Kadang Kurasame bermimpi.

Ia bermimpi dirinya mengemban semua tanggung jawab, dibuang ke dalam misi bunuh diri demi membersihkan nama kelas Zero. Mengucapkan salam terakhirnya ke COMM, kepada anak-anak itu yang hebat, yang pantang menyerah, anak-anak yang dijaganya sampai akhir, agar mereka tetap melakukan yang terbaik di bawah bendera burung merah suci itu. Kemudian ia mematikan alat komunikasinya dan mengangkat tangannya memfokuskan sihirnya yang berpendar-pendar, kuat tapi meresap semua tenaga yang membuat tubuhnya yang ringkih masih kuat berdiri setelah sejauh ini. Sosok Caetuna menengadah ke angkasa dan mengucapkan mantra sementara kadet-kadet tewas berjatuhan lemas di sebelahnya tidak ia hiraukan.

Ia hanya tahu Caetuna hampir, hampir sampai. Jiwa mereka tercecer sebagai persembahan untuk memanggil monster yang akan menyelamatkan mereka. Alexander, Alexander, rintih Caetuna.

Hal terakhir yang Kurasame ingat adalah melepas phantomanya sebelum terperosok ke tanah, tersentak dalam napas terakhirnya yang tak sempat terhembuskan.

Kemudian ia mati.

―

Di dalam mimpi-mimpi seperti itu, dirinya yang lain tahu bahwa jika ia mati, tidak ada seorangpun yang akan mengingatnya. Tidak teman-temannya yang hanya sedikit. Tidak kadet-kadet bermantel merah itu yang selalu merecokinya dan memberontak di bawah perintahnya. Tidak panglima busuk yang mengirimnya ke garis depan itu. Untuk yang terakhir Kurasame tidak begitu peduli, namun ketika dalam kegelapan (kematian) itu ia mengulang-ulang percakapan terakhirnya kepada kadet yang diasuhnya, mau tidak mau, sesuatu di bawah sana, yang sudah rapat-rapat ia kunci semenjak ia belajar tentang pengkhianatan (pengkhianatan itu membekas, tiap kali ia berbaring dan melepas topengnya pengkhianatan itu pahit, dan berat seperti baju zirah yang senantiasa dikenakannya)―mau tidak mau mereka sedikit merintih sedih seperti pertama kali ia bangun dengan goresan luka yang permanen di wajahnya. Dekat seperti rindu. Ingatlah tentang aku, katanya ketika ia kini ruh yang hanya menatap sementara kadet merah itu bertanya-tanya pada angin seperti apa Kapten mereka dulu, tanpa perasaan menatap ke nisan itu.

Di dalam mimpi seperti itu mungkin pada akhirnya Kurasame menyesali kemauan kristal, mungkin. Karena kematian terasa begitu sepi tanpa seorangpun mengingatmu pernah ada.

―

Tapi kemudian Kurasame bangun di subuh pemulai hari dan ingat bahwa itu semua hanya mimpi.

Ia mendengar dari Arecia, pengetahuan bocor dari bibir penyihir dan diselubungi asap cangklongnya itu ketika suatu kali di pemeriksaan kesehatan ia mendengar, kadang anakku Ace juga bermimpi dan mimpinya bisajadi hanya sebuah kenyataan di dunia lain berdasarkan beda pilihan yang kita buat, dan hal ini membuat Kurasame terdiam. Kemudian ia pergi kembali ke luar lewat portal sihir yang merah menyala ke ruang-ruang besar tempatnya menghabiskan sebagian besar porsi hidupnya untuk melatih dan mengajar. Ia berjalan ke ruang yang familiar tempatnya selalu mengajar (sekarang tanpa kristal yang merampas memori dari setiap orang) dan sampai ke ruangan yang berlapiskan karpet merah itu. Jendela-jendelanya yang tinggi dan diserobot matahari yang hangat sementara kadet-kadet yang tadi bebas kemudian menyadari kedatangannya dan bergegas duduk.

Di sini ia belum akan mati. Di sini ia akan mengajar dan mendidik mereka tanpa celah dan tanpa basa-basi agar mereka terkirim dan kembali dengan selamat dan tidak perlu menyicipi pahitnya pengkhianatan.

Semuanya dimulai dari sini.

―