pada Manna yang sejak tadi berdiri di balik pohon di kejauhan, mengawasi Cliff. Manna keluar dari persembunyiannya dan mendekati Takakura. Ia tahu Cliff ada di dalam, jadi ia bicara dengan suara kecil.

"Tidak," jawab Manna.

"Sudah kubilang,"

Dahi Manna berkerut. Ia berpikir serius sambil melihat Takakura. "Tapi… wajah itu. Aku yakin itu dia, kak."

Takakura duduk di bongkahan kayu, lalu berkata, "Wajah bisa saja sama."

Perhatian Manna terpusat pada kakak iparnya itu, "Ha? Kakak percaya begitu saja pada bocah itu? Mana mungkin ada dua orang yang wajah dan perawakannya begitu sama persis? Dan lagi, jika ia ke sana beberapa kali dalam sebulan, seharusnya aku pernah melihatnya."

"Sudahlah," katanya. "Ia tak berbohong. Setidaknya aku tahu itu," lanjutnya sambil melihat wajah tak percaya Manna. "Lagipula…."

"Hm?" gadis itu meminta penjelasan lebih lanjut.

"Pangeran Aria sudah mati. Berdasarkan ceritamu, sekalipun dia masih hidup, semua yang harus dan telah dilaluinya sangatlah menyedihkan."

"Tapi…!"

"Manna," Takakura dengan cepat memotong keberatan adik iparnya. Matanya penuh keyakinan, namun wajahnya datar dan tak begitu menampakkan ekspresi seperti biasa. "Dia Cliff. Meski kau bilang wajahnya mirip dengan mendiang Pangeran Aria, dia Cliff."

Malam semakin gelap. Suara jangkrik dan serangga samar-samar semakin terdengar. Dua orang itu terdiam beberapa lama. Keduanya sibuk dalam pikirannya masing-masing.

Manna akhirnya menghela napas panjang. Menyerah. Mengurut pangkal hidungnya. "Baru satu musim dan kau sudah menempel padanya."

Mata Takakura memicing. Ia tak senang dengan kata-kata Manna barusan, namun ia tak begitu menggubrisnya dan hanya berdecak kesal.

Ketika ia hendak kembali masuk ke dalam rumah, Manna menghentikannya. "Jangan bawa dia ke Ibukota. Sekalipun hanya sedikit sekali orang yang tahu wajah Pangeran, jika ketahuan, negeri ini bisa gempar."

Pria berkaki timpang itu tak menyahut. Malah berjalan kembali ke arah rumah kayu tuanya, meninggalkan Manna sendirian dalam kegelapan. Gadis itu menghela napas lagi. Takakura selalu keras kepala, seperti biasa.

Tapi Manna juga keras kepala. Ia yakin ia tak mungkin salah. Ia bekerja sebagai pegawai dapur kerajaan, dan ia sudah hafal betul wajah Pangeran Aria. Pangeran yang berhati lembut dan baik kepada siapa saja. Kelembutan yang mengingatkannya pada mendiang Ratu Alicia, ibu sang Pangeran. Besok ia akan menyelidiki lebih lanjut tentang Cliff. Siapa anak itu sebenarnya, dan bagaimana ia bisa mengarang cerita yang begitu lengkap, dan membicarakannya tanpa ada sedikitpun gurat kebohongan di wajahnya.

~OOO~

To Be Continued…

.

.

.

N/A: Lama sekali. Author selalu lelet. Bagaimana? Semoga chapter ini bisa dinikmati ya…