Jepang. Jaman Edo.
Dari langit, awan tampak bergumul, berwarna pekat. Seketika dari dalam awan, keluar petir hitam yang menyambar ganas ke Bumi. Bersamaan dengan kilatan cahaya yang menyilaukan, keluarlah sesosok naga berbulu ungu kehitaman. Naga itu meraung dahsyat, membuat kerikil di atas tanah bergetar. Rerumputan bergoyang hebat akibat angin kencang yang menerpanya. Semua manusia yang melihat kemunculan naga besar itu ketakutan.
"Hai, para manusia yang tinggal di Bumi, yang diramalkan telah tiba! Hendaklah kalian mendengarkan, agar kalian mengerti…"
Di tempat lain, seorang biksu muda melihat kilatan hitam itu dengan wajah pucat. Keringat dingin menetes, mulutnya menganga dan menutup seperti ikan. Tangannya menggenggam erat lonceng emas kecil. Giginya bergemeretak.
"Taiga-kun, apa yang terjadi?" Seorang biksu yang jauh lebih tua masuk. Matanya yang sudah tua melihat ke langit. Ke arah kilatan hitam dan mendengarkan gemuruh tersebut.
"Apakah ini… yang tetua ramalkan setahun yang lalu…?" Tanya Okajima Taiga—seorang biksu muda. Wajahnya masih pias, merasakan udara yang mendadak dingin. Sang biksu tua mengangguk bijak.
"Persis seperti yang diramalkan, Taiga-kun. Yah, terakhir kali kejadian ini terjadi… itu sekitar seribu tahun yang lalu…"
Taiga meneguk ludahnya.
.
.
THE RYUU OF YOU
Genre : Romance/Fantasy/Hurt-comfort
Rate : T…?
Pair : ChibaxHayami (main) , MaeIso, KaruNagi
Setting : Edo!AU, Dragon!ChibaMaeKaru, Human!HayaIsoNagi
Warnings : Typo(s) , alur dan EYD berantakan, OOC, fluffless, judul ama isi ga nyambung, AU hancur, ketidak jelasan yang menyesatkan, amburegul, emeseyu, de-el-el
.
LITTLE WARNING : HATI-HATI, MULAI AKHIR CHAPTER INI, ANDA AKAN MENEMUKAN CHIBA YANG RADA OOC. SEKIAN.
.
.
#HappyReading!
.
.
Ansatsu Kyoushitsu/ Assassination Classroom © Matsui Yuusei
FanFiction © Ameru Sawada
.
Naga itu meraung keras, lalu mengangkat dagunya dengan angkuh seraya berkata, "Para putra Naga akan mencari calon mempelai… seminggu dari sekarang, hendaklah kalian bersiap…, siapa tahu… kalian yang terpilih…" Suaranya menggelegar, menggetarkan Bumi.
.
"TETUA!"
Okajima Taiga berlari seakan dikejar hantu. Kemudian ia bersimpuh di depan seorang biksu lainnya. Harus dibilang, beliau biksu yang aneh. Tentakelnya bergerak anggun, menyeduh teh. Senyum cheesy-nya mengembang melihat kedatangan Taiga. Sementara biksu-biksu yang duduk di sisi ruangan menatap Taiga seakan-akan dialah hantu itu.
"Nurufufu, Taiga-kun, apakah kau sudah melihatnya?" Tanya sang biksu, kemudian tentakelnya mengangkat cangkir teh itu dan menyesapnya sedikit.
"Saya sudah melihatnya, tetua. Mengerikan sekali, apakah benar ini yang Anda ramalkan setahun yang lalu…?" Taiga menjawab. Sang tetua biksu tertawa aneh.
"Nurufufu, memang inilah yang aku ramalkan. Kejadian ini… sudah terjadi sejak seribu tahun, Taiga-kun…"
Taiga memandang sang biksu dengan takjub, "Tetapi, mengapa naga mencari manusia? Bukankah mereka—"
"Sederhana saja, Taiga-kun. Dengan mendapatkan darah manusia, maka populasi naga sempurna akan berkurang. Jika populasi naga sempurna lebih tinggi dari manusia setengah naga, maka dipastikan keseimbangan dunia akan terganggu…" Dengan tenang, sang biksu menjawab. Mulutnya kembali menyesap pahitnya teh hijau.
"Kita hanya bisa berdoa… semoga dewa naga menemukan yang tepat…"
Semua biksu di sana terdiam. Mengangguk dalam diam.
"Yah, Koro-sensei…"
.
.
Sementara di Bumi sana, semua manusia mulai membicarakan perihal kemunculan naga barusan. Ada yang ketakutan, menganggap ini cobaan. Beberapa yang menganggap ini terlalu serius, ada juga yang menganggapnya angin lalu. Tapi jelas semua orang riuh, membicarakan siapakah manusia beruntung ini.
"Yang jelas bukanlah aku."
Ucap seorang gadis yang tengah mengayak beras di teras rumahnya pada temannya. Matanya tajam sewarna zamrud. Rambut orange-nya diikat dua ke bawah. Hayami Rinka, anak seorang petani tebu.
"Ah, kau jangan bicara begitu, Rinka-san…, " Ucap temannya yang berambut biru muda, "Mungkin saja di antara jutaan, kau yang terpilih…" Lanjutnya, sembari melempar senyum.
"Omong kosong, Nagisa-kun…, " Jawab Rinka, ayakan dalam genggamannya bergerak memutar, "Sekalipun aku terpilih aku juga tidak mau. Itu namanya pemaksaan!" Gertaknya.
Nagisa tertawa hambar, "Terpaksa atau tidak, itu sudah hukumnya… menjadi yang terpilih…" Katanya. Rinka mendengus.
"Jangan terlalu banyak berharap." Dan Nagisa hanya melempar senyum maklum pada kepribadian Rinka yang terlalu realistis.
Nagisa kemudian berdiri, "Kalau begitu, aku pergi dulu… kebetulan aku ada janji dengan Kayano-chan, " Kemudian Nagisa melambai, "Jaa ne, Rinka-san…"
Sepeninggalan Nagisa, Rinka masih sibuk mengayak beras. Kemudian Rinka memasukkan beras tersebut ke dalam panci yang sudah dimasukkan air. Bara mulai dinyalakan. Rinka menutup panci itu, menunggu hingga matang.
Mata zamrudnya memandang langit cerah hari ini. Siapa sangka beberapa menit yang lalu langit tadi mendadak hitam dan seakan penuh amarah dan peringatan?
"Heh… yang terpilih, ya…"
.
.
Sementara itu, jauh di atas langit sana, sebuah istana megah melayang. Pintu depan istana itu dijaga dua ekor naga hitam bersisik. Masing-masing dari mereka memegang trisula. Dari trisula itu, keluar percikan petir hitam.
Masuk ke dalam, tampak tiga ekor naga tengah beristirahat di balkon istana yang luas. Salah satu dari mereka—yang merubah wujudnya menjadi manusia—tengah memandang ke bawah. Tangannya yang bercakar mencengkeram pinggiran balkon dengan erat. Matanya yang tersembunyi di balik poni panjang itu menyipit sengit.
"Ada apa, Ryuu-nii-sama?" Tanya seekor naga berbulu merah dengan nada malas. Ekornya mengibas dengan malas ke lantai bebatuan yang dingin.
"Tidak, Karma… aku hanya sedikit gelisah saja…" Jawab sang kakak dengan datar. Namun wajah tidak bisa menipu. Bibir bawahnya digigit keras.
"Yah, ini pertama kalinya, bukan?" Naga merah itu kemudian terkekeh, berdiri perlahan. Sekejap, naga itu berubah menjadi sosok manusia berambut merah, dan bermata kuning pucat.
"Kau tahu, nii-sama, aku juga malas mengikuti hal seperti ini…" Naga bernama Karma itu menepuk pundak sang kakak, "Mau bagaimana lagi, kan? Takdir sudah mengatakannya…"
Ryuunosuke—nama sang kakak—mengangguk, "Aku ingin segera mengakhiri ini… kau tahu 'kan, ada banyak ujian agar manusia itu benar-benar terpilih…" Kemudian ia menghela napas frustrasi.
"Ah, ambil yang mana saja, nii-sama… itu urusan nanti…" Ucap Karma asal.
"Karma, ini menyangkut masa depan seluruh keluarga…"
"Kalau masalah itu, kau yang dibicarakan di sini…" Balas Karma, dengan penekanan, "Kau nanti akan menjadi penerus klan Karasuma… bukan aku, apalagi dia…" Lanjut Karma, sembari menunjuk seekor naga lain yang berbulu pirang.
"Hey, Karma! Aku mendengarmu!" Bentak sang naga tidak terima, tak lama naga pirang itu berubah menjadi manusia, dengan rambut sama pirangnya dengan bulunya, "Lagipula yang Karma katakan itu tidak salah, Ryuu-nii-sama…"
Ryuunosuke menghela napas, agak panjang, "Kata seseorang yang selalu turun ke Bumi untuk menggoda manusia lalu berbuat yang tidak-tidak…" Balasnya, dengan penekanan dan nada sarkastik.
"Hey, aku tidak sebejad itu!" Si naga pirang lagi-lagi berteriak tidak terima, "Ah, bicara soal perjodohan itu, aku sih sudah memilih yang tepat…" Katanya, nadanya antusias. Karma menaikkan alisnya, tersenyum miring.
"Wow, kau sudah dewasa, Hiroto…" Puji Karma, sembari bertepuk tangan, "Berapa kali kau menidurinya? Ah, jangan-jangan usia kandungannya sudah empat bulan—"
"Karma, kau mau mati?"
"Diam kau, baka aniki—"
"Kau—"
Ryuunosuke memijit pelipis dengan penuh penghayatan, "Karma, Hiroto, cukup. Kalian memperkeruh keadaan…"
"Ryuunosuke, Hiroto, Karma, kemarilah."
Terdengarlah sebuah panggilan dari arah singgasana.
.
.
Pada akhirnya, Rinka mengikuti Nagisa bertandang ke rumah sederhana Kayano Kaede, anak seorang penjual sayuran. Di sana juga ada ada Isogai Yuuma, anak seorang penjual buah, dan Sugino Tomohito, anak seorang pengrajin keramik.
Isogai mengeluarkan sebuah buku yang sampulnya sudah robek. Debu juga tampak menempel di sampul buku tersebut. Aroma buku tua pun menyeruak kala halaman buku itu dibuka. Lembar buku itu sendiri sudah ada yang kena makan rayap. Judul buku itu masih cukup jelas, dirajut dengan benang sulam merah.
Ramalan seribu tahun.
"Isogai-kun, kau mendapatkan buku itu dari mana?" Tanya Nagisa, dalam hati curiga Isogai punya kedok seorang maling.
"Aku meminjamnya dari Okajima-kun…" Balas Isogai, mata emasnya berbinar.
"Okajima? Biksu muda itu…?" Sugino berusaha mengingat, "Aku baru tahu kau akrab dengan seorang biksu…"
"Aku bertemu dengannya saat ia sedang membeli persediaan buah-buahan untuk kuil…" Jelas Isogai. Matanya kini fokus pada halaman-halaman buku tersebut. Setelah beberapa menit, Isogai memekik, "Ini dia!"
Ia kemudian menunjukkan halaman tersebut pada yang lain. Empat pasang mata memperhatikannya. Halaman itu masih cukup bagus, walau halamannya sudah berwarna kecoklatan.
Klan Naga Karasuma.
"Klan Naga… kupikir hanya manusia saja yang memiliki klan…" Komentar Kayano. Yang lain mengiyakan.
"Coba, kulihat…, " Isogai kemudian membalik halaman setelah judul. Ada deskripsi cukup panjang di sana.
Di sana tertulis;
Di dunia langit, terdapat banyak suku klan naga yang tersebar di seluruh Bumi. Setiap seribu tahun, khususnya di tanah Jepang, Anak dari Klan Naga Karasuma akan mencari seorang—atau lebih—manusia, sebagai calon pendamping anaknya. Setelah naga pembawa pesan turun ke Bumi, seminggu sesudahnya, dikabarkan seorang anak gadis di wilayah timur diculik oleh seekor naga berbulu keemasan, dan tidak pernah kembali. Kemudian naga pembawa pesan akan membawa kantung besar berisi emas, lalu menyebarkannya ke seluruh daratan Jepang—sebagai imbalan.
Ketika Isogai selesai membaca, tidak ada yang berkomentar.
"Mencari calon pendamping… dengan imbalan emas…" Gumam Nagisa.
"Tunggu, masih ada penjelasan lainnya, " Pekik Isogai. Ia kembali membacanya,
Tetapi ada tahun ke tiga, salah seorang pewaris tahta tidak berhasil menemukan pendampingnya. Kemudian ia murka, dan mengirimkan tulah serta kesengsaraan pada manusia. Nyawa manusia pun banyak yang diambil. Agar penderitaan ini berakhir, terpaksa di ambil dari salah satu keluarga, salah seorang anak gadis mereka, untuk dipersembahkan kepada pewaris Klan Naga Karasuma. Suka atau tidak.
Sugino meneguk ludah. Kayano mendadak pias.
"Jadi itulah mengapa banyak orang ketakutan, " Ujar Isogai, "Jika pada harinya Klan Naga Karasuma tidak menemukan orang yang tepat, tulah akan dijatuhkan…"
Kayano mengambil napas, "Me—Mengerikan…"
Rinka—yang sejak tadi tidak berkomentar apapun—hanya bisa membuang napas. Ini pertama kalinya ia mendengar sesuatu yang ia kira adalah legenda, kini terpampang nyata di depannya.
Ia berharap naga sisik keunguan kemarin hanyalah mitos.
.
.
"Ya, Ayahanda?"
Di atas singgasana besar itu, duduklan seekor naga besar. Sisik hitamnya mengkilat tertimpa cahaya matahari. Di lehernya, sebuah kalung dari emas terpasang. Liontinnya berbentuk kanji 'Naga' . Di sebelahnya, duduk seekor naga betina. Bulunya putih keemasan berkilat indah.
"Kalian sudah tahu, bukan? Kurang dari seminggu, kalian akan mencari calon pendamping kalian…" Sang Dewa Naga Ryuu memulai titahnya. Ketiga putranya mengangguk.
"Aku tidak ingin kalian pulang dengan membawa calon pendamping yang tidak menarik mataku…, kalian paham?" Ketiga putranya kembali mengangguk.
"Err… kalau laki-laki, tidak apa, kan?" Hiroto memberanikan dirinya berbicara. Ryuunosuke memandangnya setengah melongo, Karma menyeringai.
"Tidak apa, tidak ada salahnya memiliki menantu seorang lelaki…" Sang naga hitam itu berkata, lalu mendengus. Karma cekikikan di tempatnya bersimpuh. Di dalam hati Ryuunosuke bertanya-tanya apakah adiknya—dan bahkan ayahandanya—sudah mulai tidak waras.
Kemudian Ryuunosuke merasakan sepasang manik obsidian menatapnya, ia mendongak dan menemukan ayahandanya tidak melepaskan pandangannya dari Ryuunosuke, "Kelangsungan generasi Klan Naga Karasuma bergantung padamu, Ryuunosuke… ayah harap kau mengerti posisimu…"
Ryuunosuke mendengus dalam hati. Lagi-lagi posisi. Lagi-lagi masalah tahta kerajaan. Ia harus mengakui ini, tapi ayahandanya mulai sedikit cerewet tentang ini. Tidakkah ia tahu bahwa Ryuunosuke sudah sangat paham mengenai ini?
Merasa ada yang terlewat, Sang Dewa Naga melempar pandangan pada sepasang mata kuning pucat, "Dan kau, Karma, ayah harap tingkahmu kali ini bisa sedikit dewasa… terutama terhadap calon pendampingmu…"
Karma memutar bola matanya—jengah.
"Hanya itu saja yang ingin kusampaikan. Kalian boleh pergi." Titah sang ayahanda kemudian. Ketiga remaja itu melangkah pergi, meninggalkan sang ayah dan isterinya.
Naga betina—yang sejak tadi tidak bersuara—berubah menjadi sesosok wanita berambut pirang keemasan. Bola matanya biru cerah. Tangannya terulur menggaet lengan kekar sang suami—yang juga sudah berubah menjadi sesosok pria dengan rambut spike hitam.
"Kau terlalu lembek, Tadaomi~" Ujar sang isteri, dengan nada manja menggoda, "Apalagi pada Ryuunosuke…"
"Aku tahu, Irina, " Jawab Tadaomi, "Tapi aku tidak perlu bicara banyak. Ryuunosuke adalah yang paling dewasa di antara mereka bertiga. Dia sudah tahu beban apa yang ia pikul…"
Irina terdiam sejenak, lalu kembali bergelayut manja, "Ingat~ Tidak boleh ada kesalahan seperti yang kakekmu lakukan dulu~"
Tadaomi menghela napas, "Tentu saja, " Ia kemudian menambahkan, "Dan singkirkan tanganmu dariku."
.
.
Rinka mulai merasakan ketidaknyamanan pada udara, sehari menjelang pencarian jodoh Sang pewaris klan naga. Udara yang biasanya membiaskan kehangatan, kini membawa angin sejuk yang mengigit kulit. Langit juga menjadi suram. Sering turun hujan, dan petir bergemuruh dengan bebasnya.
"Ya ampun, anginnya dingin sekali…" Ibu Rinka berkomentar, tangan keriputnya menguatkan genggamannya pada cangkir teh yang masih mengepulkan asap, mencoba mendapatkan kehangatan.
"Ibu tidak apa? Kita ke kamar saja…" Rinka berujar.
"Tidak perlu, nak…, ibu baik-baik saja…"
Mata zamrud itu memincing, "Penyakti ibu tidak kambuh, kan?" Dan sang ibu menggeleng lemah.
"Ibu sehat, hanya merasa dingin saja…"
Rinka kemudian berdiri, menghampiri tungku yang berada di tengah ruang keluarga tersebut. Ia memasukkan beberapa kayu, dan mulai menyalakan api. Paling tidak ini bisa mengurangi rasa dinginnya.
"Ibu khawatir, Rinka…, " Ibunya tiba-tiba berkata, menatap hampa kobaran api, "Kalau kau akan dibawa naga-naga itu, meninggalkan ayah, ibu, dan Kousuke di sini…"
"Itu tidak akan terjadi, bu, " Ucap Rinka, "Aku akan selalu di sini… tidak kemana-mana…" Bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Si ibu yang tersentuh mulai menitikkan air mata, dan Rinka tidak bisa berkata apa-apa lagi selain memeluk ibunya, menyalurkan kehangatan pada ibunya yang sudah mulai tua. Tangannya mengusap punggung sang ibu penuh kasih.
'Tidak akan…'
.
.
Dan matahari bangkit dari ujung cakrawala begitu cepat.
Ryuunosuke memerhatikan dirinya dari cermin besar yang terpasang di kamarnya. Kini ia menggunakan yukata berwarna biru navy, dengan dalamannya berwarna putih dan obi berwarna serupa. Ia memandang dirinya dari atas sampai bawah. Rasanya pakaiannya ini biasa saja, tapi hawa yang dibawanya tidak biasa.
'Ini harus segera berakhir…' Batin Ryuunosuke. Kemudian ia mendengar pintu diketuk. Siluet seorang pelayan wanita tampak membungkuk dalam posisinya bersimpuh.
"Ryuunosuke-sama, Anda sudah siap?"
Ryuunosuke diam, agak lama. Ya, ini harus segera berakhir.
"Aku sudah siap, Yuu-san."
Dan pintu kayu digeser.
.
.
"Bagaimana penampilanku, Hinata?" Hiroto memperhatikan pantulannya di cermin. Kini tubuh manusianya dibalut yukata berwarna orange cerah, dengan obi berwarna hitam. Rambut pirang orange-nya berkilau indah. Tidak henti-hentinya Hiroto memamerkan senyum pada dirinya sendiri.
Pelayan pribadi Hiroto, Okano Hinata, mengangguk sekali, "Anda tampak gagah, Hiroto-sama. Semoga berhasil nanti." Ucapnya dengan nada monoton. Formal.
"Arigatou ne, Hinata. Yosh! Ayo, " Hiroto—dengan langkah lebar—melangkah meninggalkan kamarnya.
Meninggalkan Okano dengan tatapan hampa. Sorot matanya meredup.
.
.
Karma sendiri sudah berada di ruang makan. Yukatanya yang berwarna merah darah tampak cocok pada tubuh tegap Karma. Di belakangnya pelayan pribadi Karma, Okuda Manami, berdiri dengan menatap gugup sekeliling. Ia berharap yang lain segera datang.
Dan lalu Tadaomi memasuki ruang makan, Okuda membungkuk kikuk—dan terlalu dalam. Mata obsidian Tadaomi meneliti penampilan Karma. Karma sendiri nampak acuh.
"Pilihan tepat, Karma." Tutur sang ayah—entah memuji atau hanya berkomentar.
"Manami yang memilihnya, ayahanda. Berilah pujian padanya." Balas Karma, sembari mengendikkan bahunya pada Manami yang berdiri di belakangnya dengan kikuk.
"Yah, itu pilihan yang bagus, Okuda-san…" Manami yang dipuji Sang Dewa Naga gelagapan, pipinya bersemu, dan ia kembali membungkuk terlalu dalam.
"Te—Terima kasih atas pu—pujiannya, Tadaomi-sama!"
"Kemana yang lain? Aneh melihatmu yang datang duluan, Karma…" Sang ibu, Irina, memasuki ruang makan. Kimononya berwarna pink sakura, dan seperti biasa, bagian dadanya terbuka sedikit.
"Berpakaianlah lebih pantas, Irina, " Ujar Tadaomi, "Ayah dan Ibu akan makan dengan kita, kau tahu?"
"Kau lebih cerewet, Tadaomi, " Irina mengambil tempat duduk di sebelah Tadaomi, seraya bergelayut manja padanya. Karma menggumamkan kata seperti 'huek' dan 'ibunda menjijikkan' sambil memainkan sumpit di depannya.
Tak lama, pintu di geser. Ryuunosuke dan Hiroto masuk bersamaan, di damping pelayan pribadi mereka yang segera mengambil posisi mengapit Manami. Ryuunosuke mengambil tempat duduk di paling ujung, di sebelah Hiroto, dan Hiroto sendiri duduk di sebelah Irina.
"Semuanya sudah lengkap, " Tadaomi menyentakkan lengannya, mendapat protes pelan dari Irina, "Kita akan mulai acara makannya. Yuu-san, tolong panggilkan Ayah dan Ibu kemari." Titahnya. Pelayan yang paling tua itu membungkuk sesaat, sebelum meninggalkan ruang makan.
.
.
Dan tak terasa, malam telah meraja kembali. Namun kali ini, suasana lebih hening dan mencekam. Setiap rumah memasang telinga, apakah nanti seseorang di sebelah rumah yang akan menghilang. Jalanan sudah sepi sejak matahari menggelincir ke ufuk barat, dan malam jangkrik bahkan tidak bernyanyi.
"Ibu, ayah belum kembali sejak tadi, " Rinka duduk berhadapan dengan sang ibu dan adiknya, Kousuke di ruang tamu. Angin menggertak di antara bangunan kayu yang reyot.
"Ibu juga khawatir, nak, tapi malam ini—"
"Aku akan mencari ayah, " Ujar Rinka, lalu bangkit berdiri dan meraih mantelnya.
"Tidak, Rinka! Nanti kau—"
"Tidak akan ada yang pergi, bu!" Potongnya, zamrudnya berkilat sengit, "Kalau terjadi sesuatu pada ayah…"
Selama beberapa menit, mereka hanya terdiam. Sang ibu dan Rinka saling menatap, sengit. Kousuke berusaha melerai, namun gagal.
"Baiklah, pergilah." Sang ibu akhirnya berkata mutlak. Kousuke terperanjat, Rinka memandang ibunya dengan sama terkejutnya.
"Hati-hati." Pesannya kemudian.
Rinka terdiam, lalu mengangguk mantap.
.
.
Rinka berlari menyusuri jalan yang sudah sepi. Jalanan itu begitu sepi, seakan tidak ada yang pernah melewatinya selama beberapa tahun. Rinka menoleh ke kiri dan kanan, berusaha menangkap siluet sang ayah. Ayahnya itu, kalau sudah pergi ke suatu tempat, pasti akan pulang pada jam-jam larut. Apalagi sekarang semua warga sedang bersembunyi dari tangkapan Naga dari Klan Karasuma itu, dan ayahnya malah menghilang entah kemana.
"Kemana tou-san…" Mata Rinka menangkap kilatan hitam melesat melewati langit malam yang kala itu cerah oleh bintang dan bulan purnama. Rinka terhenyak. Kilatan itu, apa gerangan itu?
"Mencari tou-san nanti saja…" Rinka memutuskan mengikuti arah perginya kilatan itu, yang mengarah ke arah hutan belantara.
.
.
Ryuunosuke mendarat setelah beberapa lama terbang di atas langit Jepang. Di sekelilingnya, pepohonan tinggi memeluknya. Malam agaknya lebih cerah, karena bintang kala itu bertaburan indah, dengan bulan purnama menjadi pusatnya. Ryuunosuke menghela napas. Ia sudah mencari dari barat ke timur, namun tidak ada yang menurutnya cocok.
"Dan di sini nampaknya tidak ada yang menarik…" Desis Ryuunosuke. Ekornya menghentak kesal.
KRESEK
"…!" Ryuunosuke menoleh cepat ke arah semak-semak yang mendadak bergerak di belakangnya. Mata merahnya memincing. Ia tahu ada seseorang tengah bersembunyi di sana. Ia mengendus. Hidungnya mencium bau wanita.
"Aku tahu kau ada di sana, " Ujarnya pelan, masih menatap lurus semak-semak tersebut, "Keluarlah. Sebelum aku menarikmu paksa."
.
.
"…!" Rinka membuat satu kesalahan dengan menggerakkan semak-semak yang menyembunyikannya, sehingga membuat orang—atau lebih tepatnya naga—tersebut menyadari keberadaannya.
Rinka tadi mengubah haluannya, dari mencari sang ayah menjadi mengejar kilatan hitam di langit itu. Dan betapa kagetnya Rinka ketika melihat kilatan itu berubah menjadi sosok seekor naga berbulu hitam. Sesaat kemudian naga itu berubah wujud menjadi manusia—walau hanya sampai bagian torsonya—dengan kakinya masih mengambil rupa naga beserta ekornya.
Rinka ingin melihat lebih dekat sosok aneh ini. Apakah manusia setengah naga berponi panjang itu benar-benar putra dari pemimpin Klan Naga Karasuma?
KRESEK
'Shimatta!' Tapi sialnya keingintahuannya membuat semak-semak itu menimbulkan bunyi keresek yang cukup keras. Cukup keras untuk membuat sosok itu menoleh. Menit berlalu dengan menegangkan. Sosok itu masih memandang lurus ke arah Rinka—lebih tepatnya semak-semak itu. Dan Rinka susah payah menyembunyikan deru napasnya.
"Aku tahu kau ada di sana, " Pada akhirnya Rinka tidak bisa menyembunyikan dirinya, "Keluarlah. Sebelum aku menarikmu paksa."
.
.
Keluar dari semak-semak, Rinka bisa melihat wujud makhluk itu lebih jelas. Dari kepala sampai torsonya memang berwujud manusia, dengan telinga dan tanduk naga bertengger di sana. Namun kaki dan ekornya mengambil wujud naganya. Ekornya panjang, bersisik hitam, dan di ujungnya berbulu keemasan. Ekor itu bergoyang pelan.
'Ternyata… dia memang naga…' Rinka menelan ludah—gelisah. Kini ia tertangkap oleh sang naga, hal terburuk yang terjadi bisa saja—
"Kau cukup berani, nona. Malam-malam begini menguntitku sampai ke sini…" Ujar Ryuunosuke, dengan nada tenang. Rinka bertambah gelisah. Rinka tidak bisa membaca pandangan yang tertutup poni itu.
TEP
Ryuunosuke maju selangkah. Selaras dengan Rinka yang mundur satu langkah. Dan seketika saja Ryuunosuke sudah di depannya, mencengkeram kedua lengannya dan menguncinya di antara tubuhnya dan pohon di belakangnya.
Rinka kalap, ini melebihi apa yang ia perkirakan, "Le—Lepaskan aku! Lelaki apa kau yang menyakiti perempuan, hah?!" Hardik Rinka, dengan nyalang menatap lurus ke arah deretan poni abnormal.
"Benar juga, " Tangan bercakar milik Ryuunosuke terangkat, meraih dagu Rinka agar ia bisa melihat kilat zamrud itu, "Tenang, aku tidak akan menyakitimu. Dengan satu syarat."
Skakmat.
"A—Aku sudah tahu syarat apa itu…" Ryuunosuke tersenyum kecil, "Maaf nona, tapi kau harus ikut denganku." Titahnya mutlak. Manik zamrud itu melebar.
"Tung—Tunggu—"
Keduanya terdiam. Rinka melempar pandangan gelisah, asalkan tidak menatap sosok di depannya.
"To—Tolong, " Seumur hidup Rinka tidak pernah mengucapkan kata ini, "Bisakah… kau menulis pesan… kepada orang tuaku… kau tahu—"
Ryuunosuke mengangguk paham, "Tentu. Salah satu pelayanku akan menyediakan kertas nanti. Sekarang, " Lalu si pemuda menjauh, merubah sosoknya kembali menjadi naga, "Naiklah ke punggungku, nona. Kau akan kubawa ke istana Klan Karasuma."
Maafkan aku, ayah, ibu, Kousuke…
Rinka tidak punya pilihan. Sekalipun Rinka berlari, ia akan tertangkap oleh naga itu.
Perlahan, ia menaiki punggung naga itu. Di luar dugaan tubuh naga itu hangat—mungkin karena bulu yang menyelimutinya. Dan bau naga itu harum, tidak seperti bayangannya, dimana naga biasanya berbau tidak sedap.
"Pegangan, nona."
Kilatan hitam kembali melintasi langit Jepang.
.
.
Ryuunosuke mendarat dengan mulus di balkon timur istana. Rinka lalu turun dari punggung Ryuunosuke. Matanya memandang sekeliling. Istana ini sangat megah, apa ada istana semegah ini?
"Kita sudah sampai, nona, " Wujud manusia Ryuunosuke menyambutnya. Sang pemuda membungkuk sedikit, memberi hormat, "Selamat datang di Istana Klan Naga Karasuma."
Baru saja Rinka akan menjawab, ia dikejutkan oleh dua sosok yang sudah ada lebih dulu di ruangan itu. Matanya melebar, lihat siapa itu?"
"Rinka-san!"
"Isogai-kun, Nagisa-kun?!"
Ryuunosuke memandang dua orang tambahan di ruangan itu, "Nampaknya kalian sudah dibawa oleh kedua adikku…" Tuturnya. Mereka berdua mengangguk pelan.
"Aku… dibawa oleh seekor naga berwarna merah…" Tutur Nagisa.
"Kalau aku dibawa Hiroto-san…"
"Tunggu, kau kenal Hiroto?" Ryuunosuke bertanya.
Isogai mengangguk, "Ia sering mengunjungiku saat aku membantu toko orang tuaku. Ia pemuda yang baik, walau kadang terlalu menyanjung tampangnya…" Ujarnya diselingi tawa.
Kini Ryuunosuke mengerti siapa yang Hiroto pilih. Dan kenapa ia bertanya soal mempelai lelaki pada ayahnya. Lalu pandangannya beralih pada sosok lelaki—atau wanita—berambut biru muda berbalut yukata berwarna ungu. Pakaiannya sih yukata, tapi rambutnya—
"Maaf, kau lelaki?" Tanya Ryuunosuke. Jangan salahkan keingintahuannya.
Wajah Nagisa memerah sedikit, "Sa—Saya lelaki…um…"
"Panggil saja Ryuunosuke…" Ryuunosuke memberi gestur memperkenalkan diri. Nagisa dan Isogai mengangguk.
"Mungkin adikku itu—namanya Karma—salah mengira kau seorang wanita…" Ujar Ryuunosuke, seraya tersenyum kecil. Nagisa sukses merona, Isogai tertawa kecil, dan Rinka tersenyum mengejek.
Dalam hati Ryuunosuke tertawa geli, rupanya adik-adiknya membawa pulang orang-orang yang menarik.
.
Pintu kayu digeser. Hiroto dan Karma memandang Ryuunosuke dengan terkejut, "Ryuu-nii-sama! Kau lama sekali! Aku dan Karma sudah tiba sejak tadi!" Hiroto-lah yang berbicara duluan.
"Gomen, akhirnya aku membawa calonku…" Balasnya seraya mengerling Rinka di sampingnya. Karma—yang terlalu penasaran akan sesuatu—mendekati Rinka, meneliti wajahnya.
"Ma—Mau apa kau…?" Rinka yang masih risih dengan lingkungan barunya bergerak menjauhi Karma. Si pemuda hanya memasang seringai miring.
"Sepertinya kau perlu waktu agar cocok dengannya, nii-sama…" Itulah kesimpulan yang ditarik Karma.
"Aku curiga aku tidak bisa cocok dengannya, Karma…" Ryuunosuke menjawab sinis. Rinka sendiri mendengus sebal mendengarnya.
"Siapa juga yang mau cocok denganmu?"
Yak, kita bisa melihat petir menyambar dari mata mereka. Kilatan tidak suka.
"Heh, menarik, " Ryuunosuke—yang selalu memasang topeng tenang—kini menyirengai sadis, "Kita lihat apa kau bisa bertahan…" Kemudian ia melengang pergi.
Hiroto—yang baru pulih dari kekagetannya—meraih pundak Rinka, mengguncangnya, "Wa-wa-wa-wa, nona! Kau harus menjaga mulutmu! Kami sendiri yang sudah bersama nii-sama dari kandungan Ibunda, tidak pernah melihatnya tersenyum sadis seperti itu!" Raung Hiroto. Rinka memberikan tatapan menghina.
"Memangnya kenapa? Ini hanya pendapatku saja, tahu—"
"Memangnya kenapa?" Karma membeo, bersiul pelan, "Karena jika nii-sama sudah tersenyum seperti itu… berarti ia menganggapmu serius…" Katanya.
"Aku tidak akan menyukainya. Walau dia terlihat tenang, tetap saja dia punya sisi sombong…" Ujar Rinka, sedikit mendesis di ujung kalimatnya.
'KALIMATMU HARIMAUMU, RINKA-SAN!' Dan dalam hati, Isogai dan Nagisa hanya bisa menjerit pasrah. Kelemahan Rinka adalah kata-katanya.
"Ahahaha, kita lihat saja, nona…, " Hiroto tertawa ringan, "Tapi sekarang lebih baik kalian berbenah. Kami sudah menyiapkan pakaian, dan kita akan makan malam bersama…" Dan sesaat Hiroto mengerling pada Isogai, sebelum ia dan Karma meninggalkan ruangan itu.
"Makan… malam…?"
.
.
Rinka menggenggam erat tangannya di bawah meja. Dua hal yang ia tidak suka. Pria pemalas, dan Ryuunosuke. Namun takdir yang menjadikannya calon pengantin Ryuunosuke mengharuskannya duduk di samping sang pewaris klan. Mereka duduk agar berjauhan, saling membuang muka.
"Aku harap kau menjaga mulutmu…" Desis Ryuunosuke. Walau matanya tertutup poni, tampak ada kilatan sinis di sana.
"Sebaiknya kau berkaca…" Rinka balas mendesis. Tangannya semakin mengepal kuat.
"Pst, Yuuma-kun, kau yakin mereka akan baik-baik saja?" Hiroto berbisik di telinga Isogai. Isogai hanya mengangguk pelan.
"Tenang saja, biar waktu yang menjawabnya…" Dan Hiroto hanya bisa melempar senyum. Di seberangnya, Karma dan Nagisa yang duduk bersebelahan hanya terdiam. Yang satu memang diam, yang lainnya termakan gugup.
"Saa, Nagisa-kun, " Hiroto—yang tidak suka suasana tegang—memulai percakapan, "Apa adikku ini tahu kalau kau itu sebenarnya lelaki?" Tanyanya dengan nada jahil. Karma mendengus.
"Tentu saja. Wajahnya menarik, makanya langsung kuculik saja dia saat sedang makan malam dengan keluarganya…" Aku Karma.
Krik.
'Karma… dia dan Hiroto sama-sama tidak waras…' Ryuunosuke pasrah.
'Wah… dia jujur sekali…' Isogai tersenyum penuh binar.
"Adikku… kau brengsek…" Ujar Hiroto pelan.
Karma menyirengai, "Siapa dulu yang mengajariku?"
"Tadaomi-sama, Irina-sama, Kyougo-sama, dan Hanako-sama memasuki ruangan!"
Semua yang di ruangan lantas berdiri, membungkuk dan memberi hormat. Tadaomi dan Irina nampak serasi—karena Irina menggaet lengan Tadaomi seenak jidat. Di belakang mereka, sepasang kakek-nenek dengan yukata sama-sama bercorak bunga lili berwarna kuning cerah. Si kakek—Karasuma Kyougo—berwajah ramah dengan rahang bulat—juga keriput dimana-mana. Sementara Karasuma Hanako memiliki watak wajah yang lebih keras, lebih mirip wanita tua bangsawan Eropa. Keriputnya menambah kesan sangar padanya. Semua yang di sana meneguk ludah—minus Karma dan Rinka.
"Selamat datang, semuanya, " Tadaomi merentangkan tangannya, menyambut tamu di sana, "Selamat kepada kalian bertiga. Kalian—segera—akan menjadi bagian dari Klan Naga Karasuma…"
Rinka hendak mencibir, ketika tangan besar menggenggam tangannya. Rinka melirik, itu tangan Ryuunosuke. Lalu tangan itu meremas tangan Rinka. Rinka meringis, lantas melempar glare terbaiknya pada Ryuunosuke.
Jangan coba-coba mencibir. Kalau kau masih mau hidup. Itulah kira-kira arti tatapan datar Ryuunosuke. Rinka gagal memberikan tatapan membunuhnya.
Kembali pada Tadaomi, ia kembali berbicara, "Tentu saja jii-san dan baa-san tidak lupa anak-anakku, " Katanya.
Karasuma Kyougo tertawa ringan seperti halnya kakek-kakek bahagia, "Tentu saja, Tadaomi. Hiroto, bagaimana kabarmu?"
"Un, aku baik, jii-san!" Mata tua Kyougo beralih pada Isogai, yang berjengit sedikit ketika merasa diperhatikan.
"Wah, sepertinya calonmu itu lumayan menarik…" Komentar Kyougo, "Perkenalkan dirimu, nak…"
Isogai membungkuk sedikit, lalu melayangkan senyum ikemen-nya, "Ah, perkenalkan. Isogai Yuuma desu. Saya di sini… karena dipilih oleh Hiroto-san… yoroshiku onegaishimasu…"
"Ahahaha, kalian akan bahagia! Jaga dia baik-baik, Hiroto…" Dari perkataan Kyougo, sudah jelas mereka akan direstui.
"Terima kasih, jii-san. Dukung aku!"
"Tentu saja! Ahahahaha!"
Kemudian Nagisa merasakan sepasang mata tajam menatapnya. Ia melirik dan menemukan Karasuma Hanako menatapnya seakan ia itu pembunuh bayaran.
"Um… ano…"
"Katakan, kau ini lelaki atau wanita?" Tanya Hanako. Lugas, tegas, dan menusuk. Nagisa merinding.
"A—A—Aku lelaki! Seratus persen lelaki!" Ujar Nagisa. Setelahnya ia merasakan panas di pipinya. Karma terkikik, "Bagaimana menurutmu, baa-chan? Bukankah dia menarik?" Sejenak semua di meja makan itu melihat kilatan aneh di mata tajam milik Hanako.
"Boleh juga, Karma. Mungkin dia akan cocok untuk koleksi kimonoku… BAHAHAHA—" Entahlah, mungkin Hanako di masa lalu sangat ingin anak atau cucu perempuan, sehingga matanya langsung tertuju pada wajah manis Nagisa. Nagisa tertawa kikuk, berharap esok ia belum tinggal nama.
Seorang pelayan maju dan membungkuk, "Tadaomi-sama, makan malam sudah siap." Katanya. Tadaomi memberi gestur untuk membawakan makanannya kemari.
"Minna, makan malam sudah siap."
.
.
Makan malam berlangsung dengan hangat. Kyougo dan Hiroto asyik berbagi pengalaman mereka. Isogai terkadang dilibatkan, dan ia langsung menjadi favorit Kyougo. Sementara Nagisa tidak bisa makan dengan tenang akibat sepasang mata terus mengamatinya.
"Baa-chan, jangan membuat Nagisa-kun ketakutan." Ujar Karma, sembari mengelus punggung Nagisa yang sedikit basah oleh keringat.
Atmosfer yang benar-benar tenang hanya berasal dari pasangan straight di sana. Tidak, bukan Tadaomi dan Irina. Irina terus sibuk menarik perhatian sang suami dengan celotehannya yang tidak ada habisnya. Atmosfer itu datang dari Ryuunosuke dan Rinka.
"Aku tidak tahu kenapa orang tuamu tidak menanyakan perihalku…" Rinka berbicara di bawah mulut mangkuk. Ryuunosuke membiarkan karaage-nya tetap diam di antara sumpitnya.
"Entahlah, mungkin karena kau tidak menarik…" Ujar Ryuunosuke—sinis. Rinka merasakan uratnya putus satu.
"Jaga mulutmu. Aku sedang menahan kesabaranku…"
"Kalau begitu cobalah untuk bertahan, nona Rinka, " Balas Ryuunosuke, dengan penekanan kata 'nona' . Rinka berharap kuah sop tofu-nya tidak menyembur ke muka datar menyebalkan itu.
"Aku membencimu." Bisiknya sengit, lalu mengambil satu potong ikan bakar, namun Ryuunosuke lebih cepat.
"Kau—"
"Maaf, aku duluan yang melihatnya…" Ucap Ryuunosuke—seakan tidak merasa bersalah.
Sabar, Rinka… ini akan segera berakhir—
CTAK
"Hey, aku duluan yang melihat itu, nona…"
CTAK
"Enak saja, udang itu aku duluan yang melihatnya…"
"…kau menyebalkan…"
"Hah, kau termakan ucapanmu sendiri—"
"Hee, Ryuu-kun dan nona ini sepertinya akrab sekali…" Celetuk Kyougo setelah memperhatikan gelagat sumpit Ryuunosuke dan Rinka yang tengah bergulat memperebutkan bola daging. Gerakan mereka langsung berhenti dan ganti menatap si kakek.
"Ya, dari tadi kalian tidak habis-habisnya berebut makanan…" Hiroto menambahkan. Diam-diam menyirengai setan. Ia melirik Karma, dan seakan bertelepati, Karma iktu menyirengai.
"Iya~ oh, apa kalian sudah mulai saling cinta—"
"Ini tidak seperti kelihatannya." Bantah Rinka, berusaha agar nadanya tidak terlalu dingin. Bagaimana pun juga ia harus menjaga imej, apalagi sebagai calon pengantin pewaris klan.
Karma menahan tawa dengan telapak tangannya, "Kau tau jii-chan, baa-chan, aku baru pertama kali melihat Ryuu-nii-sama begitu tertarik pada wanita…"
Dan seseorang mulai termakan ucapannya, "Oya, Karma? Bagaimana?" Sahut Kyougo. Matanya berbinar.
"Soalnya tadi Ryuu-nii-sama tersenyum manis pada Rinka-san!" Karma menjawabnya dengan segenap senyum manisnya. (baca : senyum sadis dalam berbagai sudut)
Rinka mematahkan sumpit yang terbuat dari kayu itu. Ryuunosuke menjatuhkan bola daging yang diambilnya diam-diam. Semua di meja makan hening.
Yang pertama kali bereaksi adalah Hanako, dengan nada datar ia berkata, "Bagus itu. Jarang sekali nenek melihat Ryuunosuke tersenyum pada seseorang…" Sembari menyesap kuah tofu. Rinka hampir saja meretakkan mangkuknya.
"Wahahaha, Anda menarik sekali, nona Rinka! Sebenarnya agak susah menaklukkan Ryuu-kun…"
"Ah, bukan begitu—"
"Jii-chan benar! Soalnya Ryuu-nii-sama itu hampir sama dengan otou-sama…"
"Karma-san… tolong—"
"Ada kiatnya tersendiri untuk menaklukkan Ryuunosuke, kalau kau mau tahu…"
"B—Baa-san…"
"Aku terkadang berpikir kenapa aku bisa jatuh cinta pada orang seperti Tadaomi! Sekarang anaknya mewarisi sifatnya!"
"…"
Acara makan malam kali ini terasa lebih hangat dan berwarna.
.
.
"Karma, Hiroto."
"Hyaa, Ryuu-nii-sama!"
"Lain kali aku pastikan latihan pedang kali ini aku akan menghabisi kalian."
"…"
"…"
"Gara-gara kau sih, Hiroto…"
"K—Karma!"
==TBC==
4900+ words._. Ameru nggak tahu lagi musti ngomong apa—
Hey, fandom AssClass! Inilah multichapter bru Ameru! Main pairnya sih ChibaHaya, tpi selip2 MaeIso ama KaruNagi-nya nanti Ameru perbanyak^^
Okay, dari mana dapat ide ini? Ketika teman memberi tahu arti "Ryuu" adalah naga, dan ada fanart (yang jadi cover nih fic) yang makin mendukung teori ini /yha/ jdinya kepikiran ide ini /yhaa/ semoga kalian suka^^)~
Menantikan chapter brikutnya? Siaap~~ sampai ketemu nanti~!