Title: Knotty
Anime: Kuroko's Basketball
Rated: T
Genre: Family, Romance, Drama (?)
Cast: Kuroko Tetsuya, Akashi Seijuurou
Disclaimer: Kuroko no Basuke belongs to Fujimaki Tadatoshi. I just own the plot.
Warning: Incest!AkaKuro, Slow Plot!
Author Notes:
Halo~
Chapter enam datang!
Ya, ya, ya. Saya mengerti apa yang akan menjadi bahan protes fanfiksi ini. Sudah lebih dari tiga bulan cerita ini digantung tanpa pemberitahuan apa pun. Untuk itu, maafkanlah author yang payah ini. /bow
Jika ditanya tentang writer's block, sebenarnya bukan, sih... Saya hanya kesulitan beradaptasi dengan jadwal baru dan keteteran memanajemen waktu. Jadi, saya minta maaf yang sebesar-besarnya pada siapa pun yang telah menunggu chapter ini rilis. Maaf~ /simpuh
Fanfiksi ini saya dedikasikan untuk Midoririn chann yang setia menunggu cerita ini melaju dan AkaKuro bersatu. Big thanks for you, honey... /kecupbasah
Oke. Dua bersaudara SeiTetsu kembali dari perantauan (?)
Happy reading, minna~
"... Aku mencintaimu, Sei-nii."
Hening.
Hanya jarum jam mekanik yang lancang bergerak dan memecah sunyi. Memberi latar belakang tambahan berupa bunyi. Terus berotasi pada sumbu, seakan mengajak penghuni bangsal turut bernyanyi.
Dua pasang bola mata bertemu. Selam menyelam meneliti sesuatu. Mata bicara, tetapi bibir membisu. Tidak ada yang sanggup melontarkan kata terlebih dahulu.
Tetsuya membeku. Ia sendiri tidak percaya apa yang baru saja bibirnya katakan. Seolah saraf neuron antara belahan kulit sensitif itu tak lagi tersambung dengan kotak penalaran pada otak. Membuatnya berbicara seenak jidat.
Celaka.
Seijuurou pasti berpikir macam-macam.
Mata biru perlahan turun dari iris merah yang sama terkejutnya. Menatap nanar serat pakaian yang lawan bicaranya kenakan. Banyak persepsi berputar dalam kepalanya. Buruknya, sama sekali tidak ada yang positif. Terus menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam lubang pesimis.
Hingga telapak tangan yang hangat itu mendarat di kepalanya. Menyentuh kepala biru dalam tepukan ringan.
Tetsuya mendongak. Senyum tipis di bibir Seijuurou menjadi yang pertama terproses dalam isi otaknya. Menimbulkan sejuta pertanyaan yang menjurus pada rasa heran.
Kenapa Seijuurou tersenyum?
"Aku tahu itu, Tetsuya."
Kali ini bola mata biru melebar saat kalimat itu berhasil masuk liang telinganya. Namun, meredup kemudian ketika sebersit dugaan menyambangi pikiran.
Itu jawaban yang selalu Seijuurou ajukan dan ia tidak pernah paham.
Pria mungil menggeleng lemah. Membantah ucapan Seijuurou sebelumnya. Mengungkapkan bahwa pria itu salah tanpa suara.
"Tidak. Sei-nii tidak mengerti."
Seijuurou mengernyit. Tidak merasa salah.
Sementara itu, bibir Tetsuya terus berkicau tanpa mampu dikendalikan.
"Tidak. Tadi... Aku sungguh-sungguh mengatakannya."
Sial. Apa yang kuucapkan?
"Ini tidak seperti yang Sei-nii bayangkan. Tidak seperti itu."
Akankah aku boleh memaparkannya di sini?
"Aku menyukai Sei-nii jauh di luar perkiraanmu. Bahkan perkiraanku..."
Ada apa sebenarnya dengan bibirku?
"Jika kau menganggap pernyataanku tadi hanya sebatas ungkapan yang biasa kita lontarkan sejak kecil, maka Sei-nii salah besar."
Berhenti.
"Aku benar-benar mencintaimu."
Kubilang berhenti. Kenapa sulit sekali?
"Bukan sebagai saudara..."
Kumohon hentikan. Atau...
"... Tapi sebagai seorang pria."
... Seijuurou akan benar-benar jijik padaku.
Tetsuya tercekat setelahnya. Ia seketika memejamkan kedua matanya rapat-rapat. Helaan napas keluar seiring dengan genggaman tangan yang makin kuat mencengkeram selimut hingga kusut.
Akhirnya kalimat hina itu keluar juga. Bukannya Tetsuya tidak ingin menyembunyikan, namun ia memang sudah tidak sanggup lagi. Perasaan mengganjal ini seolah memberontak dan ingin lepas dari kurungan dadanya. Ingin turut menikmati udara bebas tanpa peduli resiko macam apa yang akan dilimpahkan pada empunya nanti.
Namun, Tetsuya tidak menyangkal ada rasa lega menyelip di antaranya. Apa pun respon yang Seijuurou berikan, ia hanya mampu pasrah sekarang. Dua atau tiga pukulan yang akan melayang di wajah akibat kalimat tabu itu telah Tetsuya persiapkan. Ia hanya perlu memejamkan mata dan menerimanya setenang mungkin. Setenang marga yang disandangnya.
Tapi, peringatan fisik dalam bayangan tak kunjung jua menyapa wajah. Bahkan kibasan angin dari gesekan tangan yang menampik udara pun tak juga dirasakan.
Kelopak mata bertirai pucat itu terbuka perlahan, mengimbangi kepala yang mendongak. Mencoba melihat reaksi dari lawan main.
Seijuurou masih di sana. Duduk terpaku sampai kedua pasang mata berbeda warna kembali saling beradu. Pemuda merah itu lantas melarikan iris merahnya ke samping. Untuk beberapa alasan, tindakan itu membuat Tetsuya sakit hati.
Apa sekarang Seijuurou benar-benar jijik padaku? Menatapku pun, ia tak mau...
Mata biru meredup. Mengikuti jejak saudaranya, ia ikut membenahi sikap duduk. Sedikit memberi jarak di antara kedua paha. Menatap dinding yang catnya mulai memudar dimakan usia. Mendadak, penyesalan merambati ulu hatinya. Menggerogoti rasa lega yang sempat singgah di dalam dada.
Sekarang apa yang harus kulakukan?
"Se-Sei-nii... Itu... Jangan dipikirkan. Maaf membuatmu terkejut. Aku tidak ada maksud untuk-"
"Aku tahu."
"Eh?" gugunya.
Kepala bersurai biru menoleh kilat. Seperti baru saja terkena serangan lebah bersengat. Tersadar bahwa telinganya mulai bosan untuk terus mendengarkan rentetan kalimat keparat.
Bisakah Seijuurou berhenti berkata seolah-olah ia tahu segalanya?
"Sudah kubilang, ini tidak seperti apa yang selalu kuungkapkan ketika masih ingusan dulu. Aku-"
Lirikan dari sepasang rubi itu sukses membungkam bibirnya. Tidak ada tatapan menyengat, hanya kilau ketegasan yang terperangkap dalam sepasang mata senja yang kini beralih menatap lurus ke kelam malam.
Si Bungsu menunduk. Jemari pucat memainkan plester yang melekat di tulang hasta dengan perasaan campur aduk. Menyalurkan kegelisahan lewat jarum infus yang menusuk.
"Tetsuya." Panggilan itu datang lagi. Sungkan, Tetsuya melirik melalui ekor mata.
Seijuurou masih belum balas menatapnya. Retina di balik bola mata itu masih disibukkan menyelami gugusan bintang di luar jendela. Namun, senyum tipis kini menggores wajahnya. Menambah kadar rupawan meski dalam suasana remang-remang.
Alis biru saling bergerak bersekutu. Mengisyaratkan rasa bingung yang mulai membumbung.
"Tentang perasaanmu..."
Tetsuya menahan napas tanpa sadar. Manik konras mereka berserobok kembali. Persis ketika ia mengatakan perasaannya pada Seijuurou di luar nalar. Hanya, kali ini Seijuuroulah yang memulai.
"... Terima kasih."
Pemuda biru tertegun. Selimut di atas pangkuan diremat kuat. Tidak ada balasan untuk kalimat yang kakaknya ucapkan. Pikirannya berkecamuk tatkala pemuda itu mencoba menelaah maksud dari jawaban Seijuurou.
Sebenarnya, apa yang Seijuurou tangkap dari perasaanku?
.
.
.
Kelopak mata itu mengernyit, menimbulkan garis-garis kerutan di antara kedua alis karena ditarik paksa begitu saja. Nyawa dikumpulkan untuk mendorong iris merah agar terbuka. Menyapa sinar mentari yang mengintip melalui tirai jendela dan kian meninggi menerangi dunia.
Seijuurou menggeliat pelan. Tangan kanan difungsikan untuk mengucek kedua mata agar lekas beradaptasi dengan intensitas cahaya yang menyambutnya dari mimpi berkepanjangan.
Dahinya berkerut saat melihat seluruh tubuhnya terbungkus selimut rumah sakit.
Bukankah seharusnya Tetsuya yang memakainya?
Kelereng merah melirik ke arah ranjang pesakitan.
Kosong.
Tergesa, ia segera menyibak selimut dan melangkah ke arah kasur dengan seprai yang telah tertata rapi. Selembar kertas yang terlipat segiempat tergeletak di atas bantal. Menduga bahwa itu adalah pesan yang ditinggalkan Tetsuya, tangan Seijuurou langsung menyambarnya tanpa basa basi.
Decakan kesal keluar kemudian. Kertas tak berdosa dalam genggaman menjadi sasaran remasan geram sebelah tangan.
"Bodoh. Apa yang sebenarnya kau lakukan, Tetsuya."
Kertas lusuh dilempar serampangan. Sebagai gantinya, Seijuurou meraih ponsel dalam saku celananya. Tangannya lincah memilah kontak dalam mesin pencari untuk dihubungi.
Nada sambung monoton terus terdengar. Baru beberapa detik, namun seakan menguji jiwa Seijuurou agar cepat terbakar. Sampai suara ceria nan khas di seberang menyambut gendang telinganya.
"Ryouta. Di mana kau?"
.
.
.
Pemilik iris biru langit telah menyusuri seluruh pajangan di sudut tempat itu untuk kali ke-sebelas. Penjaga stand sampai geleng-geleng kepala dibuatnya. Sudah lebih dari setengah jam kaki pendeknya melangkah bolak balik di sepanjang etalase, namun tak kunjung mendapatkan barang yang dicari sejak pintu kaca utama berderak terbuka.
Memberanikan diri, karyawati di dekat dinding berbahan kayu mahoni mendekat. Menegur calon kustomer yang lebih terlihat seperti anak hilang ketimbang mencari barang.
"Ano... Ada yang bisa saya bantu, tuan?" tanyanya untuk ke-empat kalinya.
Sayangnya, Tetsuya tetap menggeleng sopan sebagai jawaban. Masih bersikeras mampu menemukannya sendiri.
Wanita di dekatnya berusaha sabar. Sebenarnya bukan masalah jika Tetsuya tidak ingin dibantu. Namun, tindak tanduk anak itu menjadi sorot perhatian di dalam resort. Mencerminkan anak hilang yang salah lokasi mencari pusat informasi.
"Ini sudah lebih dari setengah jam sejak Anda masuk tadi. Apa tidak melelahkan mencari barang yang tidak jelas ada tidaknya? Siapa tahu saya bisa sedikit membantu." ujarnya persuasif.
Tetsuya melirik sekilas arloji di pergelangan tangan sebelum akhirnya memutuskan untuk menurut. Ia menunjuk ke arah salah satu pajangan gantung. "Maaf. Kemarin aku melihat ada syal di sini."
Karyawati paruh baya itu mengenyit. Tidak menemukan titik terang pada masalah yang diutarakan calon pembeli.
Menyadari penjabarannya tidak spesifik sama sekali, pemuda biru menambahi, "Syal panjang berwarna biru dari wol. Apa Anda tahu?"
Masih belum bisa dimengerti.
Tetsuya menghela napas. "Ada motif kristal pada pangkalnya. Kemarin, seingatku masih terpasang di sini. Apa Anda memindahkannya?"
Bohlam kuning keluar dari kepala kasir wanita secara imajiner. Senyum berseri-seri lantas tersungging di wajahnya tanpa diminta. "Ah. Syal itu baru saja terjual kemarin sore."
Mata biru melebar panik. Dihimpitnya etalase kaca dengan tubuh yang mencondong penuh rasa ingin tahu. "Apa masih ada duplikatnya?"
Kasir wanita itu menggeleng sendu. "Maaf. Semua syal di sini adalah buatan tangan. Kami hanya memroduksi satu untuk setiap jenisnya. Syal yang Anda cari adalah salah satunya."
Lelaki bersurai biru itu menelan kecewa. Mengubur keinginan terpendamnya untuk menguak syal itu bersama memori yang sempat singgah dalam benaknya kemarin.
"Apa Anda ingin memesannya? Mungkin kami bisa membuat ulang dalam seminggu ke depan." Tawaran bagus. Tapi Tetsuya sudah kehilangan selera. Bahkan hari ini rombongan mereka harus bertolak dari Yuzawa. Ia tidak ingin menghabiskan waktu mencari kepastian yang fana.
Senyum tipis ditunjukkan sembari tubuh membungkuk santun. Wajah menunduk menyembunyikan rasa kecewa yang bergelimun.
"Tidak, terima kasih. Maaf telah merepotkan."
Tetsuya berbalik. Melangkah gontai menuju pintu kaca utama. Ia baru saja akan mendorong pintu transparan di depan sebelum tekanan kuat terasa dari arah berlawanan. Alhasil, tubuhnya sedikit terpental hingga mundur beberapa langkah. Lalu, berakhir tersungkur dengan punggung mencium mesra lantai kayu berpelitur.
Matanya melebar mendapati seorang gadis jatuh dalam rengkuhannya tepat setelah mendobrak masuk lapisan bening tak bersalah.
"Maaf. Aku tidak sengaja." Gadis dalam dekapannya bangkit, menjauhkan diri. Membungkuk sesaat sebagai bentuk ungkapan bersalah.
"Apa kau terluka?" tanyanya.
Tetsuya tidak menjawab. Rasa linu yang mulai menggerayangi kulit ari pada punggung terabaikan. Pemuda biru itu justru mengenyit tatkala mendapati kedua bola mata hitam legam milik gadis itu sembab.
"... Kau menangis?" pertanyaan itu keluar dengan sendirinya dari kedua belah bibir.
Imbesil.
Tetsuya sesungguhnya amat sadar bahwa ini sama sekali bukan termasuk dalam masalah di mana ia perlu campur tangan. Ia hanya tidak bisa menyingkirkan sifat bawaannya sejak lahir. Mengabaikan orang menangis di depan matanya. Terutama seorang wanita. Mungkin naluri kehilangan sosok Ibu sejak belia membuat perasaannya sedikit lebih peka dibanding lelaki pada umumnya.
Gadis itu mendongak, menunjukkan matanya yang sembab. Ia sendiri tidak mengerti kekuatan magis macam apa yang dimiliki lelaki di hadapannya hingga kepala berambut hitam eboni kembali menyeruduk pemuda asing untuk kedua kalinya.
"... Kenapa harus seperti ini?"
Dahi pucat berkerut heran.
"... Kenapa harus dia?"
Tetsuya melirik gadis dalam dekapannya.
"... Kenapa dia selalu memberiku harapan di saat semuanya bahkan sudah tertera jelas?"
Apa ia tengah mencurahkan isi hatinya padaku?
"... Bukankah itu sama saja mengangkatku tinggi, lalu menghempaskanku lagi?"
Naluriah, tangan Tetsuya beranjak naik. Hendak, memberi satu tepukan yang selalu lebih ampuh dibandingkan bius penenang.
"... Jika semua ini terlarang, lalu untuk apa aku mencintai kakakku sendiri?!"
Tetsuya membatu. Tangannya yang berselisih beberapa sentimeter dari helai hitam legam seketika jatuh ke sisi badan. Lemas lunglai tanpa daya selain tarikan gravitasi.
Apa katanya?
"Aku tidak pernah meminta disinggahi perasaan seperti ini! "
Tetsuya bungkam.
"... Lalu, bagaimana caraku menghilangkannya...?"
Tidak ada respon lagi. Bahkan cengkeraman kuat di dadanya, tak lagi dirasakan. Pikiran lelaki bermanik biru itu melayang serabutan.
Terlarang, ya?
Jika gadis ini saja berpikir seperti itu, bagaimana denganku dan Seijuurou?
Mata berisikan kelereng biru itu turun. Seperti air lepas di tengah laut, rangkaian kata yang biasa mengalir melalui sepasang safir itu menguap. Mengikuti prinsip transpirasi.
Pemuda biru tidak bergerak barang satu inci. Tubuhnya berdiri kaku seakan baru saja digembok dan diberendel dengan kunci. Mata dan otaknya kosong melompong seolah baru keluar dari mesin cuci.
Satu-satunya yang bergerak dengan pasti dari tubuhnya hanya sepasang iris sewarna langit yang mengarah menuju pintu utama yang menjeblak terbuka.
Matanya menatap nanar. Bertaut dalam garis khayal dengan sepasang manik merah delima. Pemiliknya baru saja tiba bersama dengan lelaki jangkung berambut sekuning soba.
Tetsuya masih bergeming. Bibir sewarna buah persik bergetar mengucap satu nama yang keluar mengandalkan minimnya suara.
"Sei-nii..."
.
.
.
Punggung datar membelakangi tatapan tajam menusuk. Lelaki biru memanfaatkannya sebagai tameng pertahanan. Sungkan berbalik untuk membalas pandangan yang lebih mematikan dibanding ujung tombak beracun.
Seijuurou sendiri hanya berdiri diam di samping cermin besar dalam kamar bernuansa biru laut. Punggungnya bersandar pada dinding berlukiskan ombak bergulung. Air mukanya tenang, bertolak belakang dengan suasana hatinya yang meradang.
Sudah lebih dari tiga jam penuh dirinya terabaikan. Bahkan di dalam kereta yang membawa rombongan mereka kembali pulang, kontak mata mereka selalu absonan. Bertentangan.
Ia tidak sedungu itu untuk menyadari perubahan signifikan pada diri saudaranya. Semenjak menemukan Tetsuya di dalam resort, ia telah merasakan ada sesuatu yang berbeda. Meski lelaki biru itu tak banyak bicara, Tetsuya tak pernah menjelma menjadi stupa. Menjadi seorang pendiam yang levelnya mendekati tuna wicara.
Mata merah terkatup rapat, menstabilkan emosi. Merasa bahwa rasa cemasnya berubah sia-sia.
Siapa yang membuatnya khawatir dengan menghilang di pagi hari dengan kondisi tubuh yang labil?
Siapa yang berdusta padanya dengan menulis selembar surat di atas ranjang bangsal rumah sakit?
Siapa yang sekarang mendadak menghindarinya seperti bakteri patogen?
Seharusnya, Seijuuroulah yang berhak marah. Ia dibuat pontang panting mencari keberadaan pemuda yang auranya setara dengan hantu sejak fajar hingga senja. Dan inikah balasannya?
Tarikan napas berat terdengar seiring kelopak mata yang kembali terbuka. Punggung itu masih terpampang di sana. Seolah bertuliskan kalimat mogok bicara dengan huruf kapital yang dicetak besar-besar.
"Tetsuya."
Seijuurou mendekat. Adiknya tidak bisa dikasari. Dan ia sendiri memang tidak pernah punya maksud untuk melakukan tindakan-tindakan keji. Pasti ada alasan di balik semua ini. Setidaknya, itu yang Akashi Sulung ingin yakini.
"Tetsuya." Panggilan kedua. Tidak ada reaksi apapun selain kepala biru yang semakin tertunduk menatap lantai dari tepi kasur.
Mencoba tetap bersabar, pemuda merah itu berdiri di sisi tubuh saudaranya.
"Kau belum menjawab panggilanku."
Tetsuya diam.
"Kau juga belum menjelaskan maksudmu menulis surat seperti itu di rumah sakit tadi. Dengan kondisimu yang seperti itu, untuk apa kau berbohong padaku akan pulang bersama Ryouta jika pada kenyataannya ia bahkan tidak tahu keberadaanmu?"
Masih sunyi.
Seijuurou menghela napas. Memastikan sumbu kesabarannya masih cukup panjang untuk menghadapi bentuk nyata duplikat kekeras kepalaannya.
"Tetsuya, kau tahu benar aku tidak suka diabaikan."
Lawan bicaranya masih bergeming tanpa kata.
Rentetan gigi di dalam mulut Seijuurou saling beradu. Menahan kekesalan yang berangsur membuncah dari dada hingga puncak kepala. Tangannya terulur menyentuh kedua bahu kurus di bawahnya, sebelum memutarnya agar saling berhadapan.
"A-Akh!"
Gerakan pemuda berambut merah itu terhenti. Alis yang menukik tajam itu saling menarik satu sama lain. Kentara sekali, erangan tadi adalah ungkapan kesakitan secara fisiologis.
Jemari panjang kembali menyentuh titik yang dicurigai terasa nyeri bila diberi tekanan berlebih.
"S-sakit!" Tetsuya mengaduh tanpa bisa menahan.
Jari Seijuurou mundur. Memberi ruang bagi Si Adik untuk menampik telapak tangannya.
"Apa yang terjadi."
Objek pertanyaannya masih betah untuk bungkam. Pria itu merapatkan kemeja yang dikenakannya. Baru menyadari sakitnya benturan akibat insiden di tempat wisata tadi. Pikirannya terlalu kacau sehingga lamban memproses impuls yang dikirim saraf sensorik.
"Tetsuya."
Mata biru hanya melirik sekilas sebelum kembali melarikan diri.
Seijuurou berdecak. Seperti ini lagi.
"... Buka pakaianmu."
"Ap-?" Di luar keinginan, kepala biru mendongak. Mau tidak mau kali ini dua pasang bola mata itu harus bertemu.
Tanpa menunggu respon lebih lanjut, Seijuurou segera menarik kerah kemeja Tetsuya yang sedikit terbuka. Membawa tubuh yang lebih pendek beberapa sentimeter darinya agar maju ke depan. Telapak tangan beserta jemari yang panjang sigap melucuti kancing kemeja hanya dalam kerjapan mata. Mengurut dari atas ke bawah hingga tidak ada satu pun yang tersisa. Tidak menghiraukan kemeja putih yang melorot sampai mata kaki.
Tetsuya tersentak, namun tidak mencoba menyingkirkan telunjuk yang menyasar ke arah bahu belakangnya. Membiarkan kulit yang biasa terlihat seputih kapas, kini tampak membiru di beberapa bagian. Dibiarkannya guratan kasar jari jemari yang mengapal akibat senar violin menyentuh pendarahan di bawah kulit. Memancing rasa nyeri yang menusuk saraf hingga ke permukaan.
"Apa kau baru saja bertarung dengan pegulat bercelana dalam? Bagaimana bisa seperti ini?"
Tetsuya meringis ketika jempol dan telunjuk di belakang bahunya menekan berulang kali kulitnya dalam gerakan ritmis. Ia melirik sekilas sebelum berujar, "Mungkin karena terjatuh di resort tadi."
"Tidak terlalu parah, tapi tetap harus diobati. Tunggu di sini. Biar kuambilkan es." Seijuurou berbalik, berniat meninggalkan kamar sebelum sesuatu menahan ujung kaos yang dikenakannya. Ia melirik dari ekor mata. Tangan minim massa itu tergantung di garmen bagian belakang, memaksanya berhenti. Kening berhiaskan alis merah berkerut heran.
"Tetsuya?"
Kepala biru itu kembali menunduk, bersikap canguk. "... Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri."
Tatapan tajam itu makin meruncing. "Kali ini apa lagi? Kau menolak bantuanku?"
Bibir pucat digigit dua gigi depan. Menguji Seijuurou untuk tidak segera menyemburkan emosi layaknya orang meneran.
"Bisakah kita bicarakan ini baik-baik? Kau berlaku seolah aku akan menggigitmu bila kau salah berucap."
Hanya lirikan yang ia dapatkan.
"Akashi Tetsuya. Bukankah aku pernah mengatakannya padamu? Jangan menyembunyikan apa pun dariku."
Responden tak bisa bersikap koordinatif.
"Apa kau berusaha bersikap tertutup seperti ini untuk membingungkanku?"
Kali ini, kepala biru berputar cepat. Sirat protes tampak jelas dalam sepasang iris langit. Seijuurou sendiri hanya balas menatap tanpa banyak ekspresi.
"Tertutup? Membingungkan? Maaf, tapi apa Sei-nii tengah membicarakan diri sendiri?"
"... Apa maksudmu?"
Tetsuya membuang napas sekaligus pandangannya pada lampu tidur di atas meja. "Sei-nii..."
Kakaknya menunggu.
"Apa kau ingat perbincangan kita di rumah sakit?"
Pemuda berambut merah delima itu memandang lurus pada satu titik. "... Ketika kau mengatakan bahwa kau mencintaiku?"
Sunyi sekejap. Ternyata Seijuurou tidak sepenuhnya lupa. Lelaki yang lebih pendek mengangguk samar. "Benar. Apa yang Sei-nii pikirkan ketika aku mengatakannya?"
Si Sulung tidak lantas menjawab. Matanya terus tertuju pada manik biru yang kehilangan pendarnya. "Bukankah aku sudah menjawab?"
Lirikan sengit Seijuurou dapatkan. "Maksud Sei-nii ucapan terima kasih itu? Sei-nii pikir aku paham maksudmu? Kau mengatakan jika aku tertutup dan membingungkan. Tapi tidakkah Sei-nii sadar bahwa dirimu jauh lebih membingungkan?!"
Mau tak mau, lelaki yang lebih tua tersentak. Mendengar perubahan nada itu membuat dadanya sedikit asak.
Tetsuya kembali menunduk. Menata perasaannya yang serupa pasca terkena terjangan gelombang.
"Sebenarnya... Apa yang Sei-nii tangkap dari perasaanku? Kau bersikap seakan hari kemarin tidak pernah ada. Seperti pernyataanku hanya hembusan angin belaka."
Tangan-tangan pucat saling meremas satu sama lain dan mata rubi itu tidak pernah melewatkannya barang sedetik.
"Apa Sei-nii tahu sefrustasi apa aku membayangkan apa yang kau pikirkan tentangku? Kau selalu tidak bisa terbaca. Bahkan sampai saat ini. Tidakkah sekarang Sei-nii seharusnya jijik padaku setelah mengetahui kenyataannya? Orang yang selama ini ia lindungi adalah penyuka sesama dan pecinta saudara."
Kain celana di atas lutut menjadi sasaran cengkeraman tangan yang bergetar hebat. Menjadi sasaran pelampiasan emosi yang berebut untuk keluar.
"Lalu kenapa Sei-nii tidak menunjukkannya? Jijik, marah, apa pun. Kenapa kau bersikap seakan tak ada apa pun yang terjadi? Apa kau sadar bahwa perangaimu itulah yang membuatku semakin berharap banyak padamu?"
Air muka Seijuurou tidak banyak berubah. Pria itu hanya mendudukkan dirinya di samping sosok adiknya yang masih dikacaukan perasaan.
Tetsuya berjengit. Ia tahu betul keberadaan Seijuurou di sisinya. Ia sangat paham bahwa tidak ada keraguan pada Seijuurou untuk terus menjadi sayapnya meski pernyataan terlarang itu keluar dari bibirnya. Namun, justru itulah yang membuat Tetsuya kecewa. Karena harapan dalam dadanya hanya akan semakin berkobar. Semakin banyak yang Seijuurou berikan, semakin banyak pula yang akan dituntut Tetsuya nantinya.
"Jadi, apa maumu? Kau ingin aku mengencanimu seperti gadis yang sibuk dilanda asmara? Atau kau ingin aku menjauh?" sambar Seijuurou. "Kau saudaraku. Apa yang membuatmu percaya aku akan jijik karena pernyataanmu?"
Tidak ada jawaban.
Anak pertama menghela napas. Ikut menghitung berapa panjang sisi keramik yang menjadi alas lantai kamar tidur Si Rambut Biru. "Aku menghargai perasaanmu, Tetsuya. Tapi, selalu menuruti hasratmu juga tidak sepenuhnya benar. Memangnya seyakin apa kau hingga mengatakan kau mencintaiku? Coba pikirkan. Sudah berapa tahun kita bersama? Tidakkah itu hanya sugestimu karena kita terbiasa ada untuk satu sama lain?"
Tetsuya tertegun cukup lama kali ini. Ada jarum akupuntur tak kasat mata yang iseng menusuk-nusuk ulu hatinya.
Kenapa...? Kenapa Seijuurou berkata begitu? Memangnya, tahu apa Seijuurou tentang perasaanku?
Ia menelan ludah kasar. Menstabilkan pita suara agar mampu berbicara. Ditatapnya Seijuurou yang masih terpaku ke depan. Mengumpulkan keberanian, Tetsuya bertanya pelan-pelan, "Kenapa Sei-nii tega sekali? Menyinggung perasaanku seperti itu..."
Mata merah delima menyipit. "Tega katamu? Aku mengatakan sebuah kenyataan di sini dan kau menyebutku tega?"
Tidak ada jawaban. Pemuda biru itu kembali mengunci mulutnya.
Seijuurou mendengus keras. "Jangan karena Ryouta menyatakan perasaannya padamu malam itu, kau lantas terpengaruh cara berpikirnya yang menggampangkan dunia. Hidup tidak semudah itu, Tetsuya."
Tetsuya tersentak. Bola mata besar kian melebar bertepatan dengan sekelebat memori yang melintas di kepala.
Jadi, Seijuurou melihatku dan Kise-kun malam itu?
"Jangan mengira aku tak sadar bahwa ia telah menaruh perasaan denganmu usai pertandingan latihan kalian berdua bersama Komagi dulu. Kau saja yang tidak peka mengenai perasaannya."
Tetsuya bungkam. Diam-diam ikut merendahkan dalam hati.
... Dan kau sama saja tidak peka mengenai perasaanku.
Seijuurou melirik sosok adiknya sejenak sebelum beralih menekuni pahatan yang mengulir pada kabin kayu di dekat ranjang. "Jangan samakan dirimu dengannya. Ryouta mungkin bebas menentukan pilihannya, tapi tidak denganmu, Tetsuya. Kau berbeda. Terlahir dalam sangkar emas dengan sokongan fasilitas menuntutmu untuk menghirup udara yang terbatas. Jika kau ingin terus maju, kau harus rela melupakan semuanya. Termasuk perasaan tak berguna itu."
Lelaki yang lebih muda tercekat. Bibirnya bergetar menahan gejolak emosional dari luapan gletser khayal dalam dadanya.
Apa katanya? Tidak berguna?
Tangan-tangan di samping tubuh terkepal kuat. Ada satu hal yang sangat dipahaminya dari penuturan Seijuurou. Segala yang dibicarakan oleh kakaknya hanya berinti satu.
Kasta. Derajat. Citra. Bangsawan.. Apa pun itu, yang jelas Tetsuya merasa jengah dibuatnya.
Seijuurou di sisinya seolah berubah menjadi refleksi dari Ayah mereka sendiri. Terlalu perfeksionis, kritis, atau bahkan aristokratis.
Ia memejamkan matanya setengah pasrah sembari menata napas. Satu senyuman getir berusaha ia sembunyikan dari mata awas Akashi Seijuurou.
"Aku mengerti." Ia menengadah sesaat hanya untuk memaksa gumpalan air di pelupuk mata agar kembali pulang pada tempatnya. Merasa gengsi bila ketahuan akan menangis seperti seorang gadis.
Tawa kecil yang keluar setelahnya berhasil memaksa Seijuurou untuk memberi afeksi penuh kepadanya. "Kenapa Sei-nii harus berputar-putar begitu? Bukan Sei-nii sekali."
Terkekeh lagi.
Tapi, Seijuurou sama sekali tidak tertarik untuk melakukan hal yang sama. Tawa itu bukanlah sesuatu yang keluar secara tulus dari dalam hati, melainkan hanya untuk menutupi luka tersembunyi.
"Seharusnya aku sudah tahu jika akan jadi seperti ini. Seharusnya aku tahu posisiku."
Serak mulai terbit mengganggu jalannya pita suara.
"Tidak perlu menahan diri. Aku tidak akan semudah itu sakit hati. Aku laki-laki, sama seperti Sei-nii. Didikanku tidak kalah keras sebagai seorang Akashi. Jika perasaan yang lancang mengikatku ini begitu mengganggumu, maka Sei-nii hanya perlu membuangnya."
Seijuurou hanya bergeming tanpa berucap apa pun. Pandangannya lurus menerjemah apa kiranya yang adiknya rasakan.
Benar. Baik dirinya mau pun Tetsuya sebenarnya sama-sama melalui masa kecil yang sukar. Menyandang gelar besar bukan berarti hidup mereka semudah membuang isi brankas bermiliar-miliar. Kebebasan justru terasa seperti mitos yang diselubungi semak belukar.
"Kata-kataku kemarin... Lupakan saja. Anggap Sei-nii tidak pernah mendengar apa pun dariku. Hal seperti ini bukan apa-apa dibandingkan didikan Otoosan selama ini. Ia begitu banyak menaruh harapan pada kita-padamu-. Bagaimana pun, aku tidak ingin melihatnya kecewa." tandasnya.
Tidak ada balasan. Hanya hening yang menyelimuti suasana kemudian.
Tetsuya mencoba mencuri pandang dan mendapati Seijuurou sudah berdiri membelakangi ketika mata biru itu masih sibuk mencari. Sirat bingung tercetak secara nyata di baliknya.
"... Sei-nii?" lirih Tetsuya tanpa sadar tatkala menyadari sosok kakaknya mengambil langkah. Ada sengatan kecil di dalam dada yang begitu mengusik saat otaknya menghitung berapa jarak antara dirinya dan Seijuurou yang semakin menjauh. Napasnya tercekat, sama halnya dengan tubuh yang tak bisa banyak berbuat.
Kaki jenjang itu berhenti tepat di ambang pintu.
"Kau tahu satu hal, Tetsuya?" tanyanya tanpa perlu merepotkan diri untuk berbalik.
Yang ditanya terus menanti lanjutan. Ingin menahan tapi tak punya cukup alasan.
Seijuurou belum juga berbalik setelah beberapa detik yang terasa seperti beberapa dekade melintas dengan percuma. Tetsuya hampir saja menyusul jika saja rangkaian kalimat milik pemuda berambut merah itu tidak menyumbat tenggorokannya secara paksa begitu saja.
"Ini bukan problema tentang bagaimana dunia menerima keputusanmu, tapi bagaimana kau bisa menerima keputusan dunia."
.
.
.
Tetsuya menarik pelan kursi berseni tinggi di depan meja makan. Membalik piring yang telah disiapkan salah satu pelayan dan meletakkan selembar roti di atasnya. Ia baru hendak meraih botol selai ketika suara berat menginterupsi kegiatannya.
"Mana Seijuurou?"
Tangan itu berhenti di sana. Mata biru berputar gelisah, berusaha mencari alasan logis untuk menjelaskan keadaan janggal di antara mereka.
"I-itu... Aku..."
"Selamat pagi, Otoosan."
Tetsuya nyaris terlonjak mendengar suara familiar itu memasuki ruangan. Sosok berambut merah dengan bibir mendatar tercetak jelas dalam retina matanya saat kepala biru menengadah.
Butuh beberapa detik sampai mata rubi di atas anak tangga bergulir dan bertemu dengan safir.
"... Selamat pagi juga, Tetsuya."
Tidak ada yang aneh dari suara Seijuurou. Terdengar normal. Namun, nyaris membuat Tetsuya kehilangan akal. Bukan kebiasaan bagi pemuda berusia tujuh belas tahun itu untuk berpaling dari tatapannya, dan kini Seijuurou melakukannya.
Perasaan ganjil macam apa ini?
Tetsuya kembali mendudukkan diri, tangan kanan batal meraih botol selai kacang yang tinggal beberapa mili dari jangkauan. Memilih menunduk, merenungi lembaran roti tawar kosongan.
"Mau ke mana kau bersama Hiragi pagi-pagi begini? Ini masih terlalu awal dari jadwal kalian untuk berangkat." Interupsi dari kepala keluarga itu masih terdengar jelas di telinga anak ayam biru muda.
"Aku ada rapat bersama anggota dewan sekolah." Begitu pula jawaban lantang dari suara di seberang.
Tetsuya makin merunduk, diam-diam meremas celana seragam yang dikenakannya dengan gigi gemeletuk. Takut mengeluarkan suara yang berpotensi membuat suasana semakin buruk.
"Rapat? Rapat apa sepagi ini di sekolah?" tanya pria yang akan menginjak kepala empat dari ujung meja. Terlihat tidak ingin peduli, meski nada heran menolak untuk sembunyi.
Sementara anak pertama berhenti melangkah, Si Bungsu bergerilya mencuri pandang. Tampak Seijuurou yang enggan berbalik, memampangkan punggung kokoh yang menghadap pintu keluar.
"Apa perlu aku berikan seluruh proposal dan agenda dewan pada Otoosan? Kenapa Otoosan mendadak begitu peduli dengan aktivitasku? Lagipula..." Tetsuya merasakan kepala bersurai sewarna delima itu menoleh beberapa derajat ke arahnya, masih terhalangi bahu. "... Aku tidak berselera mengunyah apa pun pagi ini."
Bohong bila Tetsuya tidak merasakan apa pun setelah mendengar apa yang dilontarkan saudaranya. Bibirnya memang terbuka, namun gagal mengeluarkan suara apa-apa.
Jadi ini jawabannya?
Seijuurou menghindariku.
Langkah kaki yang semakin menjauh tidak lagi dihiraukan. Roti tawar di atas piring menjadi sasaran tatapan kosong berkelanjutan.
Seharusnya aku tahu diri.
Bagaimana bisa Seijuurou akan melihatku dengan cara yang sama setelah apa yang terjadi?
Dia bukan Kise-kun yang tak peduli aturan dunia. Seijuurou berbeda.
Kain celana di atas lutut makin acak-acakan akibat cengkeraman tangan. Ia tak lagi peduli celana yang baru saja disetrika hingga licin mendadak tampak seperti baru diangkat dari jemuran.
Seandainya saja aku bisa menahan diri...
Mungkinkah Seijuurou masih ada di sini?
Seandainya aku tidak mengutarakannya...
Mungkinkah Seijuurou masih menganggapku sebagai saudara?
"...-ya."
Batin lelaki biru terus merutuk.
"...-suya."
Pikirannya berkecamuk, andil memperburuk kondisi hatinya yang remuk.
"Tetsuya."
"Ah!"
Kepala biru muda celingak-celinguk. Tanpa sadar menyajikan kristal bening yang sudah mengintip di dekat pelupuk.
Orang yang mereka panggil Ayah terdiam. Tidak menyangka raut muka sekacau itu yang akan anaknya tunjukkan. Tapi, darah Akashi yang kental mengaliri pembuluh darah disertai matangnya usia membuat pria berumur tersebut mudah menguasai diri.
Menyesap kopi paginya sebagai wujud kewibawaan, ia berujar. "Aku memanggilmu tiga kali, Tetsuya."
Putra bungsunya tidak langsung menjawab. Pandangan anak itu kembali tertarik pada roti tawar di depannya. Seakan makanan itu akan langsung raib dan masuk ke lambung begitu saja. "... Maaf, Otoosan."
Pria di ujung meja belum mengalihkan tatapan dari putra bungsunya yang sama sekali tidak menyentuh apa yang telah dihidangkan pelayan sebagai sarapan.
Akhirnya, hanya desahan napas yang menjadi penutup analisa di dalam otak.
"Sudah kuduga. Ada yang tidak beres antara kau dan Seijuurou."
Telinga Tetsuya memang masih menjalankan tugasnya dengan baik untuk menangkap resonansi gelombang yang merambat melalui udara. Namun, bibir merah muda rupanya beralih fungsi menjadi semacam katup suara yang tak lagi berguna.
Masalahnya hanya satu.
Ia tak bisa menyanggah apa yang Ayahnya ucapkan.
.
.
.
Anak rambut menari pelan ditiup angin. Menyibak poni panjang yang nyaris menyentuh pertengahan tulang hidung. Berlian biru bersembunyi dalam kelopak berbulu pucat. Mencoba merelaksasi diri melalui semilir angin dingin yang mengusik helaian biru lebat.
Batu langka sewarna samudra terbuka pelan. Mengusung langit mendung meski tanpa guyuran salju yang melayang ringan. Tidak ada fraktus awan, apalagi sinar matahari yang hangat nan menawan.
Ada yang menyalak di bawah kaki. Lelaki mungil itu hanya melirik sebelum kembali menebar pandang dari ketinggian di atas ratusan inci.
Merasa diacuhkan, ia mengendus sepatu pantofel yang membungkus kaki majikan. Sesekali memberi jilatan sebagai pengganti semir sepatu gratisan. Lelaki bersurai biru muda itu masih bergeming, sibuk tenggelam dalam danau memori.
Menggeram kesal, kali ini digigitnya ujung celana hitam. Ditarik begitu liar, jika tak ingin disebut brutal. Akhirnya atensi berhasil dialihkan walau pun muncul decakan sebal.
Belum menyerah, celana bahan jadi korban seretan anak anjing jantan. Memaksa pemuda penyayang binatang itu menuruti ke mana empat kaki berbulu hitam membimbingnya berjalan.
Rasa gelisah di dada belum mereda, kali ini Tetsuya musti sudi disenggol bingung.
Ini mana yang majikan, mana yang peliharaan?
Lelaki biru itu berhenti. Hewan bermata senada dengan pemiliknya menggonggong ringan. Kaki depan terjulur maju, hendak meraih tangan berbalut kemeja berlapis sweater. Sesekali berguling dengan ekor yang bergoyang.
Tetsuya tertegun.
Ia tidak pernah belajar bahasa hewan dan sejenisnya sejak memungut anak anjing di dalam kardus di tengah hujan. Namun, entah bagaimana ia mampu merasakannya.
Nigou tengah menghibur dirinya.
Mengulas senyum, Tetsuya berjongkok. Mendaratkan sebelah tangan untuk mengelus kedua telinga yang berdiri tegak karena antusias sebelum akhirnya turun dan menggaruk leher.
"Maaf. Apa aku membuatmu khawatir?" tanyanya tanpa menghapus lengkung naik di bibirnya. Anjing hitam itu sontak mendekat, mengangkat kedua kaki depannya. Menggapai-gapai wajah tuannya seakan hendak mengusir kabut sendu dari sepasang kelereng serupa miliknya.
Satu lompatan kecil menuju pangkuan menyertai endusan bulu-bulu lembut yang menyapu wajah tanpa tarian lidah penuh saliva. Tetsuya memejamkan matanya sebagai bentuk apresiasi. Tidak keberatan sama sekali meski pun bulu hitam putih mulai mengganggu jalannya respirasi.
Pemuda biru tersentak tatkala merasakan piaraannya meloncat, lepas dari dekapan singkat. Hewan itu lantas berlari ke dalam gudang, meninggalkan Si Majikan selama beberapa saat sebelum memutuskan untuk kembali keluar dengan menggondol sesuatu di mulutnya.
Tetsuya tidak bereaksi saat benda itu dijatuhkan ke atas pangkuannya. Ia hanya mampu merayang menyadari apa yang dibawakan Nigou untuknya.
Pandangan diarahkan pada mata biru yang masih memancarkan antusiasme tinggi. Si Bungsu menghela napas. Tangan kiri terulur untuk mengusap telinga yang tegak berdiri, mengisyaratkan kembaran berbeda spesies itu untuk mendekat.
Nigou menurut. Modus diberi belaian lembut.
"Kau... Merindukannya, ya?" tanya Tetsuya tanpa berpaling dari benda yang kini berpindah ke lantai atap.
Hanya dua piring plastik yang dikaitkan satu sama lain. Tidak terlihat punya nilai jual tinggi. Tapi, empunyalah yang membuat barang sederhana itu terkesan amat berarti.
Tetsuya beralih, menyembunyikan rasa sesak yang beruntun menghantam dinding dadanya.
"Maaf, aku tak bisa membawanya kemari hari ini. Mungkin lain kali-"
-itu pun jika semuanya bisa kembali seperti sedia kala.
Nigou menggonggong. Mengambil kembali kedua piring cakram dalam gigitan dan menyorongkannya ke arah Tetsuya. Bahasa pribadi untuk memaksa menerima.
Mengerti, Tetsuya segera mengambil alih. Ia melempar benda itu menjauhi mereka sebagaimana yang selalu Seijuurou lakukan ketika hanya ada mereka bertiga di atas atap. Membiarkan benda tersebut berputar searah jarum jam untuk melawan angin dingin yang sesekali datang berhembus. Tentu saja tidak akan melayang terlalu jauh, mengingat plastik merupakan material utama serta lokasi mereka yang jauh dari permukaan tanah. Tetsuya tidak ingin mengambil resiko anjing kesayangannya melompati pagar kawat setinggi dua meter hanya untuk mengambilnya. Meski jika dipikir ulang, hal tersebut nyaris mustahil untuk terwujud.
Nigou menangkapnya dengan sempurna, nyaris berguling di lantai atap yang licin karena salju yang mencair.
Sementara lelaki biru masih pada tempatnya. Otaknya menggali hari di mana Seijuurou membawa dua piring plastik ke atas atap dan merangkainya menjadi satu. Masih segar di ingatannya ketika Seijuurou dengan penuh percaya diri mengatakan akan membawa Nigou menjadi pemenang untuk perlombaan frisbee musim panas tahun depan. Dulu mungkin Tetsuya akan mengoloknya dengan rentetan kalimat pedas, seperti seberapa tinggi parameter keangkuhan Seijuurou sampai tidak pernah habis selalu mendeklarasikan dirinya sebagai pemenang. Atau, bagaimana cara Seijuurou mengikutsertakan Nigou dalam perlombaan, sedang anjing hitam itu masih berumur sebiji jagung.
Tapi, sekarang Tetsuya hanya bisa bungkam. Sejak kejadian dalam kamarnya tempo hari, kini ia bisa apa?
"Dasar. Apanya yang akan membawa Nigou ke perlombaan frisbee? Pembohong."
Piring ganda dalam mulut Si Hewan Mungil yang telah mendekat ditarik paksa.
"Jika kau bisa bicara selantang itu, kenapa tidak membuktikannya dengan melatih Nigou di sini? Kenapa tidak menemui kami?"
Benda serupa mangkok pipih kembali dilempar jauh di udara dengan setengah geram. Nigou kembali mengejar.
"Jika tidak bisa melakukannya, seharusnya tidak perlu omong besar seperti itu. Sei-nii payah."
Ia berjongkok, menghembuskan napasnya yang terasa begitu berat.
Karangan kesalahan demi kesalahan ia limpahkan pada sosok merah yang entah ada di belahan sekolah mana. Tetsuya sadar betul jika ia hanya berusaha menambal luka dengan menyalahkan semuanya pada Seijuurou. Tapi, semakin ia menyalahkan kakaknya, semakin dadanya memberontak dan memberi peringatan keras bahwa ialah yang patut disalahkan. Ialah yang sejak awal membuat masalah, sudah sewajarnya ia juga yang harus menuai getah.
Tubuh ringkih makin meringkuk. Kedua tangan pucat menangkup di atas tulang rusuk, siap menadahi jantung yang mungkin suntuk menahan semua rasa yang bercampur aduk.
"... Kenapa kau harus menghindariku, Sei-nii?"
"Oh. Ada yang sedang merindukan seseorang rupanya."
Tetsuya berjengit. Kepala biru seketika mendongak sigap menyadari suara asing menerobos liang telinganya.
"Siapa?" Nada tawar mengimbangi ekspresi hambar. Berbanding terbalik dengan kewaspadaan dalam manik biru yang terpancar.
Bukannya menjawab, sosok itu justru mengulurkan sesuatu.
Replika frisbee piring ganda miliknya. Tetsuya menyambar cepat.
"Tidak kusangka benda selembek itu bisa membuat kepalaku berdenyut." keluhnya seraya menggaruk tengkuk. Walau begitu mata kosongnya tidak menyatakan protes atas rasa sakit yang diterima.
Mata biru membulat saat mendapati anjing hitamnya mengendus sepatu pantofel hitam yang serupa dengan miliknya. Bukan apa-apa. Ia hanya sedikit terperangah mengetahui kenyataan bahwa Nigou bisa bermanja-manja pada orang lain selain dirinya. Seijuurou bahkan membutuhkan waktu lebih dari tiga hari untuk diakui keberadaannya.
"Ah. Ini anjingmu, kan? Tolong ajari dia etika untuk tidak mengunyah buku orang sembarangan."
Buku sebesar telapak tangan mendarat di depannya. Gadis dua dimensi berkuncir kuda menjadi sampul utama. Bagian atasnya sedikit robek dengan leleran saliva. Membuat tampilan buku yang seharusnya terkesan ceria menjadi agak mencekam karena model utama kehilangan sebelah mata. Tentu saja dengan Nigou yang resmi menjadi tersangka.
Buku setebal tiga sentimeter diraihnya. Merasa familiar.
Light Novel-kah?
"Lain kali aku akan menagih gantinya. Kau berhutang satu padaku."
Fokus Tetsuya buyar. Pandangannya berganti pada sosok setinggi 182 sentimeter yang sudah berjalan menuju pintu atap. Bermaksud menyingkir dari sana.
Setengah sadar, Akashi muda ikut berdiri. Berniat mengejar pemuda yang punya tatapan tak ubahnya dengan ikan mati.
"Tunggu."
Langkah sepasang kaki panjang terhenti. Kepala dengan surai perak itu menoleh. Memamerkan iris kelabu yang terlihat harmonis dengan dominasi warna putih di sekitarnya.
"Maaf. Tapi aku tak ingin membuang waktuku untuk mendengar rutukkanmu pada seseorang-entah-siapa-itu."
Wajah Tetsuya mendadak terasa panas. Meski begitu air mukanya tak banyak berubah walau pun telah tertangkap basah.
"Maaf jika itu membuatmu terganggu. Tapi pertanyaanku belum terjawab."
"Tentang apa?"
"Namamu."
Tidak serta merta dijawab. Manik kelabu itu memicing sejenak sebelum menyelidik Tetsuya dari atas hingga bawah. Menimbulkan rasa risih secara terang-terangan dari orang yang bersangkutan.
"Apa?" Tetsuya tidak tahan untuk bertanya. Merasa jemu menyadari ia jadi bahan penelanjangan sepasang mata kosong.
"Apa semua orang bernama Akashi semenyebalkan ini?"
"Maaf?"
Lelaki bermata kelabu di depannya menggeleng. "Bukan apa-apa. Lupakan saja." Ia berbalik. Tetsuya hampir mengekorinya kembali kalau saja suara berat itu tidak menginterupsi.
"Mayuzumi Chihiro."
"Eh?"
Mata pirau melirik dari balik bahu.
"Itu namaku, kalau kau ingin tahu."
.
.
.
...TBC...
Balasan Reviews Non Login:
Yoshiro: Mm... Sudah saya kasih clue di chapter sebelumnya, loh... Coba temukan sendiri, ya? ;)
chii: Ahaha... Lalu bagaimanakah perasaan chii-san sekarang? /senyumsetan
adelia santi: Ahaha... Bukan asma, adelia-san. Saya udah kasih clue di chapter sebelumnya loh... Tidak perlu dibayangkan, nanti malah collapse. Eheheh...
kina inaites: Loh? Berarti langsung loncat chapter lima? Wow. Silahkan membaca Knotty! Semoga terhibur... :D
akashi seiju: Kenapa nggak sekalian dibuka mata batinnya biar bisa lihat sesamanya? Ahaha... /dilemparparang. Iyaa... Ini sudah lanjut. Maaf jika terlalu lama... /bow. Selamat menikmati~ :D
kuro15fe: Percayalah. Saya juga pengin lihat mereka berdua bahagia. Sayangnya, jalan cinta semakin berliku di otak saya. /halah. Beli minuman? Mm... Itu bukan minuman loh... Heheheh...
kuroko: Eh? Orang Fuji-sensei aja katanya dari awal berniat buat Akashi sama Kuroko itu saudara kembar. Sayangnya editornya nggak ngebolehin. (kalau nggak salah gitu, sih...). Kalau untuk cemburu, lihat momen aja, ya? ;) Umur? Saya menginjak umur legal, kok. /legalapa
.
Untuk para reviewers yang login, saya balas lewat PM, ya?
Special thanks for:
momonpoi | Yoshiro | versetta | Neemureso Piero | Akashi lina | chii | Mashiro Io | M. Heichou | aeon zealot lucifer | pudding rendah lemak | Reishi 915 | ikizakura | Furoshiki | adelia santi | .9 | hanyo4 | SheraYuki | viichan32 | nik4nik | Christal Alice | kina inaites | akashi seiju | siucchi | Midoririn chann | SuzyOnix | wulancho137 | VandQ | kuro15fe | Seijuurou Eisha | kuroko | Juniel is A Vampire Hybrid | JongTakGu88
Juga untuk seluruh pembaca yang telah mem-fave dan meng-alert fanfiksi ini.
A/N: Akhirnya Mayuyu muncul! Iyeeay! /tebar konfeti kelabu
Gara-gara habis nonton Saba Doru, jadi terus kepikiran sama Mayuyu. /nggak gitu juga
Semoga Mayuyu makin eksis mulai chapter depan, ya? /hei
Untuk chapter depan saya tidak tahu akan publish kapan tepatnya. Saya tidak ingin janji-janji lagi, takut nggak bisa menepati. Yah... Takutnya akan ada sesuatu di luar perkiraan yang menghambat kinerja saya. Tapi Knotty selalu dalam proses, kok. Jadi, mohon kesabarannya jika saya sudah masuk mode lelet luar biasa.
Last, terima kasih untuk seluruh pembaca Knotty~
Salam hangat,
azurefey