Title : Knotty
Anime: Kuroko's Basketball
Rated: T
Genre: Family, Romance, Drama (?)
Cast: Kuroko Tetsuya, Akashi Seijuurou
Disclaimer: Kuroko no Basuke belongs to Fujimaki Tadatoshi. I just own the plot.
Warning: Incest!AkaKuro, Slow Plot!
Author Notes:
Halo~
Saya kembali. Kali ini membawa multi chapter pertama saya. Masih di fandom Kurobas. Sebenarnya cerita ini saya dedikasikan untuk Midoririn-chan sayang karena kalah taruhan. Ahahaha... /plak
Dan karena request dia adalah incest, jadi saya pikir cerita ini akan panjang. Karena hubungan antara kakak beradik itu kompleks. Belum lagi sesama jenis, jadi mungkin tidak akan semudah membalik telapak tangan. /apadah
Happy reading, minna~
Denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring terdengar nyaring. Mengisi atmosfer ruang makan yang terasa begitu sunyi. Nyatanya puluhan pelayan berjajar rapi menemani. Tinggal berganti kostum tentara, maka mereka menyaingi pasukan wajib militer Korea.
Satu, dua, tiga...
Tetsuya menghitung dalam hati. Satu eksistensi menghilang. Ia melirik bangku di depannya sembari menelan sesuap nasi. Kosong. Meski tujuh tahun telah berlalu nyatanya sosok yang selalu menempatkan dirinya di sana tak bisa diusir sesuka hati.
Ia menunduk. Meneruskan makannya dalam diam. Percakapan dibuka oleh seseorang di ujung meja. Samar-samar ia mendengarkan. Urusan bisnis. Ia memilih meneguk susu vanilla di atas meja.
Seseorang di sampingnya bergumam menanggapi. Tidak peduli usia, otaknya bahkan telah mampu menguasai pasar dunia, mungkin. Tetsuya sendiri tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Urusan orang dewasa. Ia sendiri tidak terlalu peduli. Diam adalah pilihan yang terbaik. Sampai ketika pria tua di pojok meja mulai bertanya keseharian mereka.
"... Tidak ada masalah, Otoosan. Semuanya sempurna." Jawaban lugas keluar dari bibir pemuda di sebelah kirinya.
"Bagus. Itu yang kuharapkan dari penerusku nanti." Bola mata pria setengah baya itu bergulir menatap anak berambut biru lembut. "Bagaimana dengan sekolahmu, Tetsuya?"
Tetsuya menelan pelan gumpalan nasi yang menyangkut di kerongkongan. "Seperti biasa, Otoosan."
Pria yang lebih tua diam. Wajahnya masam. "Jangan katakan kau membolos pelajaran lagi, Tetsuya. Sudah cukup aku mendapat surat dari wali kelasmu kemarin. Menolong anak anjing? Alasan tidak logis mana yang kau ambil? Kau kusekolahkan untuk belajar, bukan untuk menjadi inang hewan jalanan."
Lelaki berambut merah menoleh cepat. Tetsuya menunduk. Butiran nasi di depannya bermetafora menjadi belatung yang mengganggu selera. "Maaf, Otoosan..."
"Kalau kau tak bisa menyaingi Seijuurou, setidaknya jaga sikapmu. Jangan permalukan nama Akashi yang kau sandang. Aku tidak ingin mendengar kau terlibat masalah lagi di sekolah karena polahmu yang kekanakan."
"Otoosan-!"
"Aku mengerti, Otoosan." Tetsuya menyuapkan sendok terakhirnya. Setidaknya ia masih menghargai apa yang pelayan mereka sajikan. Susu vanilla dalam gelas tinggi diteguk habis. "Aku selesai. Terima kasih atas makanannya."
Ia angkat diri. Membungkuk sedikit sebelum pergi. Lelaki di sampingnya mengikuti.
.
.
.
Tetsuya membuka pintu gudang di atas atap sekolah. Sosok mungil menyapanya dari balik kardus kertas yang ia sulap menjadi kandang. Sosok itu sigap melompat ke atas pangkuan Tetsuya yang tertawa kecil karenanya.
"Apa kau sudah makan?" Tetsuya melangkah ke dalam. Membuka kardus makanan hewan yang tersembunyi rapat tertutup kain terpal kecil bekas pakai. Lawan bicaranya hanya mengonggong sebagai jawaban. Tetsuya meletakkan dua mangkuk kecil baru yang dibelinya beberapa hari lalu di kelontong pinggir jalan. Menuangkan sereal hewan pada salah satunya sementara mangkuk yang lain diisi air mineral. Tangannya sibuk mengelus bulu lebat kehitaman itu. Mengamatinya makan dalam diam.
"Oh. Jadi ini yang membuat uang sakumu terkuras habis dalam seminggu? Mengisi perut peliharaanmu sedangkan perutmu seperti tong kosong dengan cacing yang melolong?"
Tetsuya terkesiap. Berbalik sigap. Mendapati lelaki bermata rubi itu bersandar pada kawat pembatas dengan kedua tangan menyilang di depan dada.
"Sei-nii..."
Orang yang dimaksud mengendikkan bahu. Memutuskan mendekat. Berjongkok di sebelah Tetsuya. Ikut memperhatikan hewan berkaki empat yang sibuk dengan makan siangnya. Diliriknya pemuda berambut biru dari sudut mata. Tangannya terulur, memberi sesuatu.
Tetsuya menoleh. Sandwich dengan parutan keju di atasnya tersodor. Ia menatap Seijuurou. "Sei-nii?"
"Makanlah. Aku tahu kau belum makan sejak istirahat pertamamu. Tidak hanya anjingmu yang butuh perhatian, perutmu juga perlu diberi bahan bakar. Kau tahu?"
Satu sentilan di dahi diterima Tetsuya. Pemilik mata sejernih lautan tersenyum. Menerima roti bertumpuk dari tangan Seijuurou. "Terima kasih banyak..."
Tetsuya baru akan melahap ujung olahan gandum itu sebelum fokusnya kembali teralihkan pada Seijuurou.
"Kau sendiri bagaimana?"
"Aku sudah makan sebelum menyusul kemari. Sudah. Cepatlah makan." Lelaki yang lebih tua tidak menoleh. Ia berganti menjaga anak anjing itu sembari menunggu Tetsuya yang sibuk dengan makanannya.
Seijuurou mengelus lembut bulu-bulu halus berwarna hitam. Pikirannya melayang pada kejadian di meja makan.
"Tetsuya. Mengenai persoalan tadi pagi... Maaf."
Tetsuya menoleh. Menelan roti di tangannya dengan heran. "Untuk apa?"
"Aku tidak bisa membelamu di depan Otoosan."
Tetsuya mengangkat alisnya sebelum tersenyum kecil. "Untuk apa minta maaf, Sei-nii? Nyatanya itu memang salahku karena membolos pelajaran kemarin lusa."
"Tapi Otoosan seharusnya tidak perlu-"
"Sssttt... Tidak baik membicarakan orang lain di belakang. Aku tidak apa-apa. Sungguh." Tetsuya melipat plastik roti yang telah berpindah isi ke dalam perutnya.
Seijuurou menoleh. Mengamati tangan mungil itu menjejalkan sampah ke dalam saku celana untuk dibuang di bawah nanti. Berbeda dengan dirinya yang memang dituntut sempurna dan terbaik untuk segalanya, Tetsuya melakukannya karena dia menyukainya. Kadang Seijuurou merasa iri dengan kehidupan adik semata wayangnya.
Anjing kecil itu berlari melewati Seijuurou dan melompat dalam pelukan Tetsuya. Makanan di mangkuk benar-benar tak bersisa, persis majikannya yang tidak suka melihat makanan sia-sia.
Pemuda bersurai merah berbalik. Tersenyum menatap polah dua makhluk di depan mata. Ia mendekat. Mengelus pelan anjing mungil di pangkuan adiknya.
"Kau temukan dia di mana?"
"Di dekat halte sekolah ketika hujan. Ia basah kuyup di dalam kardus pakaian bekas. Aku tidak tega membiarkannya masuk angin, jadi kumasukkan dia dalam seragamku dan membawanya ke sekolah. Rencanaku hampir berhasil jika saja dia tidak menyalak tepat di depan guru kesiswaan. Aku dimarahi habis-habisan setelahnya. Kesal sekali."
Seijuurou tertawa kecil mendengar celotehan langka adiknya. Kesal katanya? Mana ada orang kesal wajahnya sedatar papan kayu yang baru saja selesai dipelitur?
Ia mengusak pelan rambut si bocah biru.
"Dia tidak akan masuk angin, Tetsuya."
Lawan bicaranya menoleh tidak terima. "Bagaimana bisa? Aku saja hujan-hujanan sehari dan harus terbaring karena demam seminggu."
"Itu karena daya tahanmu yang lemah. Dia liar, Tetsuya. Hujan adalah hal biasa."
"A-aku juga bisa liar." Tetsuya tetap tak mau mengalah.
Seijuurou mengernyitkan kening, menyeringai. "Benarkah? Tetsuya bisa seliar apa?" tanyanya menggoda. Tentu hal yang dimaksud liar dalam versi Seijuurou bukan dalam artian liar binatang.
Bola mata biru bergerak-gerak. Tak tentu arah. Otaknya berputar menentukan hal paling tepat sebagai resultan jawaban.
"Aku... Bisa melompati pagar rumah. Atau... Memanjat pohon di pekarangan tetangga."
Kali ini bola mata merah seperti ingin mencoba lolos dari tempatnya. Serius. Selama tujuh belas tahun dalam hidupnya, apakah ia baru tahu bahwa adiknya sepolos ini? Dan apa katanya? Memanjat pohon di pekarangan rumah tetangga? Ia ingin mencoba jadi maling?
Kakaknya mengusap wajah kasar.
"Berhenti, Tetsuya. Atau aku benar-benar akan mati muda jika kupaksakan konversasi ini padamu."
Diacaknya rambut sewarna langit. Tetsuya tidak menolak. Sentuhan ringan Seijuurou padanya selalu ia nikmati meskipun hanya menepuk pipi. Rasanya ribuan kupu-kupu dalam perutnya ingin terbang menembus rongga dada, mengajaknya melayang setiap kali sentuhan itu dilontarkan. Ia tak ingat kapan persisnya dirinya mulai menikmati perlakuan Seijuurou lebih dari seharusnya. Ia sendiri tak peduli. Malas untuk berpikir. Selama si sulung itu berada di dekatnya, itu sudah cukup. Tak perlu apa-apa lagi.
"Sei-nii sendiri yang memulai."
"Jangan lagi, Tetsuya."
Ia yang berambut biru mendengus. Menunduk sebal. Jari ditepuk kecil makhluk berkaki empat di pangkuannya. Seijuurou mengamati keduanya.
"Apa jenisnya?"
Tetsuya tidak mendongak. "Pomsky. Mungkin... Atau Siberian Husky?" Ia sendiri tidak yakin.
Seijuurou mengangguk pendek. "Siapa namanya?"
Tetsuya mendongak. Kepalanya miring beberapa derajat, menyiratkan tanda tanya dalam kepala. "Nama?"
"Tentu saja. Bukankah setiap orang biasa memberi peliharaan mereka nama?"
Tetsuya menggeleng. "Mm... Aku tidak tahu nama yang tepat. Tapi Kagami-kun selalu memanggilnya Nigou."
"Kagami-kun?"
"Murid pindahan baru di kelasku. Dari Los Angeles."
"Oh."
"Responmu menyebalkan sekali, Sei-nii."
Seijuurou menaikkan salah satu alisnya. "Memangnya kenapa?"
Tetsuya menggeleng. Sedikit banyak ia berharap prediksi dalam hatinya benar. Nyatanya salah kaprah.
"Kurasa Nigou bukan nama yang buruk. Kalian kembar." Seijuurou menunjuk mata kanannya dua kali. "Mata itu."
Lelaki yang lebih pendek memutar bola mata. "Siapa saudaraku sebenarnya?"
Seijuurou tertawa. Tangannya kembali mengusak surai biru lembut di hadapannya.
"Aku harus kembali. Kau juga lekaslah turun. Jangan terlalu lama bermain bersamanya kecuali jika siap terkena detensi." Si Sulung melangkah pergi. Hanya beberapa depa, lalu berhenti. Tetsuya mengucapkan sesuatu di belakang.
"... Tapi... Bersama lebih baik bukan daripada sendiri saja?" Tetsuya tak berbalik sama sekali. Ia bahkan lebih terlihat seperti menggumam pada dirinya sendiri. Tak sadar bahwa Seijuurou masih berdiri tetap pada posisi.
Kepalanya tertunduk. Mendadak Seijuurou merasa bisu.
.
.
.
Tetsuya tengah membaca satu buku di atas meja belajar ketika sebuah ketukan di pintu menginterupsi. Ia melirik. Mulutnya bergumam mempersilahkan diikuti sosok pemilik rubi yang melenggang masuk ke kamar dan langsung merebahkan dirinya di atas ranjang.
Tetsuya melirik dari balik bahu.
"Sei-nii. Jangan tidur di kasurku. Kau belum mandi."
Pemuda merah mendengus, namun tak beranjak. "Karena itulah aku ingin meminjam kamar mandimu. Shower di kamar rusak. Sudah kuperintahkan butler memperbaikinya tapi mereka lelet sekali."
"Mereka bukan reparator, Sei-nii."
"Terserah." Ia bangkit. Mencari handuk baru di laci dekat kamar mandi. "Yang jelas aku ingin mandi sekarang. Badanku lengket sekali. Di mana kau taruh handuknya, Tetsuya?"
Adiknya mengabaikan. Memilih menanyakan hal yang mengganggu pikirannya. "Kau baru pulang, kan? Apa... Sei-nii mendapatkan serangan mendadak itu lagi?"
Seijuurou menoleh. Tangannya berhenti bergerak. "Dari mana kau tahu?"
"Hanya insting." Tetsuya masih belum puas. "Siapa?"
"Kotori Tsumugi. Satu kelas denganmu."
Tetsuya tersentak. Pensil mekanik di tangannya digenggam kuat-kuat. Tanpa sadar bergetar. "Lalu... Sei-nii menerimanya?"
Seijuurou menggeleng singkat. Kembali fokus mencari handuk yang tersembunyi.
Entah bagaimana caranya pensil itu mengendur dari genggamannya yang melonggar. Rasa lega menyelisip dalam dada. Namun sebuah pertanyaan lain muncul dalam kepalanya.
"Kenapa tidak? Bukankah Kotori-san itu idola sekolah? Anggota dewan sekolah juga, kan? Cantik, pintar, anggun, bukankah dia kriteriamu?"
Lelaki berambut merah menyala itu menoleh. "Apa sekarang kau sedang bertindak menjadi biro jodohku, Tetsuya? Dan sejak kapan kau menyimpulkan kriteria kekasihku?"
Tetsuya diam. Itu juga sebatas perkiraannya menurut teman-temannya yang beralih profesi dari pelajar menjadi pencari informasi gadis hot masa kini.
"Oh. Atau kau menyukainya? Ambil saja. Aku tidak tertarik." Seijuurou membalas . Handuk baru menyebalkan telah ia temukan. Tinggal menggiringnya ke kamar mandi tanpa perlawanan.
Merasa direndahkan, Tetsuya berdiri. "Jangan hanya karena Sei-nii tenar di sekolah, kau beranggapan seolah tidak ada gadis yang tertarik padaku."
Akashi sulung mengendikkan bahu tak peduli.
"Aku serius niisan!" Ia benar-benar berdiri menantang sekarang. Kedua tangannya terlipat di depan dada. "Lihat? Aku tidak kalah keren darimu."
Lawan bicaranya hanya menatap datar. Amat datar. "Oh. Lalu siapa gadis yang berusaha mengejar adikku ini?"
Diam. Si bungsu kalah telak. Matanya bergerak-gerak gelisah. Seijuurou yang melihatnya diam-diam mengulas senyum licik.
"... Momoi-san?" lirih Tetsuya. Ya. Seingatnya hanya gadis itu yang heboh memeluk dirinya seperti dakimakura. Ia bergidik. Membayangkan dirinya tercetak dalam pose panas di kain bantal dan menjadi bayangan imajinasi liar seseorang di luar sana.
Ia menoleh pada Akashi. Sayangnya, pria itu telah hilang di balik pintu kamar mandi yang tertutup diiringi suara kucuran air shower setelahnya.
.
.
.
Hari berikutnya, mereka pulang bertujuh seperti biasa. Menyusuri trotoar hingga berpisah di perempatan jalan. Ditemani ejekan burung gagak yang terus mengatakan bodoh pada semua manusia.
Kepala menoleh ke belakang bahu entah untuk kali keberapa. Mata biru menyapu jalanan yang sepi tanpa kendaraan. Kemudian kembali berjalan dengan langkah dibuat tenang. Pura-pura tenang. Kakinya melangkah ke depan. Namun, isi kepalanya mundur ke belakang. Mencoba menyelidik sesuatu di balik pohon plum, di balik tembok gedung, hingga di balik tong sampah organik. Ramai suasana di sekitarnya tak dihiraukan. Bahkan ocehan berfrekuensi tinggi milik pemuda berambut pirang seolah masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tanpa arti.
Telapak tangan menepuk pundaknya pelan. Menimbulkan reaksi terkesiap dari pemilik bahu secara berlebihan.
Biru laut bertumbukan dengan merah darah.
"Tetsuya?" Lirihan terlontar. Heran bercampur bingung. Kepala merah berhenti. Menoleh ke belakang, mencari objek yang berhasil membuat saudaranya gelisah, resah, dan gundah.
Kelima kepala pelangi turut berhenti. Ikut melongok sana sini meskipun tak begitu mengerti duduk permasalahan. Setidaknya bersikap setia kawan tidak mengapa, kan?
"Kau yakin kau baik-baik saja?"
Tetsuya mengangguk. "Aku tidak apa-apa. Hanya merasa meninggalkan sesuatu di laci kelas. Tapi, sepertinya tidak."
Mata merah menyipit curiga, tapi tak memutuskan untuk mengeruk informasi lebih lanjut. Mencoba tetap percaya pada satu-satunya saudaranya. Ia melangkah kembali menuju limousine hitam di ujung jalan bersama lima kepala lainnya.
Sementara Tetsuya hanya mengikuti perlahan di belakang. Kepala sudah tak berani dia putar lagi, meskipun mata melirik tanpa henti.
Apa itu tadi? Nyata atau maya? Orang atau sekadar bayang-bayang? Ia tak bisa mengerti.
Menelan ludah, tungkai kakinya bergerak lebih cepat. Menghapus semua ketakutan, ia terus merapalkan doa. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya perasaannya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya akan baik-baik saja.
Dengan satu keyakinan itu, dipercepatlah laju kakinya. Menghapus spasi yang diciptakannya antara dirinya sendiri dengan keenam manusia lain.
Senja itu, entah mengapa, batin Tetsuya tak bisa setenang biasa.
.
.
.
Gelap.
Itu yang ditemukan ketika sepasang bola mata terbuka. Mengerjap beberapa kali sebelum membulat panik. Ia tak mampu menangkap satu titik cahaya sedikitpun sebagai penerangan. Sepi. Tak ada suara apapun yang masuk liang telinga.
Di mana dirinya?
Kenapa semuanya gelap?
Apa sekarang dirinya buta?
Apa ia sendirian?
Anak itu meringis. Menyadari rasa nyeri yang menyerang kepalanya. Tangan mungil meraba-raba kepala tepat di ubun-ubun. Basah. Lembab. Bau anyir menguar. Luka terbuka. Darahkah?
Panik bukan kepalang menerpa. Ia benci gelap. Ia benci darah. Ia benci sendirian. Dan kali ini anak itu harus menemukan kombinasi buruk dari ketiganya. Perutnya mulai terasa berubah menjadi mesin pengaduk semen. Berputar, ingin mengeluarkan isi gilingan melalui kerongkongan. Kedua telapak tangan menutup rapat mulut yang siap membuat semburan.
Gagal.
Proses kimiawi makanan yang baru setengah jadi meluncur mengotori lantai besi. Menimbulkan aroma tidak sedap yang menusuk hidung hingga mampu memancing entitas lain untuk turut melakukan hal yang sama layaknya wabah. Wabah muntah berjamaah.
Bersamaan dengan itu, pintu besi bergeser terbuka. Sedikit demi sedikit. Membuat suara derit sumbang yang mengganggu telinga. Mungkin karena sebaran karat yang menghambat atau nasib pintu berbahan dasar ferum tersebut yang terlalu naas tanpa pelumas oli hingga habis riwayat.
Cahaya mengintip melalui celah-celah fraksi besi berkarat. Menghantarkan secercah harapan bagi si makhluk mungil yang kini menatap penuh binar akan sumber cahaya yang semakin lama semakin melebar. Senyum tipis tanpa sadar terulas di bibirnya. Lupa akan bekas muntahan, keinginannya untuk beranjak pun tak dapat ditahan.
Kehadiran beberapa orang di balik pintu besi sukses membuatnya kaku dengan gemeletuk gigi. Waspada level dua diaktifkan. Bisa jadi para manusia itu jauh lebih berbahaya dari kegelapan yang menghantuinya entah sejak kapan.
Dua dari... Tiga, empat, lima, enam orang di sana naik menuju tempatnya berada. Mengernyit dan mengeluh jijik begitu menyadari bekas muntahannya di lantai mengenai sepatu pantofel hitam mengkilat yang mereka kenakan.
"... Dia rupanya?"
Samar, ia mendengar salah satu dari mereka berucap. Entah pada siapa.
"Seperti yang kau lihat."
"Aku tidak mengira akan sedekil ini."
"Terserah saja. Kenyataannya memang anak ini yang dimaksud."
Telinganya sedikit berdenging, mencoba membiasakan dengan berbagai jenis suara yang masuk. Apa mereka tengah membicarakannya? Apa mereka mengenalnya? Ia ingin mendekat, bertanya jalan pulang. Namun, kakinya justru melangkah mundur menyudutkan diri. Mereka tidak terlihat seperti orang baik-baik.
"Hei. Kemari bocah."
Salah satu mendekat. Ia menggeleng kuat-kuat. Mencakar dinding besi di belakang badan.
"Tch. Kau tuli? Kubilang kemari bocah busuk!"
Yang lain menggertak. Ia tetap menolak. Ketakutannya membludak.
"Dasar keras kepala." gerutu salah satu dari mereka. Bahu mungil berbalut kemeja kumuh ditarik. Diseret keluar ruangan gelap yang baru diketahuinya sebagai mobil pick up di pinggir jalan sepi. Tubuh kecil memberontak yang dibalas dengan tamparan panas disertai kalimat menyentak. Sakit bukan main.
Ia hanya ingin pulang.
Pulang?
Ia bahkan tak tahu harus pulang ke mana. Pulang kepada siapa.
Tubuh kotornya diseret tanpa henti memasuki gedung besar yang tampak menyeramkan. Akan dibawa ke mana dirinya? Ia tidak mau ke sana. Ia tak ingin memasuki tempat asing itu. Ia ingin pulang ke manapun asal bukan bersama para manusia tanpa perasaan di sekitarnya. Ia ingin pulang!
"...-sama..."
"... Suya-sama."
"Tetsuya-sama!"
"Ah!"
Tetsuya tersentak. Mata safir menangkap figur pria setengah baya dalam balutan jas hitam. Lencana kepala pelayan tertempel di dada. Menatap khawatir padanya di sisi ranjang.
Ia melihat sekitar. Dinding berlapis cat biru bergradasi dengan motif ombak. Tirai putih melambai disambar angin yang masuk melalui jendela terbuka. Ranjang putih beraksen biru langit yang berantakan di sana sini. Ia duduk di atasnya. Di kamarnya.
"Anda baik-baik saja, Tetsuya-sama?"
Atensinya kembali pada pria yang masih setia menunggunya sadar. Tetsuya mengangguk pelan. Menyeka keringat dingin yang menetes menuruni pelipis dengan punggung tangan. Menstabilkan napas yang saling berkejaran.
"Mimpi buruk lagi?" tanya pria yang berusia lebih dari setengah abad itu.
Tetsuya mengangguk pelan sebagai jawaban. Senyum lemah terpampang di wajah kuyu. "Tapi aku baik-baik saja, Tanaka-san."
Tangan dengan gurat penunjuk usia tua membelai pelan helai biru muda. Mengelus kepala sang majikan. Tetsuya tidak keberatan. Mata terpejam menikmati sentuhan menenangkan yang tak pernah didapatnya dari tangan diktator Ayahnya sendiri.
"Saya selalu mendengarkan jika suatu saat Anda siap untuk menceritakannya."
Senyum tipis ditunjukkan, memancing senyum lain terlukis di wajah tua.
"Baiklah. Segera bersiap-siaplah, Tetsuya-sama. Tuan Muda dan Tuan Besar telah menunggu di ruang makan."
Kepala biru mengangguk patuh. Menatap kepergian pelayan terdekat yang menjauh-undur diri.
"Tanaka-san."
Pria tua itu berbalik. Heran bercampur bingung.
Tetsuya tersenyum lembut. "Terima kasih."
Pelayan tegap itu melebarkan mata. Senyum ramah tak pernah hilang dari wajahnya. Tubuh membungkuk. Memberi penghormatan terakhir pada sang majikan.
"Saya permisi."
Dan pintu berlapis cat putih tebal dengan kenop kuningan berkilau tertutup rapat. Menyisakan Tetsuya yang kembali meringkuk di dalam selimut tebal. Sendirian.
Ingatannya kembali pada mimpi yang masih terbayang jelas di benaknya. Ini sudah kesepuluh kalinya dalam satu bulan terakhir. Mimpi yang sama. Situasi yang sama. Dan selalu berhenti di saat yang sama.
Serta pertanyaan yang serupa selalu menyangkut di kepala setiap mimpi itu usai.
Anak itu...
Siapa dia? Apakah itu dirinya? Atau seseorang dari masa lalunya? Ia tidak mengenali semua kondisi yang terjadi di dalamnya meskipun selalu mengalami mimpi yang sama berulang kali. Seperti memutar sebuah adegan tertentu dari kepingan kaset DVD.
Ia bahkan tidak mengenali bocah cilik dalam mimpinya. Lantas kenapa anak malang itu terus muncul sebagai bunga tidur? Meskipun begitu, ia seolah bisa merasakan ketakutan yang serupa dengan yang lelaki kecil itu alami. Tetsuya ingin menolong. Membebaskan bocah cilik itu dari bahaya maupun kesendirian yang mengungkung. Tapi ia bahkan tidak yakin apa posisinya dalam drama berlatar lawas dengan warna yang terbatas. Orang ketiga? Sutradara? Atau justru pemain utama?
Tangan pucat saling meremat satu sama lain di bawah selimut. Merasakan dingin yang tak kunjung hilang meskipun pemanas ruangan menyala, menjalankan tugas. Atau memang musim dingin kali ini tidak bersahabat?
Ia terlalu enggan beranjak. Tapi mengingat Ayahnya yang selalu menuntut kesempurnaan, membuat selimut tebal yang membungkus tubuh kecilnya terhempas ke atas karpet. Kaki jenjang berbalutkan celana tidur melangkah ke dalam kamar mandi. Bermaksud membersihkan diri sekaligus membersihkan isi kepala yang mulai diambang kewarasan. Melupakan bunga tidur sebelum pikirannya semakin melantur.
.
.
.
Buku dimasukkan. Ritsleting tas ditarik kencang. Bangku dimajukan. Bersiap untuk pulang. Itu rencana awalnya sebelum bahu kanan ditepuk pelan dari belakang.
Tetsuya berbalik. Mata biru jernihnya menangkap sosok semampai seorang gadis berambut cokelat sepanjang pinggang. Diurai bebas, menebar wangi shampoo beraroma stroberi. Ia melempar senyum sempurna dengan mata tertutup menyerupai bulan sabit.
Pemuda berambut biru mengernyit. Tidak biasanya.
"Kotori-san?"
Gadis yang dimaksud hanya tersenyum menanggapi. Menampakkan iris cokelat madu di balik kelopak mata.
"Kau ada waktu sebentar, Tetsuya-kun?"
.
.
.
Satu gelas vanilla shake disajikan di meja bundar. Tetsuya menyesap pelan rasa khas dari minuman kesukaan. Membiarkan cairan putih pekat menuruni kerongkongan dan menyentuh dinding-dinding mulutnya. Berbeda. Gelas mahal di tangannya bahkan tidak mampu menandingi cup plastik sederhana yang biasa ia dapatkan di restoran cepat saji yang biasa ia kunjungi. Restoran mahal memang tidak menjamin memuaskan lidah setiap pengunjungnya.
Diletakkan kembali gelas kaca serupa berlian itu. Dahaga terpaksa dijaga lebih lama. Keinginan untuk menenggak habis vanilla kocok tandas tak bersisa.
"Jadi, apa yang ingin Kotori-san bicarakan?" tanyanya datar. Ia sedang tidak ada niatan basa basi hari ini. Ingin cepat pada inti dan segera pulang untuk mandi.
"Kau tidak pulang bersama Seijuurou-kun hari ini?" Tanya dibalas tanya. Ia tidak suka ini. Sama halnya ketika mendengar nama kecil saudaranya terucap dari bibir gadis cantik di hadapannya. Entah bagaimana terasa menyebalkan.
Padahal itu memang kesepakatan. Dua bersaudara Akashi dalam satu lingkup sekolah. Akan lebih mudah memanggil nama yang berbeda satu sama lain, kan? Ia tak pernah keberatan selama ini. Lantas kenapa kepalanya berdenyut hanya lantaran mendengar nama si sulung disebut?
"Sei-nii memimpin rapat untuk acara sekolah besok. Maaf. Tapi, justru seharusnya akulah yang bertanya pada Kotori-san. Bukankah kau anggota dewan sekolah? Lalu, kenapa kau menyeretku keluar? Aku tidak yakin Sei-nii toleran terhadap hal seperti... Membolos rapat?" Sarkastik. Ia tahu itu. Tapi berusaha tidak peduli, meskipun seorang gadislah yang ada di depannya.
Lawan bicaranya tertawa pelan. Anggun. "Yah... Seijuurou-kun memberiku izin."
Alis Tetsuya bertaut. Izin? Izin macam apa yang diperbolehkan untuk seseorang seperti Seijuurou?
"Ya. Izin. Maka dari itu, aku bisa bertemu dengan Tetsuya-kun sekarang." Gadis itu menegaskan. Sepertinya, Tetsuya telah mengutarakan apa yang menyangkut di pikirannya tanpa sengaja.
Memutuskan untuk mengabaikan rasa penasaran, kepala biru kembali bertanya. "Lalu, apa yang ingin Kotori-san bicarakan denganku?"
Gadis di seberang menunduk sekilas. Menyembunyikan rona merah yang menyebar di kedua pipi. Tetsuya melirik datar. Menemukan titik terang, bahkan sebelum mendapat jawaban lisan. Sudah pasti berurusan dengan saudaranya.
"Sei-nii, kan?"
Kotori mendongak. Rona merah makin kentara di parasnya. Tebakannya pasti tepat sasaran. Ia mengangguk pelan sebelum melanjutkan. "Jadi, Tetsuya-kun sudah bisa menebak bahwa aku menyukai Seijuurou-kun, ya?"
Anak bungsu Akashi menghela napas diam-diam, masih menghargai eksistensi gadis manis di depannya. "Sei-nii sendiri yang menceritakannya padaku."
Sepasang bola mata cokelat membelalak. Antara tidak menyangka dan tidak percaya. "Kalian berdua benar-benar dekat, ya..." lirih Kotori disertai decak kagum keluar dari bibir tebal manis itu. "Kalau begitu, Tetsuya-kun... Etto... Bisa membantuku untuk lebih dekat dengan kakakmu?"
Pemuda kecil masih menatap dalam pandangan yang sama. "Maaf. Tapi bukankah kau sudah ditolak?" Ia bicara kenyataan.
"Ternyata Tetsuya-kun bisa setajam itu juga, ya?"
Kekehan kecil keluar. Sama sekali tidak tersinggung.
"Tapi kalau kupikirkan kembali, mungkin Seijuurou-kun belum menerimaku karena kami belum mengenal satu sama lain. Karena itu, Tetsuya-kun bersedia membantuku? Aku yakin, Tetsuya-kun pasti tahu apa yang disukai Seijuurou-kun. Bisa sedikit menceritakannya padaku?" Mata menatap dengan binar-binar harapan. Tetsuya berdiri dari kursi empuk yang entah mengapa terasa gatal di kulit pantat.
"Aku memiliki kehidupan sendiri, begitu pula dengan Sei-nii. Meskipun kami saudara, bukan berarti aku mengetahui semuanya tentang Sei-nii."
Bohong.
Ia mengenal betul Seijuurou. Bagaimana pemuda berambut merah itu begitu menyukai sup tofu. Bagaimana pemilik iris merah itu membenci rumput laut bahkan meskipun hanya terpampang seujung kuku. Bagaimana jari-jari panjang lelaki itu lincah menekan bagian-bagian senar lembut violin dengan gesekan halus yang memanjakan telinga. Seijuurou yang sempurna. Seijuurou yang selalu dilingkupi rasa bangga oleh Ayah mereka. Seijuurou dengan segala kelebihan dan kelemahan yang tertera namun tak kasat mata. Tetsuya tahu semuanya. Tapi bagaimana dengan Seijuurou sendiri? Apa pria itu mengetahui Tetsuya sedalam itu? Tetsuya hanya bisa angkat bahu sebagai jawabannya.
"Jika Kotori-san memang ingin lebih dekat dengannya, bukankah lebih bijak menanyakannya sendiri?"
Ia tidak ingin menipu Kotori begitu pun dengan dirinya. Ia memang tidak berniat membantu hubungan mereka. Bukan urusannya, walau Seijuurou terlibat di dalamnya.
"Terima kasih atas vanilla kocoknya. Aku permisi."
Ia membungkuk sebentar sebelum berjalan pergi. Meninggalkan gelas vanilla yang baru diteguk setengah serta Kotori yang melihatnya tak menyerah.
"Ternyata gosip itu benar adanya..."
Kaki yang melangkah beberapa meter terhenti. Tidak berbalik.
"... Bahwa Tetsuya-kun adalah seorang pengidap brother complex."
Pemuda yang dimaksud menoleh ke samping. Melirik dari balik bahu. Senyum tipis terlukis sekilas di wajah manis miliknya yang sayangnya selalu miskin ekspresi.
"... Mungkin saja, Kotori-san. Siapa yang tahu?"
Aku sendiri tidak mengetahuinya.
.
.
.
Novel setebal 200 halaman itu terpaksa jatuh oleh gebrakan tangan pada meja kayu. Tidak. Bukan gebrakan yang mendeskripsikan amarah, hanya rasa antusisme yang terlalu berlebih hingga meluap ke permukaan.
Seakan tidak terganggu, Tetsuya memungut novel di samping kakinya. Membuka halaman terakhir di mana konsentrasinya terpecah oleh suara setaraf ultrasonik. Mencoba mengumpulkan kembali mood yang sempat berserakan akibat ulah pemuda tinggi berambut pirang.
"Ne, ne, Tetsuya-cchi! Kudengar kau memelihara anak anjing di atap sekolah. Benarkah?!" Volume berlebihan. Berpotensi merusak sistem pendengaran.
Lelaki kecil itu juga merasa terganggu sejujurnya. Tapi wajahnya tetap setenang sungai tak beriak. Mungkin karena sudah terbiasa.
Novel ditutup. Begitu pula dengan bibir yang kelebihan bahan bakar di depannya. Telunjuk menempel di depan kedua belah labia. "Jangan terlalu keras, Kise-kun."
Lelaki dengan piercing perak di telinga mengangguk mengerti. Bagaimana pun, tangan yang menutup hidung dan mulutnya cukup mengganggu jalan masuknya udara. Bekapan dilepas. Satu menarik nafas, yang lain terduduk lemas.
"Siapa yang memberitahumu, Kise-kun?"
"Aomine-cchi."
Aomine Daiki? Tetsuya tidak ingat ia pernah bercerita pada siapa pun kecuali Kagami. Seijuurou termasuk di dalamnya. Ia hanya sedang tidak beruntung ketika Seijuurou memergokinya. Meskipun pemuda berambut merah itu pasti akan menyangkal tegas dengan mengatakan Tetsuya tak akan bisa menyembunyikan apa pun darinya.
"Oi, Kise teme. Mulutmu memang perlu disumpal sepatu."
Suara lain menginterupsi. Nada malas kentara dalam timbre berat pemilik suara. Lelaki berkulit gelap meninju bahu pemuda pirang hingga nyaris tersungkur menabrak jendela.
"Sakit, Aomine-cchi!"
"Berisik, Kise! Suruh siapa mulutmu bocor?"
"Tidak perlu seperti itu juga, kan? Ini KDRT-ssu!"
"Masa bodoh. Aku bukan suamimu."
Tetsuya berdehem. Merasa dilupakan. Entah hawa tipis yang jadi masalah atau memang otak kedua temannya yang bermasalah.
"Aomine-kun."
Lelaki berambut navy blue menoleh. Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal ketika menyadari tuntutan penjelasan yang terpancar dari sepasang bola mata sewarna langit tanpa awan.
"Baiklah. Aku hanya tidak sengaja mendengarnya dari atap gudang saat tidur siang. Kupikir hantu atau apa, jadi aku membukanya. Dan makhluk itu langsung melompat begitu saja padaku. Mengganggu saja."
Matanya melirik ke samping. Hantu. Persis seperti kesan pertamaku melihatmu.
"Tch. Pasti kau membolos pelajaran lagi, kan Aomine-cchi?"
Tidak digubris.
"Bagaimana kau tahu itu milikku?"
Mata biru gelap melirik ke atas. Memikirkan sesuatu. Lalu menatap Tetsuya dalam-dalam.
Menyembunyikan risih yang mulai menelusup, Tetsuya balas menantang. Berusaha mencari tahu apa yang berjalan dalam kepala cepak berwarna gelap.
Lelaki berkulit eksotis memutus tatapan mereka. Menghela napas pelan setelahnya. "Kurasa kalian berdua mirip."
Kening dua orang berambut cerah di sana mengerut. Yang satu tidak terima, yang lain penuh binar bahagia.
"Benarkah?! Aku jadi ingin melihatnya! Ayo ke atap, Tetsuya-cchi!"
Tidak dinotis.
"Apa maksud Aomine-kun?"
"Yah... Aku tidak terlalu memerhatikan sebenarnya. Tapi kurasa kalian memiliki mata yang sama."
Mata... Yang sama? Jawaban itu...
Ternyata bukan hanya Seijuurou dan Kagami yang beropini seperti itu.
Sementara mereka terlarut dalam pikiran masing-masing, Kise masih merajuk setengah menangis. Bola basket sukses menimpuk kepala kuningnya.
"Kau menyedihkan, Kise. Sepagi ini sudah mendramatisir suasana."
Ketiga kepala menoleh ke arah pintu kelas yang terbuka. Menampilkan sosok tinggi besar yang menghalangi pintu masuk. Rambut merah bergradasi hitamnya cukup mencolok untuk dipandang.
"Membicarakan apa?"
Kise berseri-seri seketika. "Tetsuya-cchi memelihara anak anjing di atap. Katanya persis sekali dengan Tetsuya-cchi. Kagami-cchi sudah tahu?"
"Ah... Nigou?"
"Nigou?" tanya Aomine. Heran bercampur bingung.
Kagami hanya mengangguk. Pikirnya, mereka pasti mengerti jika sudah melihatnya.
"Woah! Kagami-cchi sudah melihatnya? Aku juga ingin lihat-ssu... Ayo kita ke atap!"
Dan sekali lagi Kise harus membatin histeris saat dentingan bel masuk yang mengalun mengisi speaker seantero sekolah.
Menangis miris.
.
.
.
Empat kepala beraneka warna meniti anak tangga satu persatu. Memutuskan menghabiskan waktu istirahat mereka dengan memakan bekal makan siang di lantai tertinggi gedung sekolah.
Rengekan histeris Kise untuk melihat anak anjing di dalam gudang penyimpanan membuat telinga mereka semua menjadi tuli sebelah. Tidak bisa menolak, mereka menuruti permintaan lelaki itu berdasar paksaan. Meski pun jika Kise mau berkaca, dia sendiri sudah merefleksikan penggambaran anak anjing itu sendiri.
Dua di antara mereka yang berpostur paling besar membawa yakisoba sebanyak satu dekapan lengan. Sama-sama rakus, meski tubuh sama sekali tak bisa dibilang kurus. Pemuda hiperaktif cukup dengan satu kotak bekal dan satu kotak jus jeruk di kedua tangannya. Terus meledek tanpa henti pada dua orang di belakangnya yang saling menyeruduk satu sama lain lantaran lebar tangga yang tidak toleran dengan lebar tubuh masing-masing.
"Makanya jangan serakah Aomine-cchi!" ledek pemuda bermata lentik. Hidupnya seolah tidak akan pernah tenang jika belum membuat lawan mainnya naik darah.
"Berisik, Kise! Urus saja urusanmu sendiri!"
"Dengarkan dia Ahomine. Telingamu itu perlu dibuka dua kali lebih lebar."
"Kagami-cchi sama saja!"
"Sialan kau, Kise! Perlukah kulempar bola basket lagi untukmu?!"
Berisik sekali. Tetsuya hanya mampu menggelengkan kepala berulang kali. Melihat mereka bertiga, layaknya melihat balita dengan tubuh raksasa. Tangannya bergerak membuka kenop, hendak menjeblak pintu sebelum telinganya menangkap sesuatu. Tidak asing.
Kepala birunya menyembul, berusaha mengintip dari celah pintu yang terbuka separuh.
Kise dan kedua kawannya yang lain berhenti otomatis. Menatap Tetsuya heran. Bagaimana tidak? Pose anak itu sudah mirip dengan pencuri yang mengintai rumah korban untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk beraksi.
"Ada apa Tet-"
Mulut terkatup paksa oleh tangan sepucat salju. Penasaran, Kise turut mengintip melalui kepala Tetsuya, diikuti Aomine dan Kagami yang sama-sama ingin tahu ada apa di balik pintu.
Tidak ada yang istimewa. Hanya Akashi Seijuurou yang berdiri dengan seorang gadis di depannya. Hanya berdua. Tunggu. Gerigi otak mulai berjalan. Mencerna apa yang ditangkap dari saraf optikus mereka. Mata mulai melebar diikuti mulut yang menganga.
Apa ini? Pengakuan cinta?
Semuanya diam. Mencoba menguping pembicaraan. Mengenali si gadis yang merupakan teman satu kelas mereka, membuat acara ini enggan untuk dilewatkan.
Tetsuya bungkam. Lagi? Apa gadis itu benar-benar berhenti kinerja otaknya? Atau memang tidak kenal kata menyerah dalam hidupnya? Sebentar. Bukankah ia juga tak berbeda?
Lelaki mungil mencoba fokus. Menguping percakapan di tengah atap sekolah.
"... Aku menyukai, Seijuurou-kun."
Ludah terteguk pelan. Tidak jelas. Namun, amat terasa. Ia sudah bisa menduga.
"Bukankah aku sudah menolakmu kemarin?" balas suara yang dikenal baik telinganya. Khas. Cepat. Langsung pada inti tanpa perlu basa basi.
"Kupikir, itu karena kita belum saling mengenal satu sama lain."
"Belum saling mengenal satu sama lain dan langsung main mengungkapkan perasaan?" Jawaban bagus. Tanpa sadar seulas senyum tak kasat mata tersungging dalam hati.
Gadis di sana terdiam beberapa saat. Mungkin merasa kalah telak. Tapi, gerak geriknya masih belum menunjukkan bahwa ia menyerah. Tetsuya jadi merasa resah.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita melakukan pendekatan sebagai sepasang kekasih terlebih dahulu?"
"Tidakkah kau dengar ka-"
"Satu minggu saja. Selama satu minggu itu, bila Seijuurou-kun benar-benar tidak ada ketertarikan padaku, maka aku tidak akan mengganggu kehidupan Seijuurou-kun lagi."
"Tck. Kau ini-"
"Aku akan terus melakukan ini hingga Seijuurou-kun menerimaku. Jadi, bagaimana? Setuju dengan permintaanku tadi atau Seijuurou-kun lebih suka aku tembak tiap hari?"
Penawaran yang berani. Ketiga orang yang menguping di balik pintu mengeluarkan pendapat yang sama, kecuali Tetsuya. Ia... Entahlah. Mungkin, ia enggan mengakuinya.
Selain itu, ia yakin. Kakaknya pasti tengah memendam kesal saat ini karena ucapannya terus disela dua kali. Tapi... Kenapa hening di sana?
Ia mengintip lebih jauh. Mata birunya melihat figur Seijuurou yang terdiam. Seolah tengah menimbang-nimbang keputusan. Sinar mata Kotori berkilauan. Menggambarkan keyakinan bahwa Seijuurou akan menerima kali ini.
Tetsuya menahan napas. Tidak. Katakan bahwa Seijuurou akan menolaknya seperti yang selama ini dilakukannya. Gadis-gadis itu... Kotori juga akan mengalami akhir yang sama, kan? Mendapat sepatah dua patah kata tolakan yang kemudian disusul dengan derai air mata setelahnya. Lantas, kenapa Seijuurou hanya diam?
Telapak tangan Tetsuya mulai berkeringat. Jantungnya berdegup tak teratur. Terlalu cemas menanti jawaban apa yang akan dilontarkan oleh Seijuurou di sana.
Tolak. Terima.
Tolak. Terima.
Tolak. Terima.
Sesungguhnya apa jawaban yang diinginkannya? Apa jawaban yang terbaik untuk semuanya? Apa dua resultan itu selaras dengan hatinya?
Tetsuya tidak tahu lagi. Isi kepalanya berantakan. Hanya membayangkan Seijuurou memiliki seseorang yang mengikat dirinya membuat otaknya tak berfungsi. Bukankah itu artinya waktunya bersama Seijuurou akan tersita?
Apa pemuda bermata semerah darah yang senantiasa ada untuknya akan menghilang? Tidak. Tetsuya belum siap untuk itu.
Kotak susu vanilla menggelinding ke bawah dan membentur lantai tangga berulang kali. Isinya tumpah bersamaan dengan jeblakan pintu yang dibuka kasar. Tetsuya sudah berlari keluar bahkan sebelum tiga orang lainnya menyadari bagaimana lelaki biru itu menghilang.
Dua entitas di sana menoleh secara bersamaan. Tidak heran, sejujurnya. Gebrakan tadi terlalu ricuh untuk ditangkap telinga.
Lari Tetsuya melemah ketika bersitatap dengan sepasang rubi teduh. Keduanya melebar diikuti pupil setajam kucing yang mengecil.
"Tetsuya..."
"Sei-nii..."
Satu langkah, dua langkah, tiga langkah... Tetsuya lupa sudah berapa langkah diambilnya hingga dirinya berhadapan dengan si sulung yang menatapnya dengan tanda tanya besar di kepala.
Persetan dengan gadis di seberang mereka yang menatap tajam. Seijuurou tidak semudah itu diserahkan. Tidak kali ini.
Tapi, bagaimana caraku menjelaskannya pada Seijuurou?
"Tetsuya. Apa yang-"
Pungkasan kalimat hilang di kerongkongan. Akashi sulung berjengit. Merasakan sentuhan ringan akan lembab dan basahnya bibir yang menyentuh miliknya. Sepasang lengan ikut mendaki pundaknya kemudian. Mencengkeram kemeja sekolah yang berlapis jas almamater berwarna putih. Hanya sekedar untuk menyamakan posisi.
Seijuurou mendadak bertransfomasi menjadi stupa batu ketika merasakan napas mereka menyatu. Tubuhnya kaku. Sel saraf di sekujur tubuhnya seolah membeku. Sapuan bibir yang menyapu bersih permukaan mengembalikannya pada realita. Mata rubi membelalak lebar melihat iris biru yang sejernih telaga itu menutup diri. Terus berusaha menyamankan gerak bibir pada sepasang labia miliknya. Meski sekadar menempel, namun sudah cukup membuat seluruh saraf tubuhnya mengalami disfungsi total sesaat.
Tidak ada lilitan lidah, pertukaran saliva, atau engahan napas mengemis oksigen di udara.
Hanya saling menempel, dan selesai. Polos dan bersih.
Halilintar tak kasat mata seolah menyambar dari segala penjuru. Menyenggol lima kepala yang seketika mematung melihat adegan di luar praduga.
Bibir sewarna buah persik menjauh, melepas tautan dengan perasaan enggan. Kedua tirai berumbai lentik mulai terbuka perlahan, memamerkan pesona dari sepasang bola mata yang mampu merangkum cerahnya langit musim panas yang berpadu dengan dalamnya samudera.
Seijuurou masih belum berkutik. Pengiriman impuls dari otaknya seakan tersumbat dan justru mengirim sensasi menggelitik.
Kesadaran menamparnya ketika otaknya kembali bekerja. Memproses apa yang terjadi sebelumnya. Juga kehadiran dari ketiga orang yang tak diundang. Matanya beralih pada Tetsuya yang masih ta kunjung mengangkat wajah untuk bertemu pandang dengannya. Rona semu menjalar hingga telinga tak luput dari perhatiannya.
Apa lelaki itu sadar apa yang baru saja dilakukannya?
"Tetsu-"
"Tetsuya-kun!" Teguran keras memotong panggilan Seijuurou. Tetsuya masih bergeming.
"Kau tidak sadar apa yang kau lakukan? Dia kakakmu. Ternyata kau memang pengidap brother complex, ya? Menyedihkan."
Brother complex, ya? Seijuurou membatin. Sementara Tetsuya masih senantiasa mengunci mulut. Entah karena enggan menjawab, atau karena ia tak tahu apa jawabannya.
Semua pasang mata di sana terlambat menyadari bahwa Kotori telah mengambil langkah mendekat dengan tangan terangkat sejajar dengan kepala. Siap memberi pelajaran berharga.
"Tetsuya-cchi!"
"Tetsu!"
"Tetsuya!"
Teriakan dengan durasi bersamaan itu menggaung. Menatap tak percaya pada lelaki berambut biru yang telah tersungkur menabrak dinding gudang penyimpanan. Sebelah tangan bertindak sebagai plester pereda panas di pipinya yang sungguhan merah kali ini.
Pemuda itu menoleh pelan. Tidak ada ekspresi khusus yang ditunjukkannya. Tetap sedatar biasa. Namun, siapapun seharusnya tahu ada sinar luka di dalam matanya. Itu jika mereka masih punya hati.
"Sei-nii..." Suara yang biasa terdengar monoton itu entah bagaimana terdengar sedikit mengganjal dengan vibrasi lemah yang mendominasi.
Sementara yang terpanggil merasa tubuhnya membatu untuk kedua kalinya.
Apa yang sudah kulakukan?
.
.
.
...TBC...
Ya, saya menyadari kalau ini mainstream. Tapi saya berusaha tetap membuatnya berbeda dari yang lain. Karena itu, sesuai judulnya, saya akan membuat beberapa hal terlihat ruwet dan misterius di sini. /kalau bisa
Last, terima kasih untuk semua pembaca yang berkenan membaca cerita abal saya... Saya sayang kalian semua~ /siapa lo
Sampai jumpa chapter depan!
Salam hangat,
azurefey