HunHan
.
"Ada apa?"
Luhan terlojak ditempatnya ketika mendengar suara Sehun di belakangnya. Ia berbalik untuk menghadap pria itu, yang rambutnya masih basah sehabis mandi.
"Eh, t-tidak ada apa-apa," jawab Luhan, berusaha menyembunyikan tangannya di belakang punggung.
"Apa yang terjadi?" Sehun berjalan mendekat.
"Tidak ada yang terjadi Sehun." Luhan berkata sementara berusaha menutupi kekacawan yang terjadi. Sehun sampai di hadapannya, pria itu segera meraih tangan Luhan dan menariknya keluar. "Ap—ah!"
"Yak, apa yang terjadi dengan tanganmu?!" Mata Sehun melebar, tangan mungil Luhan tampak melepuh. Pandangannya melesat pada teh yang tumpah di konter, dan kembali pada pria mungil di depannya.
Luhan panik, ia berkata dengan cepat. "I-ini, ini hanya luka ringan, tidak sakit kok. Aku akan mengoleskan salep nanti,"
"Sekarang memang tidak, tapi nanti mungkin akan terasa sakit," kata Sehun. "Biar aku mengobatinya." Sehun hendak menarik tangan Luhan namun si mungil menahannya.
"Tidak. Sunguh. Aku baik-baik saja Sehun,"
"Jangan membantahku Luhan!"
Dan dengan itu Sehun menarik Luhan ke dalam kamar mereka.
Sehun mengoleskan salep yang terasa dingin sekaligus perih di permukaan kulit Luhan yang melepuh. Si mungil meringis beberapa kali, namun Sehun seolah tidak peduli, dan terus mengoleskannya tanpa kelembutan sedikitpun.
"I-ini...tadi aku tidak sengaja menumpahkan teh panasnya ke tanganku," kata Luhan.
"Dasar ceroboh!"
"Maaf,"
"Untuk?"
"Kau bilang aku ceroboh."
Sehun mendongak melihat Luhan, yang kini sedang menggigit bibir menahan perih. "Itu bukan kesalahan, jadi kau tidak harus minta maaf untuk itu," katanya, kemudian mengoleskan salep pada sudut luka terakhir diantara telunjuk dan jempol Luhan. "Nah, selesai,"
"Aku kira kau akan marah,"
"Karena tanganmu melepuh?"
"Bukan. Karena aku ceroboh,"
"Kenapa harus?"
"Karena kau selalu marah karena kecerobohanku." Sebenarnya pada apapun yang kulakukan yang tidak sesuai kehendakmu.
"Begitukah?"
"Ya." Luhan mengangguk, kemudian memberi contoh. "Seperti waktu itu, kau memarahiku saat aku memecahkan vas di ruang tamu."
Sehun tertawa. "Maaf tentang itu." Permintaan maafnya tidak terdengar tulus, seolah itu bukan masalah untuknya, seolah ketika itu dia hanya bercanda dan tidak serius.
Berbeda dengan Luhan yang memandangnya dari sisi yang berbeda, setiap kemarahan Sehun hanya karena hal-hal sepele selalu meninggalkan rasa sakit tertentu di hatinya, membuat ia bertanya-tanya, sebegitu tidak berharganyakah dia di mata Sehun? Di mata pria yang berstatus suaminya di atas selembar kertas?
"Terkadang aku tidak menyadarinya dan tahu-tahu kau sudah menangis." Sehun mengakui.
Mendengar itu Luhan memerah, menunduk menyembunyikan wajahnya. Saat mendongak, ia menemukan Sehun terus menatap ke arahnya. "K-kenapa?" Ia bertanya, salah tingkah di tatap suaminya sendiri.
"Apa kau merasa aku selalu menyakitimu selama ini? Apa kau tidak senang hidup denganku?"
"I-itu..." Luhan tergagap, ia menunduk lagi, menghindari tatapan Sehun yang untuk beberapa alasan selalu membuatnya gugup dan takut. "A-aku tidak tahu,"
"Aku suami yang buruk untukmu, benarkan?" kata Sehun, ia meraih dagu Luhan dengan ujung jarinya, mendongakkan wajah pria mungil itu agar menatapnya. "Meski jawabannya iya, tetap saja aku tidak akan pernah melepasmu. Suka atau tidak kau akan tetap bersamaku Luhan. Disini. Menjadi milikku. Melayaniku. Apapun,"
"Ya, aku tahu, Sehun."
Sehun tersenyum, meneliti wajah sempurna Luhan. "Oh, lihat wajahmu, betapa cantiknya dirimu kau tahu itu?" Luhan tidak menjawab, sementara Sehun melanjutkan menarik tubuh kecil Luhan lebih mendekat padanya. Luhan nyaris duduk di pangkuan Sehun. "Dan tubuh sempurnamu ini...semuanya adalah milikku."
Luhan tersentak meraskan tangan kasar Sehun menyelinap ke balik pakaiannya sementara wajahnya mulai mendekat, kemudian dalam hitungan detik bibirnya sudah menempel di bibir Luhan. Dia menciumnya—ciuman yang terasa begitu kuat, bergairah dan mendominasi. Seolah berusaha menandai si mungil sebagai miliknya dan menunjukan padanya siapa yang berkuasa disini. Membuat Luhan mengerti bahwa ia akan selalu kalah dan jatuh dalam pelukannya. Juga tidak ada cara bagi Luhan untuk lari dari seorang pria kuat dan berkuasa layaknya Oh Sehun.
Tangan kasar Sehun yang bergerak di atas permukaan kulit Luhan yang halus, menciptakan sensasi tertentu yang membuat si mungil merinding sampai tulang ekor. Namun sejujurnya Luhan menyukai itu. Satu hal yang baik tentang Oh Sehun adalah bagaimana pria itu memperlakukannya di atas ranjang.
"—ah." Luhan meringis diantara ciuman mereka karena Sehun baru saja menggigit bibirnya. Ia merasakan zat besi darah di lidahnya ketika Sehun melepasnya.
Memandangi hasil karyanya, Sehun menyeringai, sementara Luhan berantakan, terengah-engah dengan wajah memerah dan bibir bengkak mengeluarkan sedikit darah.
"Jangan coba-coba lari dariku, oke? Aku tidak bisa memastikan apa yang mungkin akan aku lakukan saat tahu kau berusaha lari dariku. Mengerti?" Luhan tidak menjawab, masih berusaha menormalkan deru napasnya yang tidak karuan. "Luhan?"
"I-iya."
"Iya apa?"
"I-iya, aku mengerti, Sehun," katanya dengan suara tersendat.
"Bagus."
.
520!