By : 21senpai 12
Disclaimer : Saya tidak memiliki apapun dari fict ini
Summary : Dia sudah lelah akan keberadaannya, segala cara telah dia lakukan untuk mendapatkan rasa damai itu. Tapi semuanya gagal, sekarang dia datang membawanya ke dunia baru dan bertemu mereka. Saat itu dia sadar bahwa akhir dari dunia itu adalah akhir darinya, tapi bagaimana dengan mereka?
Warning : AU, OOC, Typo, dan lain – lain, chara death (perhatian tokoh dalam fic ini dapat berubah wataknya seiring dengan kejadian yang dialami tokoh)
Pairing : issei x harem, Naruto x ?
….
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Yokai, merupakan mahkluk supranatural yang berasal dari mitos dan kepercayaan orang banyak.
Tidak berbeda dengan fraksi lain, mereka juga membuat hubungan dengan manusia untuk bertahan hidup. Kekuatan mereka bermacam – macam, dari hanya sekuat manusia biasa sampai dapat memusnahkan Negara dalam satu hari. Meski selalu dipandang sebelah mata, mereka memiliki sesuatu yang jarang dimiliki fraksi lain.
Persatuan.
Dengan berbagai macam jenis yang ada di dalamnya, mereka mau berkumpul membuat sebuah pemerintahan yang solid, mengabaikan semua perbedaan yang mereka miliki untuk hal itu,
Bahkan sekarang, di Kota bersejarah Kyoto ini, hal itu kembali terbukti.
Bahkan mau berkerjasama dengan ras lain demi memperjuangkan tanah kelahiran mereka.
.
.
.
Karasu, adalah seorang Yokai Tengu yang sudah melayani Ratu Yasaka – sama sejauh yang bisa diingatnya. Kemampuan dan kecerdasan yang dimilikinya membawanya hanya satu tingkat dibawah Yasaka – sama dalam garis pemerintahan.
Alis bertautan, mata tajam ke depan, Karasu memandang serius pertarungan yang terjadi di depannya.
Mereka datang tanpa peringatan, membuat keamanan local terkejut atas kedatangan mereka. Sukses membuat komando mereka berantakan, Namun itu tidak lama. Dan Karasu menyaksikan dengan sedikit bangga keamanan local kota Kyoto dengan cepat bangkit dan mulai melakukan perlawanan.
Para Yokai masih belum ingin terlibat, membiarkan para manusia itu berdiri dan melawan dengan kekuatan mereka sendiri. Itulah rencananya.
Tapi, suatu kejadian membuat Karasu berhenti karena terkejut. Seorang Yokai yang tengah membantu menyelamatkan warga sipil terbunuh, oleh tembakan nyasar dari musuh mereka. Dan baru saat itu, mereka menyadari ada anti – sihir di senjata yang musuh mereka gunakan.
Mereka tidak memiliki aura atau sihir lain, kecuali residu sihir teleportasi yang membawa mereka kesini tadi. Itu berarti penyerangan ini bukan penyerangan biasa. Dan pemikiran itu membuat cemas Yokai gagak itu.
Yokai gagak itu menggelengkan kepalanya, mencoba tetap focus pada pertempuran yang ada di depannya.
Walaupun dengan semua yang dimiliki musuh mereka, mereka tidak jauh berbeda dari manusia biasa, dan bangsa Yokai masih lebih kuat, lincah dan cepat. Itu juga berarti mereka kalah jumlah. Dan Gagak tua itu dapat melihatnya, perlahan tapi pasti, mereka semakin di dorong mundur.
Karasu menunduk, jendela di sampingnya meledak dan api semburannya hampir membakarnya. Gagak itu menoleh ke samping.
Lima manusia, tiga polisi dan dua Damkar ikut berlindung bersamanya. Lalu dari pintu belakang datang seorang manusia yang mengenakan seragam keamanan.
"Pak! Semua warga sipil di daerah ini sudah di evakuasi!" Pria itu berbisik, tapi juga membuat suaranya berteriak. Seorang polisi yang memegang senjata otomatis itu memandangnya.
"Sektor aman."
Karasu mengangguk kearah pintu, dan polisi itu merayap kearah pintu dan dibelakangnya diikuti oleh anak buahnya. Karasu akhirnya menatap para rekan Yokainya. Tanpa diperintah, mereka memegang senjata masing – masing dan bergerak mengikuti polisi tadi.
Belum sempat Karasu berdiri, sebuah ledakan terdengar dari luar, diikuti oleh bunyi nyaring baling – baling helicopter.
"Heh, tembakan yang bagus Neo! Kalawarner bagaimana kondisi diluar?" Seorang gadis berambut pirang itu mengangguk sebelum memandangnya. " Musuh mendekat dari timur, tiga blok dari sini. Jika kita serang sekarang, kita bisa membuat garis pertahanan disana."
Karasu memandang gadis itu, malaikat jatuh, sekutu mereka saat ini.
Flash Back
Karasu mengumpat. Dia sedang terkepung. Seharusnya dia sudah tahu, kendaraan lapis baja itu juga sudah pasti dilapisi anti sihir.
Menguatkan tekadnya, Yokai gagak itu mengeratkan pegangan pada kedua katananya. Otot menegang, bersiap menerjang kearah musuhnya.
Namun sebelum ia bisa melakukan hal itu, hujan timah panas itu membantai semua musuhnya dari udara.
Seorang gadis turun dari atas memegang senjata otomatis di kedua tangannya.
"Akhirnya, kami bisa menemukanmu Pak tua."
Karasu tidak menjawab, dan melesat kearah gadis itu. Mengabaikan wajah terkejut gadis itu, Yokai gagak itu menusuk musuh yang perlahan berdiri dibelakang gadis itu.
"Mittelt, kau seharusnya lebih waspada." Seorang pria, tidak, malaikat jatuh lain muncul di balik banyangan.
"Ya, ya. Aku tahu itu Dohansek." Gadis yang dipanggil Mittelt itu mendekati musuh yang telah ditusuknya lalu menembaknya di kepala. Tubuh pria itu pun terbakar menjadi abu lalu hilang seakan ditiup angin. "Mereka adalah Ja'vo. Kau harus memastikannya benar – benar mati. Dan terimakasih untuk yang tadi."
Karasu mengangkat pedangnya ke leher gadis itu. Dan ia harus memujinya karena gadis itu tidak berjengit sedikit pun.
"Woah! Kau harus hati – hati pak tua." Ucap Gadis itu mengangkat kedua tangannya, sebuah seringaian ada dibibirnya. "Kami hanya ingin membantu kalian."
"Membantu?" Karasu mendengus, pedangnya semakin dekat, membuat setetes darah mengalir di leher Mittelt. "Setahuku, kalian sangat menyukai konflik."
"Itu ras kami, bukan fraksi kami." Malaikat jatuh pria itu berujar dengan tenang, seakan tidak khawatir leher rekannya hampir tergorok.
Karasu berkedip, sebuah titik merah merayap dari tangannya dan berhenti tepat di dahinya. Tatapannya tidak pernah lepas dari malaikat jatuh berfendora itu.
Sampai akhirnya, Karasu menurunkan pedangnya. "Fraksi?" Dohansek mengangguk.
Sebelum bisa melanjutkan pertanyaannya lagi, sebuah ledakan mengalihkan perhatian mereka..
"Aku ingin berbicara diplomasi lebih lanjut, tapi…." Mittelt menyeringai, mengeluarkan dua senjata api di tangannya. "Ini bukan tempat atau waktu yang tepat."
End Flashback
Menunduk, sekali tusukan ke perut, berputar tebasan ke leher untuk memastikan. Serangannya cepat dan akurat. Mata Karasu tajam memandang musuh di depannya sebelum kembali melesat pada musuh yang paling dekat. Wajahnya focus, tubuhnya berkonsentrasi, tapi tidak dengan pikirannya.
Kepercayaan itu tidak datang begitu saja. Sekian lama mereka bertikai, dan lebih dari satu kali pengkhianatan itu terjadi, dari rasnya atau ras mereka.
Sebuah pelucur roket ditembakan kearahnya. Seorang Yokai banteng melesat ke depannya, berteriak dan menghentakan tangannya ke tanah. Seketika itu dinding setinggi dua meter melindungi mereka dari ledakan roket itu.
Mittelt berlari, sepasang sayap dipunggungnya. Menggunakan sisa dari dinding batu itu, gadis pirang itu meloncat sambil berteriak, melepas beberapa tembakan yang tepat mengenai semua musuhnya.
"Kau lambat pak tua!" Teriaknya sebelum kembali melesat pada musuh lainnya.
Kemudian Karasu melihatnya. Mereka begerak, berubah. Menuju baik atau buruk tergantung dari mereka sendiri.
Rasa tidak ingin kalah muncul dalam dirinya. Ia merasa sudah saatnya Fraksi Yokai bergerak maju.
Tapi sebelumnya…
Karasu berteriak lantang yang diikuti anak buahnya, menyerang dan menghabisi para J'avo yang berani menginjakan kakinya ditanah mereka.
.
.
.
.
Lagi, angin malam itu menerpa lembut wajahnya, surai pirang dan kesembilan ekor itu melambai pelan ditiupnya.
Dengungan halus sihir dari ritual yang sudah selesai masih terngiang di telinganya. Seperti biasa, ada cahaya dilangit saat ia selesai melakukan ritual.
Lalu sorak – sorai…
Matanya terasah, wajahnya mengeras,
Bukan, bukan sorak – sorai.
Teriakan kesakitan, minta tolong.
Tangan dengan tato merah itu terkepal, segera kesedihan itu berubah menjadi kemarahan. Matanya melirik lingkaran sihir yang sudah muncul di tengah ruangan lalu kembali pada teriakan di luar.
"Apa aku sudah memimpin dengan baik?" Bisiknya. Tentu saja tidak ada yang menjawab. Selain jendela tadi, ruangan ini tersegel agar tidak ada yang menganggunya menyelesaikan ritual ini.
Menutup matanya, Yasaka berbalik dari teriakan kesakitan di belakangnya mendekati lingakaran misterius yang ada ditengah ruangan. Mengabaikan sesosok yang berlutut disampingnya.
Yasaka berlutut, memulai ritualnya. Dan sosok itu menghilang, bahkan sebelum perintah itu keluar dari mulutnya.
"Pergilah Assassin, selamatkan rakyatku."
.
.
.
.
Malam semakin larut dan bulan semakin tinggi. Karasu beserta kelompok Mittelt dengan pasti terus maju, blok demi blok, gang demi gang. Membasmi setiap musuh yang mereka temukan.
Sekarang mereka tengah bergerak perlahan ke sebuah hutan dekat sini. Karasu dan Mittelt berada di depannya, dua anak buahnya mengikuti beberapa langkah dibelakangnya, kiri dan kanan, kepala terkadang melirik ke segala arah dan senjata terangkat, berjaga – jaga. Meski sudah mengetahui dari intel Mittelt tidak ada musuh di sekitar sini, Karasu tidak mau mengambil resiko. Dohansek dan Letnan kepercayaannya berada di belakang. Sedangkan anggota polisi dan keamanan local berada ditengah, dekat dengan warga sipil agar tidak panic.
"Ini terlalu sunyi." Ucap Mittelt. Karasu mengangguk. Pegangan pada pedangnya semakin erat. "Ini berarti intel Neo akurat, tapi tetap saja membuat merinding." Lanjutnya.
Tengu itu mulai melihat sekelilingnya.
'Aku sudah melewati perang dan pembantaian, Tapi tetap saja…..'
Pandangan menyedihkan menyambutnya. Yang dulunya sebuah tempat yang ramai dan tentram menjadi zona perang. Bangunan penuh dengan lubang dan kebakaran, jalanan dipenuhi retakan dan mobil terhambur yang terbakar. Lalu…
Mayat.
Karasu menutup matanya.
Rasa malu menyerangnya. Dia, yang mengakui lebih kuat, lebih hebat dari manusia. Dengan angkuh mengakui dapat melindungi Kyoto, rakyat Kyoto. Sosok Tengu gagah itu tidak berani menatap mayat rakyatnya.
Sebuah tembakan.
Dan mata Karasu tersentak terbuka.
Saling bertukar pandang dengan Malaikat Jatuh cebol itu, mereka memberikan perintah.
"Dohansek! Amankan warga sipil, gunakan supermarket disana sebagai titik pertahanan…"
"Kenta, Lee! Buat perimeter, pastikan sihir komunikasi tetap menyala…"
Mittelt mengangkat senjatanya, Karasu mengeluarkan pedangnya.
"Kalawarner ikut aku."
"Nori."
Yokai rubah berambut hitam itu mengangguk.
Tidak sampai satu menit mereka sudah sampai ke asal tembakan. Ja'vo memojokan wanita di ujung gang. Wajah mengeras, Karasu semakin melesat. Sebuah tembakan ke kepala mendahuluinya, Menunduk, lalu menusukan ke pedangnya ke salah satu Ja'vo yang tidak sempat berbalik.
"Nori!" Bentak Karasu. Ja'vo lain jatuh disampingnya akibat tembakan Mittelt. Yokai rubah itu langsung melesat kearah wanita itu.
Karasu mengangkat pedangnya dan melemparnya kearah kanan dimana satu Ja'vo yang bersembunyi baru saja keluar untuk menyergap Nori.
Karasu berbalik dan tanpa melihat menangkap senjata yang dilemparkan Mittelt. Malaikat jatuh Cebol itu menunduk. Dari belakang mereka muncul lima lagi dengan senjata tajam. Dua tembakan di kepala sudah cukup. Mereka tidak meleset.
Menunggu beberapa saat dengan tegang, Karasu akhirnya menurunkan senjatanya. Suara dengungan halus terdengar dari telinga Mittelt. Karasu berjalan untuk mengambil pedangnya dan juga mengaktifkan sihir komunikasinya.
"Kenta, bagaimana situasi?"
"Sejauh ini masih tenang Kapten." Karasu menghela nafas lega. "Kami berhasil membuat kontak dengan tim lain. Apa selanjutnya kapten?"
Karasu ingin menjawab, tapi Mittelt yang berlari melewatinya menghentikannya. "Kenta tetap siaga, aku akan kesana."
"Ha'I kapten."
Karasu mendekat dan melihat Nori memeluk seorang bocah tidak lebih dari enam tahun dipangkuannya dengan Mittelt yang berusaha menyembuhkannya.
Mata Karasu beralih pada wanita disampingnya. Nori menggelengkan kepalanya.
Yokai rubah itu tersentak. Anak dipangkuannya menjadi diam. Karasu hanya bisa menundukan kepalanya.
"Peluru itu menembus ibunya dan berhasil bersarang di paru – parunya…." Bisik Nori meletakan bocah itu perlahan disamping wanita tadi.
Mittelt menggertakan giginya, tangannya memukul semen, terbuat lubang disana. Sihir komunikasi Karasu menyala.
"Aku melihat banyak titik panas bergerak kemari dari hutan. Jumlah sementara lima belas orang, bisa lebih."
"ETA berapa menit?" Tanya Karasu.
"Lima sampai tujuh menit. Mereka berhati – hati dan waspada." Karasu dan Nori saling bertukar pandang.
"Bukan…" Nari dan Karasu memandang terkejut malaikat jatuh itu. Mittelt perlahan bangkit sambil mengambil senjatanya. "Wanita itu bukanlah ibunya."
Karasu terdiam, membiarkan malaikat jatuh itu berjalan terlebih dahulu. Ekspresi cerianya berkurang, tidak hilang, tertahan, menyembunyikan kemarahan yang membara. Lucu sekali, dulu Karasu akan tertawa jika melihat ras sayap hitam itu memiliki simpati. Dan sekarang? Dia sedikit lega karena wanita itu masih bisa menekannya dan takut akan apa yang ada dibaliknya.
Memberikan anggukan, Nori kemudian mengikuti Mittelt, masih waspada jika ada sergapan lain.
Karasu mengangkat kepalanya, menatap malaikat jatuh lain yang berdiri di atas gedung di depannya.
Perjalanan mereka kembali dihabiskan dalam diam. Tak terasa mereka sudah kembali ke supermarket tadi dengan Dohansek dan Kenta menunggu mereka. Dari sudut matanya Karasu melihat malaikat jatuh – Kalawarner - ikut Lee untuk mengawasi gerombolan tadi dari gedung diatas mereka.
"Ada apa!?" Nori berlari melewatinya dan segera menunduk, mengintrogasi seorang polisi yang tengah membuka perban rekannya.
"Lukanya kembali terbuka. Aku sedang membersihkannya.." Nori mengangguk dan ingin mulai menggunakan sihir penyembuhannya.
"Jangan." Polisi tadi menahan tangannya. "Kita tidak tahu sampai kapan kita begini, lebih baik kau menyimpan tenaga."
"Aku menemukan perban!" Teriak seseorang dari dalam supermarket.
"Heh…. Tenang saja. Aku bisa menahannya kok." Nori menatap keduanya cukup lama sebelum mengangguk perlahan.
"Aku akan meringankan rasa sakitnya." Polisi itu membuka mulutnya, Nori mendelik. "Biarkan aku melakukan ini oke?"
"Mereka menghentikan gerakannya." Suara Kalawarner mengalihkan perhatiannya. Malaikat Jatuh itu mengumpat. "Sial. Mereka tahu kita mengawasi mereka."
Karasau berkedip, mereka yang bukan manusia menatap kearah hutan secara bersamaan.
"Sensor..?" Bisik Mittelt.
Musuhkah? Tidak. Karasu menggelengkan kepalanya. Dari yang diingatnya mereka tidak bisa menggunakan sihir. Jadi Karasu berkonsentrasi dan mengeluarkan energinya.
Kraak!
Semen dibawahnya retak.
"Ada seseorang yang keluar." Ucap Kalawarner.
Tanpa sadar kaki Karasu sudah bergerak mendekatinya. Bahkan dari jarak ini Karasu dapat melihat siapa mereka. Seorang pria berbadan tegap keluar. Bukan Manusia.
Yokai. Berjumlah tujuh belas orang.
"Karasu." Ucap Yokai macan di depannya. Tubuhnya agak rileks, menghela nafas lega.
"Chou." Karasu mengangguk dan mulai benar – benar melihat mereka.
Baju kusut, robek, dan kotor, terdapat lecet hampir di seluruh tubuh mereka (Salah satu Yokai anjing memiliki bercak darah di dahinya). Tidak ada luka serius yang terlihat. Karasu kemudian focus pada energy sihir mereka.
Alis Karasu bertautan. Sepuluh warga sipil, empat mengalami kelelahan, dan sisanya tidak lebih baik.
"Wow, kalian seperti dihajar habis – habisan."
Yokai gagak itu tersentak dan Chou bersama anak buahnya hampir meloncat karena ucapan tiba – tiba malaikat jatuh loli itu.
Seluruh senjata anak buah Chou terangkat dan mengarah pada Mittelt. Wajah Yokai macan itu berubah sangar. "Kau bersama dengan mahkluk ini ?"
Mittelt hanya nyengir lebar dan melambaikan tangannya. Karasu memberikan tanda kepada mereka untuk menurunkan senjatanya. "Kita memerlukan semua bantuan yang bisa di dapat." Mata Karasu menajam, dan akhirnya mereka menurut.
Sihir komunikasi muncul di telinga mereka.
"Ada sesuatu yang besar mendekat".
Karasu memberikan tanda. Nori mengangguk dan membawa para Yokai yang tidak bisa bertarung berkumpul dengan para warga sipil lainnya. Dari ujung matanya Karasu melihat Damkar dan Polisi tadi mengambil posisi untuk membantu mereka. Yokai gagak itu akhirnya memandang rekannya.
"Apa kalian masih bisa bertarung?" Chou melihat kearah anak buahnya sebelum menyeringai dan mengeluarkan kedua golok yang ada dipunggungya.
"Tentu saja."
"Dia datang." Peringat Kalawarner.
Benar saja ucapannya. Langkah berat datang dari arah hutan dan Karasu menegang. Sosok yang keluar itu berjenis kelamin laki – laki. Berambut sedikit berwarna pirang kotor, memiliki tinggi sekitar tiga atau empat meter, berotot. Ditangan kanannya terdapat sebuah mesin yang terlihat seperti sebuah meriam.
Mittelt mengumpat.
"Itu Ustanak!"
Tangan pria itu berkedut.
Dan berbagai macam Spell bertebangan kearahnya. Dari semburan api, balok es, tombak tanah, sampai hembusan angin menghantamnya dan membuat asap tebal.
Karasu semakin mengeratkan pedangnya.
Asap itu bergerak. Dan Kenta maju ke depan menghentakan tangannya ke tanah, melindungi mereka dari tembakan meriam itu.
Karasu meyipitkan matanya. Suara langkah berat dengan cepat mendekat. Satu langkah, dan Karasu menarik Yokai banteng itu ke bekalang. Menghindari pukulan yang dapat meretakan tengkoraknya.
Chou dan anak buahnya langsung berpencar. Yokai macan itu merangsek maju, menunduk menghindari ayunan tangan Usatanak dan menyabetkan goloknya pada pinggang Ustanak. Sedangkan Yokai tengu perempuan itu menggunakan tombaknya untuk menjenggal kaki Ustanak. Lalu Yokai gajah dibelakangnya mengangkat dan melempar Yokai anjing kembar itu. Dengan kecepatan seperti itu tendangan mereka berhasil membuat Ustanak terjengkal ke belakang.
Karasu melihat dengan lega kedua Yokai itu melapisi kaki mereka dengan sihir agar tidak melukai kaki mereka.
Karasu melesat. Yokai kura – kura itu menggunakan sabit yang dikaitkan dirantai untuk semakin menarik jatuh Ustanak. Namun suatu kejadian tak terduga terjadi.
Ustanak tidak melawan, membiarkan tubuhnya ditarik ke belakang. Lalu disaat yang tepat ia menggunakan tangan kirinya sebagai tumpuan dan melakukan salto sambil mengarahkan meriamnya pada Yokai kura – kura yang sekarang ada dibawahnya.
Karasu langsung berubah arah. Samar terdengar suara tembakan di telinganya. Peluru itu mengenai meriam Ustanak dan memirikannya sedikit, Mittelt muncul disana dan menendang ke samping meriam itu. Namun tidak tertembak, sedangkan Karasu melesat dan membawa pergi Yokai kura – kura itu dari sana.
Chou lalu melesat, sesaat Ustanak akan mendarat. Yokai macan itu sempat menyipitkan matanya saat Ustanak mengarahkan meriamnya dan menembakannya kearahnya. Chou menghindar ke samping dan langsung menyilangkan goloknya di depannya, berhasil menahan tepat waktu tendangan dari Ustanak tapi tidak bisa menahan dirinya untuk tidak terpental menghantam mobil yang terparkir sembarang disana.
Berondongan peluru dari para manusia membuat Ustanak mengangkat tangannya, melindungi bagian kepalanya. Ia lalu mengangkat meriamnya dan menembaknya. Mereka berpencar menghindar.
"Kalawarner!" Teriak Mittelt.
"Beri aku celah." Jawab suara di telinganya.
Ustanak berlari dan meloncat kearah Karasu. Melompat ke samping, Karasu membenarkan posisinya dan langusung melesat kearah pria itu dengan Chou satu detik di belakangnya.
Kulitnya memang tebal. Dapat menahan berondongan puluru panas itu dan tidak tergores sedikitpun. Tapi, kualitas pedang dan Golok mereka berada di tingkat yang berbeda. Satu goresan panjang muncul di perut Ustanak hasil tebasan Karasu. Diikuti oleh goresan yang lain dari Golok Chou. Samar Karasu mendengar seperti suara dengkuran dikeluarkan oleh Ustanak.
Perhatiannya tertuju padanya, Karasu mencoba mempertahankannya. Ustanak mengangkat tangannya dan menghantamkannya ke bawah. Karasu melompat ke samping lalu menunduk dari ayunan tangan Ustanak.
Yokai Tengu wanita tadi beserta dengan Yokai gajah tadi berlari berputar, mencoba menyerangnya dari titik buta.
Boom!
Suara seperti ledakan terdengar dari belakangnya dan Ustanak memiringkan kepalanya. Lantai beton di belakangnya meledak menjadi kawah kecil. Ustanak melompat dan melesat kearah lahan parkir.
"Tak akan kubiarkan kau Lari!" Desis Chou mengejarnya.
"Jangan terlalu menggunakannya. Senjata itu tidak akan bertahan jika kau memasukan sihir terus menerus ke dalamnya." Ucap Mittelt disampingnya melalui sihir komunikasi.
'Jadi Lee yang menembaknya tadi…' Satu pemikiran terlintas di kepala Karasu. Lee menyalurkan energy sihirnya ke senjata itu. Bukan untuk menyelimuti serangannya dengan sihir, tapi dia menggunakan sihir untuk mempercepat kecepatan laju pelurunya. Itu benar – benar brilian. Tapi disatu sisi, alis Karasu terangkat pada malaikat jatuh disampingya.
Mittelt mengeluarkan dua buah senjata yang lebih besar dan memberondonginya pada Usatanak. Pria besar itu menggunakan kedua tangannya untuk melindungi kepalanya dari tembakan malaikat jatuh itu.
Chou dan anak buahnya tidak menyianyiakan kesempatan itu. Yokai Kura – kura itu melemparkan sabitnya dan mengikat meriam Ustanak. Yokai gajah dan yokai anjing kembar itu ikut membantu menarik tangan Ustanak untuk membuka wajahnya. Tengu betina itu melesat ke sampingnya, mengincar tangan kiri Ustanak. Tombak itu berhasil menembus tangan itu, tapi ia tidak bisa menariknya. Chou melesat ke bawah, mengincar kaki dari Ustanak.
Yokai macan itu berputar dengan kedua goloknya seperti tornado yang akan memotong apapun di depannya. Baru setengah jarak, Karasu lebih cepat. Melesat dengan kedua sayapnya, Karasu sudah berada disamping Tengu betina itu, menusukan pedangnya di tangan kiri Ustanak. Sesaat itu juga serangan Chou mengenai Ustanak dan membuatnya berlutut satu Kaki.
Karasu menarik pedangnya. "Chou!"
Lalu menusukannya lagi ke perut Ustanak dan menangkap kedua golok yang dilempar Chou kearahnya. Menendang pedangnya agar menusuk lebih dalam, Karasu menusukan kedua Goloknya kembali ke lengan Ustanak. Dengan teriakan Karasu menarik tangan pria itu menjauh dari wajahnya.
"Tembak dia!"
"Kalwarner!" Teriak Mittelt.
Boom!
Karasu benar – benar dapat mendengar peluru itu melesat, mengeluarkan suara bising saat membelah udara.
Tapi ada yang salah, terdengar suara mekanik disampingnya.
Meriam yang ada ditangan Ustanak terlepas. Karasu mengabaikan anak buah Chou yang terjengkal ke belakang. Matanya terperangkap laju peluru yang mengarah ke kepala monster itu.
Suara nyaring daging tercabik terdengar kencang ditengah malam itu. Peluru itu bergerak cukup cepat untuk menembus lengan penuh otot Ustanak dan mengenai kepalanya.
Ada perasaan yang membuat merinding saat mahkluk besar itu perlahan jatuh.
Kedua Tengu itu mencabut senjata mereka masing – masing dan menjauh dari sana.
Suara tubuh besar itu serasa menggema saat menghantam tanah. Dan pada beberapa detik itu hanya ada keheningan di lahan parkir itu. Seakan mereka semua masih belum percaya jika monster itu dapat dikalahkan semudah itu.
Sebuah kepakan sayap mengagetkan mereka. Mittelt melesat dan mendarat di dada Ustanak lalu mengeluarkan senjatanya dan menembaki kepala pria itu.
Terus menembak saat senjatanya habis. Mengambil senjata lain, malaikat jatuh cebol itu terus menembak. Dan baru berhenti saat bagian yang seharusnya kepala itu tidak lebih seonggok daging yang tercingcang – cingcang.
"Hah…" Mittlet menghela nafas setelah turun dari tubuh Ustanak. Mengerjapkan matanya beberapa kali setelah menyadari tatapan yang mereka berikan. "Hanya ingin memastikan."
"Ah! Sialan!" Sihir komunikasi berteriak di telinga mereka sebelum ledakan yang cukup besar terdengar dari belakang mereka.
Muncul asap hitam membumbung tinggi beberapa blok dari lokasi mereka. Para manusia itu sudah mulai berlari saat sihir komunikasi Karasu kembali menyala.
"Taichou! Kami perlu bantuan! Pasukan musuh menyergap kami!" Kembali terdengar ledakan dan diiringi suara tembakan. Terdengar suara derapan sesuatu yang besar bergerak dari arah sana.
Melihat mereka yang tidak bergerak, salah satu Damkar berbalik kearah mereka dan berteriak. "Ayo! Disana adalah tempat persembunyian pada war….." Diakhir kalimat wajah Damkar itu langsung memucat dan mengarahkan senjatanya pada mereka. Karasu berbalik.
Dan menegang.
Ustanak berdiri perlahan dibelakangnya. Tapi yang paling megerikan adalah bagaimana bagian kepala itu mencoba memulihkan dirinya. Karasu dapat melihatnya dengan jelas. Tulang tengkorak itu sudah tertutupi dengan darah, pembuluh darah mulai muncul, otot – otot terlihat menjahit dengan sendirinya, pada akhirnya hanya terlihat kulit putih pucat dari wajah monster itu.
Mittlet meneguk ludah sambil tersenyum miring. "Regenerasi Adaptif…"
'Dia hanya mempermainkan kita….' Karasu menggertakan giginya. Ledakan kembali terjadi di belakang mereka. Ustanak merenggangkan lehernya, berjalan dengan pasti untuk mengambil senjatanya.
Keringat dingin menetes dari Lehernya. Sihir Komunikasi kembali menyala.
"Alihkan perhatian mereka! Jangan sampai mereka mendekati penduduk! Dohansek perlambat gerakan Tank itu! Nori cepatlah!"
"Pergi." Geram Tengu tersebut sambil menggengam pedangnya. Anggota polisi akhirnya menarik Damkar tersebut bergegas menuju medan pertarungan di belakangnya.
"Tidak perlu lagi menahan diri." Gumam Mittelt mengangkat senjatanya. Mereka semua menegang siap beraksi.
Ustanak menunduk untuk mengambil senjatanya. Tapi, tiba – tiba saja muncul seorang pemuda kurus berambut pirang muncul di depannya memegang semacam bola energy yang berputar ditangannya.
Bola tersebut dihantamkan. Dan berhasil mengebor tubuh Ustanak dengan mudah. Pria besar itu berteriak kesakitan. Namun, Karasu dapat melihatnya dengan jelas, bagaimana bola energy itu perlahan – lahan mengebor danging Ustanak dan pada akhirnya berhenti sepenuhnya. Dan Karasu dapat melihat tubuh Ustanak sudah mulai mengobati luka yang diterimanya.
Pemuda itu tidak terlihat terkejut. Ia lalu menarik bola energinya dan kemudian meledakannya. Gelombang kejut yang dihasilkannya cukup untuk mementalkan tubuh besar Usatank beberapa meter ke depan.
Tidak terpaku pada pemandangannya di depannya, Karasu mengangkat kepalany saat merasakan hawa keberadaan seseorang mendekat dari atas. Seorang wanita berbadan Sexy berambut pirang dengan telinga binatang di kepalanya.
"Leone…?" Ucap Karasu. Wanita yang bernama Leone itu terkekeh sambil mendarat disamping mereka. Diikuti seorang wanita berambut hitam membawa sebuah pedang, seorang yang mengunakan zirah putih, dan seorang biarawati(?) berambut pirang.
"Halo paman Karasu." Leone memukul kedua tangannya, menatap Karasu dengan seringaian buas.
.
.
.
.
"Bantuan dari Osaka telah tiba!"
.
.
.
.
.
Bersambung.
AKU MASIH HIDUP!
YEAH!
Tapi serius ane minta maaf banget sudah hampir satu tahun gak Update. Aku menyalahkan Coil untuk itu.
Fucking Coil.
Sekarang situasi makin memanas. Ane sarankan kalian lebih seksama membacanya.
Gak bisa janji sih, tapi ane akan meusahakannya. Sedikit tapi cepat supaya kalian tidak sampai lupa sama ceritanya.
Nah sedikit penjelasan di chapter ini. Terjadi serangan terang – terangan di Kyoto. Dengan jenis kekuatan yang dimiliki musuhnya, aku pikir wajar saja Para Youkai akan kewalahan. Belum lagi tujuan penyerangan ini bukanlah untuk mengambil alih Kyoto. Tapi untuk membuat terror dan kerusakan sebanyak mungkin.
Dengan kerusakan yang dan korban yang nyata beserta terisolasinya mereka. Ini merupakan situasi yang buruk bagi Kyoto.
Tapi tenang saja! Trio Da-Tenshi kita dan Osaka telah datang membantu!
Meskipun penyeranga itu belum selesai sih…
Chapter berikutnya mungkin akan selesai beserta aftermatchnya.
Oh, well. Waktunya membalas Review!
Ikeda-xhan: Ya. Isse merupakan salah satu karakter utama.
KidsNoTERROR13: Akhirnya sudah lanjut vak!
Naraeyz: Maaf. Kalau mau ane bisa jelasin sinopsisnya lewat PM.
Mrheza26: Ini dah lanjut
XxxM. A. MxxX: Isse sudah melewati waktu yang berbeda – beda. Itu memberikannya pengalaman yang banyak, tapi juga membuatnya bingung. Karena setiap waktu semakin berbeda setiap lompatannya.
Ae Hatake: Maaf. Tawaran diatas masih ada Lho.
Bayu: Tepat sekali!
Ryoko: Jangan Khawatir ane telah kembali dengan semangat baru! Wow, gue mulai curiga lo punya kekuatan Precog. Dua dari tiga pertanyaan itu benar! Tapi dari pada disebut sisi gelap, aku lebih menyebutnya sisi lain Asia.
Punkbili6: Maaf dan mengecewakan. Jarangnya update membuatku kurang bisa menjelaskannya. Simon adalah antagonis dari Rute Leon di RE6. Sedangkan Ananke adalah nama samaran Ibu dari tiga Dewi takdir mitologi Yunani
Yap itu sudah semua!
Sampai jumpa Chapter depan!
P.S: (semoga gak sampai tahun depan hehe)