Warn: OOC, full of typo(s), if you dislike this fic please click back.

x-x-x-x

.

.

.

Ada jarak yang membentang jauh ketika rindu itu lewat di selasar hati

Yang bisa dia lakukan hanya menunggu sampai obat rindu itu datang

Kala dia berangan bahwa daun-daun kering itu bersuara karena dipijak,

Terbayang seraut wajah serupa mentari di musim panas

Walau warna hijau itu sudah berganti cokelat dan rontok,

Dia tetap menanti dalam kerinduan yang membelainya

Dia tidur dalam penantian

.

.

.

Sejak saat itu, Sasuke tinggal sendirian di rumahnya. Ia selalu membaca ulang pesan terakhir dari Naruto setiap pagi dan menjelang tidur. Hanya satu pesan itu dan tidak ada pesan lainnya yang ia terima dari lelaki itu setelahnya.

Ia betul-betul merasa kehilangan, juga kesepian.

0-0-0-0

AITAKATTA KARA, KAERE, BAKA OYAJI!

Two of Two

A NARUTO FANFICTION

DISCLAIMER: NARUTO BELONGS TO MASASHI KISHIMOTO

NARUSASU

0-0-0-0

Tapi di saat ia merasa kesepian, di sekolah selalu ada dua orang yang menghiburnya. Kala ia duduk di kelas, ada Sai yang selalu menawarinya untuk belajar bersama. Kala jam pelajaran sedang tidak berlangsung ada Gaara yang selalu mengajaknya untuk bermain bola di lapangan sekolah. Kadang dua orang tu bertengkar karena yang satu ingin Sasuke menjadi siswa teladan yang rajin belajar, sementara yang satunya lebih senang bermain di luar dan kabur dari kelas. Sasuke harus memilih. Bukan memilih mana yang tetap akan jadi temannya, tapi memilih mana yang akan ia jalani. Dalam pesan Naruto, ia mengatakan bahwa ia ingin melihat Sasuke mendapatkan nilai seratus dalam ujian akhir.

Pada akhirnya ia harus memilih.

Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk kembali sekolah dan belajar. Sasuke mengikuti semua pelajaran dengan baik. Pada awalnya para gurunya merasa sangsi, tapi ia bisa membuktikan pada mereka kalau siswa yang dianggap pembuat masalah sepertinya bisa mendapatkan nilai bagus dalam ujian mingguan. Sebenarnya otaknya encer, andai saja ia tidak sering membolos dan berkelahi, mungkin saja dia bisa masuk peringkat lima besar di sekolahnya.

Lembar-lembar kertas bertuliskan angka di atas 90 itu ia kumpulkan satu demi satu dalam sebuah map plastik transparan. Setiap kali mendapat nilai bagus ia akan simpan, yang nantinya akan ia tunjukkan pada Naruto jika lelaki itu pulang.

Tiga bulan telah berjalan tanpa Naruto. Sedikit demi sedikit ia berusaha berubah.

'Bangun, kuso teme! Anak rajin sepertimu harus ikut ujian! Aku akan ikut susulan saja, jadi ajari aku kalau kau berhasil dapat nilai bagus!'

Pagi itu, dia berangkat dari rumah tanpa sarapan. Untung saja pesan dari Gaara berhasil membangunkannya. Karena kesiangan, tidak ada waktu untuk sekedar mengoles selai di atas selembar roti. Itu semua gara-gara ia belajar terlalu larut sampai akhirnya ketiduran. Apalagi hari itu ada ujian di jam pelajaran pertama. Sama sekali tidak boleh ia lewatkan. Kalau ia melewatkannya sama saja ia melanggar janjinya sendiri.

Sasuke berjalan tergesa-gesa sambil memegang buku kimia. Semalam ia belum habis membaca rumus-rumus itu. Sambil berjalan sesekali ia membaca. Walau mungkin kelihatannya percuma menghapal dengan cara seperti itu, tapi mau bagaimana lagi, sampai ke sekolahpun mungkin saja bel sudah berbunyi dan dia akan menjadi orang terakhir yang masuk kelas.

Hanya sedikit lagi untuk sampai ke sekolah, tinggal melewati satu jalan berbelok. Sasuke melirik jam di tangannya. Sepertinya ia harus berlari.

GREBBB

"Ubhhh!"

Tanpa ia sangka dua tangan melingkar di tubuhnya, lalu mulutnya dibekap dengan kain.

"Mmmhhh! Mmmmhhh!" ia berontak dengan menendang-nendang.

Sesak! Sesak! Ia tidak bisa bernapas. Tubuhnya diseret paksa ke sebuah gang sempit yang gelap. Ia tidak berdaya.

BRUKK!

Ia dilempar begitu saja ke tanah. Sakit!

"Kalian… siapa?" ia mencoba bangkit dengan kedua tangannya, tapi tubuhnya sudah terlanjur lemas karena dibekap tadi. Ia melihat segerombolan anak laki-laki berseragam sekolah, dan satu anak perempuan di hadapannya.

"Wah, kau membaca buku sambil berjalan? Apa sekarang kau sudah berubah jadi anak rajin?" ia kenal suara perempuan itu.

"URUSE!" teriaknya.

Buku kimia miliknya yang tadi terlempar ke tanah itu diambil, lalu disobek-sobek asal. Sasuke menggeram.

"Ah… maaf, kukira ini sampah… jadi kusobek-sobek saja supaya mudah dibakar." sisa lembaran dari buku itu dilemparkan ke muka Sasuke.

PRUK

Buku itu jatuh bebas. Sasuke memandang kertas bertuliskan rumus molekul itu dengan matanya yang bulat. Haruskah ia melewatkan ujian kali ini gara-gara siswa-siswa brengsek di depannya itu?

"Jujur saja aku ingin membalas perbuatanmu padaku waktu itu. Tapi kalau ternyata sekarang kau sudah berubah jadi kutu buku yang lemah rasanya kurang menyenangkan. Kenapa kau banting stir begitu?"

"OMAE NI KANKEI NAI DAROU!" ia kesal, sungguh. Ingin rasanya ia meninju wajah itu.

"Hinata-sama, kau ingin dia kami apakan?"

Hinata adalah ratu lebah di sekolah elit saingan sekolahnya. Anak-anak dari dua sekolah itu sudah sering terlibat tawuran. Sasuke sendiri pernah berurusan dengan gadis itu secara pribadi, ia pernah menamparnya di hadapan orang banyak. Ia pernah menampar Hinata dan meninggalkannya begitu saja di jalanan ramai. Sasuke marah karena Hinata mengejeknya. Ejekan itu bukan ejekan yang bisa ia abaikan, Hinata telah mengatakan sesuatu yang benar-benar telah menyakiti hatinya.

'Kau hanya anak pungut yang tidak tahu diri.'

Begitu membekas, Sasuke tidak pernah lupa wajah dan suara Hinata saat mengatakan itu.

"Hm… biar kupikirkan." Gadis berambut indigo itu menjawab dengan angkuh.

Dia mengeluarkan sesuatu dari tas gendongnya yang berwarna ungu.

"Hahaha… aku punya ini…" pisau lipat. Dia tertawa sambil mengacungkan pisau itu. Apa gadis ini sudah gila?

BUAGH

Satu tinju keras mengenai pipi Sasuke. Ia hampir jatuh terhuyung tapi tangannya yang cekatan buru-buru memegang besi karatan yang tersandar di dinding.

"Cuh!" ia meludahkan darah dari mulutnya. Sialan.

"Iya, iya buat dia tidak bisa bergerak!" gadis itu bersorak girang.

Sasuke sudah tidak tahan. Ia tidak punya kesabaran untuk diam menghadapi mereka. Maaf Naruto, kali ini saja, ia akan melanggar janjinya.

"Kenapa kau diam saja Sasuke? Aah… pasti sakit ya?" wajahnya berkerut khawatir, tapi jelas itu palsu.

"Uruse."

"Bicaralah yang jelas Sasukee…"

"URUSEEEE!"

Satu lawan banyak itu benar-benar tidak adil. Meskipun Sasuke sudah sering berkelahi tapi kalau begini caranya ia akan sulit menang. Bertahanpun hanya akan membuat mereka semakin menjadi. Saat ia menyerang salah satunya, yang lain akan membalasnya. Ia kalah jumlah.

BUAKKKH

"Ukh!"

Sasuke dipukul dari belakang. Potongan pipa besi karatan itu telah mengenai bahunya. Ia tersungkur. Langsung saja anak laki-laki yang lainnya mengambil kesempatan untuk menendangnya.

DUAKKHH

"KUSO YAROOO!"

Dia mengayunkan lempengan besi yang dia temukan. Terlemparlah benda itu dan menghantam kaki salah satu dari mereka. Sasuke bangun.

"Ahaha… kau masih bisa bangun?" suara riang itu membuat Sasuke semakin marah.

"Sialan…"

BUGH

"Ah!"

Sasuke kena telak oleh tinjuan itu.

BUAKKH

Ia membalas dengan tangan kirinya. Sekejap mata tangan itu sudah dipegang oleh lawannya, lalu ia dibanting sampai jatuh membentur tanah.

DREK

"AAARRGGHHH!"

Kaki itu menginjak bahunya dengan sekali hentakan keras. Sasuke tidak bisa merasakan tangan kanannya.

"Ahh…" ini sakit! Sasuke memaksa sebelah tangannya yang lain untuk bangkit.

"Kau payah, Sasuke! Kau sudah tidak bisa apa-apa, ya?"

Hinata mendekat. Sepatu pantofelnya yang mengkilap bersuara nyaring ketika membentur tanah. Ia membungkuk di hadapan Sasuke untuk melihat wajah kesakitannya.

"Minggir-minggir!" ucapnya pada anak-anak laki-laki itu. Mereka menyingkir.

Si gadis indigo lalu berjongkok.

"Tachiagatte…" pintanya manja. "Kikoemasenka, anata?"

GREBB

"EH?!"

Hinata lengah. Sasuke berhasil menarik kerah kemejanya dengan tangan yang tadi diinjak itu.

"Kuso hime…"

Hinata terlihat takut. Sasuke tersenyum.

CRASH

"Ups."

Wajah yang tidak memiliki jarak berarti itu menyunggingkan senyuman yang penuh penghinaan.

"Breng…sek…"

BRUKKK

Pisau tajam itu tertancap di perutnya. Darah yang terus mengalir merembes ke kemejanya yang putih,sebagian besar membentuk genangan berbau anyir di tanah.

"Aaaaakkhh…" Sasuke sudah tidak sanggup berdiri.

"Kau membuat vest-ku kotor…" Hinata melihat noda-noda darah di bajunya dengan pandangan jijik.

Dasar gila! Perempuan sinting! Sasuke ingin mengumpat tapi yang bisa ia lakukan hanya menggeram untuk menahan rasa sakitnya yang luar biasa.

"Aku harus pulang untuk ganti baju. " keluh Hinata."Nah, Sasuke… tanoshinde kudasai!" sebelum pandangannya mengabur ia sempat melihat Hinata melambaikan tangannya sambil tersenyum manis.

Mereka pergi begitu saja meninggalkannya sendirian.

Sasuke meringkuk, ia sudah tidak peduli meski rambutnya yang berantakan menutupi wajahnya. Sekujur tubuhnya sakit, terutama di bagian yang tertusuk pisau itu. Apa dia akan mati? Malang betul nasibnya. Bahkan SMU saja belum lulus.

"Naruto…"

Ia teringat wajah lelaki itu dengan ekspresi terakhir yang ia lihat tiga bulan lalu, ketika lelaki itu mendekapnya di ujung malam.

Ah, dia tidak mau mati seperti ini. Setidaknya dia harus hadir di kelas untuk mengikuti ujian. Demi Naruto, ia harus lulus!

"AARRRGGHHH!"

ZRRAATTT

Dengan mengingat janjinya, ia mendapat kekuatan untuk mencabut pisau itu dari perutnya. Darahnya semakin deras mengalir karena logam tajam itu sudah tidak tertancap untuk menghalangi. Bagaimanapun sakitnya, ia harus sampai di sekolah. Sedikit lagi, ia hanya harus berjalan sedikit.

"Nggghhhh…" menggunakan sebelah tangannya ia mencoba bangkit, sementara sebelah tangannya yang lain memegangi perutnya.

Dia berhasil berdiri dengan menyandarkan bahu pada dinding bata disampingnya.

PLOP

Di sisi jalan yang lain seorang anak berambut merah sedang berjalan santai sambil memakan permen karet. Ia kunyah lalu ia tiup permen merah muda yang elastis itu hingga mengembang seperti balon, lalu meletus dengan sendirinya. Sejak Sasuke selalu masuk sekolah, Gaara tidak memiliki teman untuk membolos. Tapi tidak apa, bermain di game center tanpa Sasukepun masih asyik baginya.

"Don't go… It's a mighty long fall…" ia bersenandung mengikuti alunan musik dari earphone-nya. Ia berbelok. Tak dinyana ia melihat Sasuke yang tak jauh berjalan di depan sana. "Sasuke!"

Eh, tunggu. Kenapa… bajunya penuh darah?

Tubuh ringkih itu rupanya sudah tidak kuasa untuk berjalan lebih jauh lagi. Ia berhenti dan bersandar.

"Sial." Gaara membuang permen yang ia kunyah, lalu berlari menghampiri Sasuke. Ini serius.

BRUKKK

"Yak!" Gaara berhasil menangkap Sasuke ketika ia jatuh. Merasa tidak wajar dengan posisinya yang ditindih Sasuke, ia bangun dengan cepat, lalu membalik tubuh yang tersungkur itu.

"Gaara…"

"KISAMAAA! DOUSHITANDA, OMAEE?!"

.

.

.

Daun-daun kering di halaman rumah itu beterbangan begitu angin menyapu. Menjelang musim dingin, angin kencang sering berhembus. Ia tak menyangka akan disambut dengan dinginya Konoha di penghujung musim gugur. Naruto pulang ke rumahnya setelah sekian lama.

"Tadaima…" ia membuka pintu dan masuk. Hening. Rumah itu kosong. Ke mana Sasuke?

TIK TOK TIK TOK

Jam berbentuk matahari di dinding mengingatkannya bahwa saat itu masih jam sekolah. Mungkin Sasuke belum pulang.

Ia melepas jaketnya dan ia taruh di gantungan mantel. Lama tak pulang membuatnya rindu suasana rumah. Tirai tipis di jendela yang berkibar lembut ditiup angin, buku-buku di meja tivi, dan sofa kelabu yang empuk, dan tentu saja, Sasuke.

Ia ingin sekali memeluk anak itu.

DOK DOK DOK

Pintunya diketuk dengan keras. Naruto langsung saja berjalan cepat untuk membukanya.

"Maaf, apa anda ayah dari Uzumaki Sasuke?"

Dia tidak menyangka bahwa yang mengetuk pintunya adalah seorang polisi. Beberapa polisi lain berdiri di halamannya. Mobil-mobil dengan lampu sirine itu berjejer rapi. Ada apa ini?

Naruto diam mematung. Perasaannya buruk.

"Anak anda sekarang ada di rumah sakit Konoha."

Tidak.

.

.

.

Naruto bergegas turun dari mobil polisi yang ditumpanginya. Yang harus ia lakukan adalah mencari Sasuke. Tapi di mana? Lantai berapa? Kamar mana?

PUK

Salah seorang polisi menepuk pundak lelaki yang kalut itu.

"Tenanglah, pak. Biar kuantar."

Naruto menangguk. Ah, andai saja polisi itu tidak menegurnya ia mungkin sudah berlari tak karuan.

"Dia ada di ICU."

"ICU?" Naruto mengerutkan dahinya. "Apa yang terjadi padanya dampai ia bisa masuk ICU?!" nadanya tinggi. Polisi itu hanya mendesah pasrah, wajar bila Naruto akan seperti itu karena ia sama sekali tidak tahu apa-apa.

"Dugaan kami, anakmu… "

Apa ini mimpi? Mendengar penuturan polisi itu rasanya ia sudah tidak bisa menapakkan kaki. Naruto tidak percaya jika Sasuke menjadi korban pengeroyokan. Dipukul dengan benda tumpul? Ditusuk dengan pisau? Giginya mengerit keras, ia marah. Tak sampai hati untuk menunggu cerita dari polisi itu habis. Cukup, ia harus bertemu dengan Sasuke sekarang juga.

Dari jauh ia bisa melihat di depan ICU ada seorang anak berseragam sekolah sedang mondar-mandir. Anak itu menoleh ketika mendengar suara langkah kaki Naruto yang terdengar kasar.

"Pak, Sasuke-"

GRIIEEEETT

Belum selesai anak berambut merah itu bicara, pintu geser ICU dibuka dengan paksa. Para dokter dan perawat di dalam ruangan itu nampak begitu kaget. Naruto datang dengan napasnya yang putus-putus habis berlari. Di hadapannya, Sasuke yang tergolek lemah dipakaikan kain hijau, tangan-tangan dokter itu berwarna merah darah, begitu mencolok di antara pakaian hijau mereka dan lampu operasi. Naruto tidak bisa melangkahkan kakinya yang bagai dipasung.

"Maaf, anda harus menunggu di luar." ucap seorang perawat.

Naruto mundur, tapi pandangannya tidak lepas dari tubuh yang sedang dibedah itu, bahkan sampai pintu ICU kembali ditutup, Naruto masih merasa seperti tidak ada pintu yang menghalangi pendangannya.

Kenapa Sasuke menyambut kepulangannya dengan keadaan seperti itu, bukan dengan senyuman manis yang tersungging di bibirnya?

Tuhan, apa yang bisa ia lakukan sekarang?

"Pak, maafkan aku… Andai saja aku ada di sana lebih awal… Mungkin Sasuke tidak akan seperti ini…"

Naruto memandang anak itu dengan wajah sedihnya yang tidak bisa ditutup-tutupi. Gaara menggigit bibir bawahnya, ragu akan mengatakan apa.

"Aku sengaja tidak memberitahunya kalau aku akan pulang hari ini, agar kepulanganku menjadi kejutan baginya… Tapi ternyata malah dia yang mengejutkanku." ada senada tawa miris dalam kalimatnya. Lelaki itu tertunduk dengan tangan yang menggenggam erat besi pegangan pintu.

"Maaf… Aku… tidak berguna." tangan Gaara mengepal.

Jika Gaara merasa tidak berguna, apalagi Naruto? Ia bahkan tidak ada disamping Sasuke ketika anak itu harus berhadapan dengan gerombolan berandalan sekolah yang menyerangnya.

Lama mereka menunggu dalam kecemasan, resah. Dua lelaki itu duduk di bangku besi di luar ICU sejak mereka tiba tadi. Naruto sesekali melirik ke arah pintu, berharap pintu itu segera dibuka. Hatinya gundah, sungguh.

Naruto melihat kemeja sekolah Gaara ternoda darah. Noda itu sudah mengering, mengeras dan menghitam. Harusnya memang ia bertanya pada anak itu tentang apa yang terjadi pada Sasuke.

"Apa kau… mau mengatakan padaku apa yang sebenarnya terjadi pada Sasuke?" tanyanya sedikit ragu.

"Aku tidak tahu persis. Aku tidak tahu siapa yang sudah melakukan hal keji itu padanya. Andai saja aku ada di sana…" Gaara mengepalkan tangannya, marah. "Aku melihatnya berjalan ke sekolah, jalanan yang biasa kami lewati memang jalan yang sepi. Saat itu aku tidak melihat ada anak-anak lain di sana, hanya ada dia dengan tubuh yang sudah… Tsche, mungkin berandalan-berandalan itu langsung pergi meninggalkannya ketika ia sudah tidak bisa melawan."

Jadi, apa tidak ada saksi?

"Aku langsung menggendongnya pergi, dan saat itu ada polisi yang sedang patroli, mereka mengantarkan kami ke sini."

Pantas saja pakaian anak itu kotor oleh darah sementara tidak ada luka di tubuhnya, itu karena ia sempat menggendong Sasuke.

"Terimakasih." ucap Naruto pelan.

"Ya?"

"Terimakasih karena sudah menolongnya."

"A-aah, iie iie…"

GRIIEETTT

Mereka berdua menoleh ke arah pintu yang dibuka. Keluarlah seorang dokter berkacamata yang telah melepas sarung tangannya. Peluh di wajahnya menandakan dia sudah berusaha keras menangani Sasuke di meja operasi.

Dokter itu menurunkan maskernya sebatas dagu.

"Bagaimana keadaan Sasuke?" tanya Naruto tak sabar.

"Anda orangtuanya?"

"Iya."

"Luka-lukanya cukup parah, tulang lengan atasnya sedikit retak, dan kaki kirinya memar. Mungkin ini akibat pukulan dari benda tumpul, atau dia terjatuh dengan keras. Yang paling parah, luka tusukan pisau di perutnya. Dia sudah kehilangan banyak darah karenanya. Aku tidak bisa mengatakan dengan pasti kalau kondisinya akan membaik, kita masih harus menunggu sampai ia bisa melewati masa-masa kritisnya. Malam ini, tolong berjagalah disisinya, Pak."

Deg! Tiba-tiba darahnya terasa membeku. Tangannya dingin, ia terlalu kaget sampai mulutnya terbuka.

"Cih! Sialan!" Gaara memukul dinding.

"Anda sudah bisa masuk untuk melihatnya, kami sudah selesai."

"Iya..."

Ah, sanggupkah ia untuk melihatnya?

Naruto masuk dengan perasaannya yang tidak karuan. Cemas, takut, sedih, bimbang, semua bercampur rata dalam hatinya. Sementara Gaara tak ikut masuk, ia tak setegar kelihatannya untuk menemui Sasuke di dalam ruang ICU itu. Ia tidak sanggup.

Ruangan itu tak cukup terang, cenderung gelap. Lampunya hanya memiliki daya yang kecil, sisa cahayanya dari garis-garis hijau penanda detak jantung di mesin dengan banyak kabel itu. Sasuke terbaring di atas ranjang dengan masker oksigen dan selang-selang yang terpasang. Naruto tak sanggup bahkan untuk sekedar menyentuh tangan itu.

"Sasuke…" panggilnya.

Pasti sakit sampai wajahnya telihat begitu menderita. Dokter bilang dia akan melewati masa kritisnya malam ini. Naruto percaya, Sasuke kuat. Ia pasti bisa melewatinya. Harus.

"Aku sudah pulang… Kau ingin melihatku 'kan? Cepatlah bangun, aku akan menunggumu…"

Ujung jarinya menyentuh wajah pucat pasi itu.

"Berjuanglah, kau kuat…"

Ia sangat ingin mengecup dahi itu, tapi tertahankan. Ia takut menyakiti Sasuke. Hanya dengan melihatnya, melihat dada yang naik turun lemah itu tanda ia bernapas, itu yang bisa ia lakukan.

Butuh sepuluh hari untuk menunggu sampai Sasuke siuman. Ah, Naruto sungguh merasa diberkati ketika sepasang mata indah itu terbuka.

"Ore ga kaetta, Sasuke. Omae no baka oyaji ga kaetta…" ucapnya menyambut Sasuke.

"Baka da…" bibir itu terangkat membentuk senyuman tipis, dengan suaranya yang lemah ia mengutuk lelaki yang tengah menggenggam tangannya itu.

.

.

.

"Ganti lagunya, kuso panda! Kono kuso uta no you na kiku wa ia da!" protes Sasuke dengan melepaskan sebelah headset yang terpasang di sebelah telinganya.

"Iya iya, aku ganti kuso teme!" Gaara terpaksa mengganti lagu yang terlanjur ia putarkan itu. Ah, rupanya Sasuke sedang tidak ingin mendengarkan lagu-lagu cadas.

"Ahaha… mulut kalian kotor." Sai yang datang tiba-tiba berkomentar.

"Iya terus kenapa, kutu buku?" ucap Sasuke yang duduk malas di kursi rodanya. Gaara hanya melirik Sai sekilas lalu kembali memainkan ponselnya.

"Bagaimana keadaanmu? Aku sengaja membolos untuk menjengukmu, Sasuke." Sai menggaruk tengkuknya. Pasalnya anak rajin satu itu tidak pernah bolos sebelumnya.

"Hee… Kau jangan ikut-ikutan sesat, Sai."

"Heh aku tidak sesat!" Gaara menyela tidak terima.

"Ahahaha tidak apa-apa. Sekali-sekali bolos tidak masalah, 'kan?" Sai tertawa.

Dia lalu duduk di samping Gaara. Tas gendongnya ia taruh di depan, dan dia mengeluarkan kotak makan siang dari dalam tasnya.

"Kau masih bawa bekal dari rumah?" sindir Gaara. Dia sendiri sudah tidak pernah membawa bekal makanan dari rumah sejak kelas enam SD. Kakak perempuannya terlalu malas untuk membuat bekal untuknya.

"Hari ini aku membawanya untuk Sasuke. Katanya kau suka tomat, 'kan? Aku membeli tomat-tomat ini tadi pagi, lalu aku potong-potong. Ini, untukmu." Sai menyodorkan kotak plastik itu pada Sasuke. Diterima dengan senang hati oleh maniak tomat itu.

"Euuuhh… Aku benci tomat. Jenisnya saja tidak jelas tomat itu sayur atau buah." si rambut merah terlihat risih dengan benda dalam kotak itu. Dia membuka tutup kotaknya sambil bergidik.

"Arigatou. Akan kumakan nanti."

Sai melirik pada lengan kanan Sasuke yang digips. Sasuke tidak mengatakan apapun padanya, tapi bisa ia tebak kalau lengan itu bukan hanya sekedar keseleo. Mungkin ada tulangnya yang retak. Kasihan, apa selama di rumah sakit ia tidak bisa makan dengan tangannya sendiri?

Sasuke yang terkenal suka berkelahi itu sekarang malah duduk di kursi roda tanpa bisa melakukan apa-apa. Ah, tapi kalau dipikir-pikir bukankah berlebihan ketika ia harus ditusuk dengan pisau? Itu sudah termasuk kriminal namanya.

"Kalian ini, bukannya sekolah malah duduk-duduk di sini."

Dia datang. Sasuke tersenyum sumringah melihat Naruto.

"Ehehe, maaf…" ucap Gaara. Sai hanya melempar senyuman khasnya.

"Jangan-jangan kau bolos juga dari kantormu, oyaji?" Sasuke curiga mengapa lelaki itu bisa datang menemuinya di siang hari.

Naruto menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Aku libur."

Gaara menyenggol lengan Sai.

"Apa?"

"Sepertinya kita harus pergi." bisiknya.

Gaara menjinjing tas selempangnya.

"Kau mau kemana?" tanya Sasuke ketika Gaara menendang bokong Sai untuk menyuruhnya jalan duluan.

"Aah aku akan mengajaknya ke game center sebentar, nanti kami kembali lagi." dia bohong.

"Game center?" dulu tempat itu adalah sarangnya dan Gaara untuk membolos. "Eh tunggu!"

"Apa?" Gaara menoleh.

"Sini, sini." Sasuke meminta Gaara mendekat. Anak laki-laki itu menurutinya, ia membungkukkan badannya ketika tangan Sasuke ditaruh di telinganya. Ia berbisik.

"Aku punya sesuatu untukmu dan Sai. Nanti kau ambil sendiri di kamarku, ya. Aku taruh dibawah bantal." bisiknya. Sai menunggu dengan penasaran, sementara Naruto hanya melihatnya tanpa ikut campur.

"Mm… oke."

Gaara mengangguk. Anggukan itu membuat Sasuke tersenyum puas.

"Dia bilang apa?" ketika Gaara kembali pada Sai, anak itu bertanya ingin tahu. Sasuke masih bisa mendengarnya.

Mereka pergi sambil bertengkar. Dua suara itu semakin menjauh.

Naruto duduk di bangku yang sudah kosong itu.

"Ada yang ingin kutanyakan padamu."

"Apa?"

"Siapa… yang sudah membuatmu seperti ini?"

Akhirnya Naruto menanyakan hal itu juga.

"Hanya anak-anak berandalan yang suka cari masalah…"

"Apa mereka musuhmu? Mereka siswa mana?"

Sasuke ragu mengatakannya.

"Kau tidak mau menceritakannya padaku?"

Ia menunduk dalam. Jika ia mengatakan yang sebenarnya terjadi, mungkin saja Naruto juga akan terlibat dalam masalahnya. Ia tidak mau Naruto berurusan dengan puteri konglomerat itu.

"Mereka mungkin punya dendam padaku, dan kebetulan saat itu ada yang membawa pisau…"

"Siapa? Apa kau kenal orang yang sudah menusukmu itu?"

"Aku…" Hinata. Tidak. Ia tidak boleh mengatakannya. "Aku tidak tahu. Aku tidak mengenalnya."

"Sasuke, tolong. Jangan sembunyikan apapun dariku. Jika kau mau bicara, polisi mungkin bisa membantumu menangkap orang itu."

"Tidak…" ia memegang kotak makanannya dengan erat. "Tidak perlu. Lupakan saja."

"Mana bisa begitu!" dibentak, Sasuke menoleh. Ia berani menatap mata safir itu.

Ia sudah menduga kalau Naruto tidak akan terima. Tapi tidak ada yang ia inginkan dari orang-orang itu, dia bahkan tidak peduli lagi dengan mereka. Ia tidak peduli dengan Hinata. Ia tidak mau peduli dengan gadis gila itu.

"Lupakan saja. Aku tidak mau berurusan lagi dengan mereka."

"Kau yakin?"

"Iya."

Apa gunanya menuntut mereka? Jika ia mengatakan bahwa Hinatalah pelakunyapun mungkin gadis itu tidak akan tersentuh, polisi-polisi itu akan kalah oleh suapan uang. Percuma saja.

"Aku ingin istirahat…"

Membicarakan tentang kejadian itu membuatnya lelah. Ia ingin berbaring dan melupakannya sejenak.

"Maafkan aku."

Naruto mengecup dahi Sasuke dengan lembut. Iya, dia sadar sudah melukai perasaan Sasuke dengan membicarakan hal itu.

Malamnya Sasuke tidur tanpa ditemani siapapun. Tomat-tomat dalam kotak makanan milik Sai itupun tak disentuhnya sama sekali. Ia mengira Naruto akan berjaga di sampingnya, tapi rupanya lelaki itu memilih untuk pergi ke kantor, entahlah, Sasuke tidak begitu mengerti pekerjaan seorang jurnalis yang jam kerjanya tidak tentu itu.

Oh iya, ia lupa memperlihatkan hasil ujiannya pada Naruto. Tiba-tiba ia terbangun mengingat hal itu, tapi tidak ada gunanya. Ia bahkan tidak bisa ke mana-mana.

"Apa Gaara sudah mengambilnya…?"

Sasuke membuka sedikit celah dari bawah bantalnya. Di bawah bantal itu ada gunting dan kertas warna. Ia tersenyum ketika menyadari ada yang hilang dari lembaran-lembaran kertas itu. ada dua kertas yang hilang.

'Kebakaran di bandara menyebabkan sejumlah penerbangan terganggu. Penumpang pesawat yang seharusnya pergi sesuai jadwal terpaksa menunggu kepastian kapan mereka akan diberangkatkan.'

Berita sore. dia menonton dengan sedikit terkantuk-kantuk. Kata-kata dokter terngiang di telinganya. Kala mata itu sedikit merapat, sekelibat bayangan saat dia bicara dengan dokter itu terlintas dalam pikirannya. Tsche, berita dari dokter itu tidak terdengar sama dengan berita-berita dari anchor di tivi.

Sasuke harus menjalani operasi lagi. Alasannya? Dokter bilang ada pembuluh darah yang membengkak di sekitar luka bekas tusukan di perutnya. Jika tidak segera ditangani, katanya pembuluh darah itu bisa pecah. Pecah seperti balon tipis yang ditusuk jarum, seketika membuncah tanpa aba-aba.

Naruto sengaja tidak diberitahu terlebih dulu karena dokter itu ingin keputusannya ada pada Sasuke sendiri, dia mau atau tidak menjalani operasi itu.

Tapi taruhannya nyawa. Jika tidak dioperasi, mungkin saja ia akan mati. Tapi dioperasipun bukankah sama saja kemungkinannya? Siapa yang tahu?

Salahkah keputusannya bila ia telah mengatakan pada dokter itu bahwa ia tidak mau dioperasi? Bukannya ia putus asa, tapi…

KRIIEEEEETT

"Sasuke?"

Pintu digeser. Ia tersadar dari lamunannya ketika suara itu memanggil. Ada sesuatu yang terasa berdenyut-denyut. Perutnya sakit. Jangan-jangan ini yang dibilang oleh dokter itu?

"Kau datang?" tapi ia memasang wajah tersenyumnya yang palsu.

"Apa kau sedang tidur?"

"Tidak."

Sakit itu sedikit mereda. Syukurlah. Sasuke merasa mampu untuk merubah posisi berbaringnya menjadi duduk bersandar pada bantal besarnya.

"Oyaji."

"Apa?" lelaki itu duduk di tepi ranjang.

"Aku ingin jalan-jalan… Aku bosan di rumah sakit terus…" Sasuke merajuk.

Naruto nampak tidak setuju.

"Boleh, ya?"

Agaknya Naruto juga tidak tega memaksa Sasuke terus berbaring di ranjang rumah sakit. Apalagi setiap hari ia hanya bisa duduk-duduk di halaman sesekali. Mungkin benar Sasuke jenuh.

"Katanya… besok salju pertama akan turun di kota ini. Aku ingin melihatnya dari menara." Ia membayangkan es lembut bak kapas itu melayang-layang turun dari langit Konoha. Dari menara tertinggi di tengah kota itu dia bisa melihat warna putih yang menghiasi langit bercampur dengan kelap kelip lampu malam yang berwarna-warni. Bukankah itu indah?

"Dari mana kau mendengarnya?" tanya Naruto iseng.

"Tentu saja dari berita di tivi!"

Naruto tertawa kecil.

"Ooh…" ia melirik ke arah televisi yang benar sedang menayangkan acara berita.

"I-iya entah kenapa channel yang dipilih perawat-perawat itu selalu saja channel yang menayangkan berita, padahal aku 'kan ingin nonton anime!" ada semburat merah tipis di pipi pucat itu, Sasuke malu mengakui kalau sejak Naruto pergi ia selalu menonton berita untuk menunggu lelaki itu muncul di layar kaca.

"Aku akan mengambil cuti. Besok kita pergi ke sana."

Tangan itu membelai rambut Sasuke lembut. Lalu diciumlah keningnya.

Ah, harusnya Naruto bersikap protektif seperti biasanya, tapi kali ini mengapa dia begitu mudahnya setuju dengan permintaan Sasuke? tidakkah seharusnya ia khawatir dengan keadaan anak itu yang belum sepenuhnya membaik? Hatinya tak lagi sekeras karang, mungkin.

"Kau janji?"

"Iya. Aku janji."

Malam itu ia tidur di samping Sasuke dengan menggenggam tangannya. Sasuke bisa merasakan tangan kasar yang urat-uratnya menyembul keluar itu adalah tangan yang kuat dan hangat. Tangan itu selalu digunakan untuk memberinya makan, membelainya, menghapus air matanya, dan memeluknya kala ia butuh perlindungan. Iya, sebelum ini Sasuke sempat mengeluh karena Naruto tidak selalu ada untuknya, tapi bukankah itu namanya serakah? Dia telah merasa tidak cukup dengan apa yang telah Naruto berikan untuknya. Segala perhatian itu, bukan seharusnya ia balas dengan ketidakpuasan.

"Akh… jangan sekarang…"

Nyeri itu datang kembali. Matanya tak bisa terpejam.

Esok paginya Naruto pulang ke rumah untuk mengambil beberapa pakaiannya dan pakaian Sasuke. Jika nanti mereka akan pergi ke menara untuk melihat salju, maka ia harus membawa mantel agar tidak kedinginan.

"Kenapa kau bawa mantel yang ini…? Aku 'kan tidak suka, makanya tidak pernah kupakai!" Sasuke cemberut ketika Naruto memakaikannya sebuah mantel.

"Pakai sajalah, lagipula kau tidak bilang ingin pakai mantel yang mana. Aku 'kan tidak tahu mana yang kau sukai." ucapnya sambil merapikan rambut Sasuke. "Sebentar."

Naruto mencari di mana kursi roda Sasuke disimpan. Lalu ekor matanya menemukan kursi roda itu.

"Tidak usah." Naruto yang hendak mendorong kursi rodanya dibuat menoleh.

"Kenapa?"

"Aku bisa jalan sendiri. Lihat, ya." Sasuke turun dari ranjangnya dan menapakkan kakinya ke lantai.

Naruto tidak percaya, Sasuke bisa berdiri? Mengapa dia terlihat begitu sehat?

"Aku bisa jalan." benar saja, ia melangkahkan kakinya, berjalan mendekati Naruto yang masih terdiam.

"Tapi pakaikan aku sepatu karena aku tidak bisa membungkuk, hehe."

Tuhan, inikah keajaiban?

.

.

.

"Dingin…!"

Naruto dan Sasuke turun dari mobil dan berjalan ke menara itu dengan bergandengan tangan. Sasuke merapatkan tubuhnya pada Naruto. Meskipun Naruto harus mengikuti Sasuke yang berjalan lamban, tapi tidak apa-apa. Dia bisa berjalan saja sudah cukup membuatnya senang.

Sampai di lantai teratas menara, ada banyak orang yang mungkin juga sama sedang menunggu salju pertama turun. Mereka memandangi landscape kota dengan geung-gedung yang terlihat begitu mungil. Sasuke yang melepas genggaman Naruto membuat lelaki itu berhenti. Ternyata ia telah memilih tempat untuk menunggu salju. Mata kelamnya memantulkan cahaya dari lampu kota, pandangannya teduh, dia mengulum senyum.

Naruto ikut menjatuhkan matanya pada pemandangan itu. Malam yang gelap begitu kontras dengan cahaya yang bagai titik-titik kecil, bintang di atas tanah.

"Ah, itu." Naruto baru menyadari jika ada salju yang menempel di kaca di hadapannya. Salju telah turun untuk pertama kalinya di tahun ini.

"Aah… saljuu…" ucap Sasuke tak sabaran. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan memegang besi pembatas.

"Kalau melihat salju, rasanya Natal sudah dekat…"

"Kalau begitu selamat Natal…"

"Ah? Natalnya 'kan belum." Naruto merasa heran mengapa Sasuke malah mengucap selamat Natal.

"Ahahaha." dia tertawa. "We wish you a merry Christmast and happy new year~" senandungnya.

Naruto tertawa geli. Sebegitu senangnyakah Sasuke sampai ia terlihat begitu ceria dan bersinar? Wajah itu berseri, tak sepucat kemarin.

"Ah iya. Aku punya sesuatu."

"Un?"

Sasuke merogoh saku mantelnya. Naruto tidak ingat kapan anak itu memasukkan sesuatu, yang dia ingat bahkan mantel itupun dia yang memakaikannya.

"Ini."

Kartu kirigami berbentuk matahari.

Naruto terdiam sejenak memandangi kertas kuning itu sebelum kembali pada Sasuke. Anak laki-laki itu tertunduk malu.

"Untukku?" Naruto masih heran bagaimana Sasuke membuatnya sementara tangan kanannya yang digips itu sulit untuk digerakkan?

Sasuke mengangguk. Naruto menerima kertas itu.

"Itu untukmu."

Ingatan belasan tahun lalu tentang kartu kirigami itu kembali tergambar dalam khayalnya. Ia ingat betul, Sasuke kecil pernah melakukan hal yang sama. Gestur yang sama, ekspresi yang sama, dan kertas yang sama bentuknya. Bocah kecil berusia empat tahun itu kini sudah tumbuh dewasa rupanya. Mengapa Naruto baru sadar? Yang ada di depannya kini bukanlah seorang anak cengeng yang makannya harus disuapi, tapi seorang remaja tujuhbelas tahun yang mencintainya.

Sasuke bukanlah anaknya. Sasuke adalah malaikat yang Tuhan titipkan padanya untuk ia rawat dan ia cintai. Tapi pantaskah ia memandang Sasuke dari sudut yang berbeda? Bukan dari mata seorang ayah melainkan dari mata seorang pria biasa, dari pria yang dicintai dan ingin mencinta?

"Aku… menulis sesuatu di kartu itu." masih tetap menunduk, tapi dari kata-katanya Naruto sudah mengerti kalau ia minta kartu itu dibuka.

I love sun.

But doesn't sun love me too?

Naruto mendesah, lalu menutup kembali kartunya.

"Sasuke."

Ia mendekat. Saat Sasuke menengadah lelaki itu sudah ada tepat di hadapannya. Hembusan napas yang hangat itu terasa merasuk seperti sinar mentari pagi.

"Aishitai. Aishitai…"

Ada air mata menggenang di pelupuk matanya. Sasuke menggunakan ibu jarinya untuk menghapus air mata itu agar tidak jatuh menetes.

"Jangan menangis. Laki-laki tidak boleh menangis… Itu yang selalu kau ajarkan padaku 'kan?"

Naruto memandang wajah yang tersenyum teduh itu.

"Khe, maaf." Ia segera menghapus genangan itu dengan tangannya sendiri, tawanya terdengar sumbang.

"Dasar kuso baka oyaji!" ejeknya.

"Bolehkah aku memelukmu?"

"Eh?"

Apa Sasuke tidak salah dengar? Mengapa Naruto meminta ijin dahulu seperti itu?

"Aku ingin… memelukmu."

Sasuke lagi-lagi menundukkan wajahnya. Naruto menunggu. Apakah ia tidak mau?

BRUK

Tubrukan kecil itu sukses membuat Naruto kaget. Sasuke menyungkurkan kepalanya di dada lelaki itu.

"Boleh." gumaman yang tenggelam itu masih terdengar di telinganya. Naruto tersenyum dan dengan perlahan ia lingkarkan tangannya di punggung Sasuke.

"Aku tidak pernah lupa bagaimana caramu memelukku." Sasuke menaruh sebelah tangannya yang bebas di dada Naruto. Dekapan itu begitu hangat dan tidak pernah berubah.

"Dulu kau selalu berhenti menangis ketika aku memelukmu."

"Iya."

Sepasang insan itu berpelukan mesra, lembut namun penuh kasih sayang, sementara di luar salju semakin tebal. Kaca menara di mana mereka melihat kotapun berembun kala dinginnya udara malam bersalju menyapa.

"Naruto." panggilnya. "Ah rasanya geli menyebut namamu."

"Aku juga geli. Kau tidak pernah memanggil namaku sebelumnya."

Mereka berdua melepas tawa ringan. Tapi dibalik tawa itu Sasuke merasakan sedikit nyeri.

"Naruto."

"Hm?"

Naruto masih betah mendekap Sasuke, begitupun Sasuke yang masih bersandar dalam dekapannya, menyamankan diri, mencoba mengabaikan rasa sakit itu.

"Simpanlah kartu itu dengan baik. Awas ya kalau hilang."

"Aku sudah memasukkannya ke kantung mantelku…"

"Naruto."

"Un?"

"Aisaretai…"

"Aishiteiru yo, aishiteiru…"

"Aku ingin kau selalu memelukku seperti ini…"

"Omae o dakishimeteiru yo… ima wa, itsumademo."

"Jangan pernah menangis seperti itu lagi, kau terlihat cengeng…"

"Iya… Aku tidak akan menangis."

Ada tawa kecil sebagai jawaban perkataan itu.

"Naruto."

"Nani?"

"Aah bagaimana ini aku jadi suka memanggil namamu." denyut nyeri itu membuat ia merasa berat untuk tetap berdiri. Ia menaruh satu kakinya sedikit maju, supaya tidak jatuh.

"Sudahlah, itu lebih baik daripada kau panggil aku oyaji…"

Naruto tak tahan untuk tidak mencium puncak kepala Sasuke.

"Naruto."

"Iya?"

"Maafkan aku…" mengapa ia seperti sedang berdiri di depan perapian? Tubuhnya begitu membutuhkan kehangatan itu. Ia mulai menggigil.

"Untuk apa?"

"Maaf, karena aku selalu membuatmu susah…" ia sedikit meremas mantel itu.

"Iie..."

"Dan terimakasih karena sudah merawatku selama ini, aku bahagia karena bisa dicintai oleh lelaki sepertimu. Kau ayah yang baik. Kau teman yang baik. Kau pria yang baik."

"Iie…"

"Terimakasih karena telah mencintaiku…" kata itu telah terucap.

Padahal baru saja Naruto berjanji untuk tidak lagi menangis, tapi mengapa mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut Sasuke ada sesuatu yang mencekat dan terasa mengganjal di tenggorokannya?

"Naruto."

"Hn?"

Sasuke sedikit menggeserkan kepalanya.

"Bolehkah aku… tidur dalam pelukanmu?"

.

.

.

Seharusnya kala itu ia mengatakan tidak dengan tegas.

0-0-0-0

Ini adalah hari kelulusan semua siswa SMU di negeri sakura itu. Segulungan ijazah diterima oleh para siswa yang lulus dengan hati yang bangga. Tawa dan senyuman bahagia itu bagai harum aroma bunga di musim semi.

"Sasuke! Lihat, ini ijazahku! Aku lulus lho!"

"Gaara, kau baru boleh bangga kalau lulus dengan nilai di atas rata-rata seperti aku…"

"Biar saja yang penting aku lulus!"

"Sasuke, dia benar-benar lulusan yang tidak patut dicontoh."

"Kalian ini berisik sekali, dasar anak-anak yang baru pegang ijazah SMU…"

Di depan pusara itu Naruto menaruh sebuket bunga krisan putih dan biru. Ia duduk berlutut sambil mengatupkan kedua tangannya sejenak. Berdoa.

"Hei anak-anak yang baru lulus, setidaknya kalian memberi hadiah pada teman kalian ini." yang dia maksud adalah Sasuke.

"Aku bawa ini." Ucap Gaara dan Sai serempak. Mereka saling menoleh ketika menyadari apa yang ada di tangan mereka adalah benda yang serupa.

"Eh, apa-apaan ini?" Naruto tertawa. Ternyata yang dibawa dua anak itupun sama dengan miliknya. Kartu kirigami.

"Kok bisaa?" lagi-lagi mereka mengucapkannya serempak.

Naruto menggendikkan bahu, lalu ia taruh kartu berbentuk kepala kucing itu di atas buket bunganya.

"Ini. Punyaku juga." Gaara menyusul Naruto menaruh kartu kirigami miliknya.

"Sasuke, dibaca ya." Sai yang terakhir.

Jadilah ada tiga kartu kirigami sebuket bunga krisan. Naruto menyentuhkan jarinya ke permukaan batu nisan yang hangat itu. Matahari musim semi sedang bersinar terang.

"Kartu buatan kalian jelek sekali…" Naruto mengerutkan dahinya, dia tidak cukup mengerti kenapa kirigami buatan Gaara dan Sai tidak ada indah-indahnya sama sekali.

"Pak, itu aku buat dengan susah payah, tahu!" iya, Naruto tahu. Kartu kirigami berbentuk anak bebek itu nampak sedikit keriting.

"Kurasa buatanku lebih bagus daripada punya Gaara." tidak juga, Naruto tidak begitu setuju. Bentuk tomat itu tidak bisa dibilang berbentuk bulat tomat.

Baginya, hanya kartu kirigami buatan Sasukelah yang paling bagus dan paling indah. Anak laki-laki itu begitu lihai menggungting kertasnya sampai membentuk motif seperti hasil ukiran. Dan kartu kirigami matahari yang terakhir itu adalah kartu paling berharga baginya. Kartu terbaik dari Sasuke.

"Sasuke, kau meninggalkan aku dengan dua kunyuk kecil ini, ck ck ck, jangan suruh aku untuk mengurus mereka, ya." keluh Naruto.

"KUNYUK?"

"Pak, mulutmu kotor!"

Dia tertawa karena dua suara berisik itu.

"Sudah dulu, ya. Aku harus kembali ke kantor. Yang penting kau sudah tahu teman-temanmu yang aneh ini lulus, jadi kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka."

"ANEH?" dua anak laki-laki itu tidak terima.

Naruto bangkit berdiri, ia berdiam sejenak memandangi nama yang terukir di nisan itu sambil tersenyum tipis. Suasana yang hening membuat Gaara dan Sai tak lagi bersuara. Bunga-bunga kecil yang baru mekar itu bersentuhan kelopaknya ketika digoyangkan oleh angin yang berhembus.

"Ayo. Sebelum ke kantor, aku akan mentraktir makan yakiniku untuk merayakan kelulusan kalian!"

Naruto merangkul kedua remaja itu. Mereka tertawa senang sambil berjalan pergi. Belum jauh, Naruto menoleh ke belakang. Dalam kartu kirigami buatannya, tertulis sebuah doa untuk Sasuke.

.

.

.

Melepasmu bukan sesuatu yang mudah bagiku

Bagai mencabut separuh nyawaku, hilang sebagian

Tapi bila hatiku tak lapang, sama saja dengan mengutukmu dan Dia yang telah memanggilmu kembali pada-Nya

Kau bilang aku pria yang baik, 'kan?

Maka aku benar bila tidak melakukannya

Kau membalikkan kata-kataku ketika kau bilang aku cengeng

Sekali itu saja aku menangis di hadapanmu, sayang

Karena kini aku menangis di hadapan diriku sendiri,

Cermin yang bilang aku cengeng

Katanya menangis tak pantas untukku

Ketika aku melihat kertas yang kau gunting menjadi serupa matahari, aku sadar

Aku harus berterimakasih pada Tuhan karena ia telah memberiku kesempatan untuk menyadari bahwa aku mencintaimu, sungguh mencintaimu

Kala kau pergi dengan segaris senyuman, sekali lagi aku harus berterimakasih pada Tuhan karena kau pergi dalam pelukanku, pelukan yang katamu selalu kau rindukan

Kekasihku, doaku tak pernah putus untukmu yang telah jauh di sana,

Tidur dengan tenang dalam belaian-Nya,

Bahagian dalam pelukan-Nya

-Kamis, antara senja dan hujan-

0-0-0-0

END

Keterangan:

Uruse: berisik. Asal katanya dari urusai, tapi anak laki-laki biasanya merubah vokal 'ai' menjadi 'e'.

Omae ni kankei nai darou: tidak ada hubungannya denganmu, 'kan.

Tachiagatte: berdirilah.

Kikoemasenka, anata: apa kau tidak bisa mendengar.

Kisama, doushitanda, omae: astaga, kau kenapa.

Ore ga kaetta. Omae no baka oyaji ga kaetta: aku pulang. Pak tuamu sudah pulang.

Kono kuso uta no you na kiku wa ia da: aku tidak mau mendengarkan lagu jelek seperti ini.

Aishitai: (aku) ingin mencinta.

Aisaretai: (aku) ingin dicintai.

Omae o dakishimeteiru yo, ima wa, itsumademo: aku akan terus memelukmu, sekarang, sampai kapanpun.