Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

written by Akashitty

.

.

AKASHITSUJI - The Fallen

officially changed to AkaFuriKuro from now on ;D

.

.

Chapter III – Secret Admirer


.

But it is easy to call a man in love a mad man—Brendan Connell

.

.

Kuroko Tetsuya berhenti memilin ujung seragamnya gugup. Ia memiliki hal lain yang lebih penting yang menginvasi otaknya. Di hadapannya, pintu berlapis cat putih tengah mengonfrontasinya. Tombol bel yang bersanding di sebelah tak urung ikut mengancamnya. Tiba-tiba tangannya yang menyanding parsel buah-buahan terasa berat, seolah pusat gravitasi bumi berada di bawahnya.

Sudah tiga hari semenjak Furihata Kouki absen dari kelas. Bertanya pada kawan pun mustahil, karena ia tahu betul apa yang terjadi pada si brunet sebelum ia absen sekolah. Napas pemuda baby blue mengeras. Seingatnya ia tak pernah segugup ini jika bertandang ke apartemen Kiyoshi-senpai, atau bahkan Kantoku. Tangannya tak pernah segemetaran ini untuk meraih bel—bahkan tidak segemetar ini ketika ia hendak melakukan Phantom Shot atau apalah.

Ini hanya masalah antara ia, dan pintu apartemen Furihata Kouki.

Menghela napas entah keberapa kalinya, telunjuknya sudah siap-siap bersentuhan dengan—

Cklek.

Oh?

Pintu terbuka—oleh profil asing yang familiar.

Bukannya disambut wajah si pemuda kayu manis, Tetsuya justru berhadapan dengan pemuda surai magenta berpupil kucing yang serasa mencakarnya.

Pemuda tempo hari.

Pemuda bergaris vertikal kira-kira lima senti lebih tinggi darinya yang dilihatnya tempo hari itu kini mengenakan kemeja putih normal dengan denim hitam yang sontak meluluhkan kesan gotik nan glamor tanpa tailcoat marun, trouser, pantofel dan sarung tangan mewah menyelimutinya seperti yang didapati Tetsuya terakhir kali. Wajahnya yang terpampang bosan dengan kelopak mata runcing dan garis dagu yang tegas membuat Tetsuya berasumsi pria ini berada di pertengahan duapuluhan. Tampan dan berkharisma.

Sadar dari observasinya, Tetsuya menggenggam si parsel lebih erat seraya membungkuk, "Se-selamat siang."

Terus membungkuk. Jangan bangkit. Tunggu balasan. Tapi… rasanya lama sekali.

Tetsuya mengintip dari balik bungkuknya, menyadari si pemuda magenta—yang kentara sekali adalah Akashi—masih menyenternya dengan laser heterokrom bak menelanjanginya hidup-hidup. Tanpa sadar ia meneguk ludah kering.

"Siang." Balas Akashi beberapa detik kemudian.

Tetsuya lekas bangkit, rasanya pegal bungkuk sekitaran tiga menit. "Ah. Saya temannya Furihata Kouki."

Tetsuya tak pernah meragukan pseudo-emperor-eye yang telah ia latih belakangan ini—jadi ia tak mungkin salah tatkala menangkap seringai tipis di wajah tampan si magenta. "Ah, jadi Kouki-sama punya teman, ya?" mempertahankan matanya yang sayu, Akashi membuka pintu lebih lebar, "Silakan masuk. Kouki-sama pasti gembira jika ada yang menjenguknya."

Tetsuya menggigit bibir. Agaknya ia merasakan aura berbahaya ketika kakinya menapak ke dalam apartemen si brunet.

Lagipula batinnya tak bisa berhenti menggerayanginya dengan tanda interogatif akan eksistensi pemuda bersurai merah yang tengah menuntunnya masuk ke dalam.

"Maaf, tapi Anda siapanya Furihata-kun?" Tetsuya bertanya.

"Nama saya Akashi. Pelayan Kouki-sama." Akashi menjawab tanpa menoleh. "Anda pasti Kuroko Tetsuya, benar?"

"Ah, begitulah." Tetsuya mengekori Akashi melewati ruang tengah, ketika tiba-tiba ia menangkap keganjilan. Seperti bagaimana si profil asing ini mengetahui namanya padahal ia sendiri sangsi si brunet yang bersangkutan mengenalinya.

Karena ia hanya teman kelas biasa yang kedapatan terlalu sering mengamati sosok Furihata Kouki. Ia ingin bertanya tapi entah mengapa mulutnya menanyakan hal lain yang bahkan ia sendiri tak sadar.

"Tunggu, sejak kapan Furihata-kun punya seorang pelayan? Bukankah ia hidup sendiri?"

Langkah mereka terhenti oleh pintu berlabel Kouki no Heya, dan tangan Akashi tergantung di daun pintu. "Dan sejak kapan Anda tahu bahwa Kouki-sama hidup sendirian? Mungkinkah Anda menguntitnya?"

"Kenapa—"

"Kalian bukan teman dekat, 'kan?" suara pemuda magenta mendingin, "Saya tahu, dan saya juga tahu Anda baru pertama kali berkunjung kemari. Mungkin karena itu, Anda tidak mengenali saya."

"Lalu kenapa kau mengetahui namaku?" batin Tetsuya. Ia tak pernah sempat memvokalkan batinnya lantaran Akashi yang telah membuka pintu kamar lebar-lebar. Ada sedikit kesangsian tatkala pemuda itu enggan memberi jalan pada Tetsuya untuk masuk. Auranya berteriak protektif.

"Uhm, permisi… Aka—"

"Biar saya peringatkan, Kuroko-sama. Kouki-sama sedang berada dalam masa yang sulit. Ia butuh banyak istirahat dan saya berharap Anda tidak menyusahkannya."

Tetsuya kehilangan hitungan berapa kali ia meneguk ludah kecutnya ciut sebelum mengangguk kikuk.

"Kalau begitu, silakan masuk. Saya harus menyiapkan bubur untuk Kouki-sama." Dengan begitu, Tetsuya berinhalasi tak sabar, merefleksikan betapa ia tersiksa menahan napas gugup sebelum Akashi jauh dari pandangan.

Si surai langit beralih menatap objek afeksinya yang terbaring lemah di kasurnya. Tak ada yang aneh, hanya beberapa perban yang memang seharusnya menutupi bagian tubuh porselen Kouki yang mana tak ingin Tetsuya lihat jika tak ingin mengeraskan rahangnya kuat-kuat.

"Kouki-kun." Bahkan Tetsuya lupa mengontrol lidahnya untuk menahan diri memanggil nama kecil si cokelat. Habis, mau bagaimana. Ia suka nama itu tergulir di lidahnya. Rasanya manis, menggemaskan. Seperti cokelat yang meleleh di indera pengecapnya.

"Aku…" Tetsuya menggantung, jemarinya reflek menyentuh jemari lain yang diperban kaku, "..maafkan aku. Aku terlambat untuk melindungimu."

Bicara bermacam silabel pun Tetsuya paham ia takkan mendapat jawaban… sekarang. Jadi ia mengeratkan genggamannya tanpa berniat menyakiti, seolah jemari Kouki adalah barang pecah belah yang trilyunan harganya. Mengusapnya sayang. "Aku memang pengecut. Hanya menatapmu dari jauh. Aku tidak punya cukup keberanian untuk melawan mereka. Maaf. Aku selalu saja berjalan di belakangmu. Memperhatikanmu tanpa bisa melakukan apapun. Kalau saja…"

Tetsuya benci hanya berjanji. Tapi ia cukup waras dan rasional untuk menyadari bahwa dirinya yang sekarang tak sanggup untuk melindungi pemuda bersumbu vertikal lebih dua senti dari dirinya ini. Heck. Mengajaknya bercengkerama di kelas saja belum pernah. Mau sok-sokan melindungi.

Batin Tetsuya tertawa.

"Ah, iya…" Tetsuya meraih tasnya, mengeluarkan setumpuk kertas dan beberapa buku catatan, "Karena aku yakin kau akan beristirahat kurang lebih seminggu, sudah kubawakan catatan salinan pelajaran di kelas dan rangkuman materi mendatang. Kouki-kun tidak usah khawatir."

Tetsuya tersenyum tipis, "Aku juga membawakanmu jeruk. Kouki-kun suka jeruk, 'kan? Aku jadi ingat waktu festival sekolah, aku melihat Kouki-kun mengambil beberapa jeruk dari kardus kafe kelas untuk dinikmati sendiri. Oh, aku juga sempat membeli omurice kesukaanmu tadi."

Tetsuya mengeluarkan cenderamata khas menjenguk orang sakit dan meletakkannya satu persatu di meja. Satu kantung plastik yang dibawanya ia keluarkan dan dari sana menyembul rangkaian gardenia putih cantik nan indah. Tetsuya menggenggam ikatannya erat, menahan gejolak yang membuncah dalam dada dan berusaha menyalurkannya pada si buket bunga yang mewakilkan perasaannya berbicara.

"Hey, Kouki-kun. Kau tahu? Aku memberanikan diriku membeli ini saat hendak ke apartemenmu. Apa menurutmu bunga ini cantik?"

Ah, Tetsuya bersukarela mengangguk untuk menjawab pertanyaannya sendiri.

"Saat melihat-lihat di toko bunga, tadinya aku bingung ingin memberimu apa, karena aku sendiri tidak tahu definisi perasaanku padamu agar pas diwakilkan oleh bunga-bunga ini." Pemuda itu terkekeh kecil menahan malunya, "Apakah ini hanya sebatas rasa suka antarteman, atau kekaguman, atau bahkan lebih dari itu."

"Akhirnya, si penjaga toko yang memilihkannya untukku. Aku memesan bunga sambil membayangkan Kouki-kun. Memikirkan bagaimana Kouki-kun selalu ada dalam kepalaku setiap saat namun aku tak—belum—mampu menggapaimu. Saat itu aku sadar bahwa aku selalu… menjadi pemuja rahasiamu."

Tetsuya tertawa lemah, menertawai dirinya sendiri untuk entah keberapa kali. Ia menyelipkan buket tersebut di sela pergelangan tangan pemuda yang terbalut perban, mengusap-usapnya sayang dan menggenggamnya perlahan.

"Cepat sembuh, Kouki-kun. Aku berjanji, saat kau masuk nanti, aku akan menjadi orang pertama di pagi hari yang akan menyapamu."

Sementara Tetsuya asyik dalam gelutan monolognya, sepasang iris heterokromatik menusuknya dengan intensitas kegelapan yang dingin mencekam.

Dia berbahaya.

.

.

Dan malam harinya, sebuket gardenia yang telah terkoyak tak berbentuk terhempas begitu saja dalam tong sampah, dibiarkan mendekam tanpa sempat pesan si pengirim tersalurkan.

.

.

Malam. Gelap. Dingin.

Ada suara gagak bertalu-talu. Desisan hewan berderik. Kukukan dan erangan burung hantu. Racauan kelelawar yang terkikik.

Kouki berusaha menulikan indera. Ia takut. Ia takut. Ia takut.

Ia bersama keluarganya, tapi ia takut. Untuk kali pertama, adrenalin menginvasi jantungnya. Menyadari hanya indera pendengaranmu yang dapat mencerna suasana bukanlah hal yang menyenangkan.

Blindfold. Kouki harus membiasakan diri tatkala indera pengelihatannya direnggut.

"Ibu, kita mau ke mana?"

SLAP.

Satu tamparan untuk satu kalimat yang disuarakannya. Ah iya, Kouki lupa.

"Berisik, bocah sialan. Mau kujahit mulutmu?" suara dingin itu tercipta, menegangkan saraf sensoris Kouki yang tengah terpacu degup jantungnya.

Ia takut.

"T-tapi—"

"Sampai." Kouki mendengar derungan mesin dimatikan. Dengan begitu, ia didorong paksa oleh ibunya keluar, menyentuh tanah yang dirasanya agak berbatu. Kouki menoleh, mencari sosok ibunya dari balik kain hitam. Belum cukup, Kouki digiring kasar, dijambak helai cokelatnya, kaki yang belum siap terseret kerikil, luka tergores di mana-mana.

"I-ibu! Mau ap—"

SLAP.

"Sudah kubilang diam. Seharusnya aku menggugurkanmu di dalam kandungan. Aku sudah muak denganmu."

Gelombang elektrik serasa serasa menyetrumnya berjuta volt ketika merasakan langkah berikut yang ia ambil, tak ada barang sesenti pun tanah untuk berpijak. Mungkinkah…

"Gara-gara kau lahir ke dunia ini, seluruh keluargaku mencapku jalang. Tadinya kupikir aku bisa berharap banyak padamu. Tapi aku salah. Koushi bahkan menyebar fitnah dan menceraikanku begitu saja padahal ia telah memperkosaku. Cih. Ayahmu itu sama busuknya denganmu. Lebih baik kalian enyah dari sini."

Leher Kouki dicekik, gravitasi meluntur sesaat ia merasa melayang dicekam genggaman kuku ibunya yang tajam. Digiring menuju ujung tebing tanpa dinding. "T-tunggu, Ibu! Ibu-tolong jangan…"

"Oh, jangan menangis, Jelek. Jurang ini hanya sepuluh meter dalamnya. Tentu saja kau tidak akan mati—yang mana sangat disayangkan, itupun kalau beruntung, Ko-u-ki."

"K-kumohon! I-ibu! J-j-jangan l-lakukan ini! Ibu!"

"Selamat tinggal, Sayangku."

.

.

"AAAAAAAAAAAAARRGH!"

Bola mata bergulir bagai kilat, menampilkan sepasang biji pinus yang dilanda tremor dahsyat. Kouki terduduk tegap bagai tiada esok baginya—tanpa sadar membuang selimut yang merangkul diri dengan ganas ke ujung kamar. Inhalasi. Ekshalasi. Kouki hilang hitungan berapa kali dadanya naik turun drastis, memasok dan menguras habis relung parunya.

"Kouki?"

"Hah!" Kouki berjengit. Cepat-cepat ia putar sendi lehernya hanya untuk mendapati Akashi yang duduk bersimpuh dengan anggun di atas kakinya, memandanginya intens.

"U-UWAAH! MENJAUH DARIKU!"

Sigap akan gerakan yang mudah terbaca, Akashi menangkap kedua tangan Kouki yang siap memberinya bogem manis ala perempuan. Dua anggota gerak dirampas, Kouki makin panik. Segenap tenaga ia kerahkan untuk menyingkirkan individu baru dalam apartemennya—ehm, sekaligus melindunginya dari sekuhara.

Please. Akashi yang kini menindih perut tripleknya itu harus dinotis sebagai bahaya berstatus siaga.

"Kouki. Tenanglah." Ugh, bariton yang bergaung dari mulut sadisnya bagaimana bisa menenangkan seseorang!?

Mengelak pun percuma. Jadi Kouki hanya mengangguk singkat, tergagap. Gelombang syok merambat dari tangannya yang digenggam Akashi. Pemuda magenta itu mendesah, "Kau mimpi buruk."

Itu bukan terlihat seperti pertanyaan.

Merepetisi apa yang terpampang dalam mimpi, Kouki meneguk saliva dalam-dalam. Netra brilian Akashi tak luput menotis buku jemari ringkih itu kian mengerat pada ujung piyamanya, menahan getar eksplosif yang sudah lelah menguar sejak tadi. Menunduk dalam, Kouki mengangkat dagunya, memaparkan kurva non-konstan yang terlukis di bibir, getir menahan peri.

"I-itu… s-sudah biasa." Dipandangi tatapan mengobservasi, Kouki mengalihkan atensi. "D-daripada itu, kenapa... kau masih di sini?"

"Sudah jelas aku di sini. Dan akan selalu di sini—karena aku pelayanmu."

Mendengar kata pelayan pikiran Kouki sontak berhambur pada memori terakhir kali ia tak sadarkan diri. Memikirkannya saja sudah otomatis mengirimkan gelombang pening yang menjalari lobus-lobus serebrum kepala cokelatnya. Tangannya meraih wajah dan mengusapnya frustasi.

"Waktu itu… bukan mimpi, ya?" ekshalasi, inhalasi, "A-aku masih tidak paham apa yang terjadi…"

Akashi berdecak, "Jangan mengubah topik seenaknya." Ada nada kecut di dalamnya. Jelas Akashi tak akan membiarkan angin berlalu begitu saja.

Kouki tak peduli. "U-uuh… kau bilang… bahwa kau pelayanku. Uhm, l-lalu tentang apa yang kau katakan tentang semua mengenai… diriku. S-setelah itu, aku… pingsan? K-kenapa ya?" Kouki meracau gelisah, sibuk dengan intensinya untuk kabur dari bahasan sensitif ini.

"Kau ini bicara apa? Terlalu nista untuk membahas mimpi di mana kau hampir diperkosa empat pria mabuk saat kerja sambilan di klub malam?"

Kouki tercekat. Hah? K-kenapa…

"Oh, atau mimpi saat kau hampir dijebloskan ke penjara karena difitnah temanmu mencuri video porno di minimarket?"

…d-dia bisa…

"Atau mimpi saat panti asuhan tercintamu terbakar karena kau tak sengaja menumpahkan lilin? Ah, yang itu bodoh sekali."

..tahu semua…

"Aku salah, ya?" Akashi menyeringai puas, berhasil menelusur lebih dalam ke dalam jiwa remaja itu, menelanjanginya hanya dengan satu sorotan netra dikromatiknya, "Hmm, jangan-jangan yang benar adalah mimpi ketika kau dibuang ke jurang oleh ibumu? Sayang sekali kau masih hidup saat itu. Makanya ibumu yang sudah kehabisan akal untuk menyingkirkanmu justru membuangmu ke panti as—"

"BERISIK! DIAM!" Kouki meledak, kalor seketika menjalar, berevaporasi dengan karbon dioksida yang dimuntahkan tiba-tiba. Saat dipikirnya erangan frustasi barusan dipatuhi Akashi, mulutnya justru disumbat, ditutup erat oleh tangan Akashi.

"Kau yang diam. Aku tidak suka diinterupsi." Bahkan paduan butir ruby dan emas yang berkilau itu mampu mengirim tremor infinitif di batin Kouki. Menggiring pemuda itu dalam geming hening, tunduk. "Walaupun aku suka melihat tatapan itu. Tapi aku tidak suka kau mengarahkannya padaku. Sadarilah posisimu."

Duh, siapa sih yang harusnya play the master di sini?!

Akashi melepaskan telapaknya kasar. Sosok angkuh itu bangkit dan berjalan memutari kasur, beranjak menemui sebungkus parsel besar yang tersanding di atas meja. Kouki mengamati, penasaran akan keberadaan sekeranjang buah kesukaannya yang kini diangkat Akashi, membawanya menuju dapur untuk—yah dia berharap—disajikan padanya, ketika tetiba Akashi berbelok, menghampiri tong sampah di samping pintu, membuka tutupnya dan, bam. Dibanting ke dalamnya.

"T-tunggu! K-kenapa dibuang? Itu dari siapa?!" Kouki bergerung protes. Ia baru saja berimajinasi dengan buah-buahan berfisik imitasi bola basket minus garis kehitaman yang tampak lezat itu.

"Kau tidak membutuhkannya." Akashi menepuk-nepuk telapaknya, seolah berhasil mengeksekusi mati objek kaya nutrisi tak bersalah. Jahat!

"Lagipula, kenapa kau tahu ini dari seseorang?"

"E-entahlah. Ini perasaanku saja… t-tapi, entah kenapa setiap aku sakit.. atau habis—yah, tahu, kadang tiba-tiba saja sudah ada separsel jeruk di atas mejaku. Aku tidak pernah tahu itu datang dari siapa… Aku rasa.. masih ada seseorang yang peduli padaku?"

Hanya ada satu nama yang terpintas di benak sang pelayan dan detik itu pula, bola mata runcingnya memincing tak suka.

Hoo. Jadi ini bukan yang pertama bagi si bocah triplek itu bertandang kemari?

Selain diam-diam menguntitnya, si kepala biru itu juga memiliki cara lain untuk menyusup masuk ke apartemen majikannya dan menaruh separsel buah kesukaan si pemuda cokelat?

Tch. Kotor.

"Salah."

"Eh?"

"Tak ada yang peduli padamu, Kouki. Satupun." Biner intens itu menggerayangi Kouki terang-terangan. "Kau masih percaya ada yang peduli padamu sementara kau sendiri frustasi menjalani hidup? Naif."

Kouki gagal paham kenapa orang asing itu bisa memancing habis amarah dalam dirinya namun sesekon kemudian menghempaskannya ke ngarai terdalam berkali-kali.

"T-tahu apa kau soal hidupku?"

Bukannya ditusuk panah imajiner dari iris bikromatik, ia justru disuguhi seringai antagonis. "Oh, jelas aku tahu. Aku 'kan pelayanmu. Kita sudah terikat kontrak, Kouki. Ingat?"

"Kontrak? A-apa maksud—hei!" refleks Kouki kalah gesit dan belum sempat mengirim impuls motoris tatkala Akashi tahu-tahu sudah ada di depannya, menarik dua kancing teratas Kouki dan membukanya lebar-lebar.

Kouki meringis. Ada sensasi setruman di area sekitar ceruk leher kirinya. Akashi menyentuh bagian itu hingga Kouki mendapat simbol anomali yang tiba-tiba terpatri di sana. Nampak bagai… potret singa dari kiri, dengan rantai dan belukar batang mawar mengelilingi. Lehernya serasa terbakar kalor ribuan kelvin ketika simbol itu menyala, meradiasi spektrum oranye kemerahan bak magma.

"UGH! AAAAGH! PANAS!" Kouki meronta gila. Panas bukan main. "PANAS! Singkirkan itu! Aaaagh! Apa itu tadi!?"

Akashi mengedip berakting inosen dan meredupkan cahaya simbol itu, meninggalkan hanya jejak kemerahan yang terlukis sempurna di atas kulit yang melindungi nadi Kouki. "Oh, maaf. Hanya memastikan tanda kepemilikan. Dengan simbol itu, kita akan terikat satu sama lain. Kau bebas menggunakanku, kapanpun kau mau."

Kouki sibuk menggaruk-garuk jejak panas yang tetiba lenyap tanpa sisa, kebingungan. "E-eh? Menggunakanmu? M-maksudnya?"

"Kau hanya perlu memanggil namaku, dan aku akan selalu sedia melayanimu. Pekerjaan apapun beres, karena aku absolut."

Kouki tak punya opsi lain untuk membalas kecuali merotasikan sendi lehernya sepuluh derajat. "A-aku tak mengerti."

Akashi memamerkan seringai hingga telinga. Memandang Kouki penuh determinasi keabsolutan yang menggila. "Kita akan membuat perjanjian Kouki. Aku akan membebaskanmu dari malapetaka dan melayanimu hingga akhir hayat. Sebagai gantinya, kau akan membuatku menjadi yang nomor satu—dengan kebencian dan hati gelapmu itu. Dengan begitu aku akan kembali berjaya!"

Termasuk kawan kecilmu, Kuroko Tetsuya.

Dia berbahaya.

Dan dia akan kusingkirkan.

.

.

to be or not to be (?)

A/N: I came baaack. Kira-kira segini dulu untuk chapter 3.

Aku ngerasa masih banyaaak banget kekurangan dan aku harap senpaitachi yang pro bisa mengoreksi kesalahan ff ini :3

Daaaan di sini Kouki ga akan langsung aku ubah jadi jahat. Aku pengin dia ngerasa moodswing karena aku denger orang yang abis disiksa atau stres hebat gitu pasti mental dan kepribadiannya ga stabil. Jadi untuk chapter kedepan Kouki masih normal unyuunyu kok. Dan kenapa Akashi sengaja ngeprovokasi? Well, you'll see why in the next chapters.

Arigato reviewnya minna-san!