Ohisashiburi minasaaaaannnn! Watashi wa chotto nagai jikan o totteita kara, ima, nagai fanfiction ga aru yoooo~! \(^u^)/ Iro iro na mondai ga atte, iro iro na koto ga kita. Dakara, kono fanfiction wa iro iro na kanji o ireta… Hai, watashi no hanashi wa koko made desu. Ima, kono fanfiction o tanoshinde kudasai! Yonde kudasai! ^^

Warn: OOC, crack, full of typo(s), if you dislike this fic, please click back.

x-x-x

.

.

.

Yang berkecamuk dalam hatimu adalah cinta

Yang kamu teguk dalam cangkirmu adalah rindu

Mungkin Tuhan telah menakdirkan kamu dan dia untuk berjumpa,

Sehabis kertas itu digunting dan membentuk serupa temannya bulan

Mereka bilang jodoh bertemu bukan atas dasar warna, atau rasa yang sama

Tapi tepatkah titel itu bertengger dalam anganmu?

.

.

.

Lelaki jangkung didepannya hanya melipat tangan di depan dada ketika mendapati ia pulang dengan bekas luka di wajahnya. Sasuke tahu ia akan dimarahi habis-habisan. Ini kesekian kalinya ia pulang dalam keadaan seperti itu. Ia harus bersiap untuk pura-pura tuli.

"Berantem lagi?" Sasuke ditanyai dengan nada mengejek.

Ia tidak mau menjawab. Mulutnya bungkam, sementara matanya mencari celah diantara tubuh besar lelaki itu untuk bisa ia lewati. Jalannya dihalangi.

"Jawab aku. Kenapa kau bisa pulang babak belur seperti ini?"

Sasuke masih tidak mau bicara. Sebelum pura-pura tuli, ia akan pura-pura bisu.

"SASUKE!" dibentak, Sasuke mundur selangkah.

"Aku capek." kepala itu tertunduk makin dalam. Menghindar adalah satu jalan terbaik baginya.

"Ara, kau capek habis berkelahi? Kali ini kau bikin masalah dengan siapa?" lelaki itu menghalangi Sasuke yang hendak melewatinya dari sebelah kiri.

"Bukan urusanmu."

"Aku tidak akan membiarkanmu lewat sebelum kau menjelaskannya padaku."

"DOKE, BAKA OYAJI!" habis kesabarannya.

0-0-0-0

AITAKATTA KARA, KAERE, BAKA OYAJI!

One of Two

A NARUTO FANFICTION

DISCLAIMER: NARUTO BELONGS TO MASASHI KISHIMOTO

NARUSASU

0-0-0-0

Sasuke menjatuhkan dirinya di ranjang. Ia berhasil naik ke kamarnya setelah menubruk pria paruh baya bernama Naruto itu. Kali ini ia sukses lolos dari ceramah panjangnya. Lelaki yang sok kebapakan itu membuatnya muak.

"Kussoooo!" ia memukul ranjangnya yang membal.

Malam itu, tercium wangi masakan dari arah dapur. Naruto sedang memasak makan malam. Sasuke turun untuk mandi. Ketika ia terbangun dari tidurnya tadi ia sadar kalau ia belum mengganti pakaiannya sama sekali. Perutnya juga lapar.

Dia berjalan ke arah kamar mandi dengan suara langkah kakinya yang tak sehalus ninja, membuat Naruto menoleh. Sasuke membuang muka ketika sepasang mata safir itu bertemu pandang dengannya.

Kiranya lelaki itu akan memanggil. Ternyata tidak. Tahu begitu iapun melenggang masuk ke kamar mandi, juga tanpa mengatakan apa-apa.

Titik-titik air hangat keluar dari lubang-lubang shower. Air yang jatuh itu terasa perih ketika terkena luka-luka gores di punggung dan bahunya.

"Ittai…" keluhnya. Sasuke hanya berdiri menyandarkan kepalanya ke cermin berembun itu.

Dia bukanlah tipe anak baik yang penurut. Walau dia masih tercatat sebagai siswa di salah satu SMU elit di daerahnya, absensinya kebanyakan kosong. Ia sering membolos sekolah dan itu terjadi sejak ia naik ke tingkat dua. Di tahun ketiga ini, bahkan ketika nilai dan absensi menjadi penentu apakah dia bisa ikut ujian akhir atau tidak, ia masih saja tidak peduli. Malah ia semakin sering terlibat masalah dengan siswa lain yang berujung perkelahian.

Ia merasa, bahkan ketika ia sedang terpurukpun tidak ada perhatian yang diberikan padanya. Lelaki yang jarang pulang ke rumah itu memang bukan orangtuanya, maka ia harus memaksakan diri untuk menerima kala tidak selalu ada pelukan hangat yang menyambutnya. Ia berharap, tapi dalam harapannya itu ia menyerah.

Hanya beberapa suap dari semangkuk nasi hangat itu yang masuk ke mulutnya. Sup miso dan lauk di atas meja itupun hanya disentuhnya sedikit. Entah hilang ke mana rasa lapar yang tadi itu. Makanan yang ia makan terasa hambar, tidak tahu apa mungkin Naruto lupa memasukkan garam dan bumbu, atau lidahnya sedang tidak baik. Tapi seingatnya rasa masakan Naruto tidak seperti ini.

"Habiskan makananmu."

"Aku tidak selera."

Naruto nampaknya tidak senang dengan jawaban Sasuke.

"Habiskan."

Sasuke semakin enggan makan ketika ada nada paksaan darinya.

"Atau kau mau aku suapi?"

"Ia da, oyaji." Sasuke menolak.

"Tsche. Sekali-sekali menurutlah sedikit…"

Lelaki itu beranjak dari kursinya, pindah ke samping Sasuke. Ia ambil mangkuk nasi dari tangan kurus itu.

"Makanlah, aku tidak mau kau sakit." kata-kata itu tidak terdengar seperti bujukan, tapi entah kenapa ia terbujuk. "Buka mulutmu."

Dia merasa seperti kembali ke masa kecil, di mana hampir setiap hari ia makan dengan disuapi oleh Naruto. Dulu rasanya ia tidak sedingin ini. Tapi jika ia tidak lagi menyayanginya, tidak mungkin ia masih peduli ketika Sasuke pulang babak belur. Tidak mungkin ia masih peduli ketika Sasuke tidak mau makan.

Lelaki itu menyayanginya, Sasuke tahu itu. Tapi mengapa ia masih saja menginginkan sesuatu yang lebih.

"Kepala sekolah menelponku. Besok aku akan datang ke sekolahmu sebelum ke kantor." sambil menyendok kuah sup miso ia bicara.

Sasuke berhenti mengunyah makanannya. Kenapa harus sampai memanggil Naruto segala? Sial!

"Jangan. Tidak usah datang." ia menatap lelaki itu takut-takut. Yang disampingnya hanya mendengus.

"Aku akan datang." percuma melarangnya, ia tidak bisa dibantah.

"Jangan…" nadanya menurun. Wajah cantik yang berhias luka lebam itu nampak murung.

Sasuke tidak pernah suka jika Naruto datang ke sekolahnya. Wajar, dengan ini sudah ketiga kalinya Naruto harus menemui kepala sekolah dan guru bimbingan konseling untuk mempertanggungjawabkan ulahnya. Selain dari itu, dia benci ketika teman-temannya menyebut Naruto sebagai ayahnya. Dia benci. Ayah? Dia tidak bisa menerima status itu.

"Sesuap lagi?" tanya Naruto memecah lamunannya.

Sasuke menggeleng. Ia meneguk habis segelas air putih lalu pergi begitu saja dan naik ke kamarnya. Naruto ditinggal dengan nasi dan lauk yang semuanya belum habis dimakan.

0-0-0-0

Konoha, 13 tahun lalu.

Gempa 6,5 skala richter yang terjadi dua bulan kebelakang telah menelan ratusan korban jiwa. Gedung perkantoran, sekolah, pertokoan, dan pemukiman warga hancur porak-poranda. Banyak anak yang kehilangan orangtuanya. Mereka yang tidak lagi memiliki keluarga itupun ditampung di sebuah gedung dinas sosial yang kebetulan tidak mengalami kerusakan parah. Sudah dua minggu pula ada beberapa mahasiswa yang menjadi relawan untuk membantu segala kegiatan di dinas sosial itu. Salah satunya adalah Naruto.

"Hei, setidaknya kau harus tersenyum pada mereka! Mukamu itu membuat mereka takut tahu!" seorang gadis bersurai merah jambu menyenggol lengannya. Ia mendelik sebal karena senggolan gadis itu tidak pernah tidak membuatnya sakit. Sakura, pacarnya, memang terhitung sebagai gadis yang kasar.

"Aku 'kan tidak bisa bersikap seperti badut."

"Nee-san! Nee-san!" seorang anak perempuan menghampiri si gadis merah jambu.

"Iya ada apa, sayang?" Sakura menyambut anak itu dengan memeluknya.

"Nee-san no tame! Kirei janai no?" anak itu menunjukkan sebuah kartu kirigami berwarna merah.

"Howaaa! Sugoku kireiii wa yo~! Arigatou nee! Aku suka!" Sakura menerima kartu itu dengan senang hati. Dia dan anak itu tertawa bersama.

Naruto yang melihatnya ikut tersenyum tipis. Ia senang melihat wajah cerah Sakura dengan senyuman di bibirnya.

"Heeeh aku tahu kau senyam-senyum tidak jelas barusan…" ucap Sakura menggoda.

"Ah, kau pasti salah lihat." Naruto pura-pura, wajahnya datar.

Di antara anak-anak yang sedang sibuk membuat kartu kirigami itu, ada seorang anak yang nampak begitu murung. Kertas dan gunting di tangannyapun ia diamkan. Belum terbentuk apa-apa dari kertas biru tua itu.

"Hei Naruto, bantu dia." Sakura berbisik pada Naruto.

Pandangan Naruto jadi beralih pada anak itu. Dia sendirian. Dia tidak melakukan apa-apa, bahkan bercengkrama dengan anak-anak lainpun tidak. Nampaknya anak itu sedang melamun.

"Siapa namanya?"

"Namanya Sasuke. Sana, bantu dia."

Naruto menurut. Kalau tidak membantu anak-anak itu, untuk apa dia jadi relawan di sini? pikirnya.

"Dekimasuka?"

Anak itu menoleh ketika mendapati Naruto bertanya padanya. Lelaki itu berjongkok dengan menaruh kedua tangannya di atas lutut.

PRAK

Gunting di tangannya ia jatuhkan ke lantai, begitupun kertas dalam genggamannya. Tubuh kecil itu berdiri dan hendak pergi.

"Hei kau mau kemana?"

GREP

Naruto menggunakan tangannya untuk menghalagi jalan anak bernama Sasuke itu.

"Aaa!"

Si anak bersurai kelam itu jatuh dalam pelukan Naruto. Kaki kecil itu tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, untunglah Naruto tepat ada di belakangnya.

Mendengar anak itu menjerit semua yang ada di ruangan itu menoleh.

"Naruto apa yang kau lakukan?!" Sakura menghampirinya dengan tergesa-gesa. Naruto masih bertahan dalam posisi duduk dan memeluk Sasuke dari belakang.

"Hiks." Tiba-tiba saja terdengar suara isakan. Tangannya yang melingkar di dada anak itu terasa basah oleh tetesan air.

"Kau lihat, dia jadi menangis!" mata hijau itu membulat kesal. "Jangan menangis ya! kemari, kemari, kau mau aku gendong?" tawar Sakura. Ia memang tidak bisa mengandalkan Naruto untuk mengurusi anak kecil.

"Maaf." Sejurus kata maaf yang tipis terucap dari bibir Naruto. Dia mengeratkan pelukannya dan menaruh dagunya di bahu Sasuke, tapi anak itu masih menangis.

Sakura menghapus air mata yang membasahi pipi pucat Sasuke yang jadi kemerahan. Ia tahu menghadapi anak seperti ini tidak bisa dengan bujukan atau candaan jahil. Anak seperti ini butuh kasih sayang secara fisik, bukan secara verbal. Dia bisa membacanya karena kasus seperti ini pernah ia pelajari di kampus. Dia mahasiswa psikologi, tentu harus mengerti.

"Sudah ya…"

Habis air mata itu ia hapus, Sakura merapikan rambut depan Sasuke yang berantakan, sementara Naruto masih belum melepaskan pelukannya.

"Kau mau membuat ini? Aku akan membantumu." dia ambil beberapa kartu kirigami yang tergeletak di lantai lalu ia tunjukkan pada Sasuke.

Sasuke menggeleng. Ia tidak mau.

"Lihat, lihat! Kartu-kartu ini bagus, 'kan? Kalau kau membuat ini, kau bisa bertukar kartu dengan teman-temanmu atau kau bisa berikan pada kakak-kakak yang kau sukai."

Sasuke menggeleng lagi.

Ah, rasanya bingung harus melakukan apa lagi. Sakura adalah anak tunggal, ia tidak mengerti betul bagaimana cara membujuk seorang adik kecil.

"Kalau begitu kita lihat saja yang lain membuat kartunya ya!"

Kali ini Sasuke tidak menggeleng ataupun mengangguk. Anak berumur empat tahun itu menatap Sakura dengan mulutnya yang bungkam.

HUP

Naruto membalik tubuh Sasuke dan menggendongnya. Lalu ia berdiri. Anak itu melingkarkan lengannya di leher Naruto, entah takut jatuh mungkin. Wajahnya saja menunjukkan kalau sepertinya ia akan menangis lagi.

"Awas ya kalau dia sampai menangis lagi!" bisik kasar itu dibarengi dengan tangan yang mengepal di depan wajah Naruto. Sakura mengancam.

Ketika ada instruksi untuk mengakhiri kegiatan itu, anak-anak mulai membereskan bekas prakaryanya. Mereka dibantu oleh kakak-kakak mahasiswa untuk memungut sisa potongan kertas dan mangumpulkannya di kantung sampah. Mereka juga diajari untuk menaruh gunting-gunting itu di tempat semula secara tertib. Sementara itu, Sasuke ternyata tertidur lelap dalam gendongan Naruto. anak itu bersandar dengan nyaman di bahunya.

"Sakura, dia tidur."

"Kau tahan sebentar saja, kalau dibangunkan nanti dia menangis."

Terpaksa Naruto harus menggendong Sasuke sampai dia bangun dengan sendirinya. Teman-temannya yang lain sudah bersiap pulang, sementara Sasuke belum bangun juga.

"Sasuke…" lelaki itu menanggil sambil menepuk-nepuk punggung Sasuke.

"Sasuke bangunlah, kakak ini harus pulang, besok kalian main lagi…" ucap salah seorang pegawai. Sasuke diambil dari gendongan Naruto. Otomatis anak itu bangun.

"Aku pulang dulu ya…"

"Ayo dadah sama kakak itu… dadaaah…" pegawai wanita itu mencontohkan pada Sasuke cara berpisah. Ia melambai-lambaikan tangannya. Sasuke yang jelas terlihat masih ngantuk itu ikut melambaikan tangannya pada Naruto.

"Baiklah, sampai jumpa besok…"

Esok harinya para mahasiswa itu kembali ke dinas sosial, kali ini mereka mengadakan kegiatan yang berbeda dari kemarin, main bersama di halaman belakang.

Untuk ke sekian kalinya Naruto bingung harus melakukan apa. Ia tidak terlalu lihai untuk membaur dengan anak kecil. Ketika teman-temannya yang lain asyik bermain dan bercanda dengan anak-anak itu, ia malah duduk-duduk di ayunan sendirian. Anak-anak lebih tertarik untuk main petak umpet daripada main ayunan.

Tahu-tahu Sasuke berlari kecil mendekatinya.

Dua tangan itu lalu terulur, memberikan sesuatu untuk Naruto. Di tangannya ada kertas warna kuning yang berbentuk matahari.

"Untukku?"

Ia mengangguk sekali.

Naruto mengambilnya lalu mengamati setiap inchi dari kertas itu. Bukankah kemarin Sasuke tidak ikut membuat kartu kirigami? Mengapa ia bisa membuat kartu sebagus ini? Siapa yang mengajarinya? Dan kapan pula anak itu membuatnya? Kartu itu lebih seperti buatan tangan orang dewasa.

Naruto melirik Sasuke yang naik ke dudukan ayunan di sebelahnya. Ia curiga, jangan-jangan kartu yang diberikan padanya itu bukan hasil buatannya. Dia telisik dua tangan mungil itu. Ada satu jarinya yang dilapis plester. Ah, ia harus percaya.

"Terimakasih… kartumu akan kusimpan."

Sasuke berpaling ketika Naruto mencondongkan badan ke arahnya. Entah malu, entah takut.

"Ayo, kita main ayunan. Aku akan mendorong ayunanmu."

Tangan itu memegang tali tambang ayunan, lalu mendorongnya ke depan. Sasuke sedikit kaget ketika ayunannya bergerak. Maju, mundur. Kakinya ia luruskan, bagai meluncur dari ketinggian. Ada segaris senyum di bibirnya.

Dari sudut lain halaman itu, Sakura memandangi Naruto yang terlihat bahagia bersama Sasuke.

"Sakura, dia memberiku ini."

Sorenya, ketika para mahasiswa itu bersiap pulang, Naruto menunjukkan sebuah kartu kirigami pemberian Sasuke pada Sakura.

"Ini benar buatannya?"

Sakura mengambil kartu itu dan ia perhatikan setiap detailnya. Kartu yang benar-benar bagus.

"Aku lihat tangannya diplester, mungkin dia terluka saat membuat kartu ini. Padahal kukira dia benci padaku, tapi kalau dia sampai begitu apa mungkin dia menyukaiku?" Naruto tertawa, lebih tepatnya tersipu.

"Kenapa kau begitu bersemangat membicarakan anak itu? Kukira kau masih tidak suka anak-anak."

"Entahlah. Aku hanya merasa… tertarik padanya. Dia sedikit berbeda dari anak-anak yang lain."

Sakura mengangguk setelah mendengar pengakuan lelaki itu. Lalu ia kembalikan kartu itu pada pemiliknya.

"Besok 'kan kau ada seminar, apa sempat kau datang kemari?" tanyanya mengingatkan Naruto pada sebuah seminar yang harus dihadirinya di kampus.

"Aku akan menyempatkan diri. Mungkin aku akan menyusulmu nanti."

Hari berganti, para mahasiswa itu kembali ke dinas sosial. Mereka membawa kardus-kardus besar berisi mainan dan boneka untuk anak-anak itu. Semuanya hasil sumbangan yang mereka kumpulkan dari teman-temannya yang lain di kampus. Bocah-bocah kecil itu nampak begitu senang ketika kardus-kardus itu dibuka dan isinya dihamburkan di lantai berlapis karpet puzzle. Mereka mengambil mainan yang diinginkannya masing-masing. Ada juga yang berebut, ada yang menangis karena tidak dapat mainan yang ia inginkan. Begitulah anak-anak.

Sampai jam tiga sore, Naruto belum juga datang. Sakura sesekali melirik jam tangan merahnya untuk melihat menit demi menit yang berlalu. Mungkin lelaki itu tak akan datang hari ini, pikirnya.

"Maaf aku terlambat…"

Lelaki jangkung itu datang. Sakura merasa lega.

"Kau bawa apa?"

Sakura melihatnya membawa sebuah kotak berlapis kertas kado bergambar kartun kucing.

"Aku bawa hadiah untuk Sasuke."

"Ha? Sejak kapan kau jadi seperti santa claus begitu?"

"Hehe." dia hanya menjawab dengan mempertontonkan giginya yang rapi.

Mata biru itu menyisir seisi ruangan mencari sosok manis berambut kelam. Nah, itu dia. Akhirnya ia temukan anak itu sedang membaca buku bergambar sambil tertelungkup menopang dagu.

Tangan kecil itu tidak membuka halaman demi halaman dengan cepat untuk sekadar dilihat-lihat. Ia mengamati gambar-gambar itu, masuk ke khayalnya.

"Jadi… Momotaro pergi untuk melawan para oni yang jahat demi menyelamatkan kakek dan nenek…"

Telinga itu begitu peka dengan suara Naruto.

"Memangnya kau sudah bisa baca?"

Dia menangguk dengan yakin.

Rasanya aneh melihat anak sekecil itu sudah bisa membaca. Biasanya anak-anak umur empat atau lima tahun itu masih terbata-bata dalam membaca, mengingat bentuk-bentuk huruf saja belum sempurna. Apa anak ini jenius?

Naruto memberi dorongan sedikit agar Sasuke mau membalik badannya, sampai punggung kecil itu menyentuh karpet. Lalu ia ulurkan kedua tangannya untuk menggendong Sasuke.

HUP

Anak itu berdiri sambil memeluk leher Naruto. Ia sendiri duduk bersila.

"Kinou, kirigami kaado ga kureta kara, kimi ni. Ima, purezento ga aru ze."

Mata bulat yang jernih itu menyiratkan rasa ingin tahu ketika Naruto menunjukkan kotak kadonya.

"Ayo kita buka!"

TADAA

Ternyata di dalam kotak itu ada sebuah boneka kucing hitam yang cukup besar untuk dipeluk. Mata doe itu nampak berbinar.

Mereka berlaku layaknya sepasang ayah dan anak. Lagi-lagi ketika Sakura menyadari itu, dadanya terasa sesak.

.

.

.

Hubungan Naruto dan Sasuke menjadi begitu akrab, terlalu intim menurut Sakura. Padahal anak itu baru ditemuinya satu bulan lalu. Apa yang membuat mereka begitu cocok? Berbeda dengan dirinya yang meskipun telah saling mengenal dengan lelaki itu sejak kecil, tapi butuh waktu lama untuk menyadari perasaan masing-masing. Ia dan Naruto baru berpacaran selama satu tahun, dan tinggal bersama selama enam bulan.

Setiap hari bahkan ada saja yang dibicarakan lelaki itu tentang Sasuke padanya. Bukannya ia tidak suka, hanya saja… lucu kalau dibilang ia cemburu. Bukan itu alasannya.

Suatu malam ketika Sakura telah bersiap tidur, lelaki yang baru selesai membaca bukunya itu datang dan duduk di ranjang.

"Sini tidur, kau tidak mengantuk?" Sakura menepuk-nepuk bantal di sampingnya, mengajak Naruto untuk berbaring.

"Aku ingin bicara sesuatu." ucapnya. Sakura tak lagi menepuk bantal empuk itu. Ia menurunkan selimutnya dan duduk bersandar pada kepala ranjang.

"Apa?"

Lelaki itu melepas kacamata minus yang bertengger di hidung bangirnya. Ia menatap Sakura dahulu sejenak,sebelum mulutnya terbuka dan hendak berucap.

"Sakura, aku ingin mengurusnya."

Ini soal Sasuke.

"Huh? Kenapa kau berkata seperti itu?" gadis berambut merah jambu itu tersenyum miris.

"Kurasa aku menyukai anak itu."

Lalu maksudnya ia akan menjadikan Sasuke anak adopsinya? Ia dan Sakura bahkan bukan pasangan suami istri.

Masih jernih ingatannya ketika ia dan Naruto pernah menyepakati sebuah janji. Mereka tidak perlu pernikahan. Mereka tidak perlu apapun dan siapapun selain diri mereka sendiri. Berdua. Ia dan Naruto.

"Apa kau lupa pada janjimu?" lirihnya.

"Tapi aku-"

"Kau bilang hanya ada kita berdua, 'kan? Hanya kau dan aku…"selanya.

Sakura divonis steril. Ketika gadis itu tenggelam dalam keterpurukan Naruto masih setia disampingnya dan mengatakan kalau ia tidak peduli. Cukup dirinya dan Sakura, tidak perlu ada yang lain. Dia tidak peduli meskipun mereka hanya akan hidup berdua. Memiliki Sakurapun sudah cukup bagi Naruto. Itu yang dia katakan dahulu. Tapi apa ini? Kata-katanya itu seakan menginjak-injak kepercayaannya. Seakan benar ia menegaskan bahwa Sakura tidak bisa memberikan apa yang ia mau, tidak bisa memberinya anak.

"Apa kau tidak mau mengurusnya bersamaku…?" bujuknya. Ia meremas tangan Sakura.

"Naruto…" mata biru itu begitu jujur, ia benar menginginkan Sasuke.

Sakura semakin mengutuk dirinya sendiri.

"Aku tidak mau… aku tidak bisa…"

Naruto nampak kecewa.

"Kukira aku bisa memegang janjimu, Naruto."

"Aku yakin kau bisa menyayanginya juga. Kita akan mengurusnya bersama…"

"Aku tidak bisa…"

"Kita akan menjadi sebuah keluarga, aku, kau dan dia."

"Tidak Naruto, tidak…"

"Sakura, aku tidak pernah mempermasalahkan keadaanmu, aku tidak peduli. Tapi apa tidak boleh jika aku menyayanginya juga?"

"Aku tidak mau! Aku tidak mau kau membawanya dalam kehidupan kita! Aku sudah cukup bahagia hidup denganmu disisiku… Aku tidak menginginkan anak itu…" matanya berkaca.

"Sakura, dia butuh keluarga."

"Lalu kenapa harus kau? Masih banyak keluarga yang bisa mengadopsinya 'kan…?"

Naruto mencium kelopak matanya yang basah.

"Maafkan aku…"

Lambat laun Naruto dan Sakura semakin menjauh. Hubungan itu terasa menjadi dingin dan hambar. Sejak mendengar pernyataan Naruto kala itu, Sakura berubah, tidak sehangat dulu. Memang mereka masih tinggal bersama dan berbagi ranjang yang sama. Tapi tetap saja atmosfer dalam rumah itu jadi seperti bunga yang layu, warnanya memudar.

Sampai suatu ketika Sakura membereskan semua pakaian dan barang-barang miliknya. Ia keluar dari rumah itu.

"Aku tidak pernah membencimu. Aku juga tidak membenci anak itu. Tapi maaf jika aku tidak setuju dengan keputusanmu. Aku tak pantas. Aku tidak bisa menjadi bagian dari keluarga kecilmu. Bukan aku. Maaf, Naruto. Maafkan aku."

Gadis itu mencampakkannya.

Di kampuspun bahkan mereka tidak pernah lagi bertegur sapa. Sakura selalu menghindar. Naruto masih berharap jika gadis itu akan kembali padanya. Tapi… semakin hari harapan itu semakin pupus. Sakura bahkan sudah tidak terlihat di semester terakhir perkuliahan. Tak ada kabar darinya. Dia menghilang entah ke mana.

Naruto jadi bimbang apakah ia akan tetap mengadopsi Sasuke atau tidak. Karena urusan ini Sakura meninggalkannya. Tapi… hati kecilnya berkata bahwa ia masih tetap ingin mengurus Sasuke. Bukan karena iba atau apa, entahlah, ada sebuah rasa misterius yang membuatnya tertarik pada anak itu. Mungkin karena mereka sama-sama yatim piatu? Ah tidak, mungkin lebih dari itu.

Setelah lama berkutat dalam membuat sebuah keputusan yang berat, akhirnya Naruto telah memilih dengan mantap. Ia tidak akan menyesal. Tidak boleh.

Hari itu Naruto datang ke dinas sosial untuk bertemu Sasuke. Sudah hampir setengah tahun ia tidak menemui anak itu. Mungkin usianya sudah bertambah satu.

Skripsi dan sidang membuatnya sibuk dan tidak bisa mengunjungi Sasuke. Semester terakhir itu terasa begitu padat dan berat. Untunglah sidang skripsinya sudah selesai, ia hanya tinggal bersantai menunggu hari wisuda, jadi ia bisa bebas pergi ke manapun ia mau.

"Ah, kau datang, Naruto! Sudah lama sekali aku tidak melihatmu!" ucap seorang pegawai wanita yang sudah cukup akrab dengannya.

"Iya, maaf ya, aku sibuk mengurus skripsi jadi tidak pernah sempat untuk datang ke sini…"

"Mana Sakura? Kukira kau kesini bersamanya."

"A-aah… dia… sibuk." Naruto menjawab sekenanya. Tidak mungkin ia akan mengatakan pada wanita di depannya itu kalau ia sudah lama berpisah dengan Sakura.

"Sayang sekali, anak-anak sering menanyakannya."

"Ahaha… sou desuka? Oh iya, di mana Sasuke?"

"Ooh kau ingin menemui anak itu? Dia ada di halaman belakang, sedang bermain dengan anak-anak lainnya."

"Terimakasih, kalau begitu aku akan menemuinya di sana."

Naruto berjalan pelan, mengendap-endap. Sasuke sedang asyik mengelus-elus kucing hitam yang sedang tidur di rerumputan, ia tidak tahu kalau Naruto sedang mendekatinya diam-diam.

"Ekhem." ia sengaja berdehem keras. Sasuke segera menoleh.

Anak itu langsung tersenyum cerah ketika melihat Naruto berdiri di belakangnya. Naruto berjongkok, dan Sasuke langsung memeluknya. Anak itu merangkulkan tangannya di leher Naruto dengan erat. Naruto bisa menebak kalau Sasuke rindu padanya.

"Sasuke."

Kepalanya sedikit menjauh ketika mendengar Naruto memanggil namanya. Ia ditatap dua manik doe itu dengan tanda tanya di anak itu bertanya 'Apa?'.

"Apa kau mau tinggal denganku?"

Dahinya berkerut. Mungkin ia merasa heran mengapa tiba-tiba Naruto bicara seperti itu.

"Kau mau tidak?"

Apa maksudnya? Anak itu belum cukup mengerti. Dia masih diam.

"Aku… tidak punya siapa-siapa. Di rumahku hanya ada aku sendiri. Sepi." Naruto sebetulnya tidak perlu mengakui itu pada Sasuke.

"Aku suka padamu. Kita mirip. Makanya aku ingin mengurusmu. Kau mau tidak, jadi anakku?" ia menyisir rambut Sasuke dengan jarinya.

Anak itu menundukkan kepala, ada gumaman kecil. Mungkin ia sedang berpikir. Sedikit-sedikit ia mencuri pandang, Naruto menunggu.

Sasuke akhirnya mengangguk pelan.

"Kau mau?"

Dia sepertinya malu, pipi gembilnya memerah. Ia sungkurkan kepalanya ke bahu Naruto, lalu ia peluk lagi lelaki itu.

"Benarkah?"

"Mmmm…" gumamnya.

Naruto benar-benar bahagia. Sasuke mau tinggal dengannya. Ia tidak menyangka anak itu akan setuju dengan begitu mudahnya.

"Terimakasih…"

Pelukan itu semakin erat, Sasuke didekap oleh tubuh yang hangat itu. Dia bagai telah menggapai matahari.

Naruto lalu mencium kening Sasuke. Beginikah rasanya memiliki seorang anak? Kasih itu kini telah memiliki wadah.

"Kalau begitu aku ingin mendengarmu memanggilku 'ayah'." pintanya, setelah pelukan itu ia lepas. Ia menatap wajah mungil di hadapannya itu dengan tatapan yang teduh.

Sayangnya Sasuke malah menggeleng.

"Kau tidak mau?"

"Oyaji."

"Eh? Apa barusan kau bilang?" Naruto ingin tertawa. Itulah kata pertama yang diucapkan Sasuke padanya sejak mereka bertemu. Tapi apa itu? Bukannya menyebut ayah ia malah menyebut Naruto 'oyaji'?

"Oyajiiiii!" gigi kelincinya terlihat begitu manis ketika bibirnya membentuk vokal terakhir dari kata itu.

"Bukan, bukan oyaji…" Naruto mencubit pipi itu dengan gemas. Sasuke tertawa geli. "Aku masih mudaa…" lalu ia kecup wajah itu berkali-kali. Sasuke semakin tidak tahan. Suara tawa itu semakin keras. Suaranya melengking khas bocah kecil.

"Oyajiiiii!"

Ia akan mengurus Sasuke, walau hanya seorang diri.

0-0-0-0

Keesokan harinya Sasuke terpaksa menginjakkan kaki di sekolahnya. Mau tidak mau ia datang ke sekolah bersama Naruto. Lelaki dengan kaos hitam dan jaket kulit itu menjadi sorotan berpasang-pasang mata ketika mereka lewat. Sesudahnya tertinggal bisik-bisik. Sasuke semakin risih ketika mendengar teman-temannya memuja-muji Naruto. Mereka bilang Naruto ayah yang keren dan tampan.

"Shitsureishimasu." ucap Naruto di depan pintu ruang konseling yang terbuka.

Melihat ada kepala sekolahnya sudah siap untuk berkhutbah, Sasuke mundur dan bersembunyi di balik punggung lebar Naruto. Sayangnya Naruto tidak membiarkannya seperti itu, dia malah mengamit tangan Sasuke dan membawanya duduk bersama di dua buah kursi di hadapan sang kepala sekolah. Bagi Sasuke, kursi itu seperti kursi pesakitan.

"Jadi, tolong ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Kemarin aku sudah bertanya padanya tapi dia tidak mau cerita." ujarnya. Ini lebih seperti mengadu.

"Pak, kemarin anak anda berkelahi dengan siswa sekolah lain saat mereka sedang tanding basket di aula. Memang betul saya tidak melihat secara langsung, tapi disana banyak siswa yang melihatnya. Lalu teman-teman dari siswa itu melapor pada saya. Saya sendiri heran mengapa Sasuke harus sampai berkelahi dengan anak itu, dia seharusnya tahu kalau apa yang diperbuatnya bisa mencoreng nama baik sekolah ini. Apalagi ini urusannya dengan sekolah lain." telinga Sasuke seperti dimasuki kalajengking ketika mendengar perkataan kepala sekolahnya.

Naruto mengulum senyumnya. Ia melirik ke arah Sasuke yang tengah memainkan kuku ibu jarinya. Naruto sudah tidak aneh melihat Sasuke mengadu-adukan sepasang kuku jari itu. Suaranya kecil tapi jelas, tik, tik, tik.

"Wakarimashita, Dou sureba ii deshouka?" Naruto kembali pada kepala sekolah.

"Saya serahkan kembali Sasuke pada anda. Apa yang terbaik untuknya anda yang paling tahu, 'kan? Tapi di sekolah, Sasuke akan mendapatkan bimbingan konseling. Jadi kita harus bekerjasama, antara orangtua dan guru, untuk membentuk sikapnya yang lebih baik. Apalagi ujian akhir sudah semakin dekat, seharusnya Sasuke bisa lebih fokus untuk belajar."

"Maaf karena saya tidak becus mengurus anak ini." Naruto menyunggingkan senyumnya, tapi Sasuke merasa diinjak-injak.

"Sasuke, ingatlah kalau sebentar lagi kau akan menghadapi ujian akhir. Kalau kau seperti ini terus bagaimana kau akan lulus?" pertanyaan kepala sekolah itu membuat Sasuke tertohok. Mau bagaimanapun ia mengabaikannya, tetap saja ia kepikiran nantinya ia bisa lulus atau tidak.

Sasuke tidak berani memandang sang kepala sekolah di depannya itu. Ia tahu Naruto sedang menunggunya bicara. Ditatap oleh dua pasang mata itu membuatnya merasa seperti terdakwa yang sedang dipojokkan oleh hakim dan jaksa penuntut. Padahal yang ia harapkan Naruto akan membelanya, tapi sepertinya ia harus membela dirinya sendiri. Ah tidak, lebih baik diam saja.

"Apa dia diam terus seperti ini di rumah?" tanya sang kepala sekolah, Sasuke tidak melihat ada gurat kekhawatiran di wajah wanita itu karena ia terus menunduk.

"Iya. Dia tidak mau bicara padaku." kepala Sasuke meneleng ketika Naruto menyentuh rambut depannya. Menghindar.

Pertemuan dengan titel pembicaraan antara orangtua dan guru itu selesai dengan sebuah perjanjian. Sasuke harus datang ke ruang BK setiap pulang sekolah. Ah, itupun kalau dia mau datang.

"Masuklah ke kelas. Aku harus ke kantor sekarang."

Naruto mengacak rambut Sasuke ringan, tapi anak itu menepis tangannya dan pergi begitu saja. Tanpa bicara apa-apa. Mungkin dia kesal.

Melihat Sasuke berjalan di lorong menuju kelasnya, Naruto merasa cukup tenang. Dia berjalan meninggalkan sekolah itu. Tanpa dia sadari diam-diam Sasuke menoleh, melihat langkahnya yang menjauh.

Senja itu terasa cepat berganti menjadi malam. Tahu-tahu langit sudah gelap.

Sasuke turun ke lantai satu, merasa janggal karena hari itu ia belum bicara sama sekali dengan Naruto. Ia mencarinya di ruang keluarga, tidak ada. Di dapurpun sama. Mungkin di kamarnya. Benar saja.

Lelaki itu sedang melipat pakaiannya satu persatu, lalu dimasukkanlah ke dalam kopernya yang besar. Sasuke masuk ke kamarnya lalu naik ke ranjang, duduk.

"Kau mau ke mana?"

Naruto menoleh sejenak.

"Aku akan pergi ke Mesir."

Mesir?

"Bukankah di sana sedang ada konflik?"

"Untuk itulah aku pergi."

Dasar jurnalis brengsek! Baru saja ia pulang kemarin, lalu hari ini ia akan pergi lagi?

Sasuke tidak pernah bisa memaklumi jika terkadang Naruto harus pergi ke tempat berbahaya untuk menulis berita. Bisa saja ia mati 'kan? Tapi lelaki itu nampaknya tidak peduli, dedikasi, katanya. Bagi Sasuke lelaki itu hanya memikirkan dirinya sendiri.

Tiba-tiba saja ia merasa kesal.

"Pergi sana, pergi! Seharusnya aku tidak di sini kalau hanya jadi penjaga rumahmu!" sinis, Sasuke memandang Naruto dengan tidak suka.

"SASUKE!"

"Kau tidak pernah memikirkanku!"

Kata-kata itu bagai pukulan telak bagi Naruto. Benarkah begitu? Apa Sasuke ingin ia lebih memerhatikannya, karena itu ia berbuat onar sebagai pelampiasan?

"Aku selalu kesepian… di rumah ini selalu tidak ada siapapun selain aku sendiri…"

Ekspresi sedih itu tercetak jelas di wajahnya. Benarkah ia telah mengabaikan Sasuke?

"Kau pulang hanya untuk bersiap pergi lagi, selalu begitu. Kau tidak punya waktu untukku…"

Air matanya meleleh.

"Aku rindu padamu… Aku rindu pelukanmu…"

Naruto tidak mampu bertahan mendengar suara lirih itu.

"Maaf…"

Kata maaf dalam pelukan adalah satu caranya untuk menghentikan tangis Sasuke.

"Maaf jika aku bukan ayah yang baik."

"KAU BUKAN AYAHKU! BERHENTI MENYEBUT DIRIMU SEBAGAI SEORANG AYAH!"

BUKK

Sasuke berteriak, lalu ia mendorong Naruto untuk menjauh darinya.

"Kenapa… kau tidak pernah menerimaku?"

"JUSTRU KAU YANG TIDAK PERNAH MENERIMAKU!"

Lagi dia berteriak penuh amarah. Napasnya memburu, tapi wajahnya begitu sedih.

"Bagaimana bisa kau bilang aku tidak pernah menerimamu? Aku yang menginginkanmu ada di sini!"

"TIDAK! Tidak… kau melihatku sebagai seorang anak kecil yang harus dikasihani, kau tidak menerimaku sebagai seorang yang mencintaimu…"

"Sasuke…?"

"Aku mencintaimu…" tangannya meremas kain sprei putih itu.

Anak yang selama ini ia urus sejak kecil itu mencintainya?

"Aku mencintaimu… tapi aku harus bagaimana…? Aku tidak tahu…" dua tangan itu menutupi tangisnya.

Naruto merasakan hal yang sama, ia tidak tahu harus bagaimana ketika Sasuke menyatakan perasaannya. Ia tidak pernah menyangka akan jadi seperti ini. Ia tidak pernah menyangka bahwa selama ini Sasuke menyimpan perasaan yang lain terhadapnya.

"Sasuke, apa yang kau lihat dariku…?" dia bertanya. Dia butuh jawaban.

Entah memang ia tidak bisa bersuara karena terisak-isak, atau ia tidak mau bicara. Naruto tidak tahu. Sasuke terus menangis.

Akhirnya tangan itu merangkul, Sasuke jatuh dalam pelukannya. Tangis itu selalu berhenti dalam sebuah pelukan, tapi akankah kali ini sama? Sasuke menangis bukan karena hal yang sepele seperti biasanya.

"Kau tidak boleh menangis terus…"

Sepertinya butuh waktu lama bagi Sasuke untuk berhenti.

"Sasuke, dengarkan aku." pelukan itu ia lepas. Naruto menangkup wajah Sasuke.

Matanya merah dan basah.

"Aku tetap menyayangimu bagaimanapun kau memandangku. Tapi maaf jika aku tidak memberimu lebih, hanya ini yang bisa kulakukan."

Lelaki itu tidak mengatakan apa yang ingin Sasuke dengar.

Dia mengadukan kepalanya dengan kepala Sasuke secara perlahan. Tangis itu mulai mereda, mungkin karena rasa kecewa.

"Aku sayang padamu."

Bibir itu mengecup lembut. Mata Sasuke tepejam ketika merasakan daging kenyal yang bersentuhan dengan kulit bibirnya. Apa arti dari ciuman itu?

"Kenapa… kau menciumku?" dua pasang mata itu masih saling bertatapan ketika bibir mereka tak lagi bersentuhan.

"Aku hanya ingin membuktikan kalau aku sayang padamu, sangat."

Tangan besar itu mengelus kulit wajah Sasuke dengan ibu jarinya. Gerakan kecil yang membuat Sasuke kembali terpejam.

"Aku sungguh menyayangimu Sasuke, Sasuke-ku."

Dua hati itu berdesir dalam rasa yang tak bisa dibilang sama, getarannya membuat riak menjadi ombak kecil yang bergelombang naik turun. Irama yang tercipta dari dua raga yang bersatu, dihalangi oleh tirai tipis, agar rembulan tidak dapat mengintip.

Belaian lembut dan kecupan yang jadi pemantik, api yang berkobar terbang melayang bagai sejuta kupu-kupu. Tak ada lagi batas. Tapi itu bukan hasrat yang membutakan mata dan telinga, mereka sadar dalam pandangannya. Mereka masih saling merasa.

Sasuke tidak menolak ketika Naruto 'menyentuhnya', karena tidak ada tali apapun yang mengekang mereka. Bukan sebagai ayah, bukan sebagai anak. Tapi haruskah ia merasa bersalah? Haruskah Naruto juga merasa bersalah?

Bagai bunga popi yang mekar dengan meletup, sesudahnya ada warna dari kelopaknya yang melengkung ke luar.

Lengkingan itu memanggil sebuah nama. Tinggi dan hilang.

Sebuah dekapan menjadi akhir dari puisi di malam berbintang.

.

.

.

'Aku paling tidak suka membangunkan orang tidur, jadi maaf bila aku pergi tanpa berpamitan padamu. Aku tidak bisa memberitahumu kapan aku akan pulang, akupun tidak mengetahuinya secara pasti. Aku akan pergi dalam waktu yang cukup lama. Lebih sari satu bulan, mungkin. Sebelum berangkat sekolah ceklah rekeningmu, aku sudah mengirimimu uang. Jangan dipakai macam-macam ya, belilah makanan untuk kau masak. Jangan terlalu sering menyirami kaktus di jendela, dia tidak butuh banyak air. Selalu rapikan kasurmu setiap bangun tidur. Belajarlah yang rajin, jangan sering-sering bolos. Aku ingin melihatmu mendapat nilai seratus di ujian akhir.'

"Baka tare…"

Rinai dipelupuk matanya jatuh begitu pesan yang dikirim oleh lelaki itu selesai dibaca. Naruto pergi.

Padahal sentuhannya masih terasa, bagai semalam adalah satu detik yang lalu. Tetapi lelaki itu rupanya sudah meninggalkannya. Entah kapan dia turun dari ranjang, entah kapan dia keluar dari rumah. Mengapa Sasuke tidak mendengar pintu itu dibuka? Mengapa ia tidak bisa mendengar derit kunci yang dicabut? Mungkin ia disihir agar tidur nyenyak semalam. Terlalu nyenyak.

DRRT DRRTT

Ponsel itu bergetar. Ada satu pesan masuk. Sayang pesan itu bukan dari orang yang dia harapkan.

'Kau masuk sekolah tidak? Hari ini di kantin ada melon-pan.'

Dalam kolom pengirim tertulis nama Gaara. Sasuke memilih tidak membalas pesan itu.

Ia memeluk lututnya sendiri. Tubuh itu hanya berbalut selimut. Di selimut itupun aroma Naruto masih tertinggal, tak sengaja terhirup.

"Di zaman ini para pedagang dari China melakukan perjalanan ke Jepang melewati semenanjung Korea. Karena saat itu di China sedang krisis akibat peperangan dan sebagainya, mereka melakukan perpindahan secara besar-besaran mencari tempat tinggal yang lebih baik untuk sementara, sambil berdagang dan menyebarkan ilmunya, juga menyebarkan kepercayaan konfusianisme."

Sasuke duduk di bangkunya. Dia hadir kala itu. Tapi materi tentang zaman Hei'an yang sedang dijelaskan oleh gurunya di depan kelas itu tidak ada satupun yang masuk ke kepalanya. Raganya ada di kelas, tapi pikirannya entah ada di mana. Ia malah memandangi buku sejarah itu dengan lamunannya, tak ia baca.

Tanpa dia sadari ada seseorang dari siswa-siswa di kelas itu yang memerhatikannya sejak tadi.

Jam istirahat siang telah tiba. Anak-anak keluar kelas, berhamburan, berbondong-bondong seperti lebah yang keluar dari sarangnya. Beda dengan Sasuke, tinggal ia sendiri di dalam kelas. Ah tidak, berdua dengan anak itu.

"Aku senang kau masuk." ucapnya memulai. Anak laki-laki itu tetap tersenyum meskipun Sasuke tidak merespon sama sekali.

"Mungkin aku bisa meminjamkan catatanku kalau kau-" anak laki-laki bernama Sai itu terhenti ketika melihat kedua mata Sasuke memerah. Ia memalingkan wajahnya tapi Sai bisa melihat kalau air mata itu tidak dapat terbendung. Itu pertama kalinya ia melihat Sasuke menangis.

Sai tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Sasuke menggigit bibir bawahnya, sesungguhnya ia ingin menahan tangis itu tapi tidak ada gunanya.

Semua ini gara-gara Naruto. Lelaki itu telah mencoreng luka dengan pergi meninggalkannya.

"Kau kenapa?" suara itu terdengar pelan. Sasuke buru-buru menghapus jejak air matanya dengan kedua tangan. Basah.

"Ini. Pakailah sapu tanganku." tawarnya sambil tersenyum.

BRIIEET

Gaara menyobek bungkus plastik melon-pan yang sudah dibelinya. Ia memang tidak masuk kelas hari itu, tapi ia sengaja ada di sekolah hanya untuk membeli roti melon. Ia makan sendirian di atap sekolah, sesekali ia mengecek ponselnya apakah ada pesan masuk atau tidak.

"Huh… setidaknya dia membalas pesanku…"

Ia tidak mendapat balasan apapun dari teman beda kelasnya itu. Sejak pagi tadi Gaara bahkan tidak melihatnya. Mungkin Sasuke bolos, tapi, kalau ia bolos pasti ia akan mengajaknya. Apa mungkin Sasuke masuk kelas dan mengikuti pelajaran? Bisa jadi.

Gaara melahap sisa rotinya dengan sekali suap. Ia lalu berlari menuruni atap.

"Sial, ada kepala sekolah!"

Ia yang tadinya akan lurus dan masuk ke kelas Sasuke jadi berbelok dan bersembunyi di balik dinding ketika melihat di depan kelas itu ada kepala sekolahnya. Ia takut dimarahi karena kepala sekolahnya itu sudah hapal ia sering membolos pelajaran. Eh, tapi siapa yang sedang bicara dengannya?

Gaara mengintip. Dilihatnya ada Sasuke dan satu orang anak lelaki di sampingnya. Hm, sepertinya ia kenal siapa itu. Si wakil ketua OSIS. Tapi ia lupa siapa namanya.

"Nanti sepulang sekolah datanglah ke ruang BK ya, sesuai janji dengan ayahmu kalau kau akan mendapat bimbingan…" kepala sekolah itu mengingatkan Sasuke kalau ia harus menemui guru BK-nya.

Sasuke hanya menunduk.

"Oh ya, Sai. Bantulah Sasuke jika ia membutuhkan sesuatu, pinjamilah ia catatanmu atau ajarilah ia materi yang disampaikan guru kalian saat Sasuke tidak masuk."

"Baik." Sai mengangguk.

"Sasuke, kau mengerti 'kan?"

Sasuke diam. Kepala sekolah itu mendengus. Ia harus lebih sabar menghadapi anak di depannya itu.

"Baiklah kalau begitu, aku harus ke kantor guru. Aku titipkan Sasuke padamu."

"Hai. Wakarimashita."

Kepala sekolah itu pergi. Sai melirik Sasuke yang sedang memegang dahinya sendiri.

"Kenapa?"

"Kepalaku pusing…"

BRUKK!

Sasuke jatuh pingsan.

"SASUKEE!"

Mendengar Sai berteriak, Gaara langsung keluar dari persembunyiannya. Ia kaget saat melihat Sasuke tidak sadarkan diri.

"NANI O SHITERUNDAA?! Cepat kita bawa dia ke UKS!" Gaara hendak menggendong Sasuke tapi Sai keburu menyelipkan tangannya di bawah tengkuk dan kakinya. Gaara keduluan.

Si wakil ketua OSIS itu menggendong Sasuke sampai ke UKS. Gaara berlari di belakangnya.

Mereka masih terus menemani Sasuke sejak ia masuk UKS sampai guru yang berjaga di ruangan itu pergi karena ada urusan. Sasuke belum juga bangun.

"Kau dari kelas mana? Rasanya aku jarang melihatmu di sekolah." tanya Sai pada Gaara yang duduk di meja.

"Kelas 3-D." jawabnya singkat. Ia merasa tidak perlu mengatakan kalau ia rajin membolos, makanya Sai jarang melihatnya di sekolah.

"Apa hubunganmu dengan Sasuke?"

"Ah?" Gaara merasa aneh. Pertanyaan macam apa itu?

"Maksudku, apa kau temannya?"

"Tentu saja, kalau bukan untuk apa aku di sini!" mungkin si wakil ketua OSIS itu kurang pandai berkomunikasi, pikirnya. "Ng… tapi… Kau 'kan sekelas dengannya, apa yang terjadi dengan Sasuke sampai ia bisa pingsan begitu?"

"Terakhir dia bilang kepalanya pusing. Tapi sebelumnya dia sempat menangis di kelas…" Sai masih ingat betul ketika ia menawarkan sapu tangannya, dan ditolak.

"Sasuke? Menangis?" Gaara tidak percaya Sasuke bisa menangis. Setahunya Sasuke yang suka marah-marah itu bukan tipe yang melankolis.

"Iya… Tadi juga sensei bilang kalau mungkin dia jadi lemah begitu karena kebanyakan menangis, 'kan? Apa kau tahu dia punya masalah apa?"

"Mana kutahu." Gaara menggendikkan bahunya. Ia tidak tahu apa-apa karena ia tidak pernah bertanya urusan pribadi temannya itu.

"Oyaji…" Sasuke menggumam pelan.

"Eh! Dia bangun!" Gaara yang pertama melihat Sasuke mulai membuka matanya. Saat Sai menoleh Sasuke nampak bingung menyadari dirinya terbaring di ranjang UKS.

"Kau sudah sadar?" tanya Sai.

"Kenapa aku bisa ada di sini…?" ia mendudukkan dirinya di ranjang. Sendi-sendinya terasa kaku.

"Kau pingsan." ucap Gaara.

Pingsan? Ah benar, yang terakhir Sasuke ingat adalah ketika ia merasakan kepalanya membentur lantai.

Seperti kata sensei yang memeriksanya saat ia tidak sadar, Sasuke pingsan karena tubuhnya lemah. Selain akibat ia terus-terusan menangis sejak kemarin, mungkin juga karena ia sudah menghabiskan seluruh tenaganya semalam. Ah, lelaki itu bagai telah membawa pergi segalanya.

.

.

.

Semua yang kumiliki telah habis kuberikan padamu yang menghisapnya bagai lubang dimensi

Yang tersisa hanya resah dalam hatiku, kapan kau kembali?

Seperti baru sekejap kita berbalas kata, seperti baru sekejap kita berbagi cinta

Malam itu kukira kau akan tergugu,

Tapi ternyata kakimu tetap melangkah pergi menuju negerinya Cleopatra

-Rabu, secangkir teh hitam-

0-0-0-0

TBC

Keterangan:

Oyaji: sebutan untuk pria tua, biasanya anak laki-laki yang sudah menjalani upacara kedewasaan akan menanggil ayah kandungnya dengan sebutan ini.

Doke: perintah untuk minggir, kasar.

Ia da: tidak mau

Nee-san no tame: untuk Nee-san.

Dekimasuka: bisa tidak.

Kinou, kirigami kaado ga kureta kara, kimi ni. Ima, purezento ga aru ze: Kemarin aku menerima kartu kirigami darimu. Sekarang ada hadiah untukmu.

Shitsureishimasu: permisi

Wakarimashita, dou sureba ii deshouka: saya mengerti, apa yang sebaiknya saya lakukan. Pertanyaan dalam bentuk sopan

Baka tare: kata kasar, lebih kasar dari teme.