HunHan
.
Ulzzang Chris as Julian Oh
.
Sehun sudah membayangkan apa yang akan ia lakukan dengan Luhannya yang cantik ketika pulang nanti. Satu jam dalam perjalanan menuju mansion Oh terasa begitu lama, dan itu membuatnya agak gelisah dan tidak sabar ingin cepat sampai.
Sehun sempat berpikir mungkin itu akan menjadi ide yang bagus jika mereka kembali tinggal di apartemen, karena itu akan membuat Sehun lebih cepat bertemu Luhannya tanpa menghabiskan terlalu banyak waktu dalam perjalanan pulang—ataupun pergi.
Tapi kemudian Sehun berpikir lagi, apartemen mereka memang cukup luas untuk mereka tinggal bertiga—atau berempat dengan satu orang pelayan yang akan mengurusi kebutuhan mereka. Tapi meski begitu, disana tidak memiliki halaman yang luas tempat Julian bisa bermain dengan bebas seperti di mansion.
Julian yang baru berumur empat tahun suka menangkap serangga di halaman belakang. Sama seperti dirinya ketika kecil yang suka menangkap ulat untuk kemudian ia siksa dan potong-potong menjadi bagian-bagian kecil.
Sehun tidak tahu apa yang anak itu lakukan dengan serangga serangga yang dia tangkap. Namun dia punya perasaan jika jagoannya itu tidak akan lakukan apa yang appa-nya lakukan dulu. Karena faktanya selain anak seorang Oh Sehun yang sadis, Julian juga adalah anak seorang Luhan. Manusia berhati lembut yang tidak akan pernah tega bahkan untuk membunuh semut sekalipun.
Dengan semangat Sehun membuka pintu kamarnya, berharap ia bisa menemukan Luhan yang menunggunya di dalam sana, atau wajah tertidur menggemaskan si mungil yang akan memaksakan dirinya untuk membuka mata ketika mendengar Sehun datang.
Namun kemudian apa yang Sehun lihat adalah apa yang tidak Sehun harapkan terjadi. Luhan memang tidur dengan menggemaskannya di tempat tidur, namun bukan hanya ada Luhan saja yang tidur menggemaskan disana.
Oh tidak! Tidak lagi. Ya Tuhan.
Sehun mengerang dalam hati. Memijat pelipisnya kemudian mengembuskan napas dramatis, melihat kedua mahluk imut itu yang kini tengah tertidur berpelukan di atas tempat tidur tanpa selimut yang menutup tubuh mungil keduanya.
Luhan yang mungil memeluk Julian yang lebih mungil. Tangan Luhan yang kecil berada di pinggang Julian, sementara tangan Julian yang lebih kecil berada di wajah Luhan. Keduanya sungguh menggemaskan dengan Julian yang tampak seperti Luhan versi mini.
Mereka memakai piyama dan kaos kaki dengan warna dan motif yang sama, satu yang Sehun juga memilikinya di lemari, hadiah Natal Luhan tahun lalu, sepasang piyama dan kaos kaki lucu untuk suami dan anaknya tercinta, juga untuk dirinya sendiri tentu saja. Sehun hanya memakainya sekali saat malam setelah Natal (itupun karena Luhan memaksanya) dan ia menolak untuk memakainya lagi kapanpun karena mereka terlalu feminim untuk Sehun yang jantan.
Ujung hidung kecil baba dan erzi[1] itu saling bersentuhan dengan mulut keduanya yang sama sama terbuka sedikit, menguarkan deru nafas halus nan lembut yang saling bersahut-sahutan. Terdengar begitu menyenangkan di telinga Sehun.
Itu membuat ia nyaris melengkungkan senyum di bibirnya kalau saja ia tidak ingat jika Baby Juli akan mengganggu kegiatan kesukaan appa dan babanya jika ia di biarkan tetap disana. (Yang mana itu sudah sangat sering ia lakukan ketika kapanpun terbangun dari tidur di kamarnya dan mengeluh takut tidur sendiri disana).
Sehun memang tidak suka jika Baby Juli tidur bersama ia dan Luhan, dan mengganggu kegiatan malam hari mereka. Namun lebih dari itu, Sehun lebih tidak suka jika anak laki-lakinya ini masih tidur dengan orang tua di usianya yang menginjak empat tahun, tahun ini.
Dengan lembut Sehun menyingkirkan tangan Luhan di pinggang kecil Julian dan pergerakan kecil tersebut mengusik Luhan dari tidurnya.
"Sehun?" Luhan memanggil dengan suara yang serak dan dahi yang berkerut berusaha membuka mata.
Sehun menggendong Baby Juli di pundaknya, si mungil satu ini melenguh sesaat sebelum kembali tenang di gendongan appa-nya. "Aku akan memindahkan dia ke kamarnya,"
"Hmm." Luhan mengangguk mengiyakan.
Beberapa menit setelah itu Sehun kembali, ia membuka kemejanya sementara Luhan hanya menatap pergerakannya yang tengah berganti baju sambil bersender di kepala ranjang.
Sehun merasa tidak perlu mandi. Karena ia berniat untuk menjadi kotor lagi setelah ini.
Ia ikut menyenderkan tubuhnya di kepala ranjang di samping Luhan setelah selesai berganti pakaian kantornya dengan piyama. Pria itu membawa si mungilnya ke dalam pelukannya sementara Luhan mengistirahatkan kepalanya di dada Sehun seraya mengusap dada prianya dengan tempo lambat.
"Juli ketakutan lagi tidur sendiri di kamarnya, katanya ada tangan monster yang mengetuk-ngetuk kaca jendela." Luhan berkata.
"Aku pikir ada yang salah dengan anak itu, dia anak laki-laki tapi penakut begitu, aku yakin monster yang dimaksud hanya ranting pohon di depan kamarnya."
Luhan cemberut tidak suka, dan memukul dada Sehun pelan. "Itu 'kan wajar Sehun, Juli masih kecil,"
"Umur segitu aku bahkan sudah berani tidur di loteng sendiri saat ayahku menghukumku,"
"Oh." Luhan merespon dengan nada tidak peduli. "Lagipula siapa yang akan menghukumnya dengan mengurungnya di loteng? Aku tidak sejahat Papa Mertua!" kata Luhan. "Dan aku tidak akan membiarkanmu melakukannya. Juli anakku, tentu saja dia seperti itu."
Sehun mengangkat alis pada si mungil, mengerti satu hal. "Oh, jadi kau seperti itu ya? Mengira ranting pohon adalah tangan monster?"
"A-aku...tidak!" Luhan menyangkal, namun wajahnya memerah, karena tuduhan Sehun sesungguhnya memang benar, sementara Sehun tertawa untuk itu. "Sudahlah, tidak usah di bahas, aku yakin kau memindahkan Juli bukan hanya untuk berdebat seperti ini denganku,"
Sehun berdecak. "Ah, kau benar." Kemudian mengangkat dagu Luhan dan mengecup bibir merahnya sekilas. "Aku benar-benar merindukanmu sayang, kita jarang bercinta akhir-akhir ini, aku rasa aku bisa melakukannya semalaman penuh dan membuatmu menjerit-jerit memohon aku untuk menumbuk lubangmu keras-keras."
Luhan tersenyum dan bergerak untuk menempatkan ciuman di rahang Sehun kemudian berbisik menggoda. "Kau membuat lubangku berkedut menantikanmu Mr. Oh Sehun," katanya, membalas kata-kata kotor Sehun tanpa malu-malu lagi seperti dulu.
Kemudian setelahnya, bibir mereka menyatu, saling melumat satu sama lain dengan Sehun yang lebih mendominasi, menguasai rongga mulut Luhan dengan lidahnya. Tangan Luhan meremas piyama Sehun, sementara tangan Sehun menahan kepala Luhan. Ia menempatkan kepala si mungil kemudian dengan hati-hati di atas bantal tanpa melepaskan tautan bibir mereka. Tangan Sehun menyelinap ke balik piyama Luhan, mengelus kulit sehalus bayi itu yang kini terdapat bekas luka jahitan caesar disana. Menghasilkan rengekan menggemaskan si mungil diantara gerakan bibirnya yang berusaha mengimbangi lumatan suaminya.
Ciuman Sehun kemudian turun menyusuri rahang, leher dan bahunya yang tersingkap. Tangannya semakin turun menyelinap ke dalam celana Luhan, mengusap pusat Luhan yang mulai bereaksi sama seperti miliknya. Luhan bernapas putus asa seiring usapan Sehun yang kian berubah menjadi tusukan-tusukan liar menggoda lubangnya.
"O-ough, Sehunh...Sehunh." Luhan menggelinjang, menggigit bibirnya ketika jari besar Sehun mulai berusaha menerobos masuk lubangnya. Ia meremas punggung piyama Sehun, seolah ia akan jatuh dari ketinggian jika tidak melakukan itu.
Menyeringai, Sehun berbisik menggoda tepat di telinga Luhan. "Apa sayang? Kau ingin aku memuaskanmu ya? Kau ingin adikku juga menusuk dan menumbuk lubangmu dan membuatmu menjerit nikmat hmm?"
"Se-Sehunh...apa kau mengunci pintu?" Luhan bertanya diantara napasnya yang berantakan.
"Pintu? Oh tentu saja sudah sayang, jangan khawatir, tidak akan ada yang berani masuk." Sehun menjawab tanpa menghentikan gerakan tangannya.
Tiba-tiba Luhan teringat sesuatu, ia mengisaratkan Sehun untuk berhenti.
"Ada apa?" Sehun bertanya, jelas tidak mengerti dan tidak suka Luhan menghentikan pekerjaan favoritnya, menggoda Luhan dan membuat ia mendesahkan namanya.
Wajah Luhan berubah khawatir. "Sehun, bagaimana kalau Juli bangun dan menemukan aku tidak ada di sampingnya."
Sehun menghela napas. "Luhan, dia sudah cukup besar untuk tidur sendiri, Julian akan baik-baik saja,"
"Tapi—"
Dan tepat setelah itu terdengar suara pintu yang di gedor-gedor dari luar di sertai suara teriakan Julian yang memanggil Luhan.
"BABA BABA BABA!"
Dengan cepat Luhan turun dari tempat tidur, membenarkan letak pakaiannya dan pergi membuka pintu.
"Ada apa sayang?" Luhan bertanya dan segera membawa Julian yang menangis dalam gendongannya.
"Baba, Juli takut, bolehkah Juli tidur dengan Baba dan Appa lagi?"
Luhan tersenyum lembut. "Tentu saj—"
"Tidak Julian! Kau tidak boleh tidur dengan Appa dan Baba lagi mulai sekarang, kau ini sudah cukup besar untuk tidur sendiri!" Sehun memotong ucapan Luhan dengan cepat.
"Tapi Appa, ada monster di jendela,"
"Monster itu tidak ada Julian! Kau seorang laki-laki jangan cengeng dan penakut! Kembali ke kamarmu atau Appa akan mengurungmu di loteng!"
"Sehun!" Luhan menjauhkan Julian dari Sehun ketika Sehun hendak mengambil Julian di gendongannya. Ia menatap Sehun tidak percaya dengan apa yang baru saja pria itu katakan pada anak mereka.
"Babaaa..." Julian ketakutan, menangis semakin kencang dan menyembunyikan wajahnya di pundak Luhan, tidak berani menatap appa yang lagi-lagi memarahinya.
"Sehun! Kenapa kau tega sekali memberi ancaman seperti itu pada anak kecil! Julian anakmu Sehun!"
"Ya, karena dia anakku, aku ingin membiasakannya tidur sendiri dan tidak manja seperti itu! Kemarikan anakku!"
"Tidak! Aku yang melahirkannya! Julian anakku!" Luhan menatap Sehun dengan tampang siap perang sementara membuat gestur seolah melindungi anaknya dari monster. "Tidak apa sayang, Baba akan menemanimu di kamarmu dan baba akan menghajar monsternya," katanya, mengusap rambut Julian.
"Luhan! Kau tidak boleh lakukan itu, biarkan Julian tidur sendiri!"
"Kenapa aku tidak boleh melakukannya! Dia anakku!"
"Dia juga anakku, dan aku tidak mau jika anakku jadi seorang yang penakut dan cengeng sepertimu karena kau terlalu memanjakannya!"
"O-Oh Sehun..."
Oh tidak. Tidak lagi.
Luhan berkedip menatap Sehun dengan wajah memerah dan mata yang mulai berkaca-kaca siap menangis. Jahat sekali.
"Luhan, aku—"
"Aku tidak mau bicara denganmu!" bentaknya menghindari Sehun yang hendak menyentuhnya. Luhan kemudian benar-benar menangis. Ia berbalik keluar dari kamar membawa serta Julian yang masih belum menghentikan tangisnya, meninggalkan Sehun yang begitu menyesali apa yang baru saja dikatakannya.
.
Malam itu Sehun hanya berguling-guling frustasi di tempat tidur. Ia tidak terbiasa tidur tanpa Luhan di sampingnya. Dan lagi, ia tidak bisa tidur karena merasa bersalah, lagi lagi tidak bisa menjaga mulut kurang ajarnya yang menghina Luhan.
"Sial! Harusnya aku tidak mengatakan itu!" Sehun mengembuskan napas menatap sisi kosong tempat tidur disampingnya. Tempat dimana Luhan biasa terkulai lemas dan menatap Sehun dengan pandangan sayu yang begitu sensual setelah sesi percintaan mereka yang panas.
"Argh! Ini membuatku gila!" Dari sekian banyak ekspresi Luhan, kenapa itu yang terlintas di kepalaku!
Merasa ini cukup, Sehun bangun dari tidurnya. Mengacak rambutnya frustasi kemudian menyibak selimut dan melangkahkan kaki keluar dari kamar.
Masuk kamar Julian yang di dominasi warna biru (warna yang Sehun pilihkan), Sehun melihat Luhan dan Julian disana dengan posisi yang sama. Sehun mengacak rambut mangkok jagoan cengengnya dan menempatkan satu kecupan sayang di dahinya. "Maafkan Appa," bisik Sehun.
Di balik sikap Sehun yang keras pada Julian, rasa sayang Sehun tidak kalah besarnya dari rasa sayang Luhan pada Julian. Hanya saja Sehun tidak ingin terlalu memanjakan Julian sebagaimana yang selalu Luhan lakukan.
Sehun ingin Julian memiliki pribadi yang tangguh, kuat dan mandiri, agar dia menjadi orang hebat kelak seperti dirinya yang disegani dan ditakuti banyak orang.
Namun sepertinya itu akan sangat sulit, karena mengingat Julian lebih banyak memiliki kepribadian Luhan dibanding dirinya. Dia cengeng, penakut dan lembek seperti perempuan.
Namun tentu saja, itu tidak akan mustahil jika Sehun mendidik Julian dengan tegas sebagaimana apa yang di lakukan appa nya dulu pada dirinya hingga dia menjadi manusia bermental baja seperti sekarang. Namun sepertinya itu juga sulit karena Luhan yang terlalu memanjakan Julian dan selalu menentang kehendaknya.
Sehun menepatkan tangannya di bawah leher dan lutut Luhan setelah menyingkirkan tangan Julian di wajah Luhan, kemudian mengangkatnya dengan hati-hati. Sehun menutup pintu kamar Julian perlahan tanpa suara dan berjalan kembali ke kamarnya dengan Luhan dalam gendongannya.
Merasakan tubuhnya terayun-ayun, Luhan terbangun dan menyadari ia berada di gendongan Sehun. "Sehun..." bisiknya dengan suara serak.
Sehun menempatkan Luhan di tempat tidur, di sisi yang memang seharusnya tempat ia berada. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud menghinamu,"
Luhan tersenyum lembut tanda ia memaafkannya. Asalkan Sehun minta maaf, tentu saja Luhan akan selalu memaafkan apapun kesalahan Sehun.
"Sehun, kau harus minta maaf pada Juli juga, kau kasar sekali tadi, jangan sampai dia berpikir kau membencinya,"
"Ya, aku sudah melakukannya barusan dan aku akan melakukannya lagi besok saat dia bangun,"
"Aku yakin dia akan memaafkanmu," kata Luhan.
"Yah, tentu saja, dia pemaaf sepertimu." Sehun mengusap pipi Luhan yang kini mulai kembali seperti dulu saat sebelum ia hamil dan melahirkan.
"Ya, dan dia cengeng dan penakut juga seperti aku." Luhan tersenyum miris.
"Ye—ah maksudku Luhan, bukan berarti sifat sepertimu itu buruk, hanya saja kau tahu, Julian akan menjadi seorang pemimpin besar menggantikan aku di masa depan nanti, dan untuk jadi seperti itu dia harus menjadi pribadi yang kuat dan tangguh sepertiku."
Luhan menyentuh wajah Sehun di depannya dan Sehun mengecup tangan mungil itu. "Sehun, biarkan Juli jadi dirinya sendiri," katanya. "Dan tentang itu, kenapa kau harus repot-repot mengkhawatirkannya? Kita bisa membuatnya lagi yang sepertimu kapanpun."
Sehun mengernyit. "Luhan, apa yang kau bicarakan?"
"Kita bisa membuat dua atau tiga lagi, atau lebih banyak dari itu. Ah, lebih banyak bukannya lebih bagus Sehun?"
Mendengar itu Sehun mendengus. "Astaga, seseorang tolong ingatkan aku siapa yang dulu menangis dan tidak bisa tidur seminggu sebelum di operasi, atau yang setiap hari bangun tengah malam lalu menangis dan terus mengeluh sakit setelah melahirkan."
Luhan bahkan tidak mau makan ketika itu. Tepat setelah Luhan terbangun pasca melahirkan dan menyadari memiliki luka jahitan di perutnya ia pikir apapun yang ia makan akan keluar dari sana. Teori yang benar-benar tidak masuk akal itu sukses membuat ia menolak apapun makanan yang diberikan.
Itu sampai kemudian Sehun memaksanya, memasukan makanan yang harus Luhan makan kedalam mulutnya sendiri (meski ia tidak suka rasa bubur rumah sakit yang menyentuh lidahnya) dan membuka paksa mulut Luhan dengan kedua tangannya kemudian menyuapi si mungil langsung melalui mulutnya sendiri. Luhan tidak bisa berontak karena pergerakan sekecil apapun akan membuatnya menjerit kesakitan.
Luhan cemberut. "Tapi tetap saja Sehun, aku bisa melakukannya dan bisa bertahan 'kan?"
"Ya, setelah kau membuatku tidak tidur selama 3 hari, dan nyaris membunuh Kris Wu karena berpikir dia dokter yang tidak becus menanganimu."
Sehun tidak pernah tidak tidur selama itu, namun ia melakukannya untuk pertama kali saat Luhan tak kunjung sadar selama tiga hari setelah operasi. Ia berada di samping Luhan sepanjang waktu, menggenggam tangannya dan terus membisikan kata-kata yang mungkin orang tidak akan percaya jika seorang Oh Sehun pernah mengatakan itu.
"Dan kau menangis saat itu." Luhan menambahkan.
"Aku? Tidak!" Sehun menyangkal dan Luhan menyipitkan mata pada Sehun tanda ia tidak percaya. "Oke, mungkin sedikit," kata Sehun mengakui. "Oh, ingatkan aku untuk memecat si Pelayan Do setelah ini." Karena sudah bisa di pastikan jika Kyungsoo-lah yang memberi tahu Luhan tentang ini.
Luhan hanya memutar mata untuk itu. Ia sudah sejak lama berhenti percaya akan ancaman kosong Sehun yang satu ini.
"Omong-omong kau sudah merasakan sakitnya sekali, kupikir kau tidak akan mau merasakannya lagi,"
"Selama sehun di sampingku aku rasa aku mau melakukannya bahkan meski seratus kali lagi sekalipun."
Sehun tertawa melihat Luhan tampak sungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan, meski itu adalah sesuatu yang mustahil.
Menangkup wajah Luhan, Sehun mengecup hidungnya yang kecil. "Astaga, kau benar-benar si mungil yang berbahaya." Kemudian ia menghujani wajah Luhan dengan ciuman, membuat si mungil tertawa senang sekaligus geli. "Tapi tentu saja itu mustahil untukmu melahirkan seratus kali lagi," kata Sehun. "Tapi baiklah, kau mungkin bisa bertahan untuk dua atau tiga kali lagi."
Luhan menggeleng tidak setuju. "Tidak. Sepuluh kali lagi," katanya.
Sebelum Sehun bisa protes dan mengatakan apapun lagi, Luhan sudah membungkam Sehun dengan ciuman. Kemudian memulai program-membuat-banyak-anak mereka.
Dan begitulah, kehidupan rumah tangga mereka yang di penuhi konflik dan perbedaan pendapat akan selalu berakhir dengan penyelesaian yang terlalu sederhana.
Luhan yang sejak kecil tidak memiliki orang tua akan menjadi orang tua dari ke sebelas anaknya kelak bersama Sehun. Sementara Sehun, seorang yang dulu hanya peduli pada dirinya sendiri menjadi seorang yang akan bertanggung jawab serta mencintai Luhannya yang cantik beserta ke sebelas anaknya kelak bersama Luhan melebihi dirinya sendiri.
Dan tentu saja, mereka sama-sama tidak sabar sampai hari itu terjadi.
.
.
~owari~
[1] Anak laki-laki (mamdarin)
Hehe, sekian dan terimakasih yorobun.
Sampai jumpa di cerita hunhan by hunfabb berikutnya^^
Ada satu chapter bonus lagi untuk ini, yang mau baca silahkan menunggu, yang gamau baca silahkan...ng...tau dah kekekekek~~
Terimakasih untuk;
300+ fav
300+ fol
1k+ review
Dan juga silent reader yang lebih banyak dari jumlah fav, fol, dan ripiu.
Terkhusus untuk review, maaf gak bisa bales satu satu, tapi aku selalu baca setiap ripiu kamu kok dan sangat menghargai itu^^ terimakasiihh^^
.
.
520!