Disclaimer : Masashi Kishimoto-sensei

Warning! SasuNaru's Love (of course), Boy x Boy, lemon sedikit, OOC, GaJe, Typo... Harap dimaklumi... :D

Halo! selamat menikmati fic baru Miyu... Moga Minna-chan suka... ^_^

.

.

Prolog

.

.

Apakah kalian pernah mengambil keputusan, kemudian kalian menyesalinya setelah itu?

Atau...

Kalian pernah merasakan hal yang bernama karma?

Aku merasakannya...

Aku mengalaminya...

.

Aku menyesal telah membuat sebuah keputusan yang membuatku harus menelan rasa pahit sebuah karma. Seperti de ja vu, Kami-sama benar-benar adil. Ia membuatku merasakan hal yang bernama penghianatan, padahal aku sudah membuang satu hal yang sangat berarti bagiku. Mungkin ini sebuah cobaan akibat hal yang tidak ku pikirkan matang-matang sebelumnya. Tidak ku telusuri lebih jauh...

Aku si jenius, presdir Uchiha Corp yang terkenal dengan kesuksesannya ternyata pernah membuat suatu keputusan yang salah dan fatal.

.

FLASHBACK

10 Oktober

23.30

Naruto POV

Aku sedang berkutat di depan laptop yang sedari tadi menampilkan file-file distribusi barang perusahaan. Irisku tak berpindah sedikit pun untuk mengecek satu persatu file itu dengan cepat namun tepat, karena direktur pemasaran ingin melihat hasilnya selama sebulan ini . Ya.. aku ingin cepat pulang, karena aku merindukan seseorang yang mungkin sudah pulang duluan sedari tadi, tapi sebelumnya aku ingin memberi kejutan untuknya. Ku ambil handphone-ku yang berada di samping laptopku, kemudian aku menekan lembut nomor yang tertera di ponselku itu. 'Sasuke-Teme'

On The Telephone

"Halo? Teme?"

"Hn, ada apa, dobe?"

"Aku lembur, mungkin besok pagi akan pulang."

"Hn."

Setelah menelpon laki-laki yang aku cintai itu, aku terkekeh geli. Aku ingin membuat kejutan untuknya, mengingat kalau hari ini aku berulang tahun. Sebenarnya aku sedikit sedih, karena ia tidak Ah! belum mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Hm.. mungkin ia terlalu sibuk. Tak apalah... aku tersenyum sendiri.

Aku dan Si Teme, hm.. maksudku Sasuke Uchiha sudah menikah sejak 1 tahun yang lalu. Laki-laki dan laki-laki menikah? Memang terdengar aneh, mungkin kebanyakan orang menganggapnya aneh begitu pula dengan keluargaku yang kurang setuju dengan keputusanku, tapi untung saja Kaa-san dan Tou-san mengizinkanku menikah dengan Sasuke. Mereka bilang, asal aku bahagia mereka pun bahagia. Ia seorang presdir di perusahaan Uchiha Corp,milik keluarganya. Sebenarnya jabatan presdir jatuh pada kakaknya, hanya saja sang kakak menolak karena ia sudah menemukan jalannya sendiri, yaitu menjadi Ilmuwan. Ya... akhirnya jabatan presdir jatuh ke tangan Sasuke yang notabene-nya laki-laki yang jenius.

Kulirik jam bergambar rubah yang berada di balik laptopku.

"Ck, sudah jam 00.10. Haah... tinggal sedikit lagi. Yosh! Semangat Naruto!" seruku menyemangati diri.

END Naruto POV

.

Other Side

"Sa..suke... ngh...:

Desah seorang perempuan berambut pink ketika seorang laki-laki berambut hitam kelam tengah menggagahi tubuhnya yang sudah tak tertutupi oleh sehelai benang pun.

"Naruto tidak pulang,ya? Ngh..." tanyanya di sela-sela desahannya.

"Hn, dia lembur, jadi ada banyak waktu untuk kita... ugh.. menghabiskan... malam bersama." Kata laki-laki berambut hitam itu sambil menyeringai senang.

Sasuke menatap sendu perempuan yang menjadi sekretarisnya itu, wajahnya benar-benar terlihat puas dengan apa yang dia lakukan. Ini dosa! Ia tahu itu, tapi.. ia baru terpikir jika ia tidak akan menghasilkan keturunan jika ia terus bersama Naruto. Maka dari itu, ia berniat menceraikan Naruto jika sekretarisnya yang bernama Sakura itu hamil anaknya.

Terdengar kejam? Benar, tapi mau bagaimana lagi? Siapa yang akan mewariskan perusahaan Uchiha Corp jika ia tidak memiliki keturunan. Apalagi ia tidaklah menikah dengan seorang perempuan, ya... ia menikah dengan seorang laki-laki. Laki-laki yang dikenalnya sejak 3 tahun yang lalu saat ia bertemu di rapat antara Uchiha Corp yang pada saat itu masih dipegang oleh ayahnya dengan perusahaan Shimura Corp. Pertemuan singkat namun sangat menyenangkan, dimana seorang pria beriris safir dan berambut kuning cerah tak sengaja menyiramkan kopi ke jasnya. Entah mengapa ia tertarik dengan pria itu, sampailah ia menikah dengannya. Naruto Namikaze namanya.

.

01.00

Naruto mempercepat langkahnya menuju apartemen miliknya dan Sasuke. Jasnya sudah terbuka dan dasinya kendur, bagian bawah matanya nampak menghitam, namun itu semua tidak ia hiraukan yang penting sekarang ia sudah tidak sabar lagi ingin membuat kejutan untuk suaminya itu. Sekotak kue besar yang sempat ia beli tadi berada di tangan kanannya sedangkan tas kerjanya ia pegang dengan tangan kirinya. Senyum manisnya tak bisa dilepaskan dari bibir pink cherry miliknya. Ia benar-benar rindu, padahal pagi tadi mereka baru bertemu.

Namun...

Ulang tahunnya kali ini adalah ulang tahun...

Yang tak mungkin...

Naruto lupakan...

.

Sasuke POV

"Suke... lebih cepat... lebih cepat!" seru Sakura yang makin terlihat berantakan.

Aku diam namun sesekali mendesah pelan karena aktivitas yang sedang aku lakukan bersama Sakura, gadis yang selalu menggodaku itu.

Tiba-tiba...

CKLIK

"Teme!... aku pu..."

Mataku dan Sakura langsung melihat ke arah pintu apartemenku yang sekarang terbuka lebar dengan seorang laki-laki berambut kuning cerah di sana, Naruto! Jantungku langsung berdebar tak karuan. Aku baru sadar kalau aku lupa mengunci apartemen kami.

Aku langsung bangkit dari tubuh Sakura dan mengambil celanaku. Tak lupa ku lempar baju-baju Sakura yang berada di sandaran sofa yang menjadi tempat kami bercinta tadi.

"A..a..apa.. yang.." Naruto langsung masuk ke dalam apartemen kami. Di sisi iris safirnya mulai menggenang air mata yang siap ia tumpahkan. Ia menghela nafas, kemudian meletakkan kotak besar yang ia pegang tadi dan berjalan menuju kamar kami.

"Naruto!" panggilku. Suaraku benar-benar bergetar saat memanggilnya tadi.

Langkahnya berhenti, kemudian ia membalik tubuhnya yang terlihat sangat kelelahan itu.

"A.. ada yang mau aku bicarakan." Kataku terdengar gugup bagiku. Ia berjalan menghampiriku dan duduk di sofa yang berseberangan denganku dan Sakura.

Entah apa yang sekarang berada di otakku, namun aku harus mengatakannya sekarang. Dan aku... sudah membuat keputusanku.

"Naruto, maafkan aku. Sebenarnya... aku ingin.. kita bercerai." Kataku mencoba setenang mungkin. Kugenggam tangan sakura yang terasa dingin itu mencoba mencari ketenangan di sana.

"APA?!" Teriak Naruto tak percaya. Kali ini air matanya benar-benar tumpah membasahi wajah tannya yang manis itu membuatku ingin menghentikan pembicaraan ini, tapi.. ini sudah keputusan yang sudah aku tetapkan demi masa depan dia dan juga aku.

"Naruto, jika denganmu... aku tidak akan mendapatkan keturunan... dan begitu pula sebaliknya, maksudku..." aku menghela nafas sebentar kemudian melanjutkan kembali perkataanku.

"Kita tidak ditakdirkan bersama." Kataku. Hatiku merasa lega setelah mengatakan itu.

Ia menatapku datar, iris safirnya terus saja menumpahkan air mata yang mulai turun melewati tiap inci wajahnya. Jujur saja, hatiku terasa sakit melihatnya. Tidak! Aku sudah mengambil keputusanku! Aku menolak hatiku yang terus memakiku yang telah membiarkan mentari itu tertutup hujan.

"Apa salahku? Apa aku terlalu sibuk sehingga sering tidak punya waktu untukmu?" tanyanya datar. Benar-benar datar.

Irisku menatap irisnya dengan lembut.

"Kau tidak bersalah. Hanya saja, kita harus memikirkan masa depan kita. Ini untukmu juga, Naruto... bukan hanya untukku. Sebelum semua itu... terlambat." Kataku. Hatiku semakin tersayat-sayat saat mengatakan itu. Entah aku tidak dapat mendeskripsikan apa yang terjadi padanya. Jelas ia pasti merasakan hal yang lebih sakit dibandingkan aku.

"Tapi aku tidak mau bercerai denganmu... karena aku.. mencintaimu..." lirihnya.

Aku menggeleng.

"Tidak Naruto. Ini demi kebaikanmu dan aku."

Ia diam beberapa detik, setelah itu ia bangkit dari sofa dan mengusap air matanya dengan kasar menggunakan ujung lengan kemeja miliknya. Ku lihat ia melangkahkan kakinya ke dalam kamar kami sambil memegang tas kerjanya. Sesekali ia kembali menyeka air matanya meski tidak secara langsung kulihat.

10 menit aku dan Sakura duduk di sofa dengan kekhawatiran yang menggerogoti hati kami. Menunggu sosok Naruto yang sedari tadi belum keluar dari kamarnya.

Tiba-tiba pintu kamarku dan Naruto terbuka menampilkan seorang laki-laki berambut kuning cerah sedang menyeret koper berwarna kuning dengan susah payah. Tas kerjanya ia sampirkan di bahunya yang terbalut jas berwarna abu-abu yang sedari tadi belum dilepasnya.

"Kau mau ke mana?" tanyaku sedikit tercekat melihat wajahnya yang terlihat letih itu. Sudah cukup!aku tidak bisa mempertahankan sikap angkuh ku apalagi di tengah kesedihannya...

Ia tersenyum manis, kemudian menghapus kembali air matanya yang susah payah ia tahan.

"Sejak awal, ini apartemen milikmu." Katanya sambil menaruh kunci duplikat apartemen kami di samping kotak besar yang ia bawa tadi.

"Tapi ini sudah sangat larut." Kataku mencoba menahannya.

"Aku akan pergi secepatnya seperti yang kau inginkan, jadi tak perlu mengurusku lagi. Oh iya, Surat cerainya akan tiba pagi ini di kantormu." Katanya. Ia pun membuka pintu apartemen kami dan berjalan menjauh. Aku berlari mengejarnya. Ketika tiba di pintu apartemenku, aku melihat ia berjalan dengan susah payah, bahunya bergetar. Sesekali ia mengusap dengan kasar air matanya, aku tahu itu meskipun aku tidak melihatnya langsung.

Kami-sama... apa yang kulakukan ini benar?

Setelah melihat Naruto benar-benar menghilang dari pandanganku. Aku masuk kembali ke apartemenku dan mendapati Sakura sudah tertidur di sofa.

"Mungkin ia benar-benar lelah." Pikirku setelah melewati hal yang sangat menegangkan dalam hidupku itu.

Kaki jenjangku berjalan menuju meja dimana Naruto meletakkan kotak besar dan kunci duplikat apartemen kami. Aku menatap heran kotak besar itu, kemudian kedua tanganku meraih pelan kotak bergambar hati itu dan membukanya dengan perlahan.

Mataku membulat sempurna melihat isi kotak itu. Sebuah kue besar berwarna coklat dengan sebuah tulisan 'Happy Birthday' tampak tertata sempurna di dalam kotak itu. Irisku tak sengaja melihat secarik kertas berbentuk love yang terpasang di sisi kotak itu. Kuraih dan kubaca.

My Wish :

Semoga aku selalu bersamamu, Teme.

10 Oktober

Iris onyx-ku semakin membulat dan tanganku bergetar melihat tulisan Naruto yang tampak ia tulis dengan sepenuh hati itu.

'apa yang kulakukan? Naruto...' Lirihku. Aku pun segera meraih handphone-ku dan mencari nama 'Naruto Dobe' di kontakku.

Sial! Nomornya tidak bisa kuhubungi. Segera ku ajak kaki jenjangku keluar dari apartemen dan mencoba mengejar Naruto yang baru 15 menit meninggalkan apartemenku.

Ketika berada di depan lobby, aku melihat ia berada di dalam sebuah mobil berwarna silver dengan seorang wanita berambut kuning menutup bagasi mobil itu. Suaraku tercekat, aku ingin memanggil namanya, tapi otakku menolak... ini sudah keputusanku. Aku tidak boleh mundur. Akhirnya kuurungkan niatku untuk memanggilnya dan memilih melihat kepergiannya bersama mobil itu.

.

Benar katanya, surat cerai sudah berada di meja kerjaku dengan tanda tangan Naruto sudah terbubuh di sana. Jujur saja, aku ragu.. tapi...

Aku segera mengambil pena yang berada tak jauh dariku. Ku yakinkan diriku untuk menandatangani surat itu.

'Selamat Tinggal, mungkin inilah yang terbaik.' Kataku dalam hati.

Aku pun menggores tinta penaku tepat di atas Namaku yang berada di sebelah kiri milik Naruto.

Kami-sama apa yang kulakukan ini benar?

.

Di hari persidangan aku harus menelan kembali sebuah kepahitan yang entah mulai menjamah hatiku. Naruto tidak hadir, sehingga diwakilkan oleh kakak perempuannya yang bernama Naruko Namikaze. Padahal aku sudah membatalkan beberapa rapat yang akan kuhadiri hari ini untuk menghadiri persidangan. Tapi tampaknya aku sudah tidak diperbolehkan Kami-sama untuk bertemu Naruto lagi.

Kakak perempuannya benar-benar lembut, ia pun menghampiriku dan meminta maaf. Awalnya aku heran, namun aku mencoba mendengar apa yang ia katakan.

"Maaf ya, Naruto seenaknya."kata kakaknya itu sambil membungkuk minta maaf.

"A..apa maksud anda, Nee-chan?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi.

"Ck, aku terkejut saat dia bilang tidak mencintaimu lagi, dan ingin bercerai. Semalaman aku minta penjelasannya, katanya ia sudah straight dan bukan seorang homo lagi. Makanya... maafkan Naruto yang seenaknya itu, ya..." kata wanita yang berumur 36 tahun itu sambil kembali membungkukkan badannya.

'Kenapa dia tidak mengatakan hal yang sebenarnya?' batinku.

"Kenapa dia tidak datang hari ini, Nee-chan?" tanyaku lagi mengalihkan pembicaraan.

"Ah! Dia ada pekerjaan di Kumo yang tidak bisa ditunda. Sekali lagi, maafkan dia, ya... Sasuke-kun." Katanya, kemudian ia pamit pulang meninggalkan tubuhku yang masih mematung dengan satu pertanyaan yang berputar-putar di otakku.

"Naruto... Kenapa kau tidak mengatakan hal yang sebenarnya? Kenapa?" lirihku.

.

Aku menikah dengan Sakura tak lama setelah sidang perceraian kami. Kami mendapatkan seorang anak laki-laki yang kuberi nama Ryuu 1 tahun kemudian. Ia benar-benar tampan, katanya sih tidak berbeda dariku, hanya saja ia tidak memiliki kulit seputih milikku. Kulitnya sedikit tan, membuatku teringat dengan pemuda itu.

.

.

6 tahun sudah aku berpisah dengan Naruto dan aku benar-benar putus kontak dengannya. Nomornya sudah tak aktif lagi dan kabarnya ia mengundurkan diri dari tempatnya bekerja dulu, lalu pindah ke Kumo. Sekarang ia telah sukses dan mempunyai perusahaan sendiri. Jujur, aku merindukannya. Aku ingin mendengar kembali suaranya.

.

23 Juli

Hari itu tiba, dimana aku mendapatkan hukuman dari Kami-sama...

.

Aku melirik arloji yang bertengger manis di pergelangan tanganku.

"Sial! Sudah jam 1 pagi!" kataku sambil terus berjalan menuju apartemen yang ku tinggali bersama Sakura. Tangan kananku menggenggam erat plastik yang di dalamnya terdapat kue ulang tahun yang ku beli di salah satu bakery yang buka 24 jam di sekitar gedung kantorku.

Ya.. Hari ini hari ulang tahunku, tapi entah mengapa Sakura tidak mengucapkan 'Selamat Ulang Tahun' untukku pagi tadi. Ah! mungkin dia terlalu lelah mengurus rumah sehingga lupa. Aku juga harus bersusah payah untuk bisa pulang malam ini, karena berkas-berkas yang harus diperiksa dan ditanda tangani menumpuk di atas meja kerjaku dan semua itu harus diselesaikan agar tidak menghambat kelancaran bisnis perusahaan besok. Sebelumnya aku sudah menelpon Sakura bahwa aku akan lembur dan pulang pagi, ternyata aku bisa menyelesaikan tugasku sebelum pagi. Jadi, aku bisa beristirahat lebih.

Kakiku terhenti tepat di depan pintu apartemenku. Telingaku mencoba menangkap suara-suara aneh yang sedari tadi terdengar jelas dari dalam apartemenku. Dahiku mengerut saat mendengar suara Sakura melengking disertai dengan desahan yang membuatku menjadi panas dan tidak menghiraukan rasa letihku.

DUAK!

Aku menendang pintu apartemenku yang terkunci itu dengan keras. Mataku terbelalak marah. Betapa terkejutnya aku setelah pintu itu terbuka, menampilkan dua orang yang tampak tumpang tindih tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh mereka.

Kue dan tas kerjaku jatuh

"Sakura..." aku menggeram marah saat melihat istriku yang tidak memakai pakaian itu mematung dengan posisinya yang benar-benar memalukan itu.

"Siapa kau!" kataku dingin nan menusuk pada laki-laki berambut merah yang langsung berdiri dan memakai celananya dengan cepat setelah aku masuk tadi. Sakura pun begitu, ia memunguti pakaiannya dan memakainya dengan cepat.

Aku benar-benar kalap, ku cekik leher dan mendorong laki-laki itu sampai tubuhnya membentur dinding dingin di belakangnya. Tanganya terulur kedepan mencoba melepaskan tanganku dari lehernya karena aku rasa ia benar-benar sulit bernafas.

"Sasuke! Hentikan Sasuke! Dia bisa mati." Teriak Sakura sambil menarik kemeja kerjaku yang sedikit basah oleh keringat. Air matanya mengalir saat aku terus memperkuat cekikanku pada laki-laki bersurai merah itu.

"Hentikan Sasuke!" Sakura berteriak lantang.

Aku pun melepas cekikanku dan membanting laki-laki itu ke lantai. Iris ku teralih menatap Sakura dengan tajam yang tampak membantu laki-laki itu berdiri.

"Kemasi barang-barangmu! Dan pergi dari apartemenku!" teriakku penuh amarah sambil mengacungkan telunjukku ke arah luar.

Sakura melotot dan merangkak maju menghampiriku.

"Jangan Sasuke, jangan usir aku..." kata Sakura sambil memegang kaki kananku dan memeluknya dengan erat.

Aku melepaskan Sakura dengan kasar dan mendorong wanita itu menjauh.

"Pergi sekarang atau aku akan membunuh kalian berdua. Surat cerai dariku akan sampai pada kedua orang tuamu besok!" kataku sambil menunjuk Sakura yang tampak menangis tersedu-sedu itu.

"Hiks.. Tou-san..." hatiku bergetar mendengar suara itu. Aku pun membalik tubuhku dan mendapati malaikat kecilku sedang berdiri sambil membawa boneka dinosaurus kesukaannya di depan pintu kamarnya. Aku berjalan mendekatinya dan menggendongnya.

"Tou-san... Hiks.. Tou-san... Hiks..." ia menangis di pundakku.

Ulang tahun yang menyedihkan.

Apakah ini rasanya berada di posisimu, Naruto?

.

.

Setelah dua minggu aku mengusir Sakura, tidak ada yang mengurus Ryuu. Akhirnya aku mengurangi jadwalku di kantor supaya bisa mengurus Ryuu dan meluangkan lebih banyak waktuku untuknya.

Ryuu pernah bercerita padaku kalau ia selalu melihat laki-laki berambut merah itu saat aku tidak ada. Ia juga bercerita kalau laki-laki berambut merah itu mengancam akan membunuhnya kalau sampai buka mulut atau berbicara perihal perselingkuhannya dengan Sakura. Ryuu yang ketakutan tentu saja tutup mulut dan tidak berani macam-macam, apalagi laki-laki itu hampir tiap hari ke apartemenku. Maka dari itu, Ryuu selalu menangis jika aku pulang. Tangisannya itu mengisyaratkan kalau ia lega sekaligus senang karena kepulanganku membebaskan dia dari rasa takut.

"Syukullah Tou-san cepat-cepat mengusil paman ganas itu. Lyuu takut..." katanya sambil memeluk tubuhku.

"Ya... kau tidak akan bertemu paman sialan itu lagi. Oh iya! Ryuu mau bantu Tou-san merapikan lemari?" tanyaku sambil tersenyum ke arahnya. Aku takut barang-barang wanita laknat itu masih tersisa di lemariku dan aku bermaksud untuk membuangnya jauh-jauh jika ada.

"Iya, Lyuu mau.." katanya sambil mengangguk senang.

Aku pun menggendongnya dan membawanya ke hadapan lemari besar berwarna hitam yang berada di kamarku.

.

"Tou-san, siapa ini?" tanya Ryuu sambil memperlihatkan foto yang mulai pudar dan berdebu itu padaku. Tampak di sana dua orang laki-laki memakai tuxedo putih dengan senyum yang mengembang. Tangan mereka tampak saling mengait satu sama lain seperti pasangan yang takkan terpisahkan.

Aku terdiam, tanpa sadar iris onyx-ku menjatuhkan bulir-bulir air mata yang dapat dilihat jelas oleh Ryuu.

"Kenapa Tou-san menangis?"tanya Ryuu sambil mengusap air mataku yang jatuh.

Hatiku terasa sakit dan perih saat mengingat kembali saat dia menangis dihadapanku mengatakan kalau ia mencintaiku dan tak ingin bercerai, saat ia berjalan menjauh dengan bahu bergetar menahan tangis, saat aku memberikan kado terburuk di hari ulang tahunnya itu. Seumur hidupku aku tak pernah menangis seperti ini, membiarkan putraku melihat saat sang ayah terlihat lemah padahal setiap hari selalu tampak angkuh dan dingin.

Ia memeluk tubuhku dengan erat sesekali menepuknya pelan.

Aku semakin larut dalam kesedihan dan membiarkan Ryuu mendengarnya.

"Ada apa Tou-san?" tanya Ryuu setelah mengusap air mataku penuh kasih sayang.

Aku menggeleng kemudian tersenyum sambil mengusap kepalanya dengan lembut.

"Terima kasih sudah menemukan harta Tou-san yang sangat berharga."kataku, kemudian aku mencium dahi Ryuu.

.

.

To

Be

Continued...

.