Sehabis ujian akhir sekolah itu pasti ujian nasional. Sehabis itu menyambung ke ujian kenaikan kelas bagi adik kelas sementara para kakak kelas tinggal bersantai-santai ria di rumah meskipun masih ada kemungkinan tidak lulus—semoga saja lulus semua—dan setelah itu disambung lagi dengan lima hari classmeeting.

Tepat di hari terakhir classmeet akan diadakan pentas seni atau festival sekolah.

Hari ini, hari pertama clasmeet. Para pengurus OSIS sibuk mengurus lomba olahraga dan merencanakan pensi.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Classmeeting

Pairing: Chanbaek / Baekyeol

Genre: Romance, Friendship

Shonen-ai / BL / AU / OOC / School-life

.

Sorry for typo(s)

.

.

.

.

.

.

.

.


Chanyeol duduk di kursinya sambil membaca komik. Jongin—lelaki yang duduk di belakangnya—baru saja tidur lima menit yang lalu. Padahal bel masuk belum berbunyi. Sebrang kanan meja Chanyeol masih kosong, tempat Sehun—salah satu temannya.

Jujur, Chanyeol sangat malas untuk masuk hari ini. Hari Senin, upacara sih tidak, diabsen pun tidak, tetapi tetap wajib masuk. Chanyeol frustasi. Dia ingin tenang membaca komik di rumahnya atau bermain playstation atau mungkin ke game center bersama Jongin dan Sehun.

Suasana kelas 11-2 itu sedang ramai, siswa/i sibuk bergosip pagi-pagi.

Chanyeol segera menyumbat kedua telinganya dengan headset kemudian memutar lagu dari ponselnya yang dapat membuatnya merasa lebih baik.

Sampai ketika seseorang menarik sebelah headsetnya.

"Tidak boleh memakai headset kecuali jam istirahat dan sudah pulang sekolah."

Chanyeol hapal betul suara itu.

Suara yang sudah sering ia dengar sampai-sampai hapal diluar kepala.

Suara yang pertama kali ia dengar ketika umurnya limabelas tahun.

Byun Baekhyun si ketua OSIS—tapi dia lebih suka disebut si ketua dewan murid—yang tegas, cekatan, dapat dipercaya, cerewet, berkacamata, otaku, sangat menegakkan peraturan, galaknya subhanallah, tapi berparas hawa, juga wangi.

Oke, yang terakhir itu Chanyeol dengar dari anggota klub futsal.

Kepribadian Baekhyun yang galak dan cerewet sangat bermanfaat untuk menagih uang kas OSIS. Berhubung bendahara OSIS dan wakilnya tidak begitu galak. Jabatan Baekhyun jadi double, ketua dan bendahara cadangan. Omong-omong, Chanyeol tidak sudi menyebutnya baik karena memang si ketua dewan itu sudah menjadi rival-nya sejak Chanyeol memulai kehidupannya menjadi seorang siswa sekolah menengah atas.

"Cerewet, midget." komen Chanyeol kemudian memasang kembali headsetnya.

"Lepas headsetmu sekarang juga, atau kusita?"

Chanyeol melirik Baekhyun dengan malas. Baekhyun sudah pasang muka galak seperti biasanya—tapi memang Baekhyun jarang tersenyum—ditambah kedua matanya yang menatap tajam menusuk dibalik lensa kacamata berbingkai onyxnya. Seolah-olah kedua hazelnya dapat melihat aliran chakra di pembuluh darah Chanyeol.

"Peraturan tetap peraturan, Yeol."

"Baiklah! Baik! Kulepas, tuh."

Baekhyun tersenyum menang sambil kembali ke kursinya—di depan meja Sehun. Di mejanya sebuah laptop menyala, menampilkan Microsoft Word yang penuh tulisan tentang laporan classmeet. Kertas-kertas penting juga berserakan di atas meja.

Sehun baru saja datang, mengucapkan salam dengan pelan sambil berjalan menuju kursinya. Gerakan kakinya terhenti ketika beberapa lembar kertas penting terjatuh dari meja si ketua dewan murid, efek kipas angin kecil di atas meja guru.

Dengan sigap bak tentara, Sehun menangkap lembaran kertas itu sebelum menyentuh lantai.

Chanyeol melongo di kursinya ketika melihat hal itu. Speechless.

"Ini kertas-kertasmu,"

"Oh, ya, terima kasih."

"Siap, bos." Sehun hormat—benar-benar hormat seperti di upacara hari Senin.

Chanyeol tidak mengerti. Kenapa ada orang yang mau memanggil si ketua dewan galak berparas hawa itu dengan kata 'bos'.

Suara bel yang nyaring menyentak pikirannya, juga membangunkan Jongin si tukang tidur dan tukang onar. Seluruh murid di kelas itu langsung keluar kelas tanpa dikomando. Tentu saja mereka melakukan itu karena selama classmeet berlangsung, semua murid wajib berada di lapangan.

Sementara lantai dua sampai lantai empat gedung sekolah itu akan disebut sebagai daerah terlarang.

Siapa pun yang berani menyentuh sepetak keramik yang tak lain tak bukan adalah ubin di lantai dua, akan segera didamprat oleh anggota OSIS. Bonus ketua OSIS juga kalau memergoki.

Terkecuali untuk lantai dua di bangunan sebelah—yang terpisah dari bangunan khusus pendidikan—tempat perpustakaan dan ruang multimedia.

Oh, sepertinya bukan seluruh murid yang keluar kelas. Diralat karena masih ada empat orang di dalam kelas itu.


Apapun yang terjadi, Chanyeol tidak mau turun ke bawah. Dipaksa turun pun dia akan menolak habis-habisan. Diiming-imingi dengan makanan atau minuman favorite-nya pun tak akan mempan.

Kalau ada yang mau tahu siapa yang sedang berjuang menyeret Chanyeol turun ke lapangan untuk menyaksikan clasmeet siapa adalah Byun Baekhyun, tentu saja. Berhubung pekerjaan si ketua dewan itu mengecek kelas apakah masih ada murid atau tidak maka Chanyeol harus menjadi sasaran. Mau tidak mau.

Jongin dan Sehun yang masih berada di kelas pun tidak jadi sasaran karena mereka memang berniat turun ke bawah. Tetapi melihat si ketua dewan sedang berjuang pertumpahan kalimat dengan Chanyeol sahabat karib mereka berdua, mereka tergiur untuk diam di tempat.

Setidaknya dapat tontonan gratis.

Juga mereka tidak kena damprat ketua dewan karena Baekhyun sibuk mengurusi si berandal Chanyeol.

"Tidak akan. Aku tidak akan turun ke bawah." Chanyeol menolak.

"Tapi semua murid wajib berada di lapangan selama clasmeet berlangsung." Suara Baekhyun terdengar tegas dan berwibawa bak pemimpin negara yang sukses. Mengabaikan fakta bahwa penampilan fisiknya—terutama kacamata onyxnya sedikit miring—tidak cocok dengan suara tegasnya.

"Aku tidak peduli," Chanyeol bersikeras.

"Aku ketua dewan murid, lho." Baekhyun mengingatkan.

"Masa bodo."

"..."

"..."

"...kau mau banget ya namamu tertulis di buku merah milikku?"

"Silahkan. Aku tidak takut."

Sehun dan Jongin bertepuk tangan diam-diam. Mereka mengacungkan ibu jari ke arah Chanyeol—satu-satunya orang yang berani melawan ketua dewan—sampai-sampai Baekhyun naik darah melihatnya. Malah Jongin sampai memberikan high five kepada Chanyeol. Omong-omong yang namanya buku merah milik ketua dewan ya tidak jauh berbeda dari death note.

Sekali saja namamu tertulis di sana, kau akan mendapatkan pelajaran yang tak akan pernah terlupakan seumur hidup.

Entah diomeli guru yang paling galak selama tiga jam full. Atau disuruh membersihkan satu sekolah. Atau disuruh membersihkan toilet satu sekolah. Atau disuruh membersihkan ruang kelas seangkatan selama seminggu penuh. Atau disuruh menjadi babu di perpustakaan. Atau disuruh membersihkan RO—Ruang OSIS—selama dua minggu penuh. Atau disuruh menyapu lapangan sekolah yang luasnya mirip lapangan hijau di stadium Glora Bung Karno—oke ini berlebihan—selama dua minggu, pernah kejadian selama satu bulan. Dan yang paling dihindari para murid adalah—disuruh menjadi asisten dadakan si ketua dewan.

Menjadi asisten dadakan ketua dewan sama saja dengan kiamat. Lebih baik disuruh membersihkan satu sekolah saja selama seminggu penuh. Atau diskors selama tiga hari.

(Oh Sehun, 17 tahun, siswa berandal yang sudah tobat sepenuhnya setelah menjadi asisten Byun Baekhyun yang beridentitas sebagai ketua dewan murid selama dua minggu ketika mereka kelas sebelas semester ganjil.)

Padahal saat itu kesalahan yang Sehun lakukan tidaklah begitu fatal.

Dia hanya tidak sengaja memiliki niat untuk meletakkan permen karet di kursi Baekhyun, kemudian dia juga tidak sengaja menumpahkan fanta ke kertas-kertas penting di atas meja Baekhyun, dia juga tidak sengaja menyelipkan sebuah silet dipinggiran buku Baekhyun.

Oke itu bukan tidak sengaja, tapi memang fatal. Dasar berandal.

Sampai-sampai jari lentik nan unyu milik Baekhyun tersayat—tidak dalam tapi cukup banyak mengeluarkan darah sampai lantai keramik di bawah meja Baekhyun ternoda bercak darah.

Dasar siswa durhaka.

Akhirnya Baekhyun memutuskan tidak mengenal kata maaf apalagi ampunan kepada si berandal Oh Sehun. Setelah itu, dia memperbudak Sehun sebagai asistennya ditambah menyapu lapangan sekolah selama dua minggu penuh.

Sehun kapok sekapok-kapoknya orang kapok.

Sampai ketika hukuman penjara berkedok asisten ketua dewan itu berakhir, Sehun benar-benar hormat bak tentara kepada komandannya setiap melihat Baekhyun. Persis seperti kejadian tadi pagi dimana Sehun hormat kepada Baekhyun.

Kembali ke cerita awal, Chanyeol masih duduk santai—baca, tidak sopan—di kursinya. Lengkap dengan kaki yang diangkat ke atas meja—tolong jangan ditiru—dan komik di tangannya. Baekhyun sendiri mulai berasap.

"Turunkan kaki sialanmu itu."

"Wow, ketua dewan baru saja mengumpat."

Meteran pengukur kesabaran si ketua dewan nyaris melewati batas. Sampai kemudian ia menarik napas panjang dan menghembuskannya sesantai mungkin.

"Baiklah..." Baekhyun menarik keluar buku note kecil dengan cover merah darah dan juga sebuah pulpen tinta hitam, "kau yang memaksa."

Dengan begitu, hangul Park Chanyeol tertulis pada barisan pertama. Dan juga tertulis di barisan kedua,

Hukuman: sebagai asisten ketua dewan murid

Tidak. Menerima. Penolakan.

Chanyeol menaikan sebelah alisnya ketika Baekhyun memperlihatkan buku itu padanya.

"Mulai detik ini, kau jadi asistenku. Sampai pensi berakhir, artinya enam hari penuh."

Belum sempat Chanyeol bereaksi, Baekhyun sudah menariknya keluar kelas—

"A-Aduh! Lepaskan!"

Jangan kalian kira Chanyeol mengaduh seperti seorang gadis yang pergelangan tangannya dicengkram terlalu kuat juga ditarik paksa.

Itu tidak mungkin.

Chanyeol adalah seorang siswa. Siswa yang artinya laki-laki. Lelaki tulen.

—masalahnya adalah yang ditarik bukan tangan, tapi kerah seragamnya.

Baekhyun berhenti mendadak kemudian menoleh ke belakang, masih dengan aura tidak enak di sekelilingnya. "Kalian berdua," setiap hurufnya ditekan kuat-kuat "cepat turun ke bawah."

Jongin dan Sehun tak perlu pikir panjang lagi. Mereka berjalan duluan melewati sohib mereka yang tertindas di bawah peraturan Baekhyun.

Dasar kawan durhaka.

"Kau tidak bisa memaksaku menjadi asistenmu,"

"Hukuman ditambah—"

"Baik! Ada yang perlu dibantu, bos?"

Baekhyun mengalihkan pandang dan kembali menyeret Chanyeol.

Chanyeol memantapkan diri, dalam hati mengatakan bahwa ini adalah pertama dan terakhir kalinya ia memanggil Baekhyun 'bos'.

.

.

.

.

.

Baekhyun sedang berjalan cepat melewati pinggir lapangan yang kini terisi penuh oleh peserta perwakilan kelas di pertandingan bola voli. Langkah kaki Baekhyun pendek tapi cepat. Juga ringan.

Tentu saja ringan, dia hanya membawa jiwa dan raga.

Sementara sesuatu berbentuk benda yang disebut tas dibawakan oleh ajudannya—Park Chanyeol.

Chanyeol menggerutu sepanjang langkah kakinya yang mengikuti Baekhyun. Mereka memang tidak begitu akrab, Chanyeol yang kepribadiannya acuh dan Baekhyun yang kerpibadiannya 'sedikit' introvert membuat mereka jarang bersosialisasi kecuali menyangkut pelanggaran peraturan.

"Kenapa nasibku naas sekali setiap berada di sekitarmu, midget."

"Peduli?"

"Kau sungguh kejam memperbudakku,"

"Berisik."

"Lebih baik aku diskors,"

"Apa, elev? Kau mau mengetik laporan pensi?"

"Dasar nggak nyambung! Apa-apaan itu elev?! Kau memang pantas masuk neraka jahanam karena memperbudak—ADUH!"

Tahu-tahu lengan kanan Chanyeol sudah terpelintir ke belakang. Kemampuan hapkido Baekhyun memang tak perlu diragukan.

"Bicara seperti itu lagi, kutambah mengecat satu sekolah beserta gerbang sebagai hukuman. Juga pelintiran di lengan kiri, elev-ated."

"Ampuni hamba! Tolong, lepaskan, ADUH LENGANKU BISA PATAH NIH!" Diam-diam Chanyeol menambahkan umpatan di dalam hati.

Baekhyun melepaskannya kemudian menghembuskan napas, "Kenapa orang sepertimu tidak ada bosan-bosannya untuk membuatku marah, sih?"

Chanyeol masih merintih pelan sambil mengusap pergelangan tangannya.

"Baekhyun!"

Baekhyun menoleh dan mendapati salah satu anggota OSIS, Xi Luhan, seksi bidang 4—bidang olahraga—melambaikan tangan ke arahnya, melakukan gestur agar si ketua mendekat.

"Lapangan ini memang muat untuk empat pertandingan, tapi dari lima jaring net yang dimiliki sekolah dua diantaranya rusak."

"Kupikir sekolah kita punya dua net cadangan di gudang sekolah," kata Baekhyun mengingat-ingat.

Luhan menampilkan ekspresi cerah, "Gudang yang mana? Di sebelah ruang multimedia atau di lantai empat?"

Baekhyun melirik Chanyeol. Chanyeol merasakan firasat buruk bahwa dia akan segera diperbudak—

"Lantai empat gedung sekolah, biar dia saja yang ambil." Dengan wajah tanpa dosa Baekhyun mengarahkan telunjuknya kepada Chanyeol.

"Aku lagi yang kena..." gumam Chanyeol lesu.

Luhan menaikkan satu alisnya, "Siapa dia? Kutebak dia murid yang namanya tertulis di death note-mu"

"Berisik. Tapi, yah, dia memang melanggar peraturan."

Luhan tertawa, hapal luar biasa dengan sifat Baekhyun. "Kau terlalu kaku, Baek. Longgarkan sedikit peraturan itu,"

Chanyeol dalam hati menyetujui garis keras perihal omongan Luhan.

"Bukan aku yang membuat peraturan, tapi pihak sekolah."

"Ya, baiklah, baik. Cepat ambil netnya, aku masih harus mengurus pertandingan."

.

.


.

.

Chanyeol menyingkirkan debu yang menimpa celana seragamnya. "Katanya aku yang disuruh mengambil, kenapa kau ikutan ke sini juga?"

Baekhyun, yang berada di depan pintu masuk gudang, melipat kedua tangannya di depan dada. "Berisik,"

Duh, kata itu lagi. Baekhyun terlalu sering mengucapkan kata berisik sepertinya.

.

Dan kenapa kau memperhatikannya Chanyeol?

.

"aku di sini untuk jaga-jaga supaya kau tidak bisa lepas dari hukuman, giant."

"Terima kasih, kau sangat perhatian, midget." Kata Chanyeol sarkastik.

Tangan Chanyeol menyingkirkan sarang laba-laba yang nyaris menyentuh kepalanya.

Ini gudang ga pernah dibersihin apa?!

Sambil ngedumel dalam hati seperti gadis pms, Chanyeol membuka laci dan menemukan jaring net yang terlipat rapi. Dengan mata berbinar layaknya menemukan harta karun di pulau terpencil.

"Yosh!"

"Kau menemukannya?"

Chanyeol menarik net keluar dari laci, "Tentu saja, memangnya untuk apa aku bersorak?" lagi-lagi kalimat sarkastik.

Tapi Baekhyun sama sekali tidak merasa tersindir maupun terdorong untuk membalas. Ia sudah terbiasa diperlakukan seperti itu dengan berandalan sekolah. Chanyeol berbalik dan berjalan keluar.

"Coba bentangkan dulu, cek, siapa tahu ada yang rusak." Ujar Baekhyun sambil mundur dua langkah ketika Chanyeol berdiri di tempatnya berdiri tadi.

Chanyeol mulai merusak lipatan indah net dan membentangkannya sampai seujung lengan. "Jaring net dalam keadaan prima, midget."

"Berhenti memanggilku midget!"

"Tapi kau memang—" Chanyeol menekan pelan puncak kepala Baekhyun sedikit ke bawah, "—midget."

Beruntung, Baekhyun adalah orang yang masih ingat tanggung jawab. "Berisik. Ayo cepat ke lapangan, dasar lamban."

Baekhyun terkejut ketika punggungnya membentur dinding lorong di belakangnya dengan cukup keras. Sebuah tangan menekan bahu kanannya, menahannya untuk tidak bergerak.

Tatapan Chanyeol berubah menjadi dingin.

"Kau lupa mengatakan sesuatu kepadaku,"

Baekhyun terkesiap selama lima detik sebelum menyadari sepenuhnya ucapan si lawan bicara.

"Memangnya apa yang kulupakan?"

"Orang-orang tidak bercanda ketika mereka mengatakan aku ini berandal," Chanyeol merendahkan kepalanya, "terlebih aku sering berkelahi dengan siswa-siswa dari sekolah sebrang. Selain itu, aku tidak suka ketika seseorang tidak mengucapkan kata terima kasih kepadaku setelah aku menolong mereka." Bisik si lawan bicara dengan suara datar.

Baekhyun menaikkan alis. "Gaya bicaramu tidak sopan juga untuk ketua dewan,"

"Aku tidak main-main,"

Baekhyun mendecih pelan, "Dan kau berpikir bahwa aku takut padamu? Pada siswa berandalan?" Baekhyun tertawa pelan, terkesan dibuat-buat. "Oh, jangan bercanda. Aku sering berurusan dengan mereka."

Kemudian hening. Mereka saling melempar tatapan tajam, seolah ada listrik imajiner yang terhubung dari mata ke mata. Berhubung jarak mereka terlampaui dekat. Tangan kiri Chanyeol menekan bahu kanan Baekhyun lebih keras ke dinding. Baekhyun menampakkan ekspresi menahan sakit meskipun masih tertutupi dengan wajah galaknya.

Oh sial, kenapa Baekhyun bisa lupa kalau dia punya cidera di bahu kanannya.

Chanyeol melepaskan cengkraman tangan kanannya pada net dan beralih meletakkan tangannya pada tembok di samping kepala Baekhyun. Mengurung Baekhyun dengan kedua tangannya. "Rupanya seorang ketua dewan sepertimu tidak mengerti berlakunya ucapan terima kasih." Sindir Chanyeol.

Rahang Baekhyun mengeras. Harga dirinya selaku ketua dewan murid seolah tercoret dengan hinanya.

"Hei, Baekhyun, kenapa lama sekali—"

Terdengar suara jeritan tertahan.

"—ASTAGA APA YANG SEDANG KALIAN LAKUKAN?!"

Suara Luhan menggema di lorong lantai empat. Syok melihat adegan di depan mata polosnya dalam radius lima meter ke depan.

Chanyeol yang tidak bereaksi tepat pada waktunya hanya diam sambil menatap Luhan. Baekhyun yang mengerti situasi menendang tulang kering Chanyeol. Membuat kurungan tangan Chanyeol lepas darinya. Chanyeol mengaduh kesakitan sambil memegangi satu kakinya.

Baekhyun dengan keikhlasan hatinya menginjak kaki Chanyeol yang satu lagi. "Berhenti bersikap berandal di depanku, dasar tidak tahu diri." Ucapnya penuh penekanan sambil memungut net yang tergeletak di atas lantai. Ia berjalan mendekati Luhan, mengabaikan Chanyeol yang masih mengurusi kakinya. "Maaf ya, Luhan. Seharusnya aku tahu kalau menaklukan siswa berandal butuh waktu."

Tanda tanya muncul di kepala Luhan, "Hah? Maksudmu apa? Dan apa yang Chanyeol coba lakukan padamu tadi?"

Baekhyun hanya memutar mata.

"Kalian tidak melakukan apapun kan? Posisi kalian dekat sekali! Seperti akan berciuman!" Luhan heboh sendiri. Masih tidak percaya apa yang dilihat matanya tadi.

"Berisik."

Hanya komentar itu yang Baekhyun lontarkan. Kepalanya menoleh ke belakang, melihat Chanyeol yang berjalan ke arahnya. Bersikap normal pada umumnya, tidak terkuasai emosi seperti tadi.

"Yasudahlah, tugasku sebagai seorang wasit sudah menunggu. Aku duluan," ucap Luhan kemudian berlari menuju tangga.

Chanyeol berdiri di belakang Baekhyun tepat ketika Luhan menghilang dibalik dinding lorong.

"Jaga sikapmu, giant."

.

.

.

.

.

Baekhyun berdiri dan melipat kedua tangan di depan dada. Memperhatikan pertandingan voli dengan serius. Sementara Chanyeol bersandar pada tiang bendera di belakangnya. Tentu saja mereka berada di sisi lapangan terjauh dari gerbang sekolah dan berada di bagian tengah, tempat dimana tiang bendera tertanam.

Kedua mata yang lebih tinggi terpejam. Seolah berusaha tidur—tidak peduli—dalam posisi berdiri dikarenakan terlalu bosan dengan situasi.

Baekhyun mengecek jam tangan berwarna silver di tangannya kemudian menghembuskan napas. Ia berbalik dan mendapati Chanyeol yang mungkin saja nyaris tertidur. Ia menendang lutut Chanyeol.

Yang berakibat fatal bagi korban.

Chanyeol oleng ke kiri dan matanya yang terpejam nyaris tidur itu terbuka sepenuhnya. Hampir jatuh jika tangannya tak segera berpegangan pada tiang bendera. Ia berdiri tegap sambil mengumpat diam-diam karena terlalu terkejut, kemudian menoleh kepada pelaku. Pelaku yang kini berdiri tanpa ada wajah penyesalan.

"Urus saja urusanmu! Kenapa mengganggu tidurku?!"

"Ambilkan laptopku di dalam tas," kata Baekhyun melenceng dari pembicaraan. Istilahnya out of topic. Terdengar khas baginya karena Baekhyun memang 'sedikit' irit bicara.

"Kau punya tangan, kan? Membuka resleting tas saja memangnya tidak bisa?" sindir Chanyeol. Tapi tangannya bergerak meraih tas Baekhyun yang bersandar di kakinya dan membuka resletingnya.

"Berisik,"

Dan lagi-lagi komentar minim itu yang terdengar.

Chanyeol menyerahkan benda yang diminta kepada si pemilik. Baekhyun menerimanya kemudian duduk di pinggir lapangan dan menyalakan laptopnya. Chanyeol yang berdiri di belakangnya entah kenapa mendadak poker face.

.

Seriusan nih itu anak yang pegang jabatan paling tinggi di OSIS—

...

DUDUK DI PINGGIR LAPANGAN SAMBIL MAIN LAPTOP?

.

Chanyeol jeduk-jeduk kepala ke tiang bendera di sebelahnya. Setelah puas melakukan aktivitas penyalur emosi tadi, ia memasang wajah 'dia bukan temen saya' sambil membuang wajah. Sok tidak kenal.

Sementara Baekhyun acuh saja, jemarinya sibuk menekan keyboard laptopnya. Membuat laporan untuk pembina kesiswaan. Tugas ketua OSIS sangat merepotkan, tahu.

"Hey, bantu jadi wasit sana. Lapangan tiga sepertinya butuh wasit pengganti."

Chanyeol melayangkan pandangannya menuju lapangan yang dimaksud. Dia mengernyit dalam ketika melihat kerumunan orang di sana. "Apa yang terjadi?" gumamnya, lebih kepada diri sendiri.

Baekhyun masih fokus dengan layar datar—sedatar raut wajahnya—laptopnya. "Sepertinya wasit lapangan tiga baru saja terkena lemparan servis bola voli."

Chanyeol menaikkan alis, "Bagaimana mungkin kau tahu tanpa melihatnya?"

"Kau pikir aku tidak memperhatikan? Untuk apa mataku digunakan, hah?" kata Baekhyun sarkastik.

Chanyeol ikut kesal. Bicara dengan Baekhyun itu sama saja harus memulai adu mulut. "Lagipula matamu itu fokus saja pada laptop, bagaimana mungkin aku tidak mengira kalau kau tidak memperhatikan pertandingan."

"Aku ini teliti, makanya terpilih menjadi ketua dewan." Jari telunjuk Baekhyun mendorong kacamata onyxnya ke posisi normal karena menurun. "Tidak seperti kau yang berandalan dan nyaris tidur sambil berdiri."

"Aku bersandar pada tiang bendera, kok!" sungut Chanyeol tak terima harga dirinya dijatuhkan.

"Tidak ada yang tanya." Balas Baekhyun acuh.

Chanyeol mendengus.

"Cepat gantikan wasit itu, kau cukup teliti untuk mengamati bola voli, kan? Matamu masih berfungsi baik dan otakmu mengerti cara permainannya, kan?"

Chanyeol menuding kepala belakang Baekhyun dengan telunjuknya, "Aku bisa jadi wasit! Mataku masih normal tanpa min, tidak seperti kau yang berkacamata."

Baekhyun ingin membalas tapi terdahului oleh Chanyeol yang sudah menghilang dari belakang punggungnya. Dilihatnya Chanyeol sudah berlari menuju lapangan tiga dengan wajah bahagia.

Bahagia sudah mengejek Baekhyun sebagai kata penutup.

"Sialan kau, giant."

Umpat Baekhyun dengan pelan sambil mengetik laptop dengan cepat ditambah ditekan kuat-kuat saking emosinya.

.

.

.

.

.

Chanyeol meregangkan tubuh dengan wajah letih. Ia menghembuskan napas panjang dengan lega. Setidaknya tugasnya menjadi wasit sudah usai ketika bel pulang berdering nyaring. Ketika ia berbalik, iris hitamnya menatap ketua dewan yang sudah berdiri di belakangnya.

"Apa?" tanyanya tidak penting.

"Bawakan tasku," jawab Baekhyun sambil melempar tasnya tepat ke muka ganteng Chanyeol. Oh, ralat, dua tas maksudnya. Tas Baekhyun dan tas Chanyeol.

Chanyeol menangkapnya tepat pada waktunya sebelum mendarat di muka. "Lha? Kau bercanda? Ini sudah waktunya pulang ke rumah,"

Baekhyun berjalan melewati tubuh tinggi itu. Menuju gerbang sekolah yang berjarak tujuh meter di hadapannya. "Tentu saja bawakan tasku sampai rumah,"

Volume mata Chanyeol membesar.

"YANG BENAR SAJA?! Kau memanfaatkan jabatanmu sebagai ketua dewan!" Chanyeol berseru tidak terima. Kakinya bergerak menyusul Baekhyun.

"Rumah kita kan berdekatan, bodoh."

"Masa sih? Aku tidak merasa kita pernah berpapasan di jalan, entah ketika berangkat sekolah atau pulang sekolah."

"Itu karena kalau berangkat sekolah aku selalu datang lebih pagi sementara ketika pulang sekolah aku pulang terlambat tertahan rapat OSIS." Jelas Baekhyun.

"Terus kau tahu darimana kalau rumah kita berdekatan?" Chanyeol masih tidak mengerti.

"Berisik. Kau banyak tanya, mirip Dora The Explorer saja."

Lha sejak kapan Dora ditayangin di Korea.

Oh iya di yutub kan banyak.

Chanyeol menyamakan langkah kaki Baekhyun. "Tunggu sebentar, aku masih penasaran."

"Oh, siswa berandalan sedang bersikap penasaran. Aku terkejut,"

Perempatan merah imajiner muncul di kepala Chanyeol. "Meskipun aku berandal aku tidak se-berandal Jongin,"

.

Diam-diam, nun jauh disana Jongin bersin mendadak.

.

"Aku tahu kalau rumah kita berdekatan dari data murid di kelas. Kau pikir apa gunanya jabatanku selama ini."

Chanyeol hanya membuang muka. Malas melanjutkan percakapan lebih lanjut. Baginya, lebih baik melihat angin dibanding melihat orang pendek di sampingnya.

Em.. Chanyeol,

Memangnya angin bisa dilihat ya...

.

.


.

.

Baekhyun berhenti melangkah. Chanyeol kebablasan tiga langkah sebelum menyadari si ketua dewan berhenti. "Eh, sudah sampai di rumahmu, ya?"

Baekhyun mengangguk singkat. "Rumahmu masih jalan lurus ke sana, kan?"

"Iya... uh, well... kenyataan sebenarnya adalah rumahku empat baris ke sana." Jari telunjuk Chanyeol mengarah pada pagar rumah bercat cokelat gelap.

Baekhyun poker face. "Oh, yah, aku baru tahu."

Oh ralat, bukan poker face. Wajah datar Baekhyun memang sudah begitu dari sananya.

"Kalau begitu, besok kau tidak bisa bolos sekolah dan lolos dari hukuman. Jika kau berani membolos, aku akan mendatangi rumahmu dan menyeretmu sampai sekolah." Kata Baekhyun.

Chanyeol sedikit bergidik membayangkannya. "Sial, tahu begini aku tidak akan memberitahu mana yang rumahku."

Baekhyun mengulum bibirnya, tapi kemudian ia tertawa. Benar-benar tertawa, tidak dibuat-buat. Tidak palsu seperti biasanya. Chanyeol tertegun di tempatnya berdiri. Otaknya bekerja merekam bagaimana si ketua dewan itu benar-benar tertawa.

Baekhyun menepuk-nepuk bahu Chanyeol sok simpati. "Dengar, kau harus lebih pintar untuk menangani ketua dewan sepertiku."

Chanyeol tiba-tiba menyeringai jahil.

Ia merunduk, berbisik tepat di telinga Baekhyun.

"Oh, lebih pintar, ya? Pft! Mana ada ketua dewan yang suka nonton Dora The Explorer."

Kemudian ia berbalik dan berjalan cepat menuju rumah. Baekhyun melongo di tempat. Setelah sadar, wajahnya memerah bercampur amarah dan malu. Ia membuka sebelah sepatu sekolahnya dan melemparnya kepada target yang sudah dikunci oleh mata.

DUK!

Strike!

Tepat mengenai kepala.

"YAH! MIDGET! AKU AKAN MEMBALASMU BESOK!"

"COBA SAJA KALAU BISA!"

Chanyeol memungut sebelah sepatu hitam Baekhyun dan membawanya lari masuk rumah.

"KEMBALIKAN SEPATUKU, GIANT!"

"COBA SAJA KALAU BISA!" Chanyeol balas berteriak dengan membalikkan kalimat Baekhyun.

Chanyeol menyebutnya teknik adu mulut bumerang. Baekhyun diam-diam berniat datang ke rumah Chanyeol esok pagi untuk merebut kembali sepatunya dan menyeret Chanyeol sampai sekolah.

.

.

.

.

.

.

.


FINISH


a/n: Duh... niatnya sih fic ini mau buat drabble selanjutnya yang U Can Do It! Tapi berhubung dari awal Baekhyun-nya emang bukan ketua dewan murid kayaknya susah deh... lagian idenya muncul gara-gara penyelenggaraan clasmeet di sekolah minggu kemarin, duh.

Mau minta pendapat, kira-kira fic ini bagusnya dibuat sampai enam chapter atau ini aja udah cukup?

Enam chapter di antaranya itu hari-hari classmeet dimulai. Chapter ini kan hari Senin, sampai chapter enam nanti hari Sabtu—waktunya pensi. Kalau dibuat sampai enam chapter sih niatnya mau buat mereka jadi cinlok gitu hehe,

Seperti hukuman yang diberikan Baekhyun diatas ke Chanyeol gitu, jadi asistennya selama enam hari penuh.

Dimohon pendapatnya, ya.

Terima kasih sudah membaca :)

review please?