Disclaimer: Naruto by Masashi Kishimoto
.
.
.
.
Warning:
AU. OOC. Typo
.
Hanya sebuah fic gaje di tengah kejenuhan saya.
.
RATE T+
.
.
.
.
.
Kalau ada ajang penghargaan untuk laki-laki paling brengsek sedunia, mungkin aku akan mendapat nominator pertama untuk itu. Aku menyukai kakak iparku, merenggut keperawanannya, dan membuatnya hamil anakku. Tentu saja tanpa sepengetahuan kakakku, yang notabene adalah suaminya.
Semua berawal dari perjodohan konyol yang dilakukan orangtuaku dengan seorang pengusaha dari Suna yang bermarga Haruno. Orangtuaku berpikir mungkin saja mereka perlu melakukan sedikit 'pemaksaan' pada kakakku karena dia tidak juga tertarik untuk menikah padahal umurnya sudah hampir menginjak kepala tiga. Oke, sebenarnya itu bukan masalah yang pelik. Banyak pemuda yang bahkan masih lajang di usia hampir 40 tahun. Tapi bagi keluargaku−keluarga Uchiha yang sangat menjunjung tinggi nilai tradisional−laki-laki yang belum juga menikah di umur 30 tahun itu sama seperti aib keluarga. Keluargaku memang terlalu berlebihan.
Yah, jadi begitulah awal ceritanya. Ayahku menjodohkan kakakku dengan koleganya dari Suna.
Kakakku, Itachi, adalah orang paling sempurna yang pernah aku kenal. Dia meraih gelar profesor di di bidang forensik pada usianya yang belum genap 28 tahun. Dia memiliki postur tubuh tinggi yang atletis. Wajah? Jangan ditanyakan lagi. Banyak gadis yang rela mengantri hanya untuk mendapatkan ajakan kencannya di akhir pekan. Wajahnya campuran antara wajah ayahku yang tegas dan kecantikan luar biasa dari ibuku. Jadi wajar kalau banyak yang tertarik padanya. Aku tidak bilang kalau wajahku lebih jelek darinya. Tentu saja tidak. Wajahku tampan, kata banyak orang. Tapi karena banyak yang bilang wajahku mirip sekali dengan Ibu, aku jadi merasa sedikit.. feminim.
Itachi memang sempurna dalam banyak hal. Tapi payah dalam hal wanita. Oke, aku memang tidak sama bagusnya dengannya dalam hal merayu wanita walaupun hanya dengan sekali tatapan saja banyak gadis yang akan tertarik denganku. Itulah payahnya kami. Aku lebih parah sebenarnya. Itachi bisa berbaur dengan banyak orang di sekitarnya. Dia punya banyak teman. Tapi tidak pernah berhasil mengajak seorang wanita untuk pergi kencan dengannya. Aku tidak punya banyak teman dan mungkin sedikit cenderung sosiopat. Satu-satunya orang yang mau berteman denganku adalah orang paling norak di kota ini, yang menjadikan ramen sebagai menu utama makanannya.
Jadi saat kedua orangtuaku melihat Itachi masih disibukkan dengan pekerjaannya sebagai ahli forensik di kepolisian dan tampaknya belum menunjukkan ketertarikannya pada lawan jenis, ayahku mengusulkan perjodohan ini. Dan seperti yang sudah aku duga sebelumnya, Itachi menerimanya. Mana mungkin dia akan menolak perintah ayah? Dia anak emasnya. Kalau aku, sih, pasti menolaknya. Tidak enak sekali kan menikah dengan seseorang yang tidak aku kenal? Bagaimana kalau ternyata orang yang dijodohkan itu tidak seperti yang aku bayangkan?
Tapi saat melihat wajah calon istrinya untuk pertama kalinya pada jamuan makan malam itu, aku langsung menyesal sudah bilang pada Itachi untuk segera menolaknya. Untung saja Itachi tidak menuruti saranku. Karena calon istrinya cantik sekali.
Namanya Sakura Haruno. Seorang dokter muda di sebuah rumah sakit di Suna. Dan dia seumuranku denganku.
Gadis itu memiliki rambut merah muda panjang sampai ke punggungnya. Dia mengikatnya dengan sederhana tapi entah kenapa membuatku sama sekali tidak bisa mengalihkan perhatianku darinya. Kedua mata hijau emeraldnya berbinar saat dia tersenyum dan tertawa mendengar lelucon Itachi yang sama sekali tidak lucu menurutku.
Saat itu aku tidak menyadari kalau aku sudah jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama. Aku tidak terlalu percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Karena menurutku itu hanya kesan saja. Jadi saat aku terus menatapnya pada pertemuan pertama kami, aku anggap itu hanya kesan baik karena gadis itu berpenampilan menarik sekali. Aku sama sekali tidak pernah berpikiran kalau wajahnya akan selalu terbayang di benakku setelah itu.
Tapi kenyataannya, aku terus memikirkan gadis itu. Mataku tidak pernah terlepas darinya setiap kamu bertemu. Seolah gadis itu sudah menciptakan sebuah kekuatan majis yang membuatku tidak bisa melepas pandangan darinya.
Apa aku sudah pernah bilang tadi kalau aku payah dalam urusan wanita? Ya, dan itu benar. Aku tidak pernah berurusan dengan seorang gadis manapun selama ini karena aku tidak pandai mengungkapkan perasaanku. Saat aku tertarik pada seorang gadis, aku hanya memendamnya saja dan melihat mereka diam-diam tanpa mengatakan perasaanku yang sebenarnya. Aku takut aku salah bicara dan akhirnya membuat mereka salah paham. Dan hal itupun berlaku pada gadis berambut merah muda yang sebentar lagi akan jadi kakak iparku itu.
Pada akhirnya hari pernikahan mereka sudah ditentukan setelah melakukan pendekatan selama tiga bulan. Yep, hanya tiga bulan. Entah apa yang dipikirkan kedua orang tua kami. Tapi apalah itu. Toh mau kapan pun pernikahan mereka dilaksanakan, yang akan menikah dengan gadis itu adalah kakakku dan bukannya aku. Oke, aku sedikit cemburu memang. Sejak aku menyadari kalau aku menyukai gadis itu.
Aku sengaja jarang berkunjung ke rumah orangtuaku beberapa hari menjelang pernikahan. Aku punya apartemen sendiri di pusat kota. Dan aku tahu seharusnya aku merasa senang karena Itachi sebentar lagi menikah. Itachi pun tampaknya sangat menyukai Sakura. Dari tatapan matanya yang terus berbinar saat membicarakan gadis itu denganku, aku tahu dia sedang berbahagia. Dan lagi-lagi, aku merasa iri padanya karena dia mendapatkan apapun yang dia inginkan.
Sejak kecil Itachi mendapatkan apapun dari ayahku karena dia mau melakukan apapun yang diperintahkan ayahku. Tidak sepertiku. Aku membelot saat Ayah menyuruhku untuk masuk militer dan lebih tertarik pada bidang seni. Aku sangat menyukai lukisan dan itu tidak bisa dibantah lagi. Aku mencoba membuktikan pada ayahku kalau aku bisa jadi membanggakan juga seperti Itachi. Aku sudah membuka museum lukisku sendiri dan menarik beberapa pengunjung. Tapi sekuat apapun aku berusaha untuk menyamai langkah Itachi, ayahku tidak pernah memujiku. Dia bahkan mengatakan kalau lukisanku itu tidak berguna sama sekali untuk negara. Aku hampir meledak marah saat itu. Tapi ibuku berhasil menenangkanku. Dan lagi-lagi, selama 23 tahun dalam hidupku, aku harus mengalah. Puncaknya adalah saat hari pernikahannya.
Aku berpura-pura sibuk dan mengatakan pada semua orang kalau aku ada pameran jadi aku bisa absen di acara pernikahan itu. Aku seharusnya hadir di acara itu. Tapi untuk kali ini saja, aku tidak mau mengalah dan membuat perasaanku terluka. Hanya lari dari kenyataan adalah satu-satunya caraku untuk tidak merasa terluka.
Lalu setelah acara pernihakan itu Itachi dan istrinya tinggal di sebuah rumah sendiri yang letaknya di pinggiran kota. Aku berusaha mengenyahkan pikiranku dari Sakura dan beberapa hal-hal yang berhubungan dengannya. Aku harus berusaha menghentikan diriku sendiri.
Selama beberapa minggu, aku menyibukkan diri dengan melukis di apartemenku sendirian. Mungkin inilah yang namanya patah hati. Klise. Aku pernah merasa patah hati sebelum ini, tapi rasanya tidak sesakit ini. Mungkin karena orang yang bersanding dengan gadis yang aku sukai sekarang adalah kakakku sendiri.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain pergi ke beberapa tempat untuk mencari bahan lukisan baru dan kembali lagi ke apartemen untuk melukisnya. Aku melakukan hal itu selama dua minggu secara terus menerus sampai aku tidak sadar kalau kesehatanku mulai menurun.
Demam tinggi akhirnya menyerangku. Aku berhenti melukis dan beristirahat di tempat tidur sepanjang hari. Mengabaikan beberapa panggilan telepon yang masuk. Bahkan keadaan apartemenku benar-benar seperti apartemen tak terpakai karena baju kotor dan sampah berserakan di mana-mana. Ibu menelponku berkali-kali dan terpaksa aku harus mengangkatnya.
Dia mencemaskanku, tentu saja. Lalu bilang akan mengunjungi apartemenku siang ini.
Tapi saat aku membuka mataku setelah tertidur beberapa lama, yang ada di hadapanku bukannya ibuku. Melainkan Sakura. Aku bahkan merasa ada kompres hangat di dahiku.
"Badanmu panas sekali. Jadi aku mengompresnya. Kau sudah lebih baik? Aku membuatkan bubur untukmu," ujarnya kemudian. Aku masih mencerna kata-katanya sambil melihat sekeliling kamarku. Dan menyadari beberapa saat kemudian kalau kamarku jauh lebih rapi dari sebelumnya.
"Maaf, kalau aku lancang. Karena kamarmu kotor sekali. Jadi aku membersihkannya. Aku khawatir kesehatanmu akan semakin memburuk kalau kau berada dalam ruangan sekotor tadi," ujar Sakura. Dia menatapku dengan tatapan cemas. Dan itu membuatku menyumpahi diriku sendiri karena tiba-tiba merasa gugup. Dadaku berdegup lebih cepat melihat wajahnya yang mencemaskanku seperti itu.
"Kalau sudah selesai, kau bisa pergi," kataku dengan suara dingin.
"Eh?" Sakura tampak bingung dengan perkataanku.
"Aku tidak pernah bilang membutuhkan bantuanmu kan? Jadi silakan pergi kalau sudah selesai," kataku dengan nada sedikit keras. Sial. Aku menggertaknya. Apa yang sudah kau lakukan, Sasuke?
Sakura tampak mengerjapkan matanya berkali-kali. Ada yang menggenang di sudut matanya. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak mau terlibat lebih jauh dengan perasaan sialan ini. Dia istri kakakku, demi Tuhan!
Dengan helaan napas panjang, akhirnya Sakura berbalik dan pergi dari apartemenku.
Aku merasa bersalah. Tapi aku merasa sedikit lega.
.
Seminggu kemudian, Ibu memintaku untuk pulang ke rumah karena dia mengadakan jamuan makan malam keluarga. Keluarga besar lebih tepatnya. Semua orang harus hadir di sana. Aku sebenarnya tidak minat sama sekali dengan acara seperti itu. Tapi Ibu mengancamku akan menghapus namaku dari daftar anaknya kalau aku tidak datang. Ada dua hal yang membuatku malas datang ke acara itu. Satu, karena kakekku. Yang kedua, karena Sakura pasti ada di sana. Dia pasti sudah mengadu pada Itachi atas perlakuan kasarku saat dia datang ke apartemenku. Tapi aku tidak mau ambil pusing. Itachi tidak akan memarahiku. Dia tidak pernah memarahiku. Bahkan saat aku merusak gadget kesayangannya beberapa tahun yang lalu, dia hanya menghela napas dan mengusap kepalaku seraya berkata "Jangan ulangi lagi, ya?" Jadi kalau hanya masalah aku membentak istrinya, dia tidak akan marah padaku.
Tapi ternyata yang aku pikirkan selama ini salah. Sakura bahkan tidak cerita pada siapapun tentang perlakuan kasarku padanya beberapa hari yang lalu. Itachi bahkan bilang padaku kalau aku menyambut Sakura dengan baik di apartemenku. Tentu saja itu membuatku terkejut luar biasa.
Saat aku menatap Sakura setelah mendengar cerita yang terlontar dari mulut Itachi itu, Sakura juga balas menatapku. Dia tampak terkesiap kaget saat aku menatapnya dengan tatapan seperti itu. Aku, tentu saja, merasakan seolah ada air dingin yang disiramkan ke dasar perutku saat mata kami saling bertatapan satu sama lain. Aku tidak banyak bicara saat acara jamuan berlangsung.
Tidak ada yang banyak berbicara. Satu-satunya yang banyak berbicara saat jamuan makan berlangsung adalah kakekku. Dia mengatakan banyak hal yang tidak aku dengarkan. Paling-paling membanggakan kekayaan keluarganya yang turun temurun tidak ada habisnya. Selalu seperti itu yang dia bicarakan.
Kedua orangtuaku sibuk menanggapi kata-kata kakek. Itachi sibuk berbicara dengan istrinya. Sementara aku hanya disibukkan dengan daging asap yang rasanya hambar. Aku menatap semua orang yang di meja dengan tatapan tanpa minat. Acara keluarga macam apa ini kalau ada satu anggota keluarga yang tidak diacuhkan sama sekali?
Aku meletakkan garpu dan sendokku setelah aku menyelesaikan makanku.
"Aku selesai," kataku pendek seraya beranjak dari kursiku.
Semua orang di meja itu menatapku dengan pandangan aneh dan bingung. Tapi aku tidak menjawab. Aku mendorong kursiku ke belakang sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu. Saat aku melewati kursi Sakura, mata kami kembali bertemu. Aku benci mengakuinya. Tapi dadaku selalu berdebar tak karuan setiap kali kami tidak sengaja bertatapan seperti ini. Apakah aku sudah gila?
.
Seminggu setelah acara jamuan makan itu, aku kembali menyendiri. Aku tidak menghubungi satu pun keluargaku dan kembali menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Aku mencari informasi tentang kelanjutan studi-ku. Aku rasa aku akan gila kalau lama-lama berada dalam lingkungan ini. Aku sama sekali tidak bia mengenyahkan Sakura dari pikiranku dan tiap kali memikirkannya, jantungku berdebar-debar sendiri. Mengingat tatapan matanya padaku dan sikap baiknya pada semua orang, benar-benar membuatku merasa terluka sendiri. Bagaimana pun juga, gadis baik hati yang sangat aku sukai itu adalah istri kakakku. Jadi seperti apapun usahaku untuk mendekatinya, aku tetap tidak akan bisa memilikinya. Lalu aku pun memutuskan untuk meninggalkan tempat ini. Mengembangkan bidangku ke tempat lain.
Aku pun mulai mendaftar ke beberapa situs yang menyediakan beasiswa untuk belajar ke luar negri. Tidak ada yang tahu keinginanku ini kecuali Itachi.
Dia mendatangiku di apartemenku seminggu setelah jamuan makan malam yang payah itu. Aku sedang membuat sebuah sketsa lukisan saat dia tiba-tiba datang dan berdiri di hadapanku.
"Kau sudah memutuskannya?" tanyanya tanpa basa basi.
"Hm," sahutku tanpa mendongak ke arahnya.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu akhir-akhir ini. Aku tahu kau memang lebih suka menyendiri dibanding membaur dengan banyak orang. Tapi akhir-akhir ini kau jadi lebih sering.. menyendiri. Aku khawatir padamu, ototou," kata Itachi, seraya duduk di salah satu sofa yang ada di apartemenku.
"Tidak ada yang perlu kau khawatirkan," sahutku lagi.
"Kau tahu, aku mulai merasa kau sedikit menjauh dariku semenjak.. pernikahanku. Kau bahkan tidak datang pada hari itu padahal aku berharap kau menjadi pengiringku. Dan sejak itu kau bahkan jarang kelihatan berkunjung ke rumah. Selalu melewatkan acara keluarga. Ada apa sebenarnya, Sasuke?" tanya Itachi.
Aku tidak segera menyahut.
"Jangan mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja. Nikmati saja pernikahanmu. Dan segera berikan cucu untuk Ayah," kataku tanpa menoleh sedikit pun dari lukisanku.
Aku mendengar Itachi mendengus pelan. Dan hal itu mau tidak mau membuatku menoleh ke arahnya.
"Ada apa?" tanyaku. Itachi tampak ragu untuk menjawab.
"Aku... entahlah. Bagaimana Sakura menurutmu, Sasuke?" tanyanya kemudian.
"Dia baik. Dan.. cantik sekali," jawabku sekenanya.
"Yah, aku juga berpikiran seperti itu. Dia baik, tentu saja. Tapi aku rasa, aku tidak sanggup menyentuhnya sampai dia benar-benar siap," kata Itachi.
Aku mengerutkan dahi menatapnya.
"Maksudmu?" tanyaku.
"Sakura... mungkin terpaksa melakukan pernikahan ini. Dia selalu tampak canggung ketika kami berdua berada di rumah. Dan setiap aku mendekatinya, dia selalu punya alasan untuk menghindar. Aku pikir.. mungkin dia belum siap dengan semua hal tentang pernikahan kami," jelas Itachi.
"Ah, begitu?" aku mengangguk mengerti. Jadi kau mau bilang kalau kalian... sama sekali melewatkan malam pertama yang panas?" lanjutku.
"Apa kau tidak punya saran yang lebih bagus dari itu?" Itachi terlihat kesal.
"Yah, mungkin kau harus lebih lembut padanya. Seperti... Hei, kau juga tahu kan kalau aku tidak pernah berhasil dalam hal ini? Jangan tanya padaku," sergahku setengah kesal. Dia mau minta pendapatku tentang wanita? Apa dia gila?
"Aku hanya khawatir aku-lah yang membuat hidupnya menderita karena pernikahan ini," ujar Itachi.
Aku menghentikan kegiatanku dan menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Apa kau benar-benar menyukainya?" tanyaku kemudian.
"Aku rasa begitu," jawab Itachi. Aku mendecih pelan.
"Aku rasa? Yang benar saja. Kalau kau memang menyukainya, buat dia agar bisa suka padamu juga. Apa kau akan seperti ini terus sampai kalian jadi tua?" kataku.
"Kalau begitu, mungkin kau bisa membantuku," kata Itachi beberapa saat kemudian. Kedua matanya berbinar saat menatapku.
"Apa?" aku mulai mencium sesuatu yang tidak enak dalam nada bicaranya.
"Mungkin... kau bisa bicara pada Sakura. Tentang bagaimana perasaannya padaku," katanya kemudian.
Demi Tuhan...
"Kenapa harus aku? Kalian bisa bicara satu sama lain kan? Membangun sebuah hubungan dengan saling berbicara, mungkin. Jangan libatkan aku dalam urusan rumah tangga kalian," kataku dengan nada tegas.
"Ini adalah ucapan permintaan tolong dari kakakmu satu-satunya, Sasuke," kata Itachi dengan nada memohon yang khas. Dia memang tidak terlihat sedang memohon. Bahkan sebaliknya. Kedua matanya menatapku tajam dan nada bicaranya tegas. Seolah-olah dia ingin mengatakan kalau aku tidak melakukan ini, dia akan membocorkan rahasia terbesarku pada dunia. Dan hal yang bisa aku lakukanya hanyalah mendesah panjang seraya mengangguk dengan terpaksa.
"Baiklah," kataku akhirnya.
Aku melihat senyum puas di wajah Itachi.
"Kau harus membayarku mahal untuk ini," ujarku kemudian.
.
Aku bertemu dengan Sakura di sebuah kedai makan sederhana di pinggir kota. Sebenarnya tempat ini sama sekali bukan tempat yang cocok untuk berbicara terbuka satu sama lain. Tapi aku tidak dapat menemukan tempat paling menarik selain di sini. Sakura bilang dia sangat menyukai anmitsu. Dan kata Naruto, sahabatku yang sudah pernah aku sebut tadi, mengatakan kalau di kedai ini anmitsu-nya terkenal enak. Jadi aku mengajaknya ke sini.
Sakura sudah duduk di kursi yang aku pesan saat aku datang. Dia melambaikan tangannya ke arahku dengan sikap kikuk saat aku mendatanginya. Sebuah senyum tampak terulas di wajahnya begitu aku sampai di depan mejanya. Sakura tampak manis sekali hari ini. Rambut panjangnya diikat ke belakang menjadi sebuah gelungan dan poninya dibiarkan tergerai membingkai wajahnya. Dia mengenakan sweater hijau dan celana warna peach yang sesuai sekali dengan kulit tubuhnya.
"Maaf, aku terlambat," ujarku seraya duduk di hadapannya.
Sakura duduk dengan punggung tegak.
"Aku juga baru saja datang," sahutnya dengan sikap kaku.
Seorang pelayan datang menghampiri kami dan menanyakan menu pesanan kami. Aku memesan seporsi nasi kari karena aku belum sarapan sejak pagi. Sakura hanya memesan anmitsu, seperti yang sudah aku duga sebelumnya.
"Jadi... apa ada sesuatu?" tanya Sakura, memecah keheningan ganjil yang menyergap kami berdua.
Aku mendongakkan wajahku dari buku menu yang sedari tadi menjadi obyek penglihatanku sementara aku sedang mencari bahan pembicaraan yang pas.
"Ah, ya... itu.. Maaf kalau aku mengganggu waktumu," kataku kemudian.
Sial, kenapa aku malah jadi gugup seperti ini? Kalau ini adalah kencan pertamaku, sudah pasti aku akan sangat senang sekali. Aku senang, tentu saja. Tapi langsung digantikan dengan kekecawaan dan kekesalan saat mengingat kalau yang sedang duduk di hadapanku ini adalah kakak iparku. Dan kedatanganku ke sini adalah untuk membicarakan urusan rumah tangga mereka.
"Tidak. Aku sedang tidak ada tugas," sahut Sakura.
Kedua mata kami bertemu dan kami saling bertatapan satu sama lain untuk beberapa saat. Kenapa aku tidak bisa melepas pandanganku dari matanya?
Pelayan datang membawa pesanan kami beberapa saat kemudian dan memutuskan kontak mata kami. Aku harus berterimakasih padanya karena sudah membuat kecanggungan di antara kami terisi.
"Itachi yang memintaku datang ke sini untuk berbicara padamu," kataku kemudian.
Nasi kari di depanku mengepulkan asap panas dan menguarkan bau rempah yang membuat perutku memberontak untuk segera diisi.
"Ah, begitu?" Sakura menunduk. Dia sama sekali belum menyentuh hidangannya. Begitula pula denganku.
"Begini, sebenarnya aku juga tidak terlalu mahir dalam hal ini. Aku jarang berkomunikasi dengan wanita. Tapi karena Itachi sepertinya merasa tidak enak padamu karena hal ini dan dia sendiri tidak tahu harus mengatakan apa padamu, jadi dia menyuruhku. Dia pikir, karena kita seumuran, mungkin kau mau berbagi denganku. Oke, kedengaran aneh memang. Aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku katakan padamu. Jujur saja, ini adalah pertama kalinya aku makan berdua dengan seorang perempuan. Yah, kedengaran sangat gay kan? Tapi aku bukan gay. Aku normal. Tunggu! Apa yang baru saja aku bicarakan?" aku langsung terdiam begitu aku sadar kalau aku sudah bicara terlalu banyak.
Kata orang, terkadang rasa gugup bercampur dengan kegembiraan yang meluap membuat seseorang lupa diri dan bertindak di luar batasnya. Dan apakah aku baru saja melakukannya? Apa yang sudah aku katakan tadi?
Aku mendengar suara tawa pelan di depanku. Saat aku menoleh ke arah Sakura, aku melihatnya sedang menahan tawa melihatku.
"Apa yang lucu?" tanyaku dengan dahi berkerut.
"Aku tidak tahu kalau Sasuke-kun bisa bicara sepanjang itu," jawab Sakura di sela-sela tawanya.
"Memangnya apa–?" aku tidak menyelesaikan kata-kataku.
"Kau hampir tidak pernah bicara sedikitpun di depanku. Aku pikir kau membenciku karena aku sudah merebut kakakmu. Tapi melihatmu melakukan ini demi Itachi-kun, aku rasa kau juga sangat menyayanginya," kata Sakura.
Aku tidak menyahut dan hanya menatap Sakura dalam diam.
"Baru kali ini aku mendengarmu bicara sepanjang itu. Apa kau segugup itu? Aku tahu apa yang ingin kau katakan. Tidak usah merasa sungkan padaku. Karena kau adalah adiknya, aku akan mengatakannya padamu. Berikan aku waktu sebentar lagi. Suatu saat nanti, aku pasti akan siap dengan semuanya," ujar Sakura. Sikapnya mulai tidak sekaku tadi dan dia mulai menyendok anmitsunya.
Aku belum menyentuh kariku sama sekali.
Entah kenapa perasaanku sekarang jadi tambah bergejolak tak karuan. Jantungku hampir meledak hebat saat aku melihat senyumnya tadi. Tapi mendengar kata-katanya barusan, seolah menguatkan kalau suatu saat nanti tidak akan kesempatan bagiku untuk menyukainya. Saat ini mungkin perasaan Sakura masih belum jelas. Tapi dia sedang berusaha untuk menyukai Itachi.
"Aku menghindarimu bukan karena aku membencimu," ujarku kemudian dengan nada datar.
Sakura menghentikan kegiatannya dan mendongak menatapku.
"Eh?" dia meletakkan lagi sendoknya dan kini balas menatapku dengan tatapan heran.
"Kau mau aku mengatakan yang sebenarnya?" tanyaku.
Untuk beberapa saat Sakura tampak ragu.
"Katakan. Karena kita sekarang adalah keluarga. Kau bisa mengatakan apapun pendapatmu tentangku," katanya kemudian.
Aku menatapnya tajam untuk beberapa saat.
"Karena aku menyukaimu. Aku menyukaimu sejak kita bertemu pertama kali. Aku menyukai sejak kau datang ke rumahku dan ayahku memperkenalkanmu sebagai calon istri kakakku. Sampai sekarang. Kalau ada cara untuk mengenyahkan bayanganmu dari pikiranku, katakan padaku. Aku akan melakukannya," ujarku kemudian.
Tidak seperti sebelum-sebelumnya. Aku selalu gagal saat menyatakan perasaanku pada seorang gadis yang aku sukai. Aku selalu merasa aku payah dan putus asa sebelum melakukannya. Tapi kali ini entah mendapat keberanian darimana, aku bahkan sama sekali tidak memutuskan kontak mataku dari tatapan Sakura.
Dia tampak terkejut sekali mendengar pernyataanku. Tapi tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya.
"Sasuke-kun..." panggilnya lirih.
"Aku tahu, aku tahu. Kau akan bilang kalau seharusnya aku tidak boleh melakukan ini. Aku tahu kau adalah istri kakakku saat ini, dan tidak seharusnya aku mempunyai perasaan seperti ini padamu. Tapi apa kau bisa menolak saat kau sudah jatuh cinta pada seseorang? Apa kau bisa mengelak perasaanmu sendiri? Maka dari itu, aku menjauhimu sejak saat itu," kataku panjang lebar.
Sakura mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia tampak ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya.
Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya beranjak dari tempat dudukku. Nasi kari di meja masih tampak hangat tapi rasa laparku sudah mulai menghilang.
"Maaf, kalau aku sama sekali tidak bisa membantu kalian," kataku kemudian seraya berjalan meninggalkan meja itu. Aku berjalan menuju kasir untuk melunasi pesanan sebelum akhirnya benar-benar keluar dari kedai itu.
Dalam perjalanan menuju apartemenku, aku merutuki diriku sendiri karena kebodohanku itu. Apa yang sudah aku lakukan tadi? Bagaimana aku bisa bertemu dengan Sakura lagi setelah ini?
Aku tahu kalau aku terus memikirkannya sepanjang hari hanya akan membuatku bertambah frustasi. Jadi aku pergi ke galeri lukisku untuk membuat sebuah lukisan baru. Hanya itu satu-satunya pelampiasanku saat aku merasa frustasi seperti ini.
.
Aku sama sekali tidak bicara dengan Sakura setelah kejadian di kedai itu. Aku bahkan menolak untuk bertemu atau bahkan berada dalam satu ruangan dengannya saat kami berada di rumah orangtuaku. Aku menghindari tidak pergi ke rumah orangtuaku saat dia ada di sana. Jujur saja, aku memendam perasaan bersalah dan malu setelah aku menyatakan perasaanku padanya hari itu. Seharusnya aku bisa lebih menguasai diriku. Bahkan sekarang aku merasa kesal pada diriku sendiri.
Aku menyibukkan diri untuk seleksi beasiswa ke Prancis dengan mengurung diriku (lagi) di apartemenku. Selain ingin mengembangkan kemampuanku di sana, aku juga harus segera pergi dari tempat ini agar tidak tersiksa lebih lama. Aku tidak pernah tahu kalau patah hati akan sesakit ini.
Tapi malam itu, pada pertengahan Juli yang berhujan, semuanya berubah.
Aku sedang menyantap makan malamku sambil menikmati pertandingan baseball saat seseorang tiba-tiba memencet bel apartemenku berkali-kali.
Aku lalu beranjak dari sofaku yang hangat untuk membukakan pintu pada tamu yang tidak sabaran itu.
Kedua mataku membelalak kaget saat aku melihat Sakura sudah berdiri di sana dengan seluruh badan basah kuyup karena guyuran hujan.
"Saku–"
Kata-kataku belum selesai saat aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh bibirku. Saat aku menyadari apa yang terjadi, aku langsung terbelalak kaget.
Sakura sedang mencium bibirku. Jantungku rasanya mau meledak saat ini.
"Apa yang kau lakukan?!" tanyaku kaget seraya mendorong tubuhnya menjauh dariku. Suara guyuran hujan terdengar disertai dengan bunyi gemuruh yang menggelegar di luar sana.
"Apa yang kau lakukan padaku?" tanya Sakura dengan suara serak. Dan aku langsung tersadar kalau dia sedang menangis saat ini. Kedua matanya memerah dan menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Antara marah, kecewa dan sedih.
"Ada ap–?"
"Kau mendiamkanku berhari-hari! Kau bahkan tidak mau menatapku sejak kejadian itu. Kau memperlakukanku seolah aku tidak pernah ada! Dan itu membuatku terluka sendiri. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Seharusnya... Itachi-kunlah yang membuatku berdebar-debar saat menatapnya. Seharusnya Itachi-kunlah yang bisa membuatku merindukannya sepanjang hari. Tapi kenapa kau yang selalu membuatku merasa seperti itu?! Kenapa aku harus bertemu denganmu dalam keadaan seperti ini?!" Sakura menunduk seraya menangis sesunggukan. Dia mengusap airmatanya tanpa menatap ke arahku.
Dan aku hanya berdiri mematung di pintu apartemenku untuk beberapa saat, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi di sini.
"Aku tidak begitu mengerti. Tapi..."
"Kau tidak mengerti?! Kau tahu rasanya tidak diacuhkan oleh seseorang. Aku berusaha membuat semuanya kelihatan normal. Aku berusaha membuat perasaanku berlabuh pada orang yang seharusnya aku sukai. Tapi pada kenyataannya, yang justru selalu mengganggu pikiranku adalah kau! Apa yang sudah kau lakukan padaku sampai aku tidak bisa mengenyahkan dirimu dari kepalaku?" Sakura kini menatapku dengan tajam. Kedua matanya masih basah oleh airmata.
Aku tidak segera menyahut. Aku sudah paham dengan apa yang terjadi sekarang. Tapi aku tidak tahu harus mengatakan apa untuk ini. Perasaanku sedang berkecamuk tak karuan saat ini.
"Aku menyukaimu, bodoh," kata Sakura kemudian.
Hal terakhir yang aku rasakan sebelum aku menarik tubuh Sakura yang basah kuyup ke dalam apartemenku adalah jariku yang berdenyut sakit akibat terjepit daun pintu. Tapi aku mengabaikannya karena setelah itu aku tidak peduli pada apapun selain bibir Sakura yang manis. Kami mulai berciuman dengan begitu penuh nafsu malam itu. Ciuman pertamaku yang benar-benar memabukkan. Aku benar-benar seperti kehilangan akal sehatku malam itu.
Ada sebersit rasa bersalah karena aku mencium istri kakakku. Tapi aku tidak bisa mengelaknya. Perasaan cintaku yang akhirnya terbalas. Kami berdua saling menyukai. Dan ciuman ini adalah tanda hasrat kami yang sudah terpendam begitu lama.
"Miliki aku, Sasuke-kun," ujar Sakura tiba-tiba di tengah-tengah pagutan kami.
Aku tahu kami berdua sudah melangkah terlalu jauh. Aku tahu aku tidak seharusnya menyentuhnya seperti ini. Tapi semua sudah terlanjur. Perasaan ini.. Sampai kapan aku harus mengalah untuk Itachi?
Aku tidak ingin mundur lagi.
"Itachi-nii..."
Sakura terdiam dan mencengkeram kedua lenganku dengan erat.
Aku melihat kedua matanya mulai kembali berair. Seharusnya aku tahu apa yang sedang menjadi ganjalan hatinya saat ini. Jauh di dalam lubuk hatinya dia juga tidak ingin menjalani ini, menikah dengan orang yang tidak dia sukai. Hidup berpura-pura berbahagia hanya untuk kebahagiaan orangtuanya. Bukankah setiap orang punya hak untuk hidup bahagia dengan jalan yang dipilihnya sendiri?
Aku harusnya yang mengambil langkah lebih dulu. Sakura tidak mau mengkhianati suaminya, tapi dia juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Dia menginginkanku, sama halnya denganku. Maafkan aku, aniki.
Aku kembali mencium bibir Sakura untuk kesekian kalinya malam ini. Dengan gerakan lebih liar dan bernafsu. Tubuhku bergerak dengan sendirinya untuk menggendongnya sampai ke kamarku.
Aku tidak peduli dengan apapun sekarang selain melucuti pakaiannya dan pakaianku sendiri.
Malam itu, untuk pertama kalinya, kami melakukan hal terlarang itu. Aku telah merenggut keperawanan kakak iparku sendiri.
.
Hubunganku dengan Sakura terus berlangsung. Bahkan lebih ekstrim dari sebelumnya. Aku seperti kecanduan dengan tubuhnya dan tidak bisa berada jauh-jauh darinya. Begitula dengan Sakura. Saat menginap di rumah orangtuaku, aku bahkan berani menariknya masuk ke dalam kamarku saat tengah malam hanya untuk menuntaskan hasratku padanya. Tentu saja tanpa sepengetahuan siapapun di rumah itu.
Aku pergi beberapa kali ke rumah Sakura saat Itachi dinas keluar kota. Tidak ada yang curiga dengan hubungan kami. Orang-orang beranggapan kalau kedekatan kami hanya sebatas hubungan kakak ipar dan adik ipar yang akrab. Itachi pun tampaknya senang karena akhirnya aku tidak bersikap dingin lagi pada Sakura.
Rasa bersalahku padanya semakin membesar saat dia bilang akan mempercayakan Sakura padaku saat dia tugas keluar kota selama beberapa bulan.
Aku tahu akan bebas melakukan apapun pada Sakura saat dia tidak ada di rumah. Tapi kalau seperti ini terus menerus, aku sendiri yang merasa bersalah padanya.
Suatu saat di musim dingin, sebuah surat datang padaku. Pemberitahuan tentang penyeleksian beasiswa ke Prancis. Aku lolos dengan nilai nyaris sempurna.
Aku tentu saja senang, tapi itu membawaku pada dilema baru.
Walau pada akhirnya ayahku akhirnya mengakui kehebatan dan kemampuanku, tapi ada yang mengganjal kepergianku. Awalnya aku pergi untuk menghindari Sakura dan Itachi. Tapi saat ini keadannya berbeda. Aku dan Sakura saling mencintai. Apa aku harus meninggalkannya saat ini?
Mungkin sudah saatnya aku harus melakukan hal yang benar.
Meninggalkannya dengan Itachi dan membiarkan mereka membina keluarga kecil yang bahagia.
Aku pergi ke rumah Sakura malam itu untuk memberitahukan keputusanku. Dia di sana sendirian, sedang menyiapkan makan malam.
Dengan baju hangat dan apron yang melekat di tubuhnya, dia kelihatan sangat seksi. Selama ini aku selalu membayangkan untuk mencumbunya di dapur dengan menggunakan apron saja tapi tidak pernah berhasil.
Aku mengatakan semuanya pada Sakura dan dia tampak kecewa. Raut wajahnya segera berubah. Dia ingin marah tapi segera ditahannya. Dan sebagai gantinya, dia mulai menangis.
Aku mencoba menenangkannya dengan memeluknya.
Lalu entah siapa yang memulai, kami berakhir dengan saling bercumbu di meja dapur.
Tanpa melepas pakaian kami, aku berhasil membuatnya 'meledak' dua kali. Saat permainan ketiga dan Sakura berhasil mencapai klimaksnya yang ketiga kalinya, kami mendengar suara mobil Itachi memasuki halaman rumah.
Dengan sikap tenang, kami membersihkan kekacauan kami sebelum Itachi memasuki rumah. Kami sudah terlalu sering melakukan hal ini.
Itachi masuk ke dalam rumah dengan tenang beberapa saat kemudian dan tampak biasa saja melihatku sudah ada di sana, duduk di meja makan sambil mengutak atik ponselku.
Sakura segera menyiapkan makan malam untuk kami bertiga.
Dan malam itu, setelah bicara panjang lebar dengan Itachi tentang rencana kepergianku ke Paris, aku memutuskan untuk menginap di sana.
Tidurku tidak nyenyak sekali malam itu. Membayangkan wajah Sakura yang menangis karena keputusanku tadi dan membayangkan dia sedang tidur satu ranjang dengan kakakku di kamar sebelah.
Aku baru bisa tidur nyenyak saat jam menunjukkan kalau malam hampir habis.
Malam itu aku bermimpi buruk sekali. Aku bermimpi melihat Sakura sedang bercumbu dengan Itachi di depan mataku.
Dan mimpi buruk itu tidak berakhir sampai pagi harinya.
Aku turun ke lantai dasar setelah membersihkan diriku dan bersiap untuk segera pergi.
Tapi begitu aku sampai di ruang makan, aku mendengar sesuatu yang tidak biasa.
Aku mendengar Sakura menunduk di atas wastafel kamar mandi sambil muntah hebat.
"Ada apa?" tanyaku pada Itachi yang berdiri di samping Sakura dengan wajah cemas.
"Sakura sudah seperti ini sejak beberapa hari yang lalu," jawab Itachi.
Tubuhku menegang untuk beberapa saat.
"Apa dia sakit?" tanyaku kemudian.
Itachi tersenyum aneh. Dengan gerakan pelan, dia menunjukkan sebuah benda kecil dan panjang di tangannya. Ada dua garis berwarna merah di tengahnya.
Aku tahu apa benda yang sedang dipegang Itachi itu.
Alat tes kehamilan.
"Positif, Sasuke. Sebentar lagi kau akan punya keponakan," kata Itachi dengan nada senang. Dia tersenyum lebar ke arahku.
Dan aku tidak tahu harus membalasnya apa selain tersenyum dengan sikap kaku ke arahnya.
Sakura mendongak dan langsung menatapku. Wajahnya memerah karena kelelahan mengeluarkan isi perutnya. Mata kami saling bertatapan satu sama lain.
Ada yang sesuatu yang terpancar dari mata kami, tapi tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Yang pasti saat ini, aku sangat merasa bersalah pada Itachi.
.
.
.
.
.
.
.
TBC
.
.
.
.
.
A/N: gak tahu, deh, ini masuknya T atau M. Yang pasti, saya gak mau bikin fic yang bukan2 dl di bulan puasa ini. Saya, sih, gak puasa. Tapi ikut menjaga hati dan pikiran buat adek2 yng lagi puasa aja. Hahaha! Awalnya sih au hiatus dulu buat nyelesain proyek RL. Tapi lama kelamaan kangen nulis fic.
Buat fic yang lain, ditunggu setelah bulan puasa habis, ya? Karena semuanya rate M dgn tingkat kemature-an tinggi. Sekarang dibanyakin dulu aja ibadahnya.
Bye.