Tugas akhir.
Sehun/Kai | parody, romance, age gap | T+ rated (and M for language)
Presented by Septaaa
I do own nothing but story and ideas!
Warning: Non-betaed, possibly typo, and dude, don't like don't read ya.
Mini note: sudah diluar cerita nyata dan awas, agak galau orz.
.
.
"Say Chanyeol," Jongin menatap temannya itu dengan serius, "Apa orientasi seksual seseorang bisa berubah hanya karena ciuman?"
Chanyeol tersedak, "Hah? Apa maksudmu?"
"Begini—" Ia meneguk cokelatnya sebelum menyamankan posisi duduknya, "Seandainya dua cowok berciuman, apa mungkin orientasi seksualnya juga bisa berubah?" —suara dipelankan pada kalimat terakhir.
"..."
"Apa-apaan kau ini?!" Jongin mengelap bibirnya, refleks—fokusnya berkeliling, sangsi bahwa orang-orang sedang memandang mereka dengan tatapan aneh, antara geli, simpatik, dan jijik. Lalu pupilnya melotot ke arah Chanyeol. "Holly shit! kenapa kau tiba-tiba mencium—"
"Kau suka?"
"Enggaklah kampret!"
"Merasa orientasimu berubah tidak?"
Kedip, sentuh bibir, kedip—"...tidak sih." lalu kicep.
"Ya berarti asumsimu salah."
"Ya tapi..." telan telur dulu, ia mau protes. "Kau tidak perlu menciumku juga kali." Pasalnya mereka sedang berada di kafetaria kampus, dan adegan cowok-cium-cowok merupakan hal tabu sekalipun hubungan sesama jenis tidak lagi mereka sebut anomali. Dan sialnya (bagi jongin) Chanyeol itu malah mengingatkannya akan insiden memalukan yang membuatnya jadi ababil begini.
Berdecak, Chanyeol menyangga tangannya di meja kafetaria dengan malas, "Kau ini kayak masih perjaka aja." Pesss—warna muka Jongin berubah—dan begitu sadar Chanyeol tidak bisa untuk tidak menarik sudut bibirnya dan menyenggol bahu Jongin. "Ho... jadi aku benar?" senyum jenaka tercetak puas begitu sang empu memalingkan muka.
"I-itu karena aku menghargai perempuan tahu!"
"Heh..." Chanyeol mengacak rambut Jongin, walaupun yang bersangkutan masih ngambek. "Tak ku sangka kau semulia itu."
"T-tentu saja!"
"Pantas saja kau selalu disakiti. Kau terlalu baik sih."
Kalimat Chanyeol barusan benar-benar seperti panah yang menohok hatinya, tepat di ulu. Memang benar, meskipun sering mendapat gadis cantik dan baik-baik. Namun hubungan mereka selalu sama, hubungan dimana ia yang dikhianati. Dulu sekali ia pernah jatuh sakit hanya karena mendengar kekasih hatinya bertunangan dengan orang lain, dan bukan dirinya. Ia merasa pathetic, wajah tampan dan hati menawan seolah-olah bukan sesuatu yang mengagumkan bagi para gadisnya. Dan jika dipikir lagi, mungkin memang karena alasan inilah ia menyandang status jomblo sejak tahun ketiganya.
Bukannya ia gamang, "Sudahlah." Tapi ia hanya lelah, karena memang sejak awal keseriusannya hanyalah sepihak. "Jangan bicarakan hal ini, Chanyeol."
"Oke, Maaf kalau begitu. Ingin ku traktir ayam?" dan setelahnya yang Jongin lakukan adalah menatap Chanyeol dengan wajah yang berbinar diiringi latar belakang bunga-bunga menyilaukan.
Ia mengedipkan mata, memohon lucu. "Sepuasku ya?" karena tendensi itu, Chanyeol tidak bisa untuk tidak ikut mengangguk lugu.
Sore itu Jongin benar-benar puas, dan Chanyeol nyengir, miris memikirkan uang bulanannya.
.
All thanks to Chanyeol.
Karena hari ini ia bisa makan ayam puas dan curhat—colongan. Walau awalnya ia berangkat ke kampus untuk menemui dosen bimbingnya, dalam konteks ini—karena sudah satu minggu ia sendiri menghindari sang dosen. Bukan apa-apa sih, lagian Sehun juga sedang sibuk-sibuknya (alasan) yakinnya pada diri sendiri. Begitulah awal niatnya datang sebelum ia bertemu Chanyeol (yang katanya ingin bernostalgia), teman seperjuangannya dari semester satu yang bangkenya malah sudah wisuda duluan, Jongin selalu gondok kalau mengingat ini.
Ia berpisah dengan Chanyeol saat orang itu berpamitan duluan. Sesekali ia mengecek jam di ponselnya yang menunjukkan pukul tujuh, sudah bisa dikatakan larut mengingat fakultasnya tidak memprogramkan kelas malam. Jadi tidaklah aneh jika sepanjang koridor yang ia lalui sudah sepi, hanya dua—tiga mahasiswa yang masih nongkrong numpang wifi.
Perjalanannya menunju parkiran tertunda karena tiba-tiba ada seseorang, dari belakang yang membekapnya lalu menyeretnya ke toilet terdekat. Bola mata Jongin membulat horor—ia ingin berteriak tapi mulutnya dibungkam dengan erat, sesampainya mereka di salah satu bilik toilet, Jongin menggigit tangan si pembekap.
"Shit!"
"S-sir?!" kaget, "A-ada apa?" Ia melihat dosennya itu mendekatkan jari telunjuk di depan bibir, kode untuk tidak berisik. Karena suara beberapa mahasiswa yang sedang bercanda mulai mendekat ke arah toilet tempat persembunyian mereka, atau lebih tepatnya, tempat penculikannya? Entahlah. Dan lagian dosennya itu ada-ada saja! Ngapain pakai acara bekap-bekap segala, membuatnya paranoid tadinya.
Begitu dirasa gerombolan tadi sudah menjauh, Jongin melontarkan kekinya, "Saya harap anda memiliki alasan yang pasti kenapa menyeret saya kemari," jeda. "...Sir."
Dagunya terangkat, congak—menyudutkan Jongin dengan menyangga tangan kanannya pada bilik pintu yang mempersempit jarak mereka. Jongin terkejut bukan main, takut-takut kalau dosennya ini nekat melakukan pelecehan seksual di tempat seperti ini—yang akhirnya ia hanya merutuk diri karena prasangkanya yang tidak pantas itu.
"Kulihat kau baik-baik saja dengan fakta," jeda digunakan Sehun untuk menekan dagu Jongin dengan kedua jarinya. "Bahwa ada seorang pria yang menciummu di kafetaria."
Jongin mengeryit, oh—"Anda melihat?" dan Sehun tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya karena yang disudutkan malah memandangnya dengan polos, seolah bukan masalah apa-apa.
"Ya aku lihat, sekarang jelaskan kenapa kau membiarkan cowok bar-bar itu menciummu."
Mengesah, jengah, ia silangkan tangannya di dada, lalu mendengus. "Pertama-tama Sir, tolong turunkan tangan anda dan menjauhlah sedikit, posisi anda benar-benar membuat saya kesusahan bernapas." Sehun menurut, ia turunkan tangannya yang sebelumnya bertengger di sisi kanan Jongin. "Kedua, orang yang anda lihat bersama saya tadi sore bukanlah cowok bar-bar, melainkan mantan mahasiswa anda," ia tak peduli, dan terus menyimak penjelasan Jongin. "Ketiga, kejadian sore tadi—murni kecelakaan."
Sehun menggeram, "Kecelakaan apa? Jelas-jelas cowok itu mendekatimu dan menciummu dengan sengaja! Harusnya kau lebih ofensif, Jongin."
Ia memutar pupil matanya, "Tapi ciuman tadi bukan didasari apa-apa, Sir. Lagian ini tidak ada hubungannya dengan anda. Saya mohon anda bisa mengerti." Jongin berbalik, dan akan membuka bilik pintu itu sebelum tangannya dicengkram dan tubuhnya kembali terhempas ke belakang. Kali ini dengan posisi yang—Jongin mati-matian menahan semburat malu di pipinya—mana ia duduk di pangkuan sang dosen.
"Kau bilang apa tadi? Tidak ada hubungannya?" Sehun mencemooh, "...yang benar saja, Kim. Beberapa tahun terakhir ini aku mengejarmu, dan bersusah payah berusaha hanya untuk mendapatkan kecupanmu." Memang benar ia tidak memiliki hak untuk ikut campur, namun... "Dan cowok bar-bar itu menciummu di depan umum, begitu saja—kau masih bilang tidak ada hubungannya denganku?!" panas yang ia rasa ini tidaklah wajar lagi. Ia marah, dan mengutuk karena apa yang telah ia klaim untuk didapatkannya dinodai oleh tangan lain.
Jongin tidak menjawab—dan tidak memberikan perlawanan pasti saat kepalanya ditekan oleh tangan kanan dosennya hingga dahi bertemu dahi, lalu tertegun karena ia menemukan eksistensi dirinya di dua bola mata tersebut. Dan apa yang terjadi selanjutnya sudah diluar nalarnya. Karena ciuman seperti ini yang lebih memabukkan, karena ciuman ini yang membuatnya merasakan keraguan, dan ciuman darinya pula yang—membuatnya hanyut begitu saja.
.
.
.
Katakan ia masokis, ia tidak peduli. Karena sudah lima malam ia selalu terjaga untuk mengecek noktah-noktah kemerahan di sekitar lehernya lalu berakhir dengan rapalan-rapalan jengkelnya. Salahkan saja si dosen tengik itu yang membuatnya begini dilema. Bukannya menyelesaikan bab penutupnya, ia malah terus-terusan debat mempertanyakan kelurusannya. Sejak kecil, ia memang sudah didoktrin untuk menjadi pria penganut ajaran moral etika yang tidak akan mempermalukan keluarga. Namun baru-baru ini dosen sialan itu sudah membubuhkan rasa-rasa aneh padanya. Dan (sialnya) tugas akhirnya yang tidak selesai-selesai itu menambah kadar kedepresiannya.
Ia harus menuntut dosen bajingan itu untuk segera membantu bab penutupannya! —dengan segala tekat serta keyakinan, ia menemui dosen itu hari itu juga.
Sorenya, begitu ia sampai di fakultasnya dan telah sampai di gedung A (gedung utama), langkahnya dipelankan. Ia mengeluarkan berkas yang berisi salinan bab tugas akhirnya, dan menjinjingnya di tangan kanannya. Tarik—buang napas sebelum memasuki ruang dosen fakultasnya. Ia juga tidak memberitahukan sang dosen sebelumnya bahwa ia ingin bertemu, semata-mata hanya karena ia tidak mau disuruh kembali ke rumah sang dosen dan mengulang kejadian-kejadian yang sudah berlalu.
Tengok kiri—dan kanan, hanya beberapa dosen yang masih enggan beranjak dari meja mereka, dan salah satunya adalah Oh Sehun. Dari apa yang ia lihat, dosennya itu memiliki kantung hitam dibawah matanya, Jongin menyebut itu sebagai tanda kurang tidur (karena ia juga memilikinya). Sebenarnya kasihan juga kalau tiba-tiba ia mengganggu, tapi bab akhirnya sudah selesai dan ia memerlukan saran penutupnya. Jongin melangkah pelan sampai di depan meja dosennya, lalu mendudukkan diri tanpa diperintah—sampai sang dosen itu sendiri mengalihkan fokus ke arahnya dengan pelototan kaget, meski begitu wajahnya masih tetap uhuktampanuhuk.
"Kim? Ada apa?"
"Itu—saya ingin membahas penutupan bab akhir, Sir."
Sehun menyangga tanga dimeja dan memijat pelan pelipisnya, "Kenapa tidak memberitahuku terlebih dahulu?" dapat ia lihat kegugupan mahasiswanya itu takut-takut. "Sekarang keluar."
"T-tapi Sir!"
"Keluar Jongin, ada tugas penting yang harus segera kuselesaikan."
Jongin berdiri dengan wajah masam, kata-kata yang sudah ia siapkan sebelumnya melebur bersama kekecewaannya, ia berbalik keluar tanpa permisi—begitu khas, meninggalkan bekas berupa rasa bersalah pada keduanya.
Begitu Jongin sudah di luar jangkauan gedung dosen ia menghempaskan tubuhnya di bangku taman fakultas, tubuhnya lemas seketika. Suasana hati yang dari awal sudah tidak enak itu makin membombardir, tenahak sudah pikirnya. Kalau boleh balas dendam ia ingin menelantarkan Sehun berminggu-minggu—tapi—ia sadar bahwa ia sendiri yang paling membutuhkan si dosen tengik itu, darn.
Jongin tahu kok, sikap pongah dan otoritas tinggi yang dimiliki seorang Oh Sehun. Ia juga sadar seberapa menjulang menara imajiner yang sudah ditandai sebagai harga diri milik keduanya. Tapi yang tadi itu—benar-benar kali pertama Jongin merasakan efeknya, sukses membuat ia gundah gulana.
—tunggu aku disitu, aku akan segera menyelesaikan tugasku—
Pesan singkat itu berasal dari Sehun, Jongin mendongak, menatap gedung A lantai 3 dan bertemu pandang dengan Sehun yang menatapnya melalui jendela. Ia memalingkan muka, mendengus tidak suka. Namun Sehun tahu, bahwa Jongin menunggu.
.
.
.
Di sudut taman yang remang ini mereka masih sama-sama geming, menikmati angin malam yang menyapu tubuh, merasuk ke pori-pori kulit, memberikan sengatan-sengatan geli, menggelak paksa suasana canggung diantara mereka. Sehun mencoba mengerti, dan Jongin masih tidak ingin menyuarakan hati.
Sehun berdiri, "Ayo ke rumahku," genggaman tangannya ditepis, dan itu memunculkan kerut tidak sukanya. "Ada apa lagi, Jongin?"
"Tidak perlu, Sir. Saya—" sedang tidak minat untuk meladeni anda jika itu hanya alibi anda untuk membuat saya lebih resah lagi. "—langsung pulang saja, tolong salinan bab akhir ini anda baca." Tapi ia tahu, sejauh mana ia bisa mengungkap kalimat pantas pada dosennya. Dan memutuskan membalas dengan masih mempertahankan akalnya, defensif.
Sekalipun Jongin sadar perubahan raut wajah itu, genggaman yang semakin mengerat itu, dan tatapan dominasi mutlak itu. Semua tertuju ke arahnya, yang mana ia tidak bisa lagi menolak untuk merasa. Ia biarkan kegelisahan hatinya menghujam begitu saja. Karena kalau tidak, ia mungkin akan menyesal jika menuruti apa yang Sehun katakan, siapa yang tahu apa yang akan Sehun lakukan saat mereka berada dirumahnya nanti? Manipulasi apalagi yang dosen itu praktikan untuk membuatnya bertengkar dengan batin sendir—i
Dan Jongin benar-benar merasakannya—menyesal.
Disaat bersamaan ia mengutuk tubuh yang berkhianat. Seharusnya ia langsung pergi begitu akal sehat masih ikut berperan, jika sudah seperti ini ia bisa apa? Ia kalah telak hanya karena satu ciuman (lagi-lagi). Lemas sudah ia, bagaimana—bagaimana bisa Sehun menciumnya di tempat seperti ini? Apa yang akan terjadi pada reputasi mereka saat ada pihak ketiga yang menyadari?
"Aku tak peduli." Dan seolah-olah dosen itu dengan mudah membaca pikiran yang mengganggunya. "—Jika dengan cara itu dapat membuatmu menurut padaku, dengan senang hati aku akan terus melakukannya. Tidak peduli seberapa banyak pasang mata yang menyaksikan."
Jongin tertegun, bertanya-tanya apa nama dari emosi yang ada ditengah-tengah mereka. Karena baru kali ini ia merasakannya, kontradiksi negatif bercampur dengan asa. Ini bukanlah rasa picisan yang kerap terjadi pada para remaja. Lebih hebat—dan semakin menghebat disetiap detiknya, ia dipaksa untuk tidak bernapas, sesak. Dan waktu lepas tangan untuk mereka.
Ia ditelanjangi—merasa ditelanjangi. Bukan fisiknya, namun batinnya. Sehun sudah keterlaluan, mendobrak paksa rasa yang tidak pantas untuk ia rasa. Dan Jongin terlambat untuk mencegahnya. Ia kebas, gamang, dengan sisa harga dirinya ia ingin—memilih retrogresi. Bayang-bayang keluarganya tiba-tiba ikut menghantui, tidak bisa dimaafkan—tidak akan termaafkan karena ia sudah terlanjur merasakan, romansa tidak masuk akal.
"Sir—kumohon," kepalanya menunduk, ia genggam ujung kemeja Sehun. "Tolong—hapus rasa gelisah ini..." bergetar bibirnya, kristal-kristal yang menggunung di pelupuk matanya ia tahan untuk tidak keluar. "Tidak bisa Sir, saya—tidak pantas." Ia relakan tubuhnya jatuh dalam dekapan kokoh itu.
Sehun menakupkan kedua tangannya di wajah Jongin, lalu membuat wajah itu mendongak menatapnya. Dan terhujam dua kali lipat rasa sakit daripada penolakan akan fakta bahwa mimik itu memandangnya penuh kekacauan, kebencian, dan juga ketakutan. Ia kecup dahi itu, lalu turun ke kedua mata yang siap meleleh kapan saja. "Tidak Jongin, kau pantas." Lalu ia lanjut mencium bibir bergetar itu, menyalurkan hangat sekalipun mereka tahu bahwa malam ini, mereka sama-sama hancur, dan lelah. "Karena aku memilihmu."
Membiarkan tubuhnya didekap semakin erat oleh Sehun, mendengar bisik keputusasaan atas kata-kata yang tidak siap ia dengar pun akhirnya terlontar. "Dan karena aku mencintaimu." Ia sudah mafhum atas rasa apa yang mengusiknya, karena—
Tuhan—ia juga mencintainya.
.
.
Tahu-tahu ia sudah dibaringkan diranjang, tahu-tahu ia sudah dicumbu sedemikian rupa, dan tahu-tahu ia telah meneriakkan desah yang tidak sepantasnya. Sehun menusuknya luar dan dalam, perih menguak saat lubangnya dimasuki paksa oleh sesuatu yang masif. Ia menangis sepanjang malam, dan Sehun tak henti-hentinya menenangkan.
Dengan kelam yang menjadi sangsi bisu atas kepasrahannya—ia kembali jatuh pada hakikat yang dinamai cinta.
Ia menangis, namun bibirnya tersenyum—memunafikkan diri atas apa yang telah terjadi. Diatasnya, ada sosok yang luar biasa. Tangannya terulur untuk menggapai pipi sosok tersebut sekalipun penglihatannya buram karena dipenuhi oleh air matanya sendiri. "—kau harus bertanggung jawab membawa dan menjagaku kalau-kalau orang tuaku nanti tidak mau lagi menerimaku." Kali ini ia biarkan bibirnya tersenyum begitu tulus.
Sehun menyanggupi, "Kalau soal itu, jangan diminta..." menghentikan aktifitasnya sejenak, lalu mengecup bibir gemuk itu, "Aku sudah sangat siap menampung bayi besar sepertimu." Mereka tertawa, melebur lara, menikmati hangat yang baru saja, tercipta.
.
.
You're a mess, I confess, I despise you in the best kind of way.
.
.
Jongin merasa ngeri saat ia terjaga keesokan harinya, mendapati langit-langit dan kamar yang bukan miliknya. Memorinya ia paksa mengingat kejadian semalaman yang sukses membuatnya malu setengah mati. Ia menyibakkan selimut dan mendapati tubuhnya telanjang bulat, ia ingin berteriak dan meminta tolong pada Chanyeol akan dirinya yang sudah diperawani—ah—maksudnya yang tidak perjaka lagi. Sungguh, ia tidak percaya bahwa semalaman mereka begitu drama.
Dan Sehun yang masih terlelap pun sama sekali tidak membantu. Malah niatnya berapi-api ingin membunuh dosennya itu. Ia mencoba beranjak dari ranjang, dan mengaduh sakit—refleks memegang pinggul belakangnya. Susah payah ia memunguti bajunya lalu memasukki kamar mandi, walau sepanjang itu ia terus merenungi nasib diri yang akan injak kaki meninggalkan Kim manor setelah ini.
.
Sehun mengerjapkan matanya, merasakan sakit seperti seseorang sedang menindihnya—dan benar, ia mendapati mahasiswanya itu sudah wangi duduk di atas perutnya. "Oh, good morning my wife." Kemudian ia nyengir karena mendapat balasan berupa tamparan.
"Your wife my ass!"
Jongin berjengit kaget saat kedua tangan jahil Sehun meremas—"Kurasa pantatmu baik-baik saja, aku bermain lembut kok tadi malam." Ia langsung beranjak dari tubuh Sehun, walau pipinya sudah dinodai dengan semburat merah, ia menyilangkan tangan di dada dan berpaling.
"Seriuslah sedikit dosen tengik—" Jongin menuding wajah Sehun yang menatapnya sok tanpa dosa, "Cepat bangun dan bantu aku menyelesaikan bab penutup dan acc tugas akhirku dengan segera!"
"Tapi sayang—" Sehun bangun dengan enggan, duduk di sisi ranjang dan memeluk perut mahasiswanya yang berdiri di depannya. "Ini 'kan pekan."
"Aku tidak menerima penolakan, Sir."
Mengesah, "Baiklah, tapi dengan syarat." Dapat ia lihat Jongin mengerutkan kening tidak suka, "Membantu penutupan bab sama dengan dua ronde," jari tengah dan telunjuknya teracung di depan wajah Jongin, "...dan mendapat tanda tanganku sama dengan tiga ronde." Kali ini ditambah jari manis.
Mendengar hal laknat tersebut—sepertiga siku-siku imajiner tercetak jelas di dahi Jongin, geram, sebagai balasan ia menendang kaki dosennya itu. "Mati saja kau!" ditambah, makian cinta seperti biasanya.
Sehun meringis, memikirkan bahwa ia harus menambah stok kesabaran memiliki kekasih tempramental seperti Jongin. Karena baru semalam mereka menjalin hubungan, mahasiswanya itu sudah berani berbicara kasar—tanpa disaring lagi dan apa-apaan tadi memanggilnya dosen tengik.
Namun ah, ngomong-ngomong—pagi ini benar-benar pekan yang indah, bukan?
.
End of chapter 2.
.
**The english quote by Coco J. Ginger
**Mungkin akan saya lanjutkan untuk konflik dengan keluarga dan sampai mereka tinggal bersama. (mungkin)
T/N: jangan lupa berikan tepuk tangan sama pasangan masokis ini guys orz orz, ngomong-ngomong kemaren ada yang tanya septa semester berapa ya? Ah aku baru semester 3 ini kok(?) lol.
edited:Semarang, 08/09/2015.
Thanks for reading, review are appreciated.
