Title : Promise

Author: Micky_Milky
Genre: Romance/ Drama/Hurt/Comfort

Rate : M (Mungkin?)

Disclaimer: Fujimaki Tadatoshi

Pairing: Akashi x Furihata

Length: Chaptered

Warning : Typo, Yaoi, Ooc, Oc, alur kecepatan. Dll

.

.

.

Chap 4

Enjoy reading

.

.

Janji itu apa? Kenapa semua orang harus menepati janjinya? Apa janji itu berharga? Kalau iya, kenapa dia berharga? Bolehkah aku percaya akan janji? Bisa aku memegang janji mereka? Katakan padaku, apa hukuman untuk orang yang mengingkari janjinya? Boleh aku tahu?

.

.

Akashi berlari, melangkahkan kaki sejauh mungkin, berusaha tetap menjauh dari sosok itu, wajahnya basah akan peluh, napasnya tersengal pendek-pendek, kakinya terasa nyilu di tumit, sakit saat kakinya tak sengaja menginjak ranting pohon kering.

"Akashi-san."

Kakinya berhenti berlari, kini kepalanya menoleh tak henti mencari suara familiar yang sangat dia kenal, suara lembut yang selalu dirindukan dalam setiap mimpinya.

"Kouki..."
dia menjerit, memanggil nama kekasih hatinya, tubuhnya berputar, gemetar, dengan perasaan bercampur aduk, takut, rindu, sakit, perasaan mengaduk yang membuat perutnya mual ingin muntah.

"Kouki...!"
Lagi, dia menjerit, tubunya bergetar hebat saat dia tahu suara itu hanya ilusi, dia kembali berlari, dia tak tahu ini di mana? Apa yang terjadi sebenarnya?

"Kouki...! kembalilah... kumohon...!"

"Akashi-san."

Kali ini dia benar-benar berhenti berlari, menghirup napas sedalam mungkin memutar tubuh dan mendapatkan sosok itu berdiri tersenyum dihadapannya sekarang.

"Kouki?"
gemetar, Akashi gemetar hebat, sosok itu tersenyum lembut, senyum yang tak bisa Akashi lupakan walau sudah bertahun-tahun lamanya. Matanya teduh, senyumnya lembut dan wajahnya bersinar cerah. Akashi berjalan maju selangkah demi selangkah, tak lagi terasa nyilu tumitnya saat mengijak reranting pohon yang sudah mengering dan gugur, tangannya terangkat, jemari itu menyatu dengan rahang Furihata.

"Aku merindukanmu..."

Akashi tersenyum kecut, kata-kata itu keluar dari bibir pemuda yang dicintainya, dia terlalu naif, Kouki-nya terlalu naif.

"Maaf, aku..."

"Akashi-san, kau melupakan janjimu."

Akashi tersenyum hambar, pemuda bermata merah itu menggeleng lembut, jarinya menyisir lembut helaian surai coklat itu.

"Aku... maafkan aku..."

.

.

.

Tak mudah bagi Akashi untuk tidur setelah mendapatkan fakta jika teman karibnya menemukan sesuatu dari apa yang selalu di rindukannya. Pemuda itu bernapas pendek-pendek dengan keringat membasahi sekujur tubuhnya. Lampu kamarnya redup dengan sinar bulan yang menerobos masuk kedalam dari sela-sela gorden yang di tiup angin dari ventilasi jendela kamarnya.

Akashi meremas benda kecil yang sedari tadi siang tak lepas dari genggamannya, bolehkah dia berharap banyak akan keajaiban? Keajaiban jika Furihata Kouki mungkin masih hidup dan sedang berada entah di mana sekarang. Bukannya dulu dia adalah bagian dari keajaiban? Dia benar-benar berharap dia bisa kembali membuat sebuah keajaiban, ah~ semua itu mustahil baginya. Koukinya bukan Shogi dan bukan pula teman di team basketnya dulu.

"Kouki..."

Pemuda itu bergumam lirih, dibawanya kedua tangannya di hadapan wajah, mengusap kasar wajah rupawannya dan sesekali mencium mainan kunci yang sempat dia belikan untuk kekasihnya.

"Kouki..."

Pemuda itu terisak lirih, bahkan dalam mimpi pun pemuda berambut coklat itu selalu menghantuinya dengan senyum lembut dan suara lembut yang selalu membuatnya rindu.

.

.

.

Kise berwajah muram saat Kuroko hanya sibuk menyerup vanila milk shake miliknya tanpa berbicara apapun, dia rela ambil cuti satu minggu dan menyuruh temannya untuk menggantikan pekerjaannya hanya untuk bertemu dengan pemuda bermata teduh didepannya saat ini.

"Kuroko-chii, hidoi shuu, kau tahu aku batal ke Firlandia hari ini hanya karena menemanimu minum vanila shake itu. Dimana hati nuranimu, Kuroko-chii. Bicaralah sedikit saja."

Kise hampir menangis, dia kesal Kuroko benar-benar mengacuhkannya. Pekerjaanya sebagai seorang pilot membuat waktunya terkikis untuk bersama pemuda manis didepannya saat ini. Tapi saat waktu itu tiba, pemuda itu malah mengacuhkannya.

"Gomen, Kise-kun, aku sedang menunggu Aomine-kun dan Kagami-kun."

Sungguh, kepala Kise mendidih, kenapa di jadwal kencan mereka berdua yang hanya akan terjadi tiga bulan sekali itu malah melibatkan kedua pemuda yang benar-benar tak bisa akur itu.

"Aree... Aomine-chii dan Kagami-chii akan bergabung? kenapa? Tumben sekali?"

Walau merasa kesal, ada banyak sekali pertanyaan di dalam kepala Kise, mengingat tumben sekali kedua pasangan yang masih berusaha PDKT itu ada waktu untuk bertemu dengan kekasih imutnya. Mungkin Kagami cukup ada banyak waktu, tapi tidak dengan Aomine. Pemuda itu tak banyak waktu hanya untuk mengurusi hal-hal sepeleh, pemuda berkulit dim itu terlalu sibuk dengan urusan 'kejar dan tangkap penjahat' akhir-akhir ini.

"Aomine menelponku semalam, ada kejanggalan akan kematian Furihata-kun."

Pandangan Kise kali ini menajam, menatap kekasihnya intens, dia mengenal nama itu dengan jelas, sosok yang dulu pernah menjagal Kasamatsu saat pertandingan, dan sosok yang tak bisa di lepaskan dari mantan kapten mereka di smp dulu.

"Kekasihnya Akashi-chii?"

Kuroko hanya mengangguk sekali sebagai jawaban atas pertanyaan Kise. Kise mendongak saat kepalanya di tarik kebelakang oleh lengan kekar seseorang, matanya langsung melihat sosok Kagami Taiga yang menyengir lucu di temani pemuda berwajah malas di sampingnya.

"Yoo, Kise, lama tak bertemu."

"Kita baru bertemu di tempat Akashi-chii seminggu yang lalu shuu, ah~ itai, Kagami-chii, lepaskan tanganmu dari kepalaku."

Kagami menuruti perintah Kise, pemuda berambut merah hitam itu menarik Kursi di samping Kise, lain halnya dengan Aomine yang mengekorinya tadi, pemuda berkulit gelap itu malah asik memainkan ponselnya mencari sesuatu di dalam galeri foto ponsel android miliknya seraya menarik kursi yang ada di samping Kuroko dan mendudukan bokongnya di sana.

"Kemarin aku mendapat tugas untuk mengusut kematian seorang pengusaha wanita..."

"Oke... kalau Aomine-chii kemari hanya untuk menyuruh kami mendengarkan curhat tentang pekerjaanmu –shuu, ini membuang buang waktu kencanku, kau mengerti Aomine-chii?"
Kise membuang wajah kesal. Mantan model itu menekuk mukanya dalam lalu mengomel abstrak, Kagami yang duduk di samping Kuroko menoleh kearah pemuda berambut biru muda itu yang tersenyum melihat kelakuan kekanak-kanakan Kise.

"Bisa juga kau tahan dengan kelakuan seperti itu, woi Kuroko?"

Tak membalas, Kuroko hanya membalas perkataan Kagami dengan sebuah anggukan yang membuat Kagami memandang heran akan pemuda manis itu. Tak sama sekali mendengar ocehan pemuda berambut pirang yang duduk di sampingnya, Aomine menyodorkan ponsel android miliknya, memperlihatkan foto sebuah mainan ponsel yang hanya membuat Kuroko dan Kise saling menatap. Kagami melipat kedua tangannya di depan dada, seolah dia sudah tau maksud dari roommatenya itu mempertunjukan jepretan amatiran dari ponsel milik gebetannya itu.

"Aku menemukannya di tempat kejadian pekara, kira-kira dua hari yang lalu. Dan percaya atau tidak ada nama Akashi di sini..."

Aomine menunjukkan bagian gantungan ponsel berbentuk bola basket itu tepat di tengahnya.

"...dan ada sidik jari si chihuahua itu di sana."

"Furihata?"

"Hehehe~ tumben sekali kau langsung mengerti perkataanku, Kise."

Dengan tak bersalahnya Aomine menjitak kepala bersurai pirang itu sambil menyengir lebar.

"Tapi... Furihata-kun sudah lama meninggal, Aomine-kun, mungkin saja itu bukan milik Furihata-kun."

Air muka Aomine berubah serius, pemuda berkulit dim itu menautkan kesepuluh jarinya dan menopangnya pada dagu, tatapannya tajam terarah pada mantan rekan team basketnya itu.

"Aku juga berharap salah, tapi setelah menemui Akashi kemarin dia tak sama sekali mengelak dan mengiyakan jika benda itu milik kekasihnya."

"Apa Furihata-kun masih hidup?"

"Aku tak tahu, tapi besar harapanku agar dia tetap hidup."

.

.

.

"Nghh Akashi-san."

Akashi tersenyum lembut saat mendengar pemuda dibawahnya melengungkan namanya, jemarinya menyisiri helaian surai coklat milik pemuda yang sekarang terbaring di bawahnya dengan wajah berantakan dan peluh yang membasahi tubuhnya.

"Sebut namaku, Kouki."

Lidah Akashi menjalar menaiki tubuh sang pujaan, mencicipi setiap inchi tubuh pemuda dibawahnya dengan lembut, sesekali jemarinya menyentuh beberapa bagian sensitif milik Furihata, bermain di sana sedikit lama membuat pemuda di bawahnya semakin mengejang hebat. Furihata terus meneriaki namanya membuat alunan tersendiri bagi permainan mereka saat itu.

"Ahh, Sei-Seijuro."

Terengah, pemuda itu menyebut nama kekasihnya, sedangkan pemilik nama menyeringai senang, lidahnya bagaikan ular, merayap berlahan. Dia tak ingin terlalu tergesa-gesah menyelesaikan permainan mereka, dia menyukai pemuda itu meneriaki namanya, saat mereka menyatuh nanti, toh pemuda itu miliknya, dan dia tak akan memberikan izin pada siapapun untuk menyentuh miliknya.

Akashi menghentikan pergerakannya membuat Furihata menuai protes menatap Akashi garang, pemuda bersurai merah itu sama sekali tak terpengaruh, kekasihnya terlihat imut saat merajuk.

"Akashi-san..."

Tau jika Furihata tak suka akan perlakuannya, pemuda itu mencoba mengatur posisi kembali, kali ini mereka tak akan menyudahi permainan mereka di tengah jalan, berlahan, Akashi memasuki Furihata, melihat sang kekasih meringis kesakitan ada rasa iba, namun sayang, semua sudah terlanjur, dia terlanjur ingin menyentuh Furihata lagi dan lagi. Pemuda dihadapannya hampir menangis, dia tahu ini bukan kali pertama untuk mereka berdua, tapi bagi Furihata, sesering apapun mereka melakukannya ini tetap menyakitkan.

"Gomen, ne."

Akashi mencium ujung bibir Furihata lembut, berusaha membuat kekasihnya tenang, dan jujur saja itu sama sekali tak terpengaruh untuk Furihata, sebagai pihak yang dimasuki, dia merasa ini sungguh terlalu memaksa.

"Uhkk, Sei, pelanlah sedikit."

Tak menghiraukan perkataan kekasihnya, pemuda bersurai merah itu terus menyatuhkan dirinya dengan kekasih hatinya. malam itu kamar mewah milik pewaris tunggal Akashi itu penuh dengan teriakan nikmat, kecupan dan suara-suara cumbuhan dari kedua insan yang sedang dimabuk asmara, aroma seks menyebar memenuhi kamar pribadi seorang Akashi Seijuro.

Terbangun di lain harinya, Akashi dapat melihat Furihata tersenyum padanya, senyum bak malaikat yang selalu di kaguminya setelah senyuman wanita hebat yang telah melahirkannya, sang ibu. Sadar sepenuhnya, Akashi merasakan benda dingin keras menempel di atas keningnya, pemuda itu mendongak melihat moncong pistol dengan peredam suara bertenger manis disana matanya tertuju akan jemari menggengam pistol itu, jemari yang setiap saat selalu di genggam dan tak ingin di lepas itu, kini pemuda itu menatap Furihata dengan ekspresi tak percaya, pemuda didepannya menangis terisak tangannya yang menggengam pistol itu gemetar hebat, dia menangis dan terkadang tersenyum hambar.

"Sei... huks."

"Kouki, Apa maksudnya ini?"

"Apa kau mencintaiku?"

Terdiam, Akashi berfikir sejenak, bukan, bukan berfikir tentang jawaban yang akan dia berikan, tapi berfikir apa yang sebenarnya terjadi dengan sang pujaan hatinya.

"Aku mencintaimu, dan apa-apan ini?"

Akashi baru saja hendak bangun tapi pemuda didepannya menekan moncong pistol itu kuat membuat Akashi kembali terbaring dengan Furihata yang sekarang mendudukinya, dia yakin moncong pistol itu akan membekas di kulit keningnya.

"Sei... berjanji untuk mencintaku... tolong berjanjilah."

Pemuda diatasnya semakin menangis terseduh-seduh, Akashi menyentuh pinggang kekasihnya yang tak tertutup apapun itu lembut, kini jemari itu naik mengelus lembut pipi Furihata.

"Aku berjanji..."

"Pembohong!"
Akashi terkesima saat pemuda didepannya menjerit keras, meneriakinya 'Pembohong' sungguh dia tak mengerti apa yang terjadi pada pemuda itu.

"Kouki, ada apa? Apa ada yang kau takutkan?"

"Pembohong! Kau berjanji akan bersamaku, kau berjanji akan selalu mencintaiku, kau berjanji tak akan melupakanku, tapi kau berbohong."

"Kouki."

Akashi benar-benar bingung, pemuda didepannya tak hentinya memakinya, berteriak padanya dan membentaknya dengan nada kesal. Ada apa ini sebenarnya.

"Apa kau akan memberikan apapun yang ku minta, Seijuro?"

Akashi mengangguk, dia akan memberikan apapun yang pemuda itu minta, apapun.

"...bagaimana jika kukatakan aku ingin nyawamu, Seijuro..."

Furihata tersenyum lembut, mengelus surai Akashi sayang, membawa jari jempolnya menyentuh bibir Akashi berlahan.

"Kouki, ada apa ini? Kau kenapa? Tak seperti biasanya kau seperti ini."

"Jawab!"

Ini sungguh kali pertama dia dibentak seseorang, bahkan ayahnyapun tak pernah membentaknya, kembali berfikir sejenak, kali ini dia benar-benar memikirkan Jawaban apa untuk pertanyaan dari Kekasihnya, mungkin terdengar bodoh, apa lagi untuk seorang pria secerdas, sejenius, dan seseorang yang memiliki martabat setinggih Akashi, tapi sungguh dia akan melakukan apapun untuk pemuda itu, dan mungkin juga nyawanya. Cinta memang buta, dan dia buta akan pemuda itu.

"Aku bersedia."

Furihata tersenyum puas, pemuda itu merendahkan kepalanya, mengecup lama bibir Akashi, kali ini Akashi merasa kecupan dan paguan mereka terasa asin, Kouki-nya menangis, sungguh? Furihata menegakan tubuhnya, pemuda itu kembali tersenyum.

"Good bye Mr. Akashi..."

"Kouki..."

"Sayonara, I love you."

Doorrr...

.

"Sei... Sei-chan..."

Pick.

Akashi membuka matanya, melihat sosok Reo Mibuchi memandangnya aneh.

"Reo.."

"Ah~ kau bermimpi? Tumben sekali kau tertidur di meja kerja mu, apa kau sehat?"

Pemuda cantik itu menyisir beberapa helai rambutnya kebelakang menatap atasannya khawatir.

"Aku tak apa-apa."

Menjawab seadanya, Akashi memijat pangkal hidungnya, sungguh kepalanya benar-benar pusing.

"Kau menyebut nama kekasihmu berkali-kali dalam tidur, aku khawatir, setelah Aomine kemari, kau terlihat tak fokus. Apa ada kaitannya kedatangan temanmu itu dengan kekasihmu, Sei-chan?"

Akashi memasang kacamata bacanya, mengamati lembar demi lembar berkas perusahannya.

"Begitu lah."

.

.

.

Melangkah pelan, Aomine Daiki berjalan pelan menelusuri lorong Apartemennya, dia berharap Kagami sudah sampai dirumah terlebih dahulu sebelum dirinya sampai, sungguh perutnya sangat lapar, dan masakkan Kagami saat ini yang paling dia inginkan. Pemuda bersurai biru tua itu memicitkan matanya melihat sosok kurus yang lebih pendek darinya berjalan dengan senyum licik kearahnya dari arah yang berlawanan. Dia merasa tak pernah mengenal pemuda itu dan dia yakin betul pemuda itu bukan salah satu dari tetangganya.

Mata Aomine melebar saat pemuda itu berlari kearahnya dengan folding knife yang juga mengarah tepat kewajahnya. Sebagai salah satu dari defisi terhebat di kota Tokyo dan pemilik insting hewan tinggi pemuda itu mengelak sepersekian detik membuat pemuda berhoodie yang kini berada di belakangnya berbalik arah bersamaan dengannya.

"Kau?"

"Yoo, Aomine Daiki, atau ku panggil, Dai-chan, salam kenal. "

"Siapa kau?"

Pemuda itu melangkah ringan lalu berputar ditempat dengan tawa membahana.

"Hahahaha... perkenalkan, Aku Kamiya, khusus untuk dirimu, mari kita berkenalan sebelum aku mencabut nyawamu."

"Kau..."

Pemuda berhoodie itu berjalan pelan memutar Folding Knife miliknya dan tersenyum senang. Sigap, Aomine mengambil senjata miliknya mengerahkan revolver miliknya, pemuda berhoodie itu berhenti berjalan, senyumnya mengembang melihat Aomine hanya diam di tempat dengan keadaan siap tempur.

"Tak berani menembakku, Dai-chan? Kau takut melukai warga sipil?"

Senyum mengembang, senyum meremehkan itu terukir jelas, sungguh Aomine kesal, dia ingin sekali menembakki pemuda itu tepat di mulutnya yang berisik, tapi diurungkan, ini tempat umum, walau tak ada satupun tetangganya yang keluar dari Apartemen, tapi suara tembakan dari pistol miliknya bisa membuat kegaduhan nantinya. Dan dia ingat betul, kepolisian memiliki etika khusus untuk melepaskan tembakan pada penjahat. Dan itu bukan sembarangan

"Siapa kau? Kenapa kau menyerangku?"

Pemuda itu berkecak pinggang, dia dalam posisi tersudutkan, Aomine bisa saja menembakinya di sini, dan dia harus punya tameng untuk itu. Entah dewi fortuna mana yang hinggap pada pemuda berhoodie itu, Kagami membuka pintu apartemen miliknya menyembulkan kepalanya kekiri dan kekanan mencari tahu asal suara gaduh yang didengarnya dan itu bukan hal yang baik untuk Aomine.

"Woii Aho, apa yang... "

Perkataan Kagami terputus saat melihat moncong pistol Aomine mengarah kearahnya dan sesuatu yang tajam mengenai kulit lehernya.

"Ayo lihat apa yang kudapat, kelihatannya kita impas, Dai-chan."

Aomine menggengam gagang senjatanya kesal, kesal pada Kagami yang harus keluar disaat yang tidak tepat, 'dasar Bakagami' umpatnya di hati, dia lebih kesal kenapa harus Kagami, Kagami bukan saja sekedar warga sipil biasa, pemuda itu spesial di hatinya, jadi mana bisa dia melakukan hal yang ceroboh saat ini.

"Oke, apa yang kau mau? Kita buat kesepakatan, kau mendapatkan apa yang kau mau, dan lepaskan dia."

Pemuda itu tersenyum senang, kini mata pisaunya mengarah tepat di leher Kagami, Aomine bisa melihat darah mengalir segar akibat goresan dari mata pisau milik orang yang tak dikenalnya itu pada leher pemuda bersurai merah hitam itu.

"Penawaran yang bagus, tak kusangkah kau bisa kulumpuhkan hanya dengan pemuda ini. Oke, letakan senjatamu, bawa kemari!"

Gemetar, Aomine berjalan berlahan dengan tangan yang gemetar, pemuda itu menjulurkan tangannya mengarahkan pistol miliknya pada pemuda itu. Sungguh dia tak tahu bagaimana dia bisa dipermainkan seperti ini. Dia bukan orang yang bisa di ajak berkompromi pada penjahat-penjahat yang selama ini ditanganinya. Lihat saja bekas luka sobek di perutnya dan luka tusuk di lengan kirinya, itu bukti jika Aomine bukan polisi sembarangan, tapi lupakan jika kau harus berkompromi dengan mereka disaat salah satu sosok yang berharga bagimu disandera.

Pemuda bersurai hitam berhoodie berbulu halus itu mengambil revolver itu, menyuruh Aomine berlutut dihadapannya. Kagami sungguh tak menyangkah jika pemuda maniak oppai itu rela melakukan hal ini untuknya.

Doorr..

Doorr..

Kagami mengerjab kaget, sosok dibelakangnya tumbang tersungkur tepat didepan Aomine dengan kepala yang berdarah, tulang tengkoraknya bolong menembus dari sisi lain ke sisi yang lainnya. Bagi Aomine ini bukan kali pertama dia melihat hal seperti ini tapi bagi Kagami, pemandangan langkah itu sempat membuat jantungnya berdetak tak beraturan.

"Kau tak apa-apa?"

Kagami membantu Aomine berdiri, sungguh peristiwa itu benar-benar mengagetkannya. Aomine dan Kagami sontak menoleh pada tikungan apartemen yang langsung berhubungan dengan basement, melihat seulet seseorang dari balik sana.

"Tunggu disini, akan ku kejar dia."

Aomine bergerak cepat, berlari secepat yang dia bisa, oke, mungkin pikirannya sedikit bodoh, tapi dia berharap bisa masuk 'Zone' sehingga dia bisa bergerak lebih cepat seperti saat dia bermain basket dilapangan dulu.

Kehilangan jejak, Aomine bernapas pendek-pendek begitu mendapatkan basement yang terlihat sepi, pemuda itu terlonjak kaget saat jemari kekar menekan pundaknya.

"Woi, jangan tinggalkan aku dengan jasad orang itu, kau tahu, itu mengerikan."

Aomine bernapas legah, saat mendapatkan Kagami memandangnya kesal dengan napas terengah-engah.

"Seharusnya kau tetap disana."

"Kau sinting, mana bisa aku bersama jasad pemuda itu. Kau tahu aku takut tiba-tiba dia kembali bergerak dan menjadi zombi."

Aomine tertawa keras, suaranya menggemah di basement itu, sungguh, pikiran Kagami terlalu kekanak-kanakan. Dia tak habis fikir, mereka sudah berumur kepala dua lebih tapi tetap menakuti hal fikti seperti itu.

"Dia tak akan hidup lagi, mari kita kembali."

.

.

.

"Percobaan pembunuhanmu sungguh di luar dugaan, Aomine."

Aomine membalik tubuhnya, melihat Kiyoshi Teppei sedang berkecak pinggang tersenyum kepadanya. Diabaikannya berpuluh polisi yang berlalu lalang memeriksa TKP dan memasang Police line didepan apartemennya.

"Senpai, yoo."

Kagami tersenyum girang, Teppei meletakkan telapak tangannya yang besar di kepala Kagami dan mengelusnya, Aomine berwajah masal, kesal dengan pemandangan didepannya.

"Kiyoshi, ada apa kau kemari?"

"Bersikaplah sopan pada senpai, Aho."

Kagami berseruh kesal. Teppei hanya tertawa lepas, pemuda berbaju kemeja putih itu melepaskan elusannya dari kepala merah Kagami, berjalan berlahan mendekati Aomine.

"Aku sungguh terkesan kau bisa selamat, pemuda itu adalah sindikat pembunuh bayaran profesional, setidaknya melihat kau tak kurang apapun, itu benar-benar keajaiban."

"Senpai kau menyumpahi si Aho itu mati, ne?"

Teppei kini berbalik melihat Kagami yang kesal bukan main. Pemuda itu kembali tersenyum, tak lama seorang berumur lebih tua dari mereka bertiga tergopong-gopong berlari menghampiri Teppei, berbisik sesaat sampai akhirnya pergi kembali, Aomine menatap Teppei tajam, bekerja di satu kantor yang sama walau berbeda defisi membuatnya tahu jika apapun yang mereka bicarakan tadi bukan hal yang baik.

"Ada dua berita untukmu, satu berita bagus dan satunya berita buruk. Berita mana yang ingin kau dengar terlebih dahulu?"

Seringai mengembang di wajah Aomine, pemuda berwajah lembut dan berbadan besar di depannya itu terlihat sangat cemas.

"aku ingin mendengar berita buruknya."

"Oke, berita buruknya, pemuda ini dicurigai salah satu anggota pembunuh sadis yang membunuh Yukari Ichiro dan beberapa pembunuhan sadis lainnya, mereka tak pernah gagal dalam bertindak, mereka juga dicurigai membobol beberapa rekening orang-orang kaya, dan yang menjadi berita buruknya, sudah dipastikan kau menjadi target mereka."

"Maksudmu, mereka juga yang berada di balik kematian Yukari-san."

"Iya, dan berita baiknya, kau selamat, tapi aku harap kau berhati-hati, karena kau harus tahu, mereka tak pernah gagal dan ini kali pertama mereka gagal dan harus kehilangan satu anggota. Dan ada kemungkinan mereka akan kembali menyerangmu."

.

.

.

Mikoto membanting asbak rokok didepannya kesal, kakinya juga menedang apapun yang terjangkau olehnya. Kesal dan marah, pemuda itu benar-benar ingin menghancurkan apapun didepannya saat ini.

"Brengsek! apa saja yang dia lakukan sampai bisa terbunuh."

"Mikoto-san..."

Wanita bersurai merah muda di belakangnya mundur ketakutan, dia tak pernah melihat ketua mereka semarah ini sebelumnya.

"Kita tak bisa merehkan seorang Aomine Daiki. Seharusnya kita berkerja sama seperti saat kita membunuh Yukari Ichiro."

Pria bersurai pirang yang menyahut, pemuda itu sibuk menghembuskan kepulan asap dari bibirnya, bau nikotil terasa mengakar di udara saat pemuda itu tak henti-hentinya menghisap sebatang rokok dan membuang asapnya sembarang ke udara ruangan pengap itu.

"Ini mustahil. Kamiya-san bukan orang yang lemah, aku tahu dia tak mungkin terbunuh begitu saja hanya menghadapi Aomine Daiki seorang."

Perempuan berambut merah muda itu berkata penuh emosi, dia terlihat menangis sesunggukan, berdiri di tengah-tengah kawanannya.

"Aomine Daiki adalah anggota kepolisian, kita terlalu meremehkannya, ini akibatnya jika kita terlalu meremehkan orang lain."

Semua mata tertuju pada Furihata, pemuda bersurai coklat itu memijat pangkal hidungnya, ini kali pertama kawanannya terbunuh, dan ini mungkin akan menjadi bumerang untuk kawanan mereka.

"A-aku takut, jika identitas kita terbongkar, ayah akan membunuhku nanti. Dan ibu pasti tak akan memaafkanku."

Satu-satunya gadis cantik di tempat itu terisak, dia bersujud dengan air mata mengalir deras. Sosok pemuda perambut perak menatap iba akan gadis itu. Dia kenal betul latar belakang seluruh kawanannya, gadis itu satu-satunya yang masih memiliki keluarga utuh, entah talenta dari mana gadis itu memiliki kemampuan membunuh tingkat tinggi, membuatnya direklut masuk kedalam kawanan mereka, usut punya usut, gadis itu berasal dari keluarga baik-baik, namun sayang gadis itu terlalu sering di bully di sekolah membuatnya tertekan dan memiliki perangai yang aneh.

"Aku yang akan kesana, kita harus membunuh Aomine Daiki."

Pemuda bersurai pirang mematikan rokoknya di asbak, dia berjalan pelan menuju pintu keluar.

"Kau gila, Daisuke-san, ini bukan jalan keluar yang baik, suasana sedang sangat heboh, kau bisa tertangkap nanti."

"Aku tak perduli, toh, terlanjur basah. Kita mungkin sudah ketahuan."

"Aomine Daiki mungkin dalam keadaan siaga. Lebih baik menunggu semua meredah baru kita serang dia kembali."

Si pimpinan berujar datar, kali ini pemuda bersurai pirang itu tersenyum lembut, mengangkat tangan kanannya santai seraja berujar...

"Aku akan tetap pergi, karena dia sudah membunuh si kutu brengsek itu, aku akan kesana untuk berterimakasih sekaligus untuk membunuhnya, kalian tenang saja, jika aku tak kembali, lebih baik menyerah untuk membunuhnya, karena itu berarti aku juga sudah terbunuh olehnya atau sudah di tangkap si brengsek itu."

Dan setelah itu pemuda bersurai pirang itu menghilang di balik pintu.

"Daisuke-san... Mikoto-san apa kita Cuma diam saja?"

"Ikutin dia, Azzura, akan sangat berbahaya jika dia pergi sendiri."

.

.

.

Furihata berjalan santai menelusuri beberapa outlet pakaian dan perlengkapan sehari-hari di mall hari ini. Menyadari jika kepalanya telalu pusing dan tubuhnya terlalu penat setelah mendengar pimpinannya mengoceh dan menyumpahi seseorang bernama Aomine Daiki, target mereka, capek diri dia berkeliling berharap menemukan sesuatu yang membuatnya tertarik. Ah... terlalu lama dia berada di dalam kawanan itu, dia benar-benar merindukan berjalan-jalan santai seperti ini melihat beberapa pernak pernik unik dan makanan siap saji yang terlihat lezat di pandang.

Berpakaian selayaknya umurnya saat ini membuat Furihata tak terlihat seperti gerombolan pembunuh kelas atas, pemuda itu terlihat manis dengan jaket hoodie berwarna cream dan celana jeans berwarna hitam, serta sepatu kets berwarna putih. Bahkan beberapa wanita terlihat menatap wajah manisnya penuh minat.

Sesekali pemuda itu berkunjung di outlet burger, membeli beberapa burger beraneka rasa di sana, dan membeli beberapa minuman dingin. Seharunya tadi dia mengajak Azzura, satu-satunya gadis di antara kawanan mereka, sungguh, dia merasa Azzura terlihat seperti adik perempuan dimatanya, dia tak tahu jalan pikiran gadis itu kenapa bergabung dengan sindikat pembunuh berdarah dingin seperti mereka, seharusnya gadis itu menjalani kehidupan normal dengan teman-temannya, pergi karoke, mencari seorang pria tampan dan berkencan serta menonton beberapa film romantis dengan pasangannya, bukan menjalani kehidupan aneh seperti saat ini.

Setelah mendapatkan burger yang dia inginkan, pemuda itu kembali berjalan mengitari kawasan mall dengan santai, melihat berbagai bentuk manusia dan tabiatnya, melihat seorang pria yang masih mencuri pandang pada wanita lain yang lebih cantik padahal dia sendiri sibuk menggandeng mesra seorang wanita di sampingnya. Dia juga tersenyum lucu saat melihat seorang anak kecil yang merengek minta di belikan baju kepada sang ayah. Sampai matanya tak sengajah melihat keberadaan pria bersurai babyblue berjalan santai ditemani oleh wanita bersurai coklat sebahu. Dia mengenali pemuda dan wanita itu.

"Kuroko?" dia bergumam pelan, kakinya beranjak mendekat dengan berjalan mengendap-endap mengikuti mantan rekan team dan pelatihnya itu.

Kedua terlihat bercakap-cakap santai, lagi, dia dikejutkan akan keberadaan seorang pemuda bersurai pirang yang melambai pada Kuroko dengan terlalu bersemangat. Dia juga sangat mengenali pemuda pirang itu.

"Kise-san?"

Hampir saja dia beradu pandang dengan pemuda bersurai biru lembut itu saat Kuroko menatap liar kesegalah arah, beruntung tubuhnya di tutupi pegangan pembatas sehingga Furihata langsung berbalik badan dan berjongkok menghindari tatapan pemuda itu dan beruntung juga kerumunan pengunjung mall yang lalu lalang menutupi tubuh kecilnya.

"Hampir saja..."

Pemuda itu bernapas legah, Furihata masih dengan posisinya saat ini untuk beberapa lama, dia tak ambil pusing orang-orang yang melewatinya akan berfikir seperti apa nanti, namun yang jelas dia cukup legah tak harus bertemu pemuda itu.

Dirasa cukup aman, pemuda itu berdiri dari jongkoknya, menatap kedepan, tepat sekitar enam meter dari tempatnya berpijak pemuda itu menahan napasnya sesaat saat tahu jika sosok pemuda berambut merah dengan manik serupa menatapnya tak percaya, pemuda didepannya terlihat sangat kaget bahkan terlihat terpaku tak bergerak, bahkan untuk bersuarapun dia lupa. Luapan emosi terpancar di wajah pemuda itu perasaan tak percaya, rindu, dan semua emosinya menjadi satu. Sungguh, baik pemuda itu maupun Furihata merasakan waktu seolah berhenti. Fokus mereka terpaku, sampai akhirnya keduanya menyebutkan nama orang yang paling mereka rindukan saat ini.

"Akashi-san."

"Kouki..."

.

.

.

TBC

A/N

Ciee nungguin ya... maaf lama, setahun sudah fanfic ini terbengkalai... #gaknyampewoii.

Hayooo siapa yang bisa nebak chap berikutnya? Oke, maaf gak balas repyu kalian satu-satu, tapi terimakasih banyak sudah merepyu fanfic ini, dan maaf atas even" AkaFuri yang diadakan terlewat begitu saja tanpa saya ikuti, walau begitu saya tetap AkaFuri lover, dan Tetap jatuh cinta dengan Kouki... #kissu_kouki.

Saya mau bilang...

I'M BACK..

Dan

REPYU PLEASE ...

-^Micky_Milky^-