Hai.
Halo.
Assalamualaikum.
Masih ada nggak yang inget sama fic ini. /kayak ada yang nungguin aja/
Ada yang nyangka nggak saya balik bawa sequel. Saya sendiri juga nggak nyangka.
Nggak tahu ada angin apa dapet ilham malam takbir langsung ngetik dan jadilah sequel ini. Kalau-kalau dirasa karakternya ada yang agak beda, maaf ya. Semoga tidak mengecewakan /sungkeman
.
.
.
.
Baekhyun menaikkan kacamata yang turun dari letaknya, sesekali melirik anggota OSIS yang lain. Ia berada di ruang OSIS, mengambil beberapa barangnya yang tertinggal di loker sana. Ada Luhan dan Jongdae disana, mojok sambil bisik-bisik. Baekhyun berusaha secepat mungkin keluar dari sana dan kembali ke lorong kelas untuk menunggu ayahnya selesai mengambil rapor. Selangkah lagi sampai pintu keluar, dia sudah dicegat dua orang mojok tadi.
"Yooo, Baekhyun." Jongdae pasang senyum troll. "Kalau kau berhasil menjawab pertanyaanku, jalan akan terbuka untukmu. Pertanyaan pertama, es apa yang nggak bisa diminum?"
Baekhyun menghela napas, menatap Jongdae dengan malas, "Es-tafet?"
Jongdae menatapnya tak percaya, "KENAPA BISA TAHU?!" syok karena pertanyaan itu bisa dijawab tanpa jeda panjang, Baekhyun bahkan nyaris tak perlu berpikir.
Baekhyun mengangkat bahu, "Sudah takdirnya orang pintar, sih." Ia melihat sebuah gelas plastik di tangan Jongdae, kemudian mengernyit. "Apa itu di tanganmu?"
Jongdae mengangkat minumnya, "Cuma minuman keras,"
Cuma?!
Baekhyun membenarkan bingkai kacamata sebelum menatap super tajam, "Yang serius, dong! Kau ini murid SMA atau bukan, sih? Sudah mau naik kelas kok ya sempet-sempetnya nambah koleksi hukuman, mana buku merahku tidak dibawa lagi."
Luhan kelihatan lebih terkejut, "Aku bahkan baru tahu kalau di tangamu itu minuman keras. Hei, ketua dewan, langsung ringkus ditempat saja—"
Jongdae mengangkat tangannya di depan dada, meminta mereka berhenti bicara, "Eits, jangan menuduh gitu, dong. Ini bukan alkohol atau sekawannya apalah itu, aku nggak ngerti."
Baekhyun mengangkat alis, meminta penjelasan. Luhan mengalihkan fokus sepenuhnya dan menyiapkan ceramah dalam hati, "Terus apa?"
"Teh. Pake es batu."
Krik.
"BERCANDA JUGA ADA LEVEL STANDARNYA, MAS. GARING, HIH." Luhan menyahut dengan sewotnya. "Jauh amat minuman keras ke es batu, iya sih sama-sama keras, ya—TAPI NGGAK GITU JUGA."
Baekhyun tidak menanggapi, tapi tatapannya yang makin tajam sudah cukup mengibaratkan kalau ia juga kesal seperti Luhan. Jongdae tetep senyum troll. Antara menutupi sakit hati atau memang senang karena menipu temannya. Ia berdehem ganteng lagi, "Ehem, pertanyaan kedua, di Korea, lebih banyak jalan turunan atau tanjakan?"
Baekhyun diam, entah kenapa terbawa suasana kuis sampai berpikir dalam. Di daerah perkotaan selalu jalan datar, tapi kalau masuk wilayah kota pinggiran tentu saja banyak perbukitan, mungkin jawabannya tanjakan? Hampir semenit penuh ia diam memikirkan jawaban. Seperti mendapatkan kesadaran, ia menatap Jongdae dengan kesal. "Bukannya itu sama saja?! Tanjakan atau turunan cuma dibedakan dari sudut pandang." Ia menghembuskan napas, "buang-buang waktu saja."
Luhan disampingnya tertawa keras, "Kenapa juga kau memikirkan hal itu lama-lama?" ia memberikan high five pada Jongdae—melupakan kekesalan barusan—yang disambut senang hati. Senang tentu saja, bisa mengerjai ketua OSIS yang galak ini.
Baekhyun menabahkan hati, "Masih pagi sudah mengangguku. Minggir sana." Ia menginjak kaki Jongdae supanya memberinya jalan.
"Sensi sekali." Luhan merentangkan tangan, menghalangi jalan sementara Jongdae mengaduh sakit sambil memegangi kakinya. "Kita punya kabar bagus, mau dengar tidak?"
Baekhyun menaikkan alis, dalam hati membalas, 'aku punya masalah lain yang lebih krusial, nggak ada berita yang bisa membuatku senang sekarang'. Tapi rentetan kata itu tertahan, ia mengatakan hal lain, "Apa memangnya?"
Luhan senyum bahagia sambil menempatkan kedua tangan di atas bahu Baekhyun. "Wakilmu akhirnya berani nembak gebetan."
Tidak butuh waktu lama, Baekhyun sudah membuang ekspresi tak bersahabat tadi dengan senyum haru, "Sumpah demi apa? Terus diterima nggak?" dia malah tertarik dengan topik itu. Eh mas, inget masalah sendiri.
Jongdae menahan diri untuk tidak menginjak sepatu Baekhyun sebagai balasan. Ia mengangkat bahu, "Yixing sih sudah menjawab iya—"
"Happy ending, dong." Celetuk Baekhyun.
"—kalau Joonmyeon berani bicara dengan ayahnya hari ini." sambung Jongdae.
Hening.
Baekhyun mengernyit, "Kok nyambung ke masalahku segala, sih? Nggak kreatif."
Luhan menepuk bahunya agak keras, "Bukannya malah bagus? Pacaran dengan persetujuan orang tua, kesannya kan semakin menjanjikan. Ah, jadi mau ikutan juga, kan." Kalimat terakhir ia kode sebagai curhat terselubung.
"Punya pacar dulu, baru laksanakan keinginanmu." Sarkas Baekhyun tanpa dosa.
Merasa tertohok, Luhan hampir mojok lagi untuk pundung. Xi Luhan, ketua sekbid empat OSIS, hatinya sensitif, disinggung sedikit langsung ngena. Ia mengalihkan pembicaraan daripada semakin sakit hati, "Kau sendiri bagaimana? Kasihan tuh Chanyeol, menghadapimu saja dia turun tangan apalagi ayahmu."
Jongdae mengangguk menyetujui, "Ibaratnya, kau sendiri sudah memberikan tekanan besar dan harus double attack karena ayahmu pasti jaaauuuuh lebih berpengaruh."
Luhan menyikut lengan Jongdae. Niat berbisik tapi suaranya terlalu keras, "Tapi kan anak itu sudah berhasil menaklukan hati Baekhyun, masa iya mendapatkan simpati calon mertua tidak bisa?"
Baekhyun menekuk alis kesal, menjawab sinis sebagai alibi untuk menutupi pipinya yang memerah, "Apanya yang calon mertua," ia melipat tangan, kemudian suaranya terdengar agak ragu, "siapa yang bisa menjamin kalau hubungan kami akan seserius itu."
Luhan nyengir, "Suaramu kedengaran ragu. Apa tuh? Tanda-tanda kau sudah jatuh padanya tapi takut kalau doi tidak serius? Ketua dewan manis sekali kalau bersikap seperti itu." Ia meletakkan tangannya di atas bahu Baekhyun lagi, agak meremasnya karena gemas.
Baekhyun mengalihkan pandangan, "Gaaaahh—sudah, sudah, aku mau menyusul ayahku." Frustasi, tangannya menepis tangan Luhan.
Luhan dan Jongdae akhirnya membiarkannya lewat. Baru tiga langkah, Baekhyun berbalik lagi hanya untuk mengatakan, "Oh ya, Jongdae, Kak Minseok bilang padaku setelah pembagian rapor berakhir dia setuju untuk bertemu denganmu. Dia bilang padaku karena tidak punya kontakmu. Makanya, kalau mengajak kencan orang lain, jangan lupa minta nomor teleponnya juga, dong."
Jongdae ingin menjawab tapi tergagap, wajahnya agak memerah karena hal itu dikatakan secara terang-terangan. Luhan di sampingnya memekik refleks, berseru 'Jadi kau pedekate sama mantan ketua OSIS?! Jahaaat! Nggak bilang-bilang, teman macam apa kau ini. Sudah sampai tahap mana? Berani amat mengajaknya kencan, dasar modus! Blablabla—'
Baekhyun meninggalkan mereka berdua. Meninggalkan Jongdae yang kalap harus menjawab apa untuk rentetan pertanyaan yang disembur Luhan. Semangat, Jongdae.
.
.
.
.
.
.
Classmeeting
Pairing: Chanbaek / Baekyeol
Genre: Romance, Friendship
Shonen-ai / BL / AU / OOC / School-life
.
Sorry for typo(s)
.
.
.
.
.
Menyorot ke sudut sana, ada suasana tegang yang membuat orang disekitar memilih untuk menjauh daripada curi dengar. Baekhyun menjelaskan pada ayahnya kalau dia sudah punya kekasih dan mengatakan hal itulah yang membuatnya membatalkan keberangkatan ke Jepang. Ayahnya hanya mengangguk saja, menjadi lebih pendiam dari biasanya. Baekhyun juga bilang kalau kekasihnya itu mau bicara, maka ia memperkenalkan Chanyeol pada ayahnya. Chanyeol kelihatan tenang sekaligus gugup disaat yang bersamaan.
"Baekhyun, kau ke parkiran saja. Tunggu ayah di mobil."
Perintah absolut ayahnya sudah dikeluarkan, mana mungkin Baekhyun menolak. Tapi ia sempat menyanggah, "Memangnya kenapa? Aku kan juga mau mendengar apa yang dibicarakan ayah—"
"Sekarang, Baekhyun." ayahnya mengulangi.
Baekhyun menghela napas, menyerah. Ia menatap Chanyeol sekilas dan tersenyum tipis seolah memberi dukungan. Ketika Baekhyun tidak terlihat lagi di lorong, pembicaraan dimulai.
"Tadi siapa namamu?"
"Park Chanyeol," jawab pemilik nama tanpa gugup tapi suara kecil. Segala dialog yang dihapalkannya semalam buyar, tak satupun menempel ketika suasana yang dimaksud sudah terjadi. Mental melempem tapi masih memberanikan diri, beri tepuk tangan dulu.
"Laki-laki, bukan? Tubuh tinggi suara kecil, malu sama diri sendiri."
Chanyeol mengangguk cepat, "Maaf." Gumamnya lebih kepada diri sendiri. Masih untung tidak gagap. Salahkan tatapan intimidasi Tuan Byun dan komentar tajamnya yang lebih menusuk dari anaknya sendiri. Jangan menyerah, Chanyeol.
"Jadi, Chanyeol, paman yakin kau tahu kalau tiket pesawat itu tidak senilai tiket bioskop—"
Iya, tahu kok, pak. Saya juga pernah nonton bioskop. –hati Chanyeol membalas dengan kurang ajarnya.
"—jadi atas dasar apa kau berani membatalkan keberangkatan anakku hari ini. Untuk tambahan informasimu saja, tiket yang sudah dipesankan untuk Baekhyun sampai detik ini pun belum dicancel. Artinya, paman tidak menyetujui pembatalan itu."
Chanyeol berhenti memainkan tangan di belakang punggungnya. Kegugupan ditelan ke dasar, ia menarik napas. "Paman, sebelumnya aku minta maaf, aku tidak bisa mengambil keputusan dengan cepat saat itu. Diumurku yang sekarang, aku masih layak dipanggil bocah tak konsisten, aku tak ingin berbohong soal itu. Aku mengakui kalau aku memang masih kekanakan, absensiku di kelas pun tak cukup bagus karena dulu sering dihukum terlambat datang atau sengaja membolos, nilai akademik juga begitu. Aku masih bocah labil yang perlu belajar dan tentu saja membutuhkan panutan."
"Haruskah anakku yang memenuhi peran itu?" sela ayahnya Baekhyun.
"Iya." Jawaban kokoh, tanpa ragu.
"Lupakan saja." Suaranya dingin, "kalian yang masih anak-anak cuma mengerti memenuhi kesenangan remaja. Orang dewasa pun masih bertengkar dan berakhir dengan rusaknya hubungan. Kalian berdua masih muda, masih tujuhbelas, kalian cuma bingung dan masih mencari jati diri. Kenapa harus mencoba satu sama lain jika kalian masih bisa bersanding dengan lawan jenis?"
Pertanyaan serius. Ayahnya Baekhyun hanya berusaha mengarahkan mereka dan menguji keseriusan. Chanyeol mengepalkan tangan, sedikit tidak terima diremehkan. "Jika paman bermaksud mengujiku, aku siap untuk mulai serius dengan Baekhyun."
"Serius? Kalian bahkan belum saling mengungkapkan isi hati lebih dari tiga hari." Ayahnya Baekhyun mengalihkan pandangan sesaat sebelum menatap Chanyeol lagi tepat di mata, "Saat kau kuliah nanti. Entah semester akhir atau kapanpun, kau akan berubah pikiran. Semua alasan yang kau berikan hari ini akan terlupakan dan kau juga akan meninggalkan Baekhyun. Kau baru memikirkan betapa konyolnya pikiranmu saat ini. Akan jauh lebih baik jika kau menyadarinya dari sekarang."
Semua kalimat itu membuat pikiran Chanyeol berputar, cukup pusing untuk menerima semuanya. Ia terdiam lama, memahami pikiran orang dewasa meskipun dia tidak terima tapi semua kalimat itu mungkin ada benarnya. Melihat reaksi Chanyeol, Tuan Byun berjalan pergi melewatinya. Berpikir bahwa tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Baru setengah jalan menuju tangga, suara Chanyeol terdengar dibalik punggungnya.
"Aku mencintainya." Berseru cukup lantang di lorong yang kosong itu. Chanyeol berjalan mendekat, "Jika memang itu belum bisa membuat paman mempercayakan Baekhyun padaku, aku akan berusaha. Seratus persen berusaha dan membuktikan bahwa aku tidak main-main dengannya."
Tuan Byun berbalik, menemukan anak muda yang berdiri tegap di hadapannya. Dengan penuh percaya diri.
Ia menghela napas, "Sepertinya jika kupisahkan kalian, Baekhyun juga sama keras kepalanya untuk tetap mempertahankanmu."
Chanyeol antisipasi dalam hati, "Jadi?"
"Jadi, ya..."
.
.
.
.
.
.
Joonmyeon masuk parkiran, tangannya disambar Luhan dan ditarik ke sudut untuk diintrogasi. Dan di sekelilingnya sudah berdiri oknum-oknum lain yang sama penasarannya, Yixing—tentu saja penasaran karena menyangkut dirinya juga, Jongdae—baru saja diintrogasi soal Minseok sebelum Joonmyeon datang, Sehun—kebetulan sedang menunggu Chanyeol juga, dan Baekhyun. Jangan kaget melihat Baekhyun disana, dia juga ingin tahu masa depan wakilnya.
Joonmyeon pasang senyum wibawa, "Berhasil, dong. Kalau nggak, tidak mungkin aku ada disini." Ucapnya menjawab rasa penasaran yang lain.
Luhan mendorong Joonmyeon dan Jongdae mendorong Yixing, sibuk berceloteh, udah sono pelukan, nggak usah malu-malu, ciee direstuin cieee!—sementara Baekhyun mengalihkan perhatian pada atensi kekasihnya sendiri yang masuk area parkir. Ayahnya hanya melirik sekilas dan berjalan lurus langsung masuk mobil tanpa bicara apa-apa.
Baekhyun mendekati, "Wajahmu suram. Hasilnya apa?"
Chanyeol membungkuk, memeluk Baekhyun dan mengistirahatkan keningnya di bahu. Baekhyun membeku, tangannya terangkat mengusap kepala Chanyeol. "Ayahku tidak bicara aneh-aneh, kan? Dia tidak memarahimu atau apa? Jangan diam terus, Giant."
"Tunggu sebentar, midget cerewet. Aku butuh recharge energi,"
Baekhyun menggigit pipi dalamnya menahan kesal. Yah mungkin tidak apa-apa jika mereka diam dulu disana berpelukan—tapi tidak! Ini tempat parkir dan masih lingkungan sekolah. Tidak masalah sebenarnya, toh orang-orangnya cuma oknum-oknum tadi, tapi ayahnya sudah menunggunya di dalam mobil.
Chanyeol menjauhkan diri, Baekhyun menatapnya lurus. Oknum-oknum lain diam-diam mendekat, sudah gregetan ingin tahu hasilnya.
"Jadi, apa hasilnya?" tanya Baekhyun.
"Kau tetap pergi ke Jepang," jawab Chanyeol dengan raut wajah sulit ditebak.
Baekhyun mengernyit dalam, ia memandangi Chanyeol dengan tatapan menyelidik. Suasana tegang sedikit diganggu dengan suara tawa Luhan.
"Bercandamu tidak lucu, Chanyeol." Luhan tertawa lagi, memegangi perutnya dengan geli.
Sehun yang berdiri di sampingnya langsung menyikut lengan, "Tidak ada yang ikut tertawa bersamamu."
Luhan menutup mulut dengan tangan, "Maaf."
Yixing angkat bicara, "Kalau ketua dewan tetap pergi ke Jepang, artinya kau tidak berusaha untuk mencegahnya, begitu?"
Pertama kalinya kedapatan dialog, ucapannya langsung menohok. Yang tersakiti bukan cuma seorang, nak.
"Bukan begitu, duh. Baekhyun memang pergi ke Jepang, itu keputusan ayahnya. Tapi bukan untuk pindah, hanya rekreasi selama liburan. Tiket pesawat itu mahal tahu, apalagi jadwalnya kan keberangkatan hari ini, tidak mungkin dicancel." Jelas Chanyeol.
Luhan langsung menepuk bahu Chanyeol dengan keras—maklum, terbawa jati dirinya sebagai sekbid empat. "Bilang dari tadi!" kemudian tersenyum tanpa dosa.
Joonmyeon merangkul dari kanan, Jongdae merangkul dari kiri, menghimpit Baekhyun di tengah. "Yeay! Kita masih bisa menghabiskan tahun terakhir di SMA bersama!" ini Joonmyeon yang bilang, ucapan barokah.
"Kita masih bisa mengajari calon anak-anak OSIS yang baru nanti bersama-sama!" ini Jongdae yang bilang, ucapan dengan maksud terselubung. Jiwa pembully miliknya kumat.
"Daripada memikirkan calon OSIS, kenapa kau tidak segera pergi? Bukannya punya janji kencan?" sindir Baekhyun, sengaja ceritanya.
Jongdae menepuk kepalanya sendiri, "Astaga, hampir lupa! Duluan ya, semua!" ia pergi dari kerumunan menuju motor matic berwarna putih yang terparkir di sudut.
Joonmyeon menggandeng Yixing, "Kami juga pulang duluan ya. Aku harus mengantar Yixing pulang." Kemudian berjalan beriringan menuju sebuah mobil audi hitam yang sudah menunggu.
UHUK.
Orang yang berkecukupan lebih memang beda. Yang lain pulang bawa motor, sendirinya bawa mobil. Tetep barokah kok, sudah ngantongin SIM, sudah ngantongin izin orang tua, gandeng gebe—kekasih pula. Lengkap.
Chanyeol menggenggam kedua lengan bawah Baekhyun. "Ini juga perpisahan meskipun hanya dua minggu."
"Jangan merengek," sindir Baekhyun. "Aku harus segera ke mobil, kau tahu. Jangan macam-macam, ayahku bisa melihat ke sini."
Chanyeol menunduk, dengan modus membenarkan letak kacamata Baekhyun, ia juga mencuri satu ciuman singkat. "Kalau begitu sampai jumpa. Kabari aku kalau sudah sampai."
Baekhyun menatapnya sangsi, seolah mengatakan dasar nekat, ayahku pasti melihat. Yang dibalas dengan cengiran lebar Chanyeol. Baekhyun berjalan pergi, masuk mobil dan segera hilang dari pandangan. Sehun masih berdiri di sebelah Chanyeol, ikut menatap kepergian itu.
"Selamat Long Distance Relationship, yah cuma dua minggu, sih." Kata Sehun sambil menepuk bahu Chanyeol beberapa kali. Simpati, ceritanya.
"Sehun,"
"Ya?"
"Aku sudah merindukannya."
"Mati saja sana." Tepukan di bahu, refleks berubah menjadi satu pukulan agak keras. "Lihat tuh, ibumu juga masih menunggu di mobil tahu." Ia mengingatkan.
Chanyeol menoleh pada mobil putih—aslinya milik kakaknya—yang menunggu tak jauh dari sana. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi? Aku hampir lupa kalau ibuku masih disini."
Sehun pura-pura tidak tahu. Ia melirik Luhan dengan ponsel menempel di telinga setelah Chanyeol pergi. "Apa? Yah masa tidak bisa sih. Terus aku gimana?" Luhan sibuk bicara dengan orang disebrang teleponnya. Tak lama kemudian dia memutuskan sambungan dengan wajah ditekuk.
Sehun tersenyum singkat, melemparkan helm berwarna hitam yang ditangkap tepat waktu oleh Luhan. "Jangan lempar-lempar gitu dong. Kaget tahu." Kata Luhan menatapnya tajam.
Sehun menunjuk motornya dengan ibu jari. "Pulang denganku?" tawarnya tanpa takut ditolak.
Luhan sendiri tidak sanggup menolak. Daripada dia menunggu bus di halte, kan? Dia mengangguk semangat. "Baiklah." setuju tanpa basa-basi.
Sehun menyalakan motor dan memakai helm. Luhan baru duduk di jok belakang ketika Sehun bicara, "Pegangan padaku kalau tidak mau jatuh." Dan tanpa jeda panjang langsung melajukan motornya. Luhan refleks melingkarkan lengannya dan bertaut di depan perut datar Sehun. Sehun tersenyum menahan lonjakan senang sepanjang perjalanan. Luhan menghirup wangi mint yang terhempas angin dari tubuh Sehun. Sibuk menikmati momen sampai lupa memberitahu arah rumahnya.
.
.
.
.
.
.
Chanyeol berkali-kali melirik jam dinding di kelasnya. Matanya tak pernah absen melirik setiap menit. Bukan menunggu bel pulang. Dia menunggu bel istirahat. Bukan karena lapar dan bosan dengan pelajaran—oke, bosan sih iya, tapi bukan itu masalahnya. Dia ingin segera bertamu ke kelas sebelah dan merecoki Baekhyun. Rutinitas barunya selama dua bulan ini. Chanyeol cemberut total selama tiga hari tiga malam dari hari pertama masuk sekolah lagi, alasannya cuma satu; dia tidak sekelas dengan Baekhyun.
Tertera dengan sangat jelas di mading dekat ruang OSIS saat itu. Nama Park Chanyeol tercatat menjadi murid 3-B. Dan Byun Baekhyun menjadi murid 3-A.
Sialnya, justru Sehun yang sekelas lagi dengan Baekhyun.
Hah? Apa? Cemburu?
Yakali gitu Chanyeol cemburu sama sohib sendiri—oke, meskipun layak diakui bahwa dia pernah cemburu dengan Sehun. Tapi itu dulu. Lagipula Chanyeol sudah tahu Sehun sedang mengincar seseorang.
Bel yang dinanti-nanti akhirnya berbunyi.
Mendengar terompet surga itu—untung bukan sangkakala—Chanyeol menumpuk buku yang terbuka di atas mejanya. Dengan cepat memasukkan alat tulis ke dalam tas dan meraih kotak bekal yang sudah disiapkan ibunya tadi pagi. Jangan kaget, Chanyeol sendiri kok yang minta dibuatkan bekal. Ibunya tentu saja menyanggupi sepenuh hati, tumben-tumbennya kan putra satu-satunya mau membawa masakannya ke sekolah.
Tidak tahu saja kalau bekal itu juga menjadi modus si anak supaya tidak jauh-jauh dari kekasihnya.
Chanyeol baru selangkah masuk melewati pintu kelas 3-A ketika Sehun tiba-tiba muncul menghalangi pandangannya. Ia mengernyit dalam, "Minggir, Sehun. Aku tidak bisa melihat Baekhyun kalau kau menghalangi begitu."
Sehun menempelkan telunjuknya di depan bibir sendiri, "Ssshh, jangan berisik. Tadi kelasku tidak ada guru, entah ada angin apa tiba-tiba Baekhyun tertidur di kelas. Sumpah ini pertama kalinya aku melihat Baekhyun ketiduran di dalam kelas. Garis bawahi! Dia tertidur dalam kelas!"
"Kau menyuruhku jangan berisik tapi sendirinya berseru heboh."
Sehun pura-pura tidak mendengar. Kemudian ia menepuk bahu Chanyeol sekali, "Yasudahlah, aku mau ke kantin—Luhan! Mau ke kantin bareng?" lidahnya belok sedikit untuk modus mengajak gebetan.
Luhan yang baru mengambil uang saku dari dalam tas mengangguk menyetujui. Sehun pasang senyum—hal yang cukup jarang dilakukannya tapi mulai menjadi kebiasaan setiap melihat ketua sekbid 4 OSIS. Chanyeol segera menempati tempat duduk di depan meja Baekhyun. Tanpa memutar kursi, Chanyeol tetap duduk menghadap Baekhyun. Ia tersenyum memandangi wajah Baekhyun yang damai sedekat itu. Jika diberi cukup waktu, dia yakin bisa menghitung bulu mata Baekhyun dari ujung ke ujung.
Tangannya yang tidak tahan diam, bergerak untuk menarik kacamata Baekhyun sampai lepas dan memainkan anak rambutnya. Sepertinya ketua OSIS itu harus memangkas rambutnya, lihat saja poni yang melewati alis mata itu. Tapi gemas juga melihatnya begitu.
Kelopak mata Baekhyun bergerak-gerak, sedetik kemudian ia membuka mata.
"Sudah puas tidurnya, midget?"
Baekhyun mengangkat kepalanya dari meja dan menyentuh area matanya. "Mana kacamataku?"
"Di tong sampah, aku salah mengira kalau itu barang rusak."
Baekhyun menendang kakinya di bawah meja. Chanyeol langsung mengaduh sakit dan memegangi tulang keringnya. Baekhyun merebut kacamatanya dari genggaman Chanyeol dan memakainya lagi. "Apa masalahmu dengan kacamataku? Jelas-jelas ini masih berfungsi."
Chanyeol nyengir bersalah, "Maaf. Itu kacamata lamamu, kan? Kenapa tidak memakai kacamata dariku?"
"Kacamata darimu ada di kamarku. Lagipula aku nyaman dengan frame ini, sudah dua tahun aku memakainya." Jawab Baekhyun.
Chanyeol meletakkan kedua tangannya menumpuk di atas meja. "Jadi maksudnya kacamata yang kubeli tidak cocok untukmu?"
"Bukan begitu," Baekhyun membuka tasnya dan mengeluarkan kotak bekal, "aku menyukai hadiah apapun darimu. Jadi jangan berpikir kalau barangmu tidak cocok denganku. Aku akan memakainya besok, puas?"
Chanyeol tersenyum menahan tawa. Tahu persis bahwa Baekhyun hanya menggunakan bahasa kasarnya untuk menutupi hal yang sebenarnya. Dasar tsun. Chanyeol membuka kotak bekalnya, mulai makan dan diikuti Baekhyun. Baru dua suapan, ia berhenti untuk menanyakan, "Kemarin aku tidak sengaja membuka buku merahmu."
"Terus?" tanya Baekhyun acuh, tetap menyuap makanan ke dalam mulutnya.
"Yang kulihat sih ya cuma catatan siswa-siswa berandal dengan hukumannya. Tapi ada hal yang menarik perhatianku." Chanyeol masih menggenggam sumpit meskipun menjeda makan siangnya.
"Memangnya apa yang kau temukan?" tanya Baekhyun, masih fokus dengan makanannya.
"Di halaman terakhir buku. Kupikir tadinya sih cuma coret-coretan tak penting, tapi ketika kuperhatikan lagi ada namaku disana. Ada kalimat lain yang tidak kumengerti, kau menulis 'aishiteru yo' di sekitar namaku. Tertulis mengelilinginya."
Baekhyun tidak sengaja tersedak nasi. Ia menepuk dadanya sekali kemudian menenggak minum sampai setengah botol sekali teguk.
Chanyeol menatapnya khawatir, "Kau ini kenapa?"
Baekhyun mengusap mulutnya, "Haah? Oh aku tidak apa-apa. Tadi kau tanya apa?"
"Tentang kata 'aishiteru yo' yang kau tulis mengelilingi namaku di halaman terakhir buku merahmu. Itu coret-coretan biasa atau ada artinya? Omong-omong kenapa kau menulis namaku dengan 'Park Giant Chanyeol'?" tanya Chanyeol.
Wajah Baekhyun agak memerah, tidak bisa lagi ditutupi. Ia hanya memutar otak dan mengalihkan pandangannya menuju papan tulis, meja guru, jendela kelas, sampai jam dinding. Apapun yang penting bukan mata Chanyeol. "Itu artinya 'kau bodoh', makanya ada namamu tertulis disana." asal ucap, cuma itu yang ia temukan di ujung lidah.
Chanyeol menatapnya lurus-lurus, "Jahat sekali. Kalau begitu," ia memajukan wajahnya, sumpit ditaruh di atas tutup bekal yang terbalik dan beralih menarik dagu Baekhyun, "aishiteru yo, Byun Midget Baekhyun." diakhiri senyum paling mematikan yang pernah ia tunjukan.
Semburat merah sampai ke telinga, Baekhyun bersumpah, apa wajahnya tidak bisa ditutupi dengan sesuatu gitu? Buku, kertas, tempat pensil, pintu lemari, tutup bekal pun tidak apa-apa! Demi Tuhan, Park Chanyeol, kenapa kau ini idiot sekali, astaga—ini racauan Baekhyun dalam hati, abaikan saja. Selagi menetralkan jantungnya yang terus memukul rusuk dengan keras, Chanyeol dengan santainya menyentuh punggung tangan Baekhyun yang berada di atas meja. Secara perlahan menelusupkan jemarinya ke setiap ruas sampai saling terkait.
Bedebah.
Dan Chanyeol dengan kurang ajarnya menopang wajahnya sendiri dengan tangan kiri dilanjutkan senyum menawan. Tampan maksimal.
Sialan.
Tidak bisakah spesies di hadapan Baekhyun ini tahu situasi?
"Wajahmu merah sekali, aku kan hanya menggenggam tanganmu."
Baekhyun menarik tautan tangan mereka sampai terlepas. Duh, kejamnya.
"Lanjutkan makanmu, nggak usah pegang-pegang, dasar idiot." ketus Baekhyun.
Chanyeol tersenyum lebar, melanjutkan makan sambil menikmati wajah Baekhyun yang masih merona. Baekhyun tidak mengatakan 'aku mencintaimu' seperti orang-orang berpacaran lainnya. Tapi bagi Chanyeol, cukup dengan melihat wajah memerah Baekhyun dan ketika ia mengatakan 'kau idiot', dia sudah menjadi orang yang paling bahagia.
Sayang sekali sepasang kekasih di dalam kelas 3-A itu tidak menyadari ada oknum-oknum mencurigakan yang sedang bertumpuk di dekat pintu. Menjadi pawang pintu, siapa tahu ada murid lain yang mau masuk dan mengganggu momen mereka. Sekaligus mengintip apa yang mereka berdua lakukan di dalam sana.
Perlu disebutkan?
Oke, disana ada Mawar, Melati, Kamboja—sebentar, ini kenapa nama bunga semua? Oh maaf, harusnya sih jadi nama samaran tapi kok bingung sendiri ya.
Uhuk, disana ada Luhan, Sehun, Kyungsoo, dan Jongdae. Sebenarnya Luhan dan Sehun disana karena tadinya mau makan makanan kantin di dalam kelas. Sedangkan Kyungsoo dan Jongdae mencari ketua OSIS, ada beberapa hal yang ingin dibicarakan. Tapi semua niat itu sengaja dihanguskan karena rasa penasaran mereka jauh lebih tinggi dan diutamakan.
Dasar penguping handal.
.
.
.
.
.
end
a/n: Sebatas ini saja yang saya bisa. Mungkin kalau ada ide lain bakalan saya post. Mungkin sih. Duh ini lama banget ya sequel-nya? Dari Oktober sampe Juli...
Dari awal sih emang nggak ada niat buat sequel. Tapi ya seperti sebelumnya yang saya tulis diatas, dapet ilham malam takbir. Kun fayakun. Saya ngetik lagi deh. Sekali lagi maaf kalau tidak sesuai harapan.
Terima kasih yang sudah meninggalkan jejak di chapter sebelumnya,
Baekukies, vietrona chan, SHINeexo, Lala Aaltonen Gypsophila, xiyumin, zarahime5, lolamoet, chanbaekgurl, pinkpurple94, Leena Park, pcy25, hunniehan, Ndowclow, baekfrappe, Melaststar, Lilis536, yayahunnie, Fione Maple, Kiyomi381, Chan Banana, Guest, qianlu, L'amour-chan, ooh, HoshinoChanB, Cactus93, laxyovrds, Puterrizme, chanbaek0605, joj, alysaexostans, hanyexolu, Nurul999, annkg, Zahranisa351, cookiebyun, byunhyurie48, ByunJaehyunee, septianaditya1997, Kira Fuchi, kkumkkuja, Bumbu-cimol
Ada yang kelewat? Maaf kalau iya. Saya udah ngantuk, belum tidur. Makasih juga untuk mereka yang bersedia menekan tombol fav dan follow, siders sekalipun makasih.
Oh ya, saya mau ngucapin untuk yang islam, /sebelumnya lirik jam, udah 01.15 AM/
Selamat Hari Raya Idul Fitri, minal aidzin wal faidzin~!
/kemudian tidur/
...
Omake
Hari itu seharusnya biasa saja. Hari Minggu biasa. Dimana Chanyeol tengah duduk santai meluruskan kaki di sofa sambil menonton televisi bersama kakak perempuannya. Tidak ada tugas dari dosen. Ibunya datang dengan nampan di tangan, tiga gelas teh dan satu teko penuh. Indah kan ya, normal seperti biasa. Ketika tiba-tiba Nyonya Park bicara,
"Chanyeol kapan menikahi Baekhyun?"
Teh disembur dari mulut. Kakaknya, Yura, langsung membuat jarak dari Chanyeol. "Kalau minum tuh pelan-pelan, untung kakak nggak kena."
Chanyeol mengusap mulut, "Salahkan pertanyaan ibu."
"Ibu kan bertanya hal biasa,"
Hal biasa dari mana?! Jelas-jelas itu krusial, pake banget. Gimana nggak aneh coba, Chanyeol masih kuliah, belum sarjana. Tidak mungkin kan dia sudah terima buku nikah. Gila.
"Aku masih semester satu, bu." kata Chanyeol. Menanggapi setengah hati.
"Tapi ibu mau punya anak lagi." Ibunya menyahut dengan tidak nyambung.
Chanyeol mengernyit dalam. Yura ikutan bingung mendengarnya. "Kalau ibu mau punya anak lagi, apa hubungannya sama Chanyeol menikah? Mau minta cucu, begitu? Masih lama, bu. Aku saja belum menikah." spekulasi Yura dengan agak tersinggung.
Masa iya adiknya duluan yang menikah dibandingkan dirinya?
Nyonya Park menegakkan duduknya, "Aduh, bukan begitu. Ibu cuma mau Baekhyun jadi anakku. Soalnya Baekhyun baik dan manis sekali, ingin segera dilabeli anak sendiri. Ayahmu saja sangat menyukainya."
Memangnya Baekhyun barang apa, dilabeli segala.
Omong-omong, disisi lain...
Baekhyun sedang menghabiskan sarapannya. Duduk di sebrangnya adalah ayahnya yang sudah selesai sarapan dan sedang membuka lipatan koran. Sarapan dalam diam, tidak ada yang membuka obrolan hangat. Tapi Baekhyun sudah terbiasa. Malahan biasanya ia sarapan sendiri dan ayahnya sudah mengurung diri di ruang kerja, tenggelam dengan berkas-berkas kantor sekalipun itu hari Minggu. Dibalik koran, ayahnya bersuara,
"Masih bersama Park Chanyeol itu?"
Baekhyun mengernyit awalnya, hampir-hampir tak percaya kalau ayahnya mengajak bicara. "Masih," jawabnya singkat.
"Tidak berniat putus?"
Maksudnya apaan nih, Pak.
Baekhyun berhenti mengunyah makanan. "Tidak dan tidak akan. Kami baik-baik saja menjalani hubungan sampai setahun. Apa yang sebenarnya ingin ayah sampaikan?" tanyanya tak sabar. Kurang suka jika hubungannya diusik seperti itu.
"Tidak ada. Ayah hanya mencoba berspekulasi saja. Kalau kau tidak berniat putus dengannya, artinya dia memperlakukanmu dengan baik."
Baekhyun tidak bisa melihat wajah ayahnya karena tertutupi kertas koran. "Chanyeol memang orang baik kok. Dia tidak pernah membuatku sedih ataupun kecewa selama setahun ini."
"Kedengaran tidak buruk," kertas koran dibalik ke halaman selanjutnya tanpa menunjukkan wajah, "ayah kenal dengan ayahnya Chanyeol. Rekan kerja di kantor, dan dia cukup sering menceritakan anaknya. Ayah pikir Chanyeol memang pantas menjadi pendampingmu."
Baekhyun mengernyit, ia membenarkan letak kacamata yang sebenarnya tidak bergeser kemana-mana. "Maksudnya pendamping?"
"Mungkin lebih baik kalau kalian menikah saat kuliah semester terakhir saja, ya."
Beruntung Baekhyun tidak sedang mengunyah sarapan atau dia akan tersedak. Tidak beruntungnya, ia semakin bingung dengan sikap ayahnya. "A-Apa maksudnya itu?" tanya Baekhyun tergagap, mencoba memastikan apa yang sudah didengarnya.
"Masih belum jelas juga?" Tuan Byun melipat koran, ia bangkit keluar dari ruang makan sambil berkata, "Artinya adalah ayah sudah benar-benar mengakui keberadaan Chanyeol dan usahanya."
Baekhyun melanjutkan makan tapi nyaris lupa cara menelan. Ia menoleh, hanya mendapati angin dan tidak melihat ayahnya. Baekhyun menutup separuh wajahnya dengan satu tangan, tidak percaya dengan obrolan yang baru saja mereka akhiri sepihak. Ayahnya yang selalu menolak keberadaan Chanyeol itu akhirnya merestui?
Baekhyun harus segera mengabari Chanyeol.
Ia menghabiskan sarapan dengan cepat. Menumpuk piring dan gelas di bak cuci piring. Menunda pekerjaannya sebentar dan melesat cepat menuju kamar. Hal pertama yang dicari adalah ponsel. Ia terkejut ketika benda yang baru digenggamnya bergetar, tanda pesan masuk.
...
From: Park Giant
Hei midget, bagaimana kalau malam nanti aku melamarmu?
...
Baekhyun memiliki niat untuk melempar ponselnya keluar jendela. Selain karena pesan tiba-tiba yang membuat wajahnya memerah, pesan itu cukup kurang ajar karena melamar orang dengan cara yang anti mainstream. Mana ada orang yang ingin melamar tapi bertanya dulu.
Sementara Chanyeol yang juga berada di kamarnya menatap ponsel dengan tak sabar. Menunggu balasan dari kekasih yang jaraknya hanya terpaut empat deret rumah. Pesan balasan yang ditunggu akhirnya sampai. Dibuka dengan tak sabar, dibaca pula dengan tak sabar.
...
From: Midget Baekhyun
Lamaran ditolak
...
Ouh. Chanyeol sakit hati.
Tak sampai duapuluh detik kemudian ada pesan lain.
...
From: Midget Baekhyun
Selesaikan dulu kuliahmu
Setelah itu baru melamarku
...
Chanyeol tidak butuh waktu lama untuk mengartikan bahwa Baekhyun bersedia untuk dilamar sekaligus memberi jawaban positif. Bukannya Chanyeol terlalu pede, tapi memang Baekhyun yang terlalu gengsi untuk mengatakannya secara terang-terangan. Chanyeol tersenyum lebar sampai telinga.
Jadi, sekarang perannya hanya perlu belajar dengan giat, kan?