Naruto © Masashi Kishimoto

Kupu-Kupu Tak Bersayap © Me

AU. OOC. SasuSakuSara. Content dewasa. Tema Prostitusi. Slight SasuKarin.

(Karena cerita ini udah lumayan jadul, jadi maafkeun soal bahasa dan diksinya yang amburadul).

.

.

"Malam ini Mama tidak bisa menemanimu di rumah. Mama harus pergi bekerja. Kamu menginap di rumah Tante Ino."

"Lagi?"

Sakura mengerang dalam hati mendengar nada sedih yang keluar dari mulut anaknya. Mau bagaimana lagi? Tadi Mami Terumi menelpon dan menyuruh dia untuk bersiap. Satu jam lagi Haku akan menjemputnya. Ada klien kaya yang mengadakan pesta bujang di Hotel Mangekyou, Sakura dan beberapa temannya diminta untuk pergi menemani mereka.

Padahal malam ini Sakura sudah merencanakan quality time, waktu berkualitas antara ibu dan anak. Berdua saja dengan anaknya, Sarada, yang lusa akan genap berusia tujuh tahun. Tapi dia tidak bisa menolak permintaan Mami Terumi, Mucikari yang selama lima tahun ini menjerat ibu satu anak itu dalam dunia prostitusi. Dia tidak bisa seenaknya keluar atau berhenti sebelum membayar semua hutangnya pada wanita itu. Lari? Itu bukan pilihan bijak yang bisa dilakukan disaat kau memiliki anak perempuan yang masih kecil. Sakura tidak mau para preman bayaran Mami Terumi mengejar dan menyiksanya, atau yang lebih parah lagi membunuhnya dan membuat si kecil Sarada menjadi pelacur seperti ibunya. Dia tidak mau itu. Sakura berharap semua hutangnya pada Mami Terumi bisa terbayar sebelum Sarada beranjak remaja.

Sangat tidak lucu saat anakmu yang sudah gadis, dan mulai menyukai lawan jenis harus mengatakan bahwa pekerjaan ibuku adalah pelacur pada orang yang disukainya.

"Apa ... pekerjaan Mama tidak bisa ditunda? Maksudku Mama bisa libur dulu?"

Besar dan hidup tanpa orang tua yang lengkap, dan tinggal di tengah lingkungan yang lumayan tak baik untuk anak-anak seusianya membuat Sarada dewasa sebelum waktunya.

Sakura mengerang, "Maafkan Mama, Sayang. Mama tidak bisa. Kalau Mama tidak pergi kita tidak akan punya uang untuk menyewa rumah ini dan juga membayar uang sekolahmu." Dia berusaha melakukan dua pekerjaan sekaligus, mengeriting rambut dan juga memasakan makan malam untuk Sarada, bacon dan telur. Serta keju dan macaroni panggang.

"Hn." gadis kecil berkacamata dengan surai hitam itu hanya bisa duduk menunduk di depan meja makan.

"Mama janji, lusa Mama akan libur agar kita bisa makan di luar untuk merayakan ulang tahunmu."

Kepala Sarada mendongak, mata gelapnya langsung berbinar ceria mendengar janji Sakura. Dia menoleh ke arah ibunya.

"Benarkah?"

"Hu'um." Sakura mengangguk senang melihat keceriaan di mata putrinya kembali.

"Mama?"

"Umm?"

"Keju dan makaroniku sepertinya gosong."

"HUWAAA IYA!"

.

.

.

Berkali-kali Uchiha Sasuke menghela napas gusar. Topik pembicaraan pada makan malam keluarga Uchiha selalu sama, yaitu mengenai penerus yang akan memegang tampuk kepemimpinan di Uchiha Corporation. Uchiha Itachi, kakak Sasuke, tidak bisa mengabulkan keinginan orang tuanya memberikan cucu untuk penerus tahta kerajaan bisnis Uchiha, karena dia mandul. Pernikahannya selama dua belas tahun dengan istrinya, Konan, tidak dikaruniai anak. Mereka hanya mengadopsi dua anak yatim-piatu dari panti asuhan. Itachi dan Konan menyayangi kedua anak mereka, Shin dan Mitsuki, walau mereka hanya anak angkat. Namun lain halnya dengan orang tua Itachi dan Sasuke, yang mengharapkan keturunan langsung, cucu berdarah Uchiha dari Itachi dan Sasuke.

Putus harapan pada Itachi, Fugaku dan Mikoto Uchiha mengalihkan perhatian mereka pada Sasuke.

Sayangnya sampai saat ini si bungsu masih belum bisa menuruti keinginan orang tuanya. Dia tidak mandul seperti Itachi, begitupula Karin, istrinya. Hanya saja mereka sengaja menunda keinginan untuk memiliki anak, walau sudah enam tahun menikah. Karin merupakan seorang model terkenal yang selama beberapa tahun belakangan karirnya sedang menanjak. Dia tidak ingin masa keemasan karirnya rusak hanya karena memiliki seorang bayi. Sasuke tidak memiliki kuasa untuk menentang kemauan sang istri.

Jika Ayah atau Ibunya mengungkit soal cucu pada Karin dan Sasuke saat makan malam, maka Karin akan marah pada suaminya dan mengatakan bahwa Sasuke dan keluarganya egois dan tidak peduli pada dia. Itu terjadi lagi malam ini. Sasuke bukanlah tipe suami yang suka bertengkar dengan istri, dan jika marah dia tidak pernah main tangan dengan menampar atau melukai istrinya. Dia lebih memilih untuk menghindar. Walau pernikahannya dengan Karin tidak didasari cinta, dan hanya sebagai pengikat bisnis antara keluarga Uchiha dan Uzumaki, Sasuke tetap ingin bersikap gentle.

Menyendiri di ruang kerja untuk menghindari pertengkaran dengan Karin, membuat Sasuke kesepian. Dia kemudian menghubungi Uzumaki Naruto, sahabatnya (yang juga sepupu Karin) untuk mengajak pemuda itu keluar.

"Sepupuku membuatmu stres lagi, eh?" Naruto selalu tahu alasan kenapa Sasuke menelponnya.

Sasuke mendengus. "Katakan saja kau ada dimana Dobe? Dan apa yang kalian lakukan?"

"Hotel Mangekyou. Kami sedang berkumpul dan mengadakan pesta bujang untuk Gaara. Sobat kita ini kan mau menikah. Dan kau yakin akan kemari Teme? Kau kan bukan bujang lagi."

Sasuke bisa merasakan seringai Naruto di ujung saluran telpon.

"Hn. Kamar nomer berapa? Aku ikut," kata Sasuke setelah terdiam selama beberapa saat.

Naruto terkekeh. "Dua ratus tiga belas. Pastikan Karin tidak tahu kalau kau ikut pesta ini. Dia akan membunuhku, Teme."

"Hn," respon Sasuke sembari mematikan sambungan ponselnya.

.

.

.

"Sudah siap, Manis?" Sakura terkekeh pelan mendengar nada menggoda yang keluar dari mulut cowok (coret-mantan-cewek) transgender berparas cantik yang menunggunya di depan rumah kontrakan. Sakura bersyukur beberapa menit lalu sahabatnya, Ino, sudah menjemput Sarada untuk menginap di rumahnya.

"Tunggu sebentar Darling," ucap Sakura sembari berlari kecil keluar rumah sembari menenteng tas tangan dan hels berwarna merah pekat. Sakura juga mengenakan gaun mungil cantik tanpa tali yang berwarna senada dengan tas tangannya. Rambut merah muda sepunggungnya digerai dengan bagian bawah yang sudah dikriting. Dia tidak memakai make up berlebihan, hanya polesan bedak tipis, maskara, dan juga lipstik berwarna pink pucat seperti rambutnya.

"Anakmu sudah kau ungsikan?"

"Hmmm. Di rumah Ino," jawab Sakura asal sambil mengunci pintu rumah, lalu memakai sepatu hak tingginya.

Haku memperhatikan Sakura sesaat, kemudian dia tersenyum masam. "Baguslah. Lagipula kasihan anak sekecil itu kalau harus melihat ibunya pulang dalam keadaan berantakan dan berbau sperma."

Sakura mendengus sinis. "Sialan."

Haku terkekeh. Dia mempersilakan Sakura untuk berjalan lebih dulu menuju ke tempat mobilnya di parkir.

"Pesta bujang kudengar."

"Yup. Hotel Mangekyou. Anak pejabat Suna dan teman-temannya memesan penari telanjang plus-plus untuk menemani mereka," jelas Haku malas.

Sakura bersiul. "Kalau begitu bayaran dan tipnya lumayan besar."

"Yah. Mungkin. Tapi itu juga berarti tenaga dan kesabaran ekstra. Tak jarang anak-anak orang kaya seperti mereka suka bermain kasar dan bermulut kotor." Haku bicara berdasarkan pengalaman. Saat remaja (ketika dia masih menjadi seorang perempuan) Haku dijual oleh Ayah tirinya ke sebuah lokalisasi prostitusi di kota Kumogakure, dipaksa melayani nafsu binatang para lelaki hidung belang selama bertahun-tahun. Setelah bebas dari tempat tersebut, Haku yang mengalami trauma akibat segala kekerasan dan tindakan penyimpangan seksual saat di Kumo, memutuskan untuk menjadi seorang laki-laki. Dia lalu merantau ke Konoha dan bekerja sebagai supir Mami Terumi.

Ingin mencari pekerjaan lain yang tidak berhubungan dengan dunia prostitusi, tapi siapa atau perusahaan mana yang mau menerima mantan pelacur yang juga seorang transgender untuk menjadi karyawan mereka?

"Kuatkan saja hatimu nanti, seandainya mereka merendahkan profesi kalian," Haku menepuk pundak Sakura penuh simpati.

"Hn. Itu pasti." Sakura mengangguk. "Ngomong-ngomong aku yang pertama kau jemput?"

"Hu'um. Setelah ini aku harus menjemput Sumire dan juga Anko."

Bibir Sakura melengkung ke atas mendengar nama dua temannya yang lain. "Ini akan menyenangkan," gumamnya.

"Yah. Mudah-mudahan."

.

.

.

"Anak pejabat, eh?" tanya Mitarashi Anko sinis sambil merapikan dandanannya. "Sebagian pejabat. Tidak ayah-tidak anak sama saja bejatnya. Di depan publik, para pejabat sialan berkantong tebal itu menolak eksistensi kita. Membuat rancangan undang-undang. Menutup lokalisasi. Dan bahkan menggelandang teman-teman kita seperti narapidana ke panti sosial. Tapi di belakang ... mereka pun memakai jasa kita," dia menggerutu, "Kemarin aku bersama salah satu pejabat daerah Kumo, yang sedang dinas di Konoha. Tua dan payah. Hanya dompetnya saja yang tebal. Apa yang akan dikatakan publik kalau mereka tahu soal orang-orang seperti itu?"

Sakura dan Sumire yang duduk di bangku belakang-di samping Anko-sama-sama tertawa mendengar gerutuan si cantik bertubuh aduhai tersebut. "Bagaimana kalau kau melist para pejabat yang datang menyewa jasa kita, lalu menjual nama-namanya pada pers?" canda Sumire.

"Dan jangan lupa, buat videonya secara sembunyi-sembunyi agar bisa jadi bukti kalau mereka mengelak," tambah Sakura.

Anko terkekeh.

"Hei! Untuk usulan video rekaman itu melanggar privasi seorang lelaki. Nanti ukuran dan jenis-jenis 'barang' orang yang berjas dan berdasi itu bisa terbongkar. Yang memiliki barang paling kecil dan jelek kan bisa malu."

Celetukan Haku sukses membuat ketiga perempuan malam itu terbahak-bahak.

.

.

.

Sakura tidak mengerti kenapa malam ini dia merasa gelisah. Jantungnya berdentum dengan kencang tanpa sebab. Dan sebuah suara di sudut hatinya yang terdalam berteriak menyuruhnya untuk segera pulang.

Sakura pikir ini firasat buruk. Dia mendadak menghawatirkan Sarada. Dalam perjalanan dari lobi hotel menuju kamar anak pejabat Suna, Sakura menelpon Ino untuk menanyakan keadaan putrinya. Namun menurut sahabatnya, Sarada baik-baik saja.

'Sebenarnya aku kenapa?' batin Sakura was-was setelah menyudahi acara telpon singkatnya dengan Ino.

"Bagaimana putrimu?" Anko melirik Sakura. Dia mengenal Sakura sejak perempuan itu masih berusia belasan tahun, saat masih tukang cuci piring menyedihkan yang berlari kesana-kemari memohon uang pinjaman untuk biaya operasi bayinya.

"Dia baik. Sedang tidur," jawab Sakura dengan kening berkerut bingung.

"Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan." Perempuan tomboy berambut ungu yang mengenakan pakaian gelap transparan berbahan sifon itu merangkul Sakura akrab, "Ayo kita selesaikan semua ini. Setelah itu kau bisa pulang dan bertemu Sarada lagi." dia mengacak pelan rambut merah muda Sakura.

"Hmm. Kakak benar. Cepat selesaikan semua ini agar bisa cepat pulang dan membawa uang."

"Kalian berdua tampak seperti pasangan lesbian," komentar Sumire saat melihat Anko yang masih merangkul 'mesra' Sakura.

Anko mendengus. Sakura nyengir.

Saat ketiganya tiba di depan pintu kamar nomer dua ratus tiga belas. Perasaan Sakura makin tak menentu.

Pintu diketuk. Seorang lelaki pirang berwajah ceria membukanya.

"Ah. Kalian sudah datang?" kata si pirang. Sepasang mata birunya berbinar ramah. "Ayo masuk."

Kamar itu besar dan mewah. Ketika mereka masuk, tiga lelaki lain (selain si pirang di pintu) berpenampilan kasual menyambut. Mereka semua memiliki wajah rupawan. Dan Sakura merasa dirinya menjadi penderita penyakit jantung, saat melihat sepasang mata gelap yang balik menatapnya terkejut.

'Sa-su-ke?' Ibu satu anak itu berharap bumi bisa menelannya sekarang.

.

.

.

'Sakura?' Sasuke benar-benar tidak ingin mempercayai apa yang dilihatnya.

Salah satu dari tiga perempuan malam yang dipesan Gaara untuk menari telanjang dan menemani mereka di pesta bujangnya, adalah Haruno Sakura, pacar pertama Sasuke saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas dan tinggal di Suna.

Seingat Sasuke, Sakura yang dulu adalah gadis periang yang sopan dan cerdas. Namun sekarang ... Mata gelapnya menyusuri penampilan Sakura dari ujung kaki sampai kepala. Hels berwarna merah pekat, gaun pendek tanpa lengan yang juga berwarna senada membungkus tubuh indahnya dengan ketat, wajah yang dulu polos kekanakan kini tampak begitu cantik namun menyimpan banyak beban. Rambut Sakura yang dulu pendek sebahu, dan menjadi kesukaan Sasuke untuk dibelai, kini telah panjang mencapai punggung.

Sesaat Sasuke melihat Sakura seperti terguncang dan kehilangan orientasi ketika bertemu mata dengannya, namun perempuan bersurai merah muda itu cepat mengendalikan diri.

"Jadi siapa bosnya disini?" perempuan berambut ungu dan berpakaian sangat seksi itu satu-persatu menatap Sasuke, Naruto, Gaara, dan Kiba.

"Aku," Naruto mengangkat tangan disertai cengiran mesum yang lebar. Dia berjalan menghampiri Anko sambil menatap nakal pada beberapa bagian tubuh perempuan itu.

"Oh, oke Tampan. Ini totalan harganya." Dia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas tangannya. "Kau pasti sudah membayar uang muka pada Mami Terumi. Dan sisanya harus dibayar pada kami bertiga."

"Hmm. Tak masalah." Naruto tampak tak keberatan dengan harga yang diajukan Anko. Setelah kesepakatan terjadi, dan Naruto menyerahkan setumpuk uang pada si rambut ungu, pesta pun dimulai.

"Jadi siapa pengantinnya?" tanya Sumire dengan nada menggoda.

"Hmm. Aku," Sabaku Gaara menyeringai.

Dentuman musik disko dari streo MP3 yang dinyalakan Kiba Inuzuka, mengisyaratkan pada para gadis bahwa mereka bisa memulai menggerakan tubuhnya mengikuti irama dentuman musik.

.

.

.

Suasana di kamar dua ratus tiga belas mulai panas oleh gairah dan hujanan kata-kata mesum saat ketiga perempuan cantik tersebut mulai menari di atas meja, dan satu-persatu pakaian mereka terlucuti.

Naruto dan Kiba yang lebih dulu 'panas'. Mereka mulai meraba dan meremas bokong beserta dada Sakura dan Sumire, yang kini masing-masing hanya memakai celana dalam thong. Sedangkan Gaara yang akan melepas masa bujangnya sedang sibuk beradu lidah dengan Anko.

Sementara Sasuke ... Duduk meminum birnya di sudut sofa, mata si bungsu Uchiha menatap tajam ke arah Sakura yang tengah asik melakukan tarian mesum bersama Naruto. Perasaan lelaki itu campur aduk.

Melihat tangan Naruto yang dengan cekatan hendak melepas celana dalam Sakura, Sasuke langsung bangkit dan menarik si perempuan bersurai merah muda untuk turun dari meja.

"Hei Teme, apa-apaan kau?" Naruto protes tak terima karena 'patner'nya tiba-tiba direbut oleh Sasuke.

"Aku ambil yang ini."

"Tapi ..."

Naruto yang hendak kembali protes, hanya bisa bungkam saat menerima tatapan tajam Sasuke. Dia lalu mengalihkan perhatiannya pada Sumire.

"Pakai bajumu." Memungut gaun merah yang teronggok di lantai, Sasuke kemudian melemparkannya pada Sakura.

"Tapi ..."

"Sekarang!" sifat sok ngeboss dan tak mau dibantah Sasuke, masih tak berubah dari dulu hingga sekarang. Dengan enggan, dia memakai gaunnya.

Sejak pertama kali memasuki kamar ini dan bertemu mata dengan Sasuke, Sakura berharap semoga dia tidak 'melayani' si lelaki Uchiha. Karena itu akan membuka kenangan masa lalu dan luka lama. Tapi sepertinya harapan hanya tinggal harapan. Sakura hanya bisa mendesah putus asa saat Sasuke menyeretnya keluar dari kamar nomer dua ratus tiga belas.

.

.

.

Memboking kamar lain untuk memberikan privasi khusus pada keduanya, Sasuke malah terlihat bingung ingin bicara apa. Suasana tampak begitu canggung. Sudah tiga puluh menit dia dan Sakura, duduk di atas tempat tidur tanpa berbicara atau melakukan apapun.

"Apa yang terjadi?" Sasuke akhirnya buka suara.

Tak menjawab, Sakura hanya mengeluarkan suara dengusan sebagai respon. Dia lebih memilih untuk duduk tegak memelototi tembok putih daripada harus menoleh dan melihat wajah seorang Uchiha Sasuke.

Sasuke menarik napas keras, pertanda bahwa dia mulai kesal pada mantan pacarnya ini. "Jangan bertingkah menyebalkan Sakura. Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau bisa jadi seperti ini?"

"Apapun yang terjadi padaku, tidak ada hubungannya denganmu."

Sasuke tersentak mendengar nada bicara Sakura, yang terkesan seolah dia membencinya.

"Apa kau lebih memilih menjadi pelacur dan memuaskan teman-temanku di kamar sebelah, daripada harus menjelaskan tentang apa yang menyebabkanmu seperti ini?" suara rendah Sasuke sarat akan ancaman yang membuat hati kecil Sakura gentar.

Namun dengan mantab perempuan bersurai merah muda itu menjawab 'Ya.' yang disusul sebuah tamparan keras bersarang di pipinya. Dan juga tubuhnya yang tiba-tiba terbaring di atas tempat tidur karena terdorong bobot si pria Uchiha.

.

.

.

Lima tahun bekerja sebagai perempuan malam, membuat Sakura sudah terbiasa dengan segala macam rasa sakit akibat perbuatan kasar para pelanggannya. Tapi malam ini rasanya jauh lebih sakit. Kenyataan bahwa yang mengasari dan merendahkannya adalah Uchiha Sasuke, cinta pertama yang sampai sekarang masih dicintainya, sekaligus ... Ayah dari Sarada, membuat hati Sakura terasa jauh lebih sakit daripada seluruh tubuhnya yang menerima perlakuan tak menyenangkan Sasuke.

Uchiha Sasuke. Dulu dia tidak sekasar dan sedingin ini. Walau sifatnya terkadang menyebalkan dan terkesan tidak pedulian, tapi Sasuke yang dulu orangnya lembut. Dia tidak tega menyakiti atau bahkan melukai Sakura, seujung kukupun.

Sakura masih sangat mengingat bagaimana saat ketika dia melepaskan keperawanannya pada Sasuke, wajah Sasuke waktu itu terlihat sangat cemas dan panik saat mendengar Sakura kesakitan.

'Kalau dipikir lagi ... apa yang terjadi padaku selama ini bukan salah Sasuke.' Takut-takut tangan kurus Sakura terjulur untuk membelai surai gelap Sasuke. 'Semua yang terjadi pada kami adalah takdir. Keadaanlah yang membuat aku dulu terbuai nafsu dan tidur dengan Sasuke. Dia pindah mengikuti orang tuanya keluar kota tanpa tahu bahwa aku hamil. Kehamilanku membuatku diusir dari rumah oleh orang tuaku sendiri. Luntang-lantung di jalan saat hamil dan menggelandang bersama bayi bukanlah hal yang menyenangkan, apalagi harus berhutang banyak pada seorang mucikari demi membayar biaya operasi Sarada. Aku menjalani banyak hal yang tidak menyenangkan, tapi aku tidak menyalahkan Sasuke. Dia sama sekali tidak tahu keadaanku.' dia menarik napas sedih saat tanpa sengaja melihat cincin kawin yang melingkar di jari manis Sasuke.

"Kalau kau tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Apa kau akan tetap bersikap kasar seperti ini?" tanya Sakura parau. Tak peduli bahwa Sasuke tidak mungkin menjawab, karena lelaki itu sedang tidur. 'Ah. Mungkin sebaiknya kau tidak tahu,' tambahnya dalam hati.

Ponsel Sakura dalam tas tangannya yang di letakan di laci night stand di samping tempat tidur berdering, melirik jam yang sudah menunjukan pukul dua pagi, perempuan bersurai merah muda itu kemudian menjawabnya.

"Hai." Itu dari Anko yang menanyakan keberadaannya. Dia dan Sumire sudah berada di lobi hotel menunggu Haku menjemput. Pesta bujangnya sudah selesai. Anko bertanya apakah Sakura akan pulang bersama mereka. "Ya tentu, sepuluh menit lagi aku menyusul," katanya sambil beranjak turun dari tempat tidur. Memungut semua pakaiannya lalu beranjak menuju kamar mandi.

"Baiklah. Iya, sampai jumpa."

Mengetahui bahwa perempuan yang sejak tadi berbaring di sampingnya telah pergi ke kamar mandi, perlahan obsidian yang sedari tadi bersembunyi di balik kelopaknya mulai menampakan diri.

'Apa yang kau sembunyikan dariku, Sakura.'

.

.

.

"I-ini apa?" Sakura sedikit terkejut melihat Sasuke yang sudah bangun dan telah berpakaian rapi setelah dia kembali dari kamar mandi. Pria itu menyodorkan segepok uang padanya.

"Bayaranmu," ucap Sasuke cuek sembari merapikan jaketnya tanpa melirik sedikitpun ke arah Sakura.

Jawaban Sasuke membuat hati Sakura tertohok.

"Tak perlu. Si pirang tadi sudah membayar kami."

"Aku 'memakaimu' untuk diriku sendiri. Tidak bersama yang lain dalam pesta bujang Gaara."

Tatapan tajam tak-mau-dibantah-ala-Sasuke membuat Sakura terpaksa menerima uang tersebut.

"Hm. Terimakasih." dia beranjak ke arah pintu dan berjalan keluar kamar tanpa menoleh ke belakang. Meninggalkan Uchiha Sasuke dengan seribu pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya.

.

.

.

ToBeContinue.

A/N : Asli nih story udah lumayan lama dibuat. Dari september 2014. Yah memang aslinya ini cerpen genre dewasa, cuma diacak-edit dikit buat dirubah jadi ff. Cerita aslinya sudah selesai. Sengaja saya jadikan twoshot, agar saya tahu seperti apa respon pembaca. Karena tema yang diangkat dalam ff ini mungkin akan lumayan menyinggung penggemar karakter Sakura. (dari segi profesi).

Saya tahu menulis sebuah cerita dengan referensi yang (SANGAT) minim itu memang hasilnya akan sangat menggelikan untuk dibaca. Tapi saya harap ini bisa dinikmati.

Sampai ketemu habis lebaran di cerita ini dan dua fanfic SasuSaku canon multichapter saya yang lainnya.

Salam hangat.