Enam tahun berlalu sejak aku akhirnya memutuskan untuk mengambil beasiswaku dan meneruskan studi-ku di Prancis. Aku mempelajari dan mendalami dua aliran seni lukis yang berbeda sekaligus. Sejak aku memutuskan untuk meninggalkan Jepang dan pergi ke Prancis, aku sudah bertekad untuk tidak mengusik masa laluku lagi. Aku mungkin memang pernah melakukan kesalahan dan dosa paling besar dalam hidupku, dan aku menyadarinya. Untuk itulah aku ingin menebusnya dengan menghilang dari kehidupan mereka. Itachi dan Sakura, mereka layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari ini.

Aku ingat sekali malam sebelum keberangkatanku ke Jepang, Sakura menelponku sambil menangis. Sebagai seorang laki-laki yang selama ini bilang padanya kalau aku mencintainya, aku tidak bisa berbuat apapun. Aku tidak ingin mengganggu kehidupan mereka lagi. Aku tahu Sakura belum mencintai kakakku. Tapi mungkin dengan kepergianku dari hidupnya, dia bisa melupakanku dan mulai mencintai Itachi. Dengan berita kehamilannya yang membuat orangtuaku sangat bahagia dan juga membuat Itachi tersenyum terus sepanjang hari, tidak ada alasan bagiku untuk tetap berada di sisinya dan merusak kebahagiaan mereka.

Bagaimanapun juga, aku tetap harus mengalah.

Aku masih menghubungi Itachi, hampir setiap hari. Tapi aku sendiri yang menolak untuk tidak mau tahu tentang bagaimana kehidupannya di sana. Aku selalu menghindari topik tentang keadaan istrinya dan juga keponakanku.

Keponakanku, ya? Bahkan mendengarnya saja sudah membuatku merasa aneh sendiri.

Enam tahun sejak kepergianku ke Prancis dan menyelesaikan pendidikanku di sana, aku memutuskan untuk kembali ke Jepang. Hidup di Prancis memang menyenangkan. Banyak fasilitas yang tersedia di sana. Apapun yang aku butuhkan ada di sana. Bahkan kalau aku butuh wanita untuk menemaniku semalaman di ranjang, banyak agen yang menyediakannya. Tapi tentu saja aku tidak melakukannya. Aku tidak akan menghabiskan uangku dengan hal-hal seperti itu. Aku mati-matian mencari uang di sana dengan bekerja paruh waktu, mana mungkin aku akan menghabiskannya begitu saja hanya untuk bercinta dengan wanita yang tidak aku kenal? Membuang-buang uang saja.

Aku lebih tertarik memperdalam studi-ku dibanding berfoya-foya seperti teman-temanku yang lain. Dalam hal ini, aku beruntung aku memiliki kecenderungan sosiopat. Aku bisa-bisa ikut menjadi anak liar kalau aku mudah terpengaruh dengan pergaulan di sekelilingku.

Dan setelah mengalami enam tahun penuh perjuangan di sana, sekarang aku sudah bisa pulang dengan menyandang gelar profesor. Yah, tidak bisa dibilang ahli juga. Tapi begitulah kira-kira sebutannya.

Siang ini, tanpa pemberitahuan pada siapapun, aku langsung meluncur menuju rumahku di distrik Konoha. Aku tidak memberitahukan kepulanganku pada semua orang, termasuk Itachi. Aku ingin memberikan kejutan pada mereka semua. Ibuku sudah pasti akan histeris seperti biasanya, begitu pula Itachi. Tapi aku yakin ayahku tidak akan seterkejut itu melihat kepulanganku. Aku sendiri tidak tahu bagaimana bisa membuatnya terkejut atau bahkan sekedar tersenyum bangga padaku. Ah, entahlah. Toh aku sudah biasa diperlakukan seperti itu dan aku sudah biasa menanggapinya.

Yang jadi masalah saat ini adalah Sakura. Aku ingin semua kelihatan baik-baik saja saat kami bertemu nanti. Aku ingin bisa bertingkah normal di depan semua orang seolah tidak pernah terjadi apapun di antara kami. Aku sudah melatih dan menata perasaanku semenjak keberangkatanku dari Prancis semalam. Aku juga sudah menyiapkan hatiku saat melihat keponakanku nanti.

Saat taksi yang aku tumpangi sudah hampir mendekati rumah orangtuaku, aku terpaksa menghentikannya di ujung jalan. Aku turun dari taksi dan berjalan memasuki sebuah toko serba ada yang ada di ujung jalan.

Kaca etalase toko memantulkan penampilanku. Seorang pria berumur 30 tahun dengan potongan rambut sebahu yang diikat ke belakang dan kacamata yang bertengger di atas hidungku. Potongan jin denim yang aku kenakan tampak sesuai dengan kemeja warna hitam yang aku kenakan.

"Bibi, ada paman aneh di sini."

Aku mendengar sebuah suara kecil di dekatku. Aku langsung menoleh ke asal suara dan melihat seorang gadis kecil sedang mengamatiku dengan dahi berkerut. Wanita paruh baya yang sedang bekerja di balik meja kasir hanya menatapku sambil tersenyum kikuk.

"Apa yang kau maksud itu aku, Anak Kecil?" tanyaku kepada gadis kecil itu. Anak perempuan itu tidak segera menjawab dan malah menatapku dengan tatapan penuh selidik dengan kedua mata hitam onyx-nya itu.

"Kau mengamati kaca permen sejak tadi. Apa kau berniat mencuri permen-permen itu?" tanyanya kemudian.

"Apa?" aku menatapnya kaget.

"Di acara televisi yang aku lihat, mereka sering bilang untuk berhati-hati pada orang aneh. Banyak orang aneh yang memakai kacamata di dalam ruangan. Iya kan, Bibi? Karena paman ini memakai kacamata hitam di dalam ruangan, apakah dia juga orang aneh?" anak perempuan itu masih menatapku dengan tatapan penuh selidik.

Aku mengerjapkan mata kaget.

"Acara apa yang kau tonton itu? Apa orangtuamu tidak mengajarimu untuk menghormati orang yang lebih dewasa? Yang benar saja. Apa dia cucumu, Nyonya?" tanyaku pada wanita paruh baya yang bekerja di belakang kasir. Wanita itu terlihat tergagap.

"Tidak. Dia pelanggan kami. Dia datang dengan ibunya tadi," jawabnya kemudian.

"Lalu di mana ibunya? Baru kali ini ada anak kecil yang mengataiku aneh," kataku seraya melepaskan kacamataku.

"Wah!" anak perempuan itu langsung terbelelak begitu melihatku.

"Apa lagi?" tanyaku tak sabar.

"Aku pernah melihatmu, Paman," ujarnya kemudian seraya menunjukku.

Hah? Aku menatap gadis kecil itu dengan tatapan aneh.

"Di album lama Tou-chan," katanya lagi.

Aku baru akan membuka mulutku untuk bertanya padanya lebih lanjut saat seseorang tiba-tiba muncul di belakangnya.

"Sarada-chan, sudah Mama bilang untuk tidak bicara sembarangan dengan orang asing kan?"

Begitu mataku bertatapan langsung dengan mata hijau emerald milik seseorang yang baru saja muncul di belakang gadis kecil tadi, aku langsung terpaku di tempat.

Mataku membulat kaget, begitupula dengan seseorang yang kini berdiri di hadapanku.

"Sasuke... kun?" suara Sakura kedengaran jauh lebih dewasa sejak terakhir kali kami bertemu.

"Sakura?" suaraku kedengaran serak tiba-tiba karena perasaanku mulai berkecamuk tak menentu sekarang. Persiapan yang sudah aku lakukan sejak semalam menghilang entah ke mana.

.

.

Reaksi semua orang di rumah sama seperti yang sudah aku duga sebelumnya saat aku menginjakkan kaki di rumah orangtuaku. Ibuku sudah tentu langsung memelukku dengan erat sambil menangis haru. Ayahku, tidak seperti yang sudah aku duga, tersenyum sedikit dan mengusap bahuku lembut saat aku datang. Itachi datang beberapa menit kemudian saat dia mendengar suara-suara ribut dari ruang bawah. Mengabaikan rasa aneh yang tiba-tiba menyergap perasaanku, aku memeluk kakakku dengan erat sekali. Seolah ingin menyalurkan semua rasa yang mendekam di dadaku saat ini. Itachi menyambutku dengan hangat.

"Kau tampak berbeda dari foto terakhir yang kau kirimkan padaku beberapa bulan yang lalu," ujar Itachi seraya menatapku dari ujung kepala sampai kaki.

"Semua orang berubah kan?" sahutku seraya menatap Itachi. Ada yang berbeda dari Itachi. Aku tidak bisa menemukannya dengan pasti. Tapi dia tampak lain dari terakhir kali aku melihatnya.

"Jadi, dia pamanku yang sering kau ceritakan padaku itu, Tou-chan?"

Semua orang di ruangan itu langsung menoleh ke arah gadis kecil yang baru saja bertanya dengan nada heran itu.

"Ya. Namanya Sasuke. Apa kau sudah berkenalan dengannya?" kata Itachi seraya mendekati anak perempuan itu.

Kedua mata hitam Sarada langsung menatapku.

"Belum. Aku bertemu dengannya di toko Bibi Mai yang ada di ujung jalan tadi," jawab Sarada.

"Kalau begitu sekarang beri salam padanya," kata Itachi seraya menarik tangan Sarada untuk mendekat ke arahku.

"Hai," sapaku singkat seraya melambai padanya.

"Ayolah, Sasuke. Kau harus lebih lembut lagi pada anak kecil," kata Itachi.

Aku menghela napas pelan. Aku tidak pernah berhubungan dengan anak kecil sebelum ini. Aku hanya menatap mereka sambil lalu kalau tidak sengaja berpapasan dengan mereka di tengah jalan. Tidak pernah terlintas dalam benakku untuk mengajak mereka berjabat tangan atau mengajak mereka bicara. Yang benar saja.

Dengan enggan aku lalu berjongkok di hadapannya dan menatap anak perempuan itu.

"Apa kau pandai melukis? Tou-chan sering bilang kalau lukisanmu bagus sekali," kata Sarada kemudian.

"Yah. Begitulah," sahutku seraya menatap wajah gadis kecil itu. Kedua matanya yang lebar mirip sekali dengan Sakura. Bentuk wajah dan juga ekspresi wajahnya. Hanya saja, kedua mata hitamnya itu mirip sekali dengan Itachi. Denganku juga. Ralat, semua keluargaku memiliki iris mata seperti.

"Kalau begitu, kau bisa mengajariku?" tanya Sarada dengan antusias.

"Tentu saja. Kau suka melukis?"

Sarada mengangguk.

"Guruku di sekolah bilang kalau lukisanku bagus sekali," katanya kemudian.

"Apa yang paling suka kau lukis?" tanyaku lagi.

Sarada terdiam beberapa saat dan kelihatan sedang memikirkan sesuatu.

"Aku suka melukis bunga. Kau bisa mengajariku?" tanyanya kemudian.

"Tentu saja," jawabku mantap.

"Wah, bagus sekali. Semua orang di sini tidak ada yang bisa melukis. Lukisan Tou-chan jelek sekali. Apalagi Mama. Eh, Paman, bagaimana kalau kita mulai melukis sekarang?" Sarada menatapku dengan tatapan memohon.

"Eh?"

"Sarada-chan, pamanmu masih lelah setelah perjalanan panjangnya. Biarkan dia istirahat dulu," kata Ibuku.

"Yah," Sarada tampak kecewa. Dia hanya menunduk dengan wajah masam.

"Kita bisa mulai melukis besok," kataku kemudian.

Sarada kembali mendongak dan menatapku. Raut wajahnya mulai kembali antusias.

"Benarkah?" katanya.

Aku mengangguk seraya tersenyum tipis padanya.

Sarada bersorak kegirangan. Aku tidak tahu apa yang mendorongku untuk melakukan ini. Tanganku bergerak dengan sendirinya tanpa bisa aku cegah. Aku mengusap kepalanya dengan lembut seraya tersenyum gemas. Saat kepalaku mendongak dan mataku tidak sengaja bertatapan dengan mata Sakura yang berdiri tak jauh dari kami, aku melihat Sakura menghapus matanya tanpa sepengetahuan siapapun yang ada di ruangan itu. Detik berikutnya, dia ikut tersenyum seperti yang lainnya.

Aku mengabaikan rasa penasaranku dengan mendekati ibuku yang sepertinya sudah tidak sabar menunggu ceritaku saat di Prancis. Malam itu, aku kelelahan karena harus menjawab pertanyaan ibuku yang tidak ada habisnya. Dia sepertinya benar-benar merindukanku.

.

.

Rasanya aku baru saja merebahkan tubuhku di atas ranjang lamaku dan memejamkan mataku untuk mengistirahatkan diri saat aku merasa seseorang tiba-tiba naik ke ranjangku dengan keras sekali. Aku langsung terbangun saking kagetnya tapi terlalu malas untuk membuka mataku.

"Paman, bangun. Ini sudah pagi. Kau bilang akan mengajariku melukis kan?" aku mendengar suara Sarada di dekatku.

Aku tidak menjawab dan merapatkan selimutku.

"Ayolah. Guruku selalu mengajarkan padaku untuk bangun pagi. Tapi kenapa orang dewasa susah sekali bangun di pagi hari?" aku mendengar suara Sarada mulai mengomel di dekatku.

"Kau juga akan seperti ini kalau sudah dewasa nanti," jawabku malas-malasan tanpa membuka mataku.

"Aku tidak akan jadi orang dewasa yang payah kalau besar nanti," kata Sarada.

Aku mendengus pelan seraya membuka mataku dengan berat hati. Sarada sudah duduk di atas ranjangku. Masih dengan mengenakan piyama tidurnya dan juga boneka beruang di pelukannya.

Aku membuka selimutku.

"Sini. Lebih baik kau teruskan tidur saja denganku," kataku kemudian.

"Aku sudah tujuh tahun dua bulan lagi. Mama bilang aku tidak boleh sembarangan berdekatan dengan laki-laki selain Tou-chan ataupun Jii-chan. Karena itu berbahaya," kata Sarada.

Mau tidak mau aku tersenyum juga mendengar penyataan polos yang terlontar dari mulut bocah itu. Akhirnya aku membuka mataku dan menatap Sarada dengan helaan napas panjang.

"Baiklah, kau menang," kataku kemudian.

Aku bangkit dari tidurku dengan enggan.

"Jadi, kau akan mengajariku melukis hari ini?" tanya Sarada dengan antusias. Kedua matanya membulat menatapku.

"Ya, tapi kau harus mandi dulu," kataku seraya mengusap wajahku dengan lelah.

"Baiklah. Kau tidak boleh tidur lagi setelah aku pergi. Janji, Paman?" Sarada menatapku galak.

"Ya, ya. Aku janji. Sudah, sana. Mandilah dulu," kataku.

Sarada langsung turun dari tempat tidurku dan berlari keluar.

Aku menggeleng seraya kembali merebahkan diriku di atas tempat tidurku.

.

.

Beberapa menit kemudian, setelah perdebatan alotku dengan Sarada yang sudah rapi dan memaksaku untuk bangun dari tempat tidur, akhirnya aku mengalah. Aku bangun dengan sangat enggan. Sarada memaksaku untuk segera mandi dan menungguiku di kamarku sampai aku benar-benar bangun dari tidurku. Ya, ampun, sifatnya itu menurun dari siapa, sih, sebenarnya?

Dan di sinilah aku sekarang, lengkap dengan alat lukis dan kanvasku, sedang duduk menghadap taman bunga milik ibuku yang ada di halaman belakang.

"Jadi, kau mau melukis apa?" tanyaku kemudian.

Sarada berjalan ke arah taman bunga itu, seperti sedang memilah-milah bunga apa yang ingin dilukisnya.

"Ini! Aku ingin melukis bunga mawar yang warnanya merah ini," kata Sarada seraya menunjuk salah satu bunga mawar yang ada di sana.

"Baiklah," kataku. Aku meraih sebuah kanvas kecil dan beberapa alat belajar lukis yang sudah aku miliki sejak aku di universitas.

Aku berjalan mendekati Sarada yang kini berjongkok di depan taman mawar yang berbentuk seperti ranjang kecil itu.

"Ini. Kau boleh menggambar apa saja semaumu," kataku seraya menyerahkan alat-alat lukis itu padanya.

"Tapi kau bilang akan mengajariku. Kenapa aku yang harus menggambar sendiri?" Sarada menatapku dengan tatapan protes. Aku menghela napas pelan.

"Seni lukis itu adalah karya yang kau hasilkan dari tanganmu sendiri. Apapun yang kau lukis, jelek atau bagus, itu adalah nilainya. Kau cukup melukiskan apa yang ingin kau lukis dan torehkan ke atas kanvas itu. Seni lukis itu tidak seperti matematika, tidak perlu menggunakan rumus rumit. Kau bisa melukis apapun yang kau inginkan," kataku seraya menatap Sarada sembari tersenyum kecil.

"Tapi kalau hasilnya jelek bagaimana?" Sarada tampak ragu.

"Belajar butuh proses. Tidak semua hal bisa langsung jadi bagus kan? Kau harus bersabar," kataku seraya mengusap kepala gadis kecil itu dengan lembut.

Sarada menatapku untuk beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk.

"Nah, duduklah di sini. Di tengah-tengah rumput ini. Paman akan mengawasimu dari sana. Kalau kau sudah selesai, berikan lukisanmu padaku," kataku seraya berjalan meninggalkan Sarada di taman bunga itu.

Sarada mengangguk setuju seraya duduk di tengah-tengah taman bunga itu.

Aku kembali ke teras rumah dan duduk di sana. Aku sendiri sudah menyiapkan kanvasku di sana. Pemandangan dari sini kelihatan lebih jelas dan aku bisa melukis tanpa dihalangi oleh sinar matahari yang menyilaukan.

Aku melihat Sarada sudah mulai menggoreskan alat lukisnya di atas kanvasnya. Wajahnya tampak senang sekali. Mungkin ekspresi wajahku juga seperti itu kalau sedang melukis.

Aku mulai menggoreskan kuasku di atas kanvas.

Lukisanku ini mungkin belum selesai. Tapi aku sudah memberinya nama.

"Gadis Kecil dan Kanvasnya."

Beberapa menit kemudian seseorang tiba-tiba muncul dari belakang dan meletakkan nampan yang berisi sepiring sandwich dan dua gelas jus tomat di atas meja yang ada di sampingku. Aku menoleh ke samping dan melihat Sakura sudah berdiri di sampingku dengan apron yang melekat di tubuhnya.

"Kau belum sarapan. Jadi aku bawakan ini. Dengan Sarada," katanya. Dia tidak menatapku.

"Hm," sahutku singkat. Aku kembali menatap kanvasku. Kecanggungan tercipta di antara kami berdua.

"Boleh aku menghampirinya?" tanya Sakura kemudian.

"Tentu saja," jawabku tanpa menoleh ke arahnya.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Sakura lalu berjalan mendekati Sarada di tengah taman bunga itu. Dia ikut duduk di atas rerumputan berdampingan dengan Sarada. Senyum lebar terulas di wajahnya saat dia melihat lukisan milik Sarada. Sarada tampaknya tidak suka dengan kehadiran ibunya. Tapi Sakura tampaknya tidak terlalu terusik. Dia mengatakan beberapa kata pada Sarada lalu beberapa saat kemudian keduanya tertawa terbahak-bahak.

Sebuah senyuman kecil terulas di wajahku. Dan tanpa aku sadari, tanganku sudah membuat sketsa Sakura yang sekarang duduk di samping Sarada. Keduanya tampak tidak terusik dengan beberapa kupu-kupu yang terbang di sekitar mereka.

Mungkin aku harus mengganti nama lukisan ini nanti.

.

.

Sudah enam tahun lamanya aku tidak merasakan musim panas di Jepang. Aku hampir lupa kalau musim panas di Jepang bisa melelehkan apapun dalam sekejap. Oke, aku berlebihan. Tapi yang pasti, musim panas di Jepang benar-benar membuatku tersisa. Angin sepoi-sepoi yang bertiup masuk ke dalam kamarku dari balkon sama sekali tidak membantu. AC di kamarku juga tidak ada gunanya dan itu membuatku jadi tidak bisa tidur dengan nyenyak.

Jam dinding di kamarku sudah menunjukkan waktu tengah malam saat aku memutuskan untuk keluar kamar dan mencari udara segar. Tenggorokanku jadi cepat kering kalau udaranya seperti ini.

Aku hampir terlonjak kaget saat aku melihat Itachi ternyata sudah ada di ruang makan saat aku turun dari kamarku. Dia sedang meminum sesuatu dari botol minuman di tangannya saat aku datang.

"Tidak bisa tidur juga?" tanyanya.

"Yah, begitulah. Udaranya benar-benar gila," jawabku seraya membuka pintu lemari es.

"Kau menghabiskan hampir seluruh hidupku merasakan musim panas di Jepang. Jangan mentang-mentang kau pergi ke Prancis selama enam tahun dan lupa bagaimana rasanya hidup di Jepang saat musim panas," kata Itachi seraya terkekeh.

Aku mendengus pelan seraya menuangkan air minum ke dalam gelas yang sebelumnya sudah aku ambil dari rak.

"Apa rencanamu setelah ini?" tanya Itachi.

Aku meneguk air minum sampai habis.

"Entahlah. Membuka galeri lukisku lagi mungkin," ujarku.

"Bagus. Atau kau mau membuka sekolah lukis?" tanya Itachi. Aku menatapnya dengan kagum.

"Ide bagus, Aniki. Aku bahkan tidak terpikir sampai ke sana. Tapi apa yang lebih bagus menurutmu? Membuka sekolah lukis atau memenuhi panggilan sebagai dosen pengajar di universitas?" aku menatap Itachi.

"Hm, aku rasa... dua-duanya bisa jadi alternatif. Kau bisa mengambil dua-duanya," kata Itachi kemudian.

"Dua-duanya? Kau yakin aku bisa melakukannya?" tanyaku.

Itachi tertawa pelan.

"Ayolah. Lalu untuk apa kau sekolah jauh-jauh ke Prancis kalau kau tidak percaya dengan dirimu sendiri?" katanya kemudian.

Aku menghela napas seraya kembali menuangkan air ke dalam gelas dan meneguknya sampai habis.

"Lalu bagaimana menurutmu?" tanya Itachi kemudian. Aku menatapnya bingung.

"Apanya?" tanyaku dengan dahi berkerut.

"Kau tidak pernah bertanya tentang Sarada saat di Prancis. Tapi setelah dua hari sejak kepulanganmu, Sarada bahkan tidak pernah lepas darimu. Kau dan dia sepertinya cocok. Kalian berdua sama-sama berbakat dan tergila-gila dengan lukisan. Apa kau masih bilang kalau kau tidak mungkin cocok dengan anak-anak?" Itachi bertanya padaku dengan nada menggoda.

"Anak itu yang menempel terus padaku. Dia terus menerus mendesakku untuk mengajarinya melukis. Yang benar saja. Kau ajarkan dia apa sebenarnya?" kataku setengah kesal.

Itachi kembali tersenyum.

"Mungkin itulah yang dinamakan ikatan keluarga, Sasuke. Dia tidak pernah bertemu denganmu sebelum ini. Dan saat dia melihat kalian punya kesamaan, dia mungkin ingin lebih dekat denganmu," katanya.

"Kau tahu, dia mengataiku aneh saat kami pertama kali bertemu. Apa itu tidak kurang ajar namanya?" ujarku mengingat pertemuanku dengan gadis kecil itu di toko serba ada beberapa waktu yang lalu.

"Aku tahu, aku tahu. Kau sudah mengatakan itu padaku. Mungkin begitulah karakternya. Selalu mengungkapkan apapun yang ada di pikirannya tanpa basa basi? Kedengaran mirip seseorang, ya?" kata Itachi seraya menatapku dengan tatapan aneh yang tidak bisa aku artikan.

Aku kembali menuangkan air minum ke dalam gelas untuk meredaka kecanggungan yang tiba-tiba menyergap kami berdua.

"Kau ada waktu besok?" tanya Itachi tiba-tiba.

"Kenapa?" aku balas bertanya.

"Kau belum pergi ke mana-mana sejak kepulanganmu. Apa kau tidak mau mengunjungi galeri lukismu yang lama?" tanya Itachi lagi.

"Hm, ide bagus. Boleh juga. Kau mau mengantarkanku? Kau sedang cuti kan?" tanyaku.

Itachi mengangguk.

"Yah, cuti yang lama," sahutnya kemudian seraya beranjak dari tempat duduknya sambil membawa botol kecil di tangannya. Aku mengamatinya dengan pandangan ingin tahu.

"Apa yang kau bawa itu?" tanyaku dengan nada penasaran.

Itachi tidak menjawab dan hanya mengusap bahuku lembut.

"Pergilah tidur," ujarnya kemudian.

Itachi lalu berjalan menuju kamarnya dengan menyisakan rasa penasaran dan pertanyaan di kepalaku. Ada apa dengannya? Aku sudah merasa ada yang aneh dengannya sejak kepulanganku beberapa hari yang lalu.

Aku ingin bertanya padanya. Tapi aku takut aku akan membuatnya kecewa. Mungkin saja hal ini ada hubungannya dengan kesalahanku di masa lalu. Tentang hubungan terlarangku dengan Sakura.

Oh, sudahlah. Aku menggelengkan kepalaku keras-keras untuk mengusir bayangan Sakura dari pikiranku. Mungkin aku harus segera pergi tidur.

.

.

.

Pagi ini aku sudah rapi dengan penampilanku dan sedang menunggu Itachi yang sedang berkemas saat Sarada tiba-tiba datang dan menghampiriku.

"Paman, apa bedanya Tou-chan dan Papa?" tanyanya tiba-tiba.

Aku yang sedang menikmati sarapanku dan disodorkan dengan pertanyaan aneh itu langsung terdiam. Aku menatap Sarada dengan dahi berkerut.

"Maksudmu?" tanyaku bingung.

"Sudah, jawab saja," ujar Sarada.

"Tou-chan dan Papa. Sebutan yang sama untuk ayahmu. Kenapa kau menanyakan pertanyaan aneh seperti itu?" aku kembali menatap Sarada dengan tatapan bingung.

"Karena Tou-chan sering bilang untuk memanggilmu Papa kalau suatu saat dia akan pergi jauh," jawab Sarada.

Aku pasti langsung tersedak kalau aku sedang mengunyah makanan dan mendengar jawaban Sarada yang seperti itu.

"Apa?" tanyaku kaget.

Sarada angkat bahu dengan sikap tak acuh.

"Tou-chan bilang untuk merahasiakannya pada semua orang termasuk Mama. Aku juga tidak tahu dia akan pergi ke mana. Tapi Tou-chan selalu bilang kalau suatu hari nanti akan pergi jauh. Dan aku harus memanggilmu Papa kalau dia pergi jauh nanti," jelas Sarada panjang lebar.

Sarapanku baru setengahnya aku makan tapi rasanya aku sudah kenyang sekali. Aku jadi tidak berminat lagi untuk makan setelah mendengar kata-kata Sarada barusan.

Itachi datang beberapa saat kemudian. Sarada langsung memeluknya dengan erat dan Itachi mengusap kepalanya dengan lembut.

"Apa kalian berdua akan pergi?" tanya Sarada seraya menatapku dan Itachi dengan bergantian.

"Ya, Sarada-chan. Kau di rumah dengan Nenek dan Mama, ya?" kata Itachi.

"Kapan kalian akan pulang?" tanya Sarada lagi.

"Tidak akan lama. Iya kan, Sasuke?" Itachi menoleh ke arahku.

Aku mengedikkan bahu.

"Yah, begitulah," jawabku.

"Apa aku boleh ikut?" Sarada kembali bertanya.

"Karena ini urusan orang dewasa, jadi kau harus berada di rumah," kata Itachi.

"Kenapa orang dewasa selalu punya urusan yang tidak biasa? Selalu saja main rahasia-rahasiaan," Sarada tampak tidak suka.

Itachi tertawa canggung. Begitupula denganku. Anak itu benar-benar... Sifatnya menurun siapa, sih? Sepertinya Itachi dan Sakura juga tidak semenyebalkan begitu, batinku.

Setelah melewati perdebatan yang alot dan konyol dengan Sarada, akhirnya kami berdua berhasil keluar rumah.

"Dia benar-benar... Bagaimana bisa kau punya anak seperti itu?" tanyaku begitu kami berdua sudah berada di dalam mobil Itachi yang sedang melaju di jalanan.

Itachi tertawa pelan.

"Aku teringat dengan masa kecilmu. Kau pikir kau tidak menyebalkan? Kau selaluuu saja ingin ikut denganku. Kau pikir aku sedang pergi untuk bermain, padahal aku sedang pergi untuk bimbingan belajar. Kau selalu menangis kalau aku meninggalkanmu pergi ke sekolah," katanya kemudian.

"Benarkah aku semenyebalkan itu?" tanyaku padanya.

"Kau pasti tidak ingat. Tanyakan saja pada Ibu. Apa kau ingat kau harus diomeli Ibu dulu sebelum mengerjakan PR-mu?" Itachi bertanya tanpa menoleh ke arahku. Aku mendengus geli.

"Untuk yang satu itu, aku ingat. Tapi kau yang salah karena meninggalkanku pergi dengan teman-temanmu. Aku tidak punya teman bermain dan harus menunggumu sampai pulang ke rumah kan?" sahutku setengah kesal.

Itachi tertawa lagi.

Pembicaraan yang berlangsung berikutnya adalah mengenai masa kecil kami. Aku baru ingat kalau masa kecilku sangat menyebalkan sekali. Aku selalu manja pada Itachi. Dan Itachi selalu mengalah padaku dalam segala hal. Meskipun begitu, dia melakukan semuanya karena dia sangat menyayangiku.

"Sarada mengatakan sesuatu padaku pagi ini," ujarku kemudian, setelah terjadi keheningan panjang di antara kami.

"Apa?" tanya Itachi, dia menoleh sekilas ke arahku sebelum akhirnya kembali fokus pada jalanan di depannya.

"Dia bilang kalau kau akan pergi jauh. Kau memintanya untuk memanggilku 'Papa' kalau kau pergi. Apa maksudmu?" tanyaku.

Itachi tidak segera menjawab. Aku melihatnya menarik napas panjang dan menghelanya perlahan.

"Kau akan tahu kalau aku sudah benar-benar pergi, Sasuke," kata Itachi.

"Jangan membuatku takut. Ada apa sebenarnya?" aku menatapnya dengan dahi berkerut heran.

Itachi kembali tidak menjawab. Dia menatap jalanan di depannya dengan tatapan serius.

"Aku tahu alasan sebenarnya kau pergi ke Prancis," katanya kemudian.

Aku menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan tatapan kaget.

Itachi menghentikkan mobil.

"Sudah sampai," katanya kemudian.

Aku menoleh keluar dan melihat gedung yang tak asing lagi bagiku. Gedung galeri lukisanku yang sudah lama tak terpakai.

"Mungkin sudah saatnya kau membukanya lagi," kata Itachi.

"Tunggu, Aniki. Apa yang ingin kau katakan tadi? Tentang kepergianku ke Prancis," kataku saat Itachi membuka kunci mobil.

"Bukan apa-apa. Mulai sekarang, hidupkanlah lagi gedung ini," ujar Itachi.

Aku masih belum puas dengan jawabannya.

"Turunlah. Aku akan pergi sebentar. Ada urusan yang harus aku selesaikan," ujar Itachi. Dia tersenyum lebar ke arahku.

Aku tidak tahu apa yang membuatku berat untuk melangkahkan kakiku keluar dari mobil itu. Perasaan bersalah dalam diriku semakin membesar dan aku tidak tahu perasaan sesak apa lagi yang kini memenuhi dadaku. Senyuman Itachi yang khas itu seperti dipaksakan.

"Kenapa kau tidak ikut turun?" tanyaku.

"Ada yang harus aku lakukan. Kita bertemu lagi nanti," kata Itachi.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, aku akhirnya turun dari mobil.

Itachi melambaikan tangan ke arahku sebelum akhirnya melajukan mobilnya kembali ke jalanan.

Mataku masih terus mengikuti mobilnya menjauh sampai tidak terlihat lagi. Entah kenapa senyuman Itachi sesaat tadi tidak bisa aku hilangkan dari benakku dan terngiang-ngiang dalam kepalaku sepanjang hari.

.

.

Akhirnya aku tahu arti kata-kata 'pergi jauh' yang diucapkan Itachi pada Sarada pagi tadi. Akhirnya aku tahu kenapa aku sulit sekali turun dari mobil Itachi pagi tadi. Akhirnya aku paham kenapa rasanya aku sulit sekali membiarkan Itachi pergi menjauh dengan mobilnya saat dia meninggalkanku di gedung tadi.

Siang ini, saat aku mencoba menelponnya berkali-kali, ponselnya sama sekali tidak aktif. Aku pikir dia sedang ada pekerjaan jadi tidak sempat mengangkat ponselnya. Aku mengabaikan perasaan tidak enak yang sejak tadi berkecamuk di dadaku.

Dan akhirnya semua keteganganku terjawab.

Mobil Itachi mengalami kecelakaan parah di jalan raya dan membuatnya tewas seketika.

Tidak ada hal lebih buruk yang pernah aku dengar sebelum ini selain kegagalanku masuk ke universitas paling bagus di Jepang. Tapi semua hal buruk itu tidak ada nilainya dengan berita yang aku dengar malam ini. Tentang berita kematian kakakku yang sangat mendadak.

Aku bahkan masih ingat sekali dengan kata-kata Itachi pagi tadi. "Kita bertemu nanti, ya?"

Seharusnya tadi aku melarangnya untuk pergi sendirian. Seharusnya aku tidak turun dan ikut dengannya.

Aku terus menerus menyalahkan diriku sendiri di depan kamar mayat. Ibuku menangis histeris. Ayahku, tampak sangat terguncang, tapi berusaha untuk tetap tegar dengan memeluk tubuh ibuku yang terus menerus menangis. Sakura hanya terlihat menangis tanpa suara di sudut lorong rumah sakit.

Kami sama-sama terluka saat ini.

Tapi yang bisa aku lakukan saat ini hanya menunduk dan mengamati lantai di bawahku. Wajah Itachi yang tersenyum terakhir kali dalam mobil itu masih terus terngiang di benakku.

.

.

.

"Hasil autopsi kami menunjukkan kalau kecelakaan itu disengaja," polisi yang menangani kasus kecelakaan Itachi menatapku dengan tatapan yang sengaja dibuat sayu.

"Apa maksudnya?" tanyaku. Ini adalah hari keempat setelah kematian Itachi.

"Mobil kakak Anda dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada kerusakan apapun. Bahkan masih sangat bagus untuk ukuran mobil keluaran lama seperti itu. Tapi yang jadi masalah di sini adalah, tidak ada tanda-tanda kakak Anda menginjak rem saat kecelakaan itu terjadi. Dengan kata lain, kakak Anda mungkin sengaja membuat mobil itu jatuh ke dalam jurang," ujar polisi itu.

Aku menatap nanar hasil laporan forensik yang aku terima di tanganku. Kedua mataku mulai memanas. Aku sudah berusaha menguatkan diriku sendiri untuk tidak menangis lagi sejak pemakaman Itachi. Tapi mendengar hasil laporan yang aku dengar baru saja, membuat pertahananku runtuh.

Aku kembali menangis dalam perjalanan pulang.

Kenapa Itachi melakukan itu? Kenapa dia ingin mengakhiri hidupnya dengan cara tragis seperti ini?

.

.

Aku menolak untuk bicara dengan semua orang sejak hari pemakaman. Aku bahkan tidak keluar kamar selama beberapa hari dan mengurun diri di kamar sejak hari itu. Perasaanku benar-benar terluka saat ini. Aku sengaja tidak mengatakan apapun pada kedua orangtuaku tentang sebab terjadinya kecelakaan itu. Aku takut membuat mereka semakin terpuruk sepertiku. Jadi aku memendamnya sendirian.

Sarada berkali-kali mengetuk pintu kamarku dan memintaku untuk keluar. Tapi aku mengabaikannya. Aku sengaja memutar musik dengan pengeras suara agar tidak terdengar suara dari luar.

Aku benar-benar di ambang kehancuran saat ini.

Lalu pagi ini, sebuah telepon dari seseorang yang tidak aku duga sebelumnya merubah semuanya. Aku mendapat panggilan telepon dari dokter Tsunade, dokter pribadi keluarga kami yang bekerja di rumah sakit pusat. Dia memintaku datang ke sana hari ini. Dia bilang ada hal penting yang berkaitan dengan Itachi.

Jadi setelah membersihkan diriku sendiri, aku langsung pergi ke rumah sakit. Aku tidak memperdulikan panggilan semua orang saat mereka melihatku berlari seperti orang kesurupan dan langsung tancap gas mengendarai mobilku.

Dokter Tsunade, seorang wanita paruh baya yang masih tampil cantik di usianya yang hampir menginjak kepala enam itu, langsung menyambutku seperti biasa.

"Kenapa kau tiba-tiba memanggilku?" tanyaku tanpa basa basi.

Dokter Tsunade kelihatan tidak suka. Tapi akhirnya dia menjawab juga.

"Aku tidak perlu mengatakannya padamu. Semua sudah ada di sini. Semua berkas tentang Itachi. Dia mempercayakan ini padaku. Suatu saat harus diserahkan padamu kalau waktunya tiba," kata dokter Tsunade seraya menyerahkan sebuah kotak berukuran sedang padaku.

"Apa ini?" tanyaku bingung.

"Aku sudah bilang, semua sudah ada di dalam kotak itu. Kau buka saja, tapi tidak di sini. Mungkin kau perlu tempat menyendiri saat membuka kotak itu. Itu adalah rahasia terbesar milik kakakmu," ujar Tsunade dengan tatapan sendu. Ada yang tersirat dalam bola matanya. Tapi aku tidak bisa menangkap maksudnya.

Aku lalu mengangguk dan membawa kotak itu pergi.

.

.

.

Aku sedang merenung sendirian di dalam gedung galeri lukisku dengan kotak peninggalan Itachi di atas meja kerjaku. Aku membaca lembaran-lembaran dengan logo rumah sakit pusat berisi rekaman medis milik Itachi. Itachi tampaknya mengunjungi rumah sakit secara rutin untuk menjalani pemeriksaaan.

Kanker paru-paru. Itu yang tertulis di kertas diagnosisnya.

Aku menatap lembaran-lembaran itu dengan tatapan nanar.

Dokter Tsunade bilang kalau hanya Itachi yang tahu apa isi kotak ini. Itu artinya apakah Itachi sengaja menyembunyikan semua ini sendirian dari semua orang?

Sejak kapan dia mulai seperti ini?

Aku terus membuka lembaran-lembaran itu dengan kalut. Semua isinya sama. Tentang diagnosis kesehatan Itachi. Aku tidak begitu apa paham dengan apa yang tertulis. Tapi tampaknya semakin hari kesehatan Itachi semakin menurun.

Saat kertas-kertas itu sudah hampir aku keluarkan semua, aku melihat sebuah alat rekam di dasar kotak itu. Aku mengeluarkan alat rekam itu dengan pandangan bingung sekaligus heran. Ada kaset yang sudah terpasang di dalamnya. Sebuah tulisan tertera di atas kaset itu.

Untuk Sasuke.

Karena sudah dikuasai dengan rasa penasaran, aku langsung memutar kaset itu.

Setelah menunggu beberapa saat, aku mulai mendengar suara Itachi terdengar dari alat rekam itu.

"Tes, tes. Sudah dimulai, ya? Ehem. Baiklah. Sasuke? Kau dengar aku? Ini Itachi. Tentu saja kau mengenal suaraku. Mana mungkin tidak kan? Kalau saat ini kau sedang duduk santai sambil mendengarkan suara rekaman ini, itu artinya kau sedang dalam keadaan baik-baik saja. Aku senang melihatmu kembali ke Jepang. Akhirnya aku bisa melihat wajahmu lagi. Aku merindukan adiku yang manja. Aneh sekali berpisah denganmu dalam waktu yang cukup lama. Kau sendiri bagaimana? Kalau kau sedang mendengar rekaman ini, itu artinya kau juga sudah menerima kotak dari nenek Tsunade kan? Syukurlah. Kau sudah tahu artinya? Aku lupa kau buta dalam hal medis. Baiklah akan aku jelaskan. Aku menderita kanker paru-paru. Sudah sejak lama. Kau ingat saat aku ditugaskan ke daerah Miyagi beberapa tahun yang lalu? Daerah tempatku kerja terlalu banyak mengeluarkan gas radiasi. Kau tahu kan kalau paru-paruku lemah sejak kecil? Mungkin karena itulah yang memicu paru-paruku terserang kanker. Aku sudah mengusahakan banyak hal, termasuk terapi dan lain sebagainya. Tapi sepertinya aku tidak bisa bertahan lebih lama. Penyakit ini menggerogotiku perlahan-lahan dan rasanya benar-benar menyiksa, kau tahu?"

Itachi tidak bersuara untuk beberapa saat. Hanya terdengar bunyi jangkrik di belakangnya.

"Mengenai kepergianmu ke Prancis, aku sudah tahu alasannya. Kau menyukai Sakura kan? Kau menyukainya sejak awal kalian bertemu. Jangan salahkan siapapun. Tidak ada yang mengatakan padaku tentang ini. Kalian saling menyukai, itu terlihat dari pancaran mata kalian. Aku bekerja dengan polisi sudah bertahun-tahun, jadi aku juga bisa membaca ekspresi wajah orang walaupun kalian tidak saling berbicara. Mengenai hubungan kalian... aku juga sudah mengetahuinya sejak awal. Jangan khawatir, aku tidak marah. Kau tahu sendiri, aku tidak pernah bisa marah padamu. Meskipun kau bermain dengan istriku di belakangku, aku tidak pernah bisa marah. Karena bagaimana pun juga, kalian berdua berhak mendapatkan kebahagiaan kalian.

Kau tahu, mungkin ini adalah aib terbesar yang aku ungkapkan padamu, tapi aku harus mengatakannya padamu. Kau harus tahu kebenarannya..."

Aku mendengar suara Itachi yang sedang menarik napas panjang.

"Sejak pernikahan kami, aku tidak pernah menyentuh Sakura sama sekali. Sakura tidak pernah mencintaiku, aku tahu itu. Jadi mana mungkin aku tega untuk menyentuh orang yang tidak pernah suka padaku? Kau tahu artinya ini, Sakura dan aku, belum pernah sama sekali menjadi pasangan suami istri seperti seharusnya. Jadi dengan kata lain, saat aku bilang kalau Sakura hamil saat itu, dia bukan hamil anakku. Tapi anakmu. Sarada adalah anak kandungmu, Sasuke."

Aku langsung mematikan alat rekaman itu dengan tangan bergetar. Apa yang baru saja aku dengar ini? Apakah Itachi sedang mabuk saat melakukan rekaman ini? Mana mungkin kan?

Aku memberanikan diri untuk melanjutkan rekaman itu lagi.

"Kau mungkin terkejut mendengar kenyataan ini. Tapi pada kenyataannya, memang beginilah yang terjadi. Sakura mengakui semua padaku setelah kepergianmu ke Prancis. Dia bahkan memintaku untuk menceraikannya karena sudah mengkhianatinya. Dia merasa berdosa dan Sakura tidak berhenti menangis sejak saat itu. Jujur saja, aku mulai bisa menyukainya sejak kami menjalani kehidupan sebagai suami istri dan mempunyai rumah sendiri. Tapi aku sadar kalau aku tidak bisa membuat Sakura juga menyukaiku. Jadi yang aku lakukan hanya terus mempertahankannya. Aku tidak mau mengecewakan Ayah kita, Sasuke. Orangtua kita tampaknya sangat menyukai pernikahanku dengan Sakura dan sangat mengharapkan cucu darinya. Mereka sangat menyukai Sakura, kau juga lihat kan? Tapi di sisi lain, aku sadar hubunganku dengan Sakura tidak berjalan sebagaimana mestinya. Aku meyakinkan Sakura untuk tetap berada di keluarga ini. Toh dia juga sedang mengandung cucu orangtua kita kan? Keponakanku lebih tepatnya."

Aku mendengar suara Itachi tertawa pelan dan itu membuat perasaanku semakin miris mendengarnya.

"Mungkin kau benar saat bilang kalau aku sangat menyebalkan karena selalu mengikuti perintah Ayah. Aku mungkin memang terlihat menyebalkan di matamu. Karena akulah, Ayah selalu membandingkanmu denganmu. Karena akulah, hubunganmu dengan Ayah jadi renggang. Seandainya aku tidak menuruti satu saja perintah Ayah, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Mungkin kita bisa berbuat onar sama-sama tanpa khawatir diperlakukan berbeda oleh Ayah. Hahaha. Yang jelas, aku hanya tidak mau membuat keributan. Aku bukannya ingin menjadi anak emas di mata Ayah seperti yang sering kau katakan. Aku hanya tidak ingin terjadi keributan di keluarga kita. Dengan mengikuti semua perintahnya, masalah selesai tanpa pertengkaran. Begitu pula saat Ayah mengatakan padaku tentang rencana pernikahan itu. Aku tidak tahu kalau semua akan jadi sepelik ini."

Itachi kembali terdengar menarik napas panjang.

"Untuk itulah aku melakukan ini. Waktuku sudah tidak lama lagi, Sasuke. Mau menghabiskan uang seberapa banyak pun, aku tidak akan sembuh. Kesehatanku semakin memburuk, begitu juga dengan karirku. Terdengar seperti seorang pesakitan yang putus asa, ya? Kau boleh mengatakan begitu. Tapi pada kenyataannya, berjuang untuk hidup itu bukan sesuatu yang mudah kan? Kau masih punya masa depan yang panjang. Dan setelah ini, bangunlah kehidupan yang lebih baik dengan Sakura dan Sarada. Kau tidak perlu takut lagi untuk mengatakan pada semua orang kalau kalian saling mencintai. Dengan begini, tidak ada lagi keributan di antara Ayah denganmu. Masalah selesai. Aku pun bisa pergi dari dunia ini dengan tenang."

Itachi kembali terdiam untuk beberapa saat.

"Nah, sekarang kau tahu kenapa Sarada bersikap seperti itu padamu kan? Sikapnya itu adalah kopianmu. Apa kau tidak sadar itu? Hah, rasanya aneh sekali memiliki keponakan dalam keadaan seperti ini. Tapi bagaimanapun juga, aku menyayangi Sarada sama seperti sayangku kepadamu. Jadi jangan menyalahkan dirimu sendiri setelah ini. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Aku pergi karena keputusanku sendiri. Karena sudah waktunya bagimu untuk menemukan kebahagiaanmu sendiri, tanpa dibayangi olehku lagi. Tidak ada yang namanya pecundang, Sasuke. Kau bukan pecundang seperti yang selalu kau katakan. Aku memaafkanmu karena kau sudah berbohong padaku selama ini. Tapi lain kali, jangan berbohong lagi, ya? Mengatakan yang sejujurnya itu lebih baik, lho."

"Jadi... karena sepertinya aku sudah mengatakan banyak hal padamu, mungkin aku harus segera mengakhirinya. Aku akan menemuimu lagi. Saat kau sudah siap untuk pergi ke dunia lain. Sampaikan salamku untuk semua orang. Bye."

KLIK.

Rekaman selesai.

Aku tidak sadar kalau airmataku sudah mengalir sedari tadi dan kini pipiku mulai basah karena airmataku sendiri. Aku menangis tanpa suara selama rekaman itu berlangsung. Dan sekarang tangisku mulai pecah saat aku menyadari kalau suara Itachi sudah menghilang. Ingatan tentang tubuh Itachi yang terbaring tak berdaya di rumah sakit kembali memenuhi kepalaku. Senyuman hangat Itachi yang selalu terulas di wajahnya seakan tidak mau pergi dari kepalaku. Tangisku semakin keras dan aku tidak peduli kalau seandainya ada orang lain yang sedang mendengarnya saat ini.

Malam ini, aku menghabiskan malamku di gedung ini sendirian, dengan mendengar rekaman suara itu sampai berulang kali. Aku tertidur dengan kepala di atas meja kerha dengan rekaman yang masih menyala.

.

.

.

.

Makam itu masih kelihatan baru karena baru dibangun beberapa hari yang lalu. Nama 'Itachi Uchiha' dipahat di atas batu nisan berwarna abu-abu gelap itu. Dupa yang baru saja kunyalakan masih terlihat mengepulkan asap tipis. Untuk keluarga Uchiha yang kaya, membeli pemakaman seperti ini bukan hal yang sulit. (NOTE: di Jepang, tanah pemakaman itu mahal bingit. Makanya mereka kebanyakan memilih kremasi daripada dimakamkan)

Aku berjongkok di depan makam itu untuk beberapa lama. Beberapa orang yang lewat di sekitarku tampak menatapku dengan tatapan aneh, tapi aku tidak peduli. Aku merasa sebagian nyawaku juga ikut menghilang entah ke mana. Kedua mataku mungkin sudah tampak membengkak sekarang. Tapi aku tidak peduli.

"Aku sudah mendengar semuanya, Aniki. Kalau saja kau masih hidup sekarang, aku mungkin akan memukul hidungmu sampai patah karena menyembunyikan semua ini dari semua orang," ujarku pelan kepada foto Itachi yang sengaja dipajang di samping nisan.

"Kenapa kau tidak mengatakan semua padaku, hah? Apa kau menganggapku adikmu?" aku masih menatap foto Itachi. Perasaan sesak kembali menyergap dadaku.

"Kenapa kau bicara sendirian, Paman?"

Aku terlonjak kaget saat aku merasa sentuhan yang tiba-tiba di bahuku. Aku menoleh ke belakang dan mendapati sepasang mata hitam onyx sedang menatapku dengan tatapan cemas.

"Sarada?" kataku dengan dahi berkerut.

"Mama bilang akan mengajakku untuk mengunjungi Tou-chan," katanya dengan wajah polos.

Aku menoleh ke belakangnya. Sakura sudah berdiri di sana, mengenakan kemeja hitam dan sedang menatapku dengan wajah khawatir.

"Kau tidak pulang semalaman," ujarnya pelan.

Aku tidak menyahut. Aku kembali menatap makam Itachi di depanku.

"Apa ini makam Tou-chan?" tanya Sarada tiba-tiba. Aku menatapnya dengan dahi berkerut.

"Kau tahu kalau...?" kata-kataku terhenti.

"Tou-chan sudah istirahat dengan tenang di sana kan? Dia akan baik-baik saja di sana kan?" Sarada menatapku dengan kedua mata lebarnya.

"Ya. Dia sedang istirahat sekarang," jawabku kemudian.

"Baiklah kalau begitu. Aku tidak akan berisik. Aku membawakan bunga untukmu, Tou-chan," Sarada meletakkan serangkaian bunga di depan makam itu. Lalu dia menyalakan sebuah dupa dan berdoa sebentar di depan makam itu.

Aku bangkit dari posisiku dan langsung menoleh ke arah Sakura. Sakura tampak canggung dan kelihatan menghindari tatapanku.

"Aku sudah mendengar semuanya dari Itachi," kataku kemudian.

Sakura tampak terkesiap dan menatapku dengan kedua matanya yang membulat kaget.

"Tentang Sarada?" tanyanya kemudian.

"Tentang semuanya," jawabku.

Kami terdiam untuk beberapa saat, hanya saling menatap satu sama lain tanpa mengucapkan apapun.

"Kau kelihatan kacau sekali," kata Sakura kemudian, memecah keheningan ganjil yang tercipta di antara kami.

"Boleh aku pinjam bahumu sebentar?" tanyaku. Perasaanku kembali dipenuhi sesak yang tak terkira. "Setelah ini, raihlah kebahagiaanmu dengan Sakura dan Sarada, Sasuke. Kau sangat mencintainya, bukan?"

Kata-kata Itachi kembali terngiang di kepalaku.

Aku melihat Sakura mengangguk tanpa suara.

Dengan gerakan perlahan, aku segera meraih tubuh Sakura dan merengkuhnya dengan erat. Aku membenamkan kepalaku di antara bahu dan lehernya. Airmata langsung keluar dari mataku dan aku mulai menangis tanpa suara di bahu Sakura. Aku tidak tahu sejak kapan aku menjadi pria yang sok tegar di depan semua orang. Aku selalu menyembunyikan lukaku dari semua orang dan memasang wajah dingin untuk menyembunyikan semua itu. Tapi hari ini, aku ingin menjadi diriku yang sebenarnya. Kalau jauh di lubuk hatiku aku juga bisa terluka. Yang aku butuhkan saat ini adalah seseorang yang mau mendengar semua keluh kesahku dan melihatku seperti pria normal yang juga bisa menangis.

Aku merasakan kedua tangan Sakura mengusap punggungku dengan lembut.

Tidak ada kata-kata yang terucap dari bibirnya. Tapi sentuhan tangannya bisa membuatku merasa nyaman dan perlahan-lahan rasa sesak di dadaku mulai berkurang.

"Mama! Kenapa berpelukan di tempat seperti ini? Orang-orang melihat kalian. Benar-benar.. Aku malu sendiri."

Aku mendengar suara Sarada kedengaran protes di dekat kami.

Dengan tarikan napas panjang aku langsung mengusap airmata di wajahku. Cukup jadi laki-laki cengengnya, Sasuke. Sekarang saatnya untuk menjadi pria yang sesungguhnya, kataku pada diriku sendiri.

Setelah merasa kalau wajahku sudah lebih baik dari tadi, aku lalu berjongkok di depan Sarada. Gadis kecil itu menatapku dengan tatapan aneh.

"Kau ingat apa yang dikatakan Tou-chan padamu beberapa hari yang lalu? Tentang kepergiannya?" kataku padanya. Sarada kelihatan sedang mengingat sesuatu.

"Hm. Tou-chan bilang, kalau aku harus memanggilmu 'Papa' kalau dia tidak ada," jawab Sarada.

"Nah, kalau begitu, mulai sekarang jangan panggil aku 'Paman'. Panggil aku Papa. Mengerti?" kataku.

Sarada mengerutkan dahi menatapku.

"Apa itu artinya kau akan menggantikan Tou-chan?" tanyanya kemudian.

Aku menghela napas keras-keras.

"Yah, bisa dibilang seperti itu," jawabku kemudian.

"Baiklah. Tapi kau harus mau mengajariku melukis setelah ini. Kau tidak boleh tidur kalau aku memintamu mengajariku melukis. Mengerti... Papa?"

Sarada menatapku tajam, lalu beberapa saat kemudian dia tertawa. Aku juga ikut tertawa pelan melihatnya. Papa? Panggilan itu kedengaran aneh sekali untukku. Tapi aku akan berusaha membiasakan diri. Demi putriku.

"Kita bisa pulang sekarang? Aku sudah lapar sekali," kata Sarada kemudian.

"Kau mau sesuatu, Sarada?" tanyaku padanya.

"Mama berjanji akan mengajakku ke kedai anmitsu yang enak sepulang dari sini," jawab Sarada.

Aku menatap Sakura dengan kedua alis terangkat. Sakura hanya membalasku dengan angkat bahu seraya tersenyum aneh.

"Kalian berdua suka makanan seperti itu?" tanyaku.

"Ada yang salah dengan itu?" Sarada menyahut.

Aku beralih menatap Sarada dengan tatapan tak percaya. Apa aku benar-benar semenyebalkan ini saat kecil dulu?

"Baiklah, baiklah. Kita ke sana," kataku kemudian.

Sarada tersenyum. Dia tampak manis sekali kalau tersenyum seperti itu.

"Tou-chan, aku pergi dulu. Kapan-kapan aku datang ke sini lagi, ya? Istirahatlah dengan tenang di sana. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja," kata Sarada seraya bicara pada foto yang ada di makam Itachi. Aku hanya tersenyum simpul melihatnya.

"Ayo... Papa," Sarada lalu berbalik dan meraih tanganku. Dia menggenggamnya dengan erat. Lalu tangan yang satu meraih tangan Sakura dan menggenggamnya juga.

"Aku selalu ingin melakukan hal ini. Tou-chan jarang sekali bisa pergi bersama denganku dan Mama. Jadi sekarang, ayo makan anmitsu!" ajak Sarada seraya menarik tanganku dan Sakura untuk mengikutinya.

Aku menatap Sakura yang juga balas menatapku sambil tersenyum. Aku balas tersenyum kecil padanya.

Mungkin Itachi benar, ini adalah saatnya aku meraih kebahagiaanku sendiri. Sejak semalam setelah aku mendengar pengakuan Itachi, aku jadi bertanya-tanya sendiri. Apa dia sengaja melakukan semua ini demiku, demi kebahagiaanku? Kalau memang benar begitu, Itachi tetaplah sosok yang sempurna di mataku. Dan aku bagaiamanapun juga, tidak akan bisa menandinginya. Walaupun begitu, aku bersyukur dan sangat beruntung mempunyai kakak sepertinya.

Terimakasih, Aniki.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

END

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A/N: agak kejem juga, sih, bikin Itachi kayak gini. Huaaa. Tapi aku selalu terhura kalo inget betapa sayangnya dia sama Sasuke. Rela mati demi Sasuke. Rela ngelakuin apapun demi ngelindungin adiknya. Dan fic terinspirasi dari rasa sayang dia sama adiknya. Semoga berkenan.

Maaf kalo tingkat kegaje-annya level dewa.

Fic ini buatnya ngebut di-endingin biar gak seret lagi. Hahahaha.

Makasih buat yang udah mau baca, fav, follow dan review.

Banyak typo dan EYD gak jelas. Baru belajar... Harap maklum, yes?