Ya ampun, lama banget ini nggak diupdate! Maaf ya, soalnya agak susah nulis Gosho boys jadi melankolis karena rasanya jadu OOC. Ya emang udah OOC sih.

The last chapter! Enjoy it!


Bagaimana cara yang baik untuk berteman? Anak-anak tampaknya yang paling lihai dalam berteman, mereka bisa bermain ceria dengan anak yang baru saja mereka kenal seakan mereka adalah sahabat sejak lahir. Seiring dengan bertambahnya usia, kemampuan bersosialisasi entah menjadi semakin matang atau justru berkurang. Mungkin karena pola pikir orang dewasa terlalu rumit, dipenuhi rasa curiga atau apatis.

Bagaimana dengan remaja? Disaat emosi masih labil, jati diri yang belum jelas, kemampuan bersosialisasi seakan mengalami ujian yang lebih berat dari ujian masuk universitas, untuk sebagian orang.

Salah satunya adalah Kudo Shinichi atau yang sekarang memakai alias, Edogawa Conan.

Mungkin tak ada yang percaya dirinya adalah seorang introvert. Sebagai Conan, ia punya lingkaran teman tetap di sekolah. Sebagai Shinichi, ia pun punya banyak orang yang ia kenal. Ia tak pernah kesulitan mengajak seseorang bicara.

Tapi sejujurnya, ia tidak begitu pandai menjalin hubungan pertemanan yang erat.

Ran adalah anugrah sesungguhnya. Temannya sejak kecil yang bersedia meladeni semua keanehan dirinya.

Karena Shinichi memang berbeda dengan anak laki-laki seusianya. Terlalu pintar, terlalu congkak, terlalu sulit untuk dimengerti.

Sebagai Conan, ia berusaha agar tampil lebih normal dari dirinya yang sesungguhnya, memang sering kelepasan bila sudah berhubungan dengan kasus, tapi bukti bahwa ia punya jauh lebih banyak teman sebagai Conan daripada sebagai Shinichi terkadang membuatnya berpikir kalau usahanya untuk membaur dengan teman-teman sekelasnya di SMA masih kurang.

Tapi, berbohong itu melelahkan. Apa gunanya ia bisa berbaur dengan teman-teman seusianya kalau ia sebenarnya cuma pura-pura?

Karena itu sebenarnya, Heiji adalah teman, atau bahkan, sahabat laki-lakinya yang pertama.

Setelah adu argumen antara Heiji dan Hakuba di pinggir jalan, kemudian Conan berbicara dengan Hakuba di taman dan akhirnya mereka kembali ke hotel bertiga. Heiji tidak terang-terangan meminta maaf pada Hakuba soal perkataannya, karena ia masih bersikeras kalau ia benar, tapi Heiji dengan bahasanya sendiri meminta maaf karena sudah menyinggung Hakuba.

"Ng... Aku tidak tahu kalau kau ini rupanya sensitif juga, aku akan menjaga omonganku mulai dari sekarang, selama bukan kau duluan yang membuatku kesal."

Entah Hakuba mengerti atau tidak. Sepertinya tidak karena dari ketiga detektif itu, tampaknya Hakuba yang paling payah dalam bersosialisasi.

Tapi Hakuba tampaknya sudah tidak begitu memikirkan omongan Heiji, ia tampak lebih tenang dan rileks sejak pertama bertemu mereka.

Mereka akhirnya makan malam bersama di restoran hotel.

"Ngomong-ngomong, Kuroba-niichan kemana?" Tanya Conan.

Heiji mendengus. "Ia punya urusan dan mau makan di luar katanya."

Conan mengangguk, mungkin Kaito akhirnya punya kesempatan untuk meninjau museum, atau entahlah, ia bisa melakukan apa saja yang ia mau.

Hakuba juga tampaknya sudah kurang tertarik dengan apa yang sedang di lakukan Kaito sekarang. Bahkan ia tidak memberi komentar apapun pada cara makan Heiji yang berantakan. Ia tampak lebih tenang dan sibuk memikirkan hal lain, dan juga terlihat mengantuk.

Sementara Heiji sendiri...

Conan ingat apa yang Heiji katakan saat berargumen dengan Hakuba. Ia tahu, saat itu Heiji sedang memikirkannya, memikirkan pertemanan mereka.

Salah satu alasan kenapa Conan memilih untuk menyusul Hakuba, karena ia juga butuh waktu sebelum berbicara pada Heiji.

"Maaf, aku ke kamar duluan," kata Hakuba dengan sopan. Conan menatap makan malam sang detektif blasteran itu, hanya tersentuh sedikit. Jika mereka adalah teman, lebih dari sekedar kenalan yang punya pekerjaan yang sama, Conan ingin menyarankannya untuk makan lebih banyak. Tapi ia merasa tak berhak untuk mengatakan itu.

"Tak enak badan?" di luar dugaan, justru Heiji yang berbicara.

Hakuba tampak sedikit terkejut. Ia memang terlihat jauh lebih rileks dibanding tadi pagi, tapi juga terlihat lebih lelah. Seakan sejak seharian ini ia hanya berfungsi dengan adrenalin semata, dan begitu ia tenang tubuhnya sudah mencapai batasnya.

"Aku baru tiba kemarin dari Inggris dan langsung terbang kemari, jujur aku terlalu ngantuk untuk makan sekarang," jawaban Hakuba juga jujur, tanpa ada nada sarkartis atau ketus seperti biasanya.

"Ah, baiklah kalau begitu," balas Heiji.

"Terima kasih atas perhatiannya," timpal Hakuba dengan hanya sedikit nada menyindir, membuat Heiji hampir tersedak dengan makanannya. "Karena entah kita bisa bertemu lagi besok atau tidak, sampai ketemu lagi Edogawa-kun, Hattori-kun." Dan Hakuba pun pergi sebelum Heiji selesai meminum air untuk meredakan batuknya.

"Dasar detektif sok sialan...," Gerutu Heiji. Conan harus menahan tawanya, jujur ia lega melihat interaksi Heiji dan Hakuba lebih baik dari sebelumnya.

"Kau mau langsung ke kamar, Ku-Conan?" Tanya Heiji padanya setelah menghabiskan makan malamnya.

Conan mengangguk, sebenarnya masih agak terlalu cepat untuk tidur sekarang, tapi ia juga tidak tahu mau melakukan apa.

Heiji hanya mengangguk dan mereka pun diam. Entah Heiji sadar atau tidak dengan atmosfir aneh di antara mereka berdua sejak kepergian Hakuba.

Mereka kembali ke kamar masih dengan suasana yang sama. Heiji merebahkan diri di atas tempat tidur sementara Conan duduk di pinggir tempat tidur dan menatap ke jendela yang memperlihatkan langit malam.

"Hattori."

"Hm?"

"Apa ada... Yang ingin kau tanyakan padaku?"

Conan tidak tahu bagaimana memulainya. Ia mengerti yang ia rasakan sekarang adalah... Ia merasa bersalah pada Heiji. Setelah mendengar apa yang Heiji katakan pada Hakuba, seberapa jauh detektif Osaka itu menerimanya, bersedia menemaninya menghadapi apapun, bersedia menangkapnya bila ia terjatuh...

Conan merasa bersalah karena ia merasa pertemanan mereka berat sebelah.

Tidak seimbang.

Bukan berarti Conan merasa Heiji bukan temannya... Hanya saja...

Ia sadar kalau Heiji yang terus 'memberi'.

Dan Conan yang terus 'menerima'.

Memang ada kalanya posisi mereka terbalik, tapi lebih sering seperti itu.

Berbeda dengan Heiji yang tampaknya siap untuk melakukan apapun untuknya dan tidak menyembunyikan apapun darinya, kecuali hal-hal kurang penting dan relevan tentunya, Conan tidak seperti itu.

Banyak yang ia sembunyikan dari sahabatnya itu. Perkembangan informasi tentang Organisasi Jubah Hitam sejauh ini, tentang FBI. Seringkali Conan hanya menceritakan sepenggal informasi kepada Heiji jika ia membutuhkan bantuan temannya, tidak seluruhnya.

Kadang, ia berpikir Heiji, cepat atau lambat, akan memaksanya untuk menceritakan semuanya, karena Conan tahu temannya yang satu itu tidak sabaran.

Tapi sejauh ini, Heiji bersikap seakan ia tidak tahu apa-apa dan tidak curiga Conan menyembunyikan banyak hal darinya.

Karena itu Conan menanyakannya sekarang.

Heiji terdiam untuk waktu yang lama sampai Conan menoleh ke belakang pundaknya untuk mengecek apakah ia tertidur atau tidak.

Ternyata tidak.

Heiji melipat tangannya di belakang kepalanya dan menatap langit-langit.

"Jujur sebenarnya aku juga tak tahu mau bertanya apa padamu, Kudo," jawabnya.

'Karena terlalu banyak yang ingin kutanyakan,' Conan kira itu lanjutan perkataannya.

"Kau marah padaku?" tanya Conan lagi.

"Kalau aku marah padamu, untuk apa aku mengajakmu kemari?" tanya Heiji balik. Conan mendengus sambil tersenyum.

"...aku juga sebenarnya bingung, kadang aku bingung bagaimana harus menghadapimu...," gumam Heiji lebih pelan, membut Conan terpaku.

"Aku tak punya banyak teman lelaki, kita juga belum kenal terlalu lama, lalu dengan semua masalah yang kau hadapi, kadang aku tidak tahu bagaimana aku harus menghadapimu. Aku ingin membantumu, mensupportmu, melindungimu, tapi aku juga tahu kau itu kuat dan mandiri. Aku percaya kau akan meminta bantuanku bila kau rasa itu perlu, yah...," Heiji terdiam, begitu pula Conan.

"Banyak yang tidak kuceritakan padamu," Conan melanjutkan perkataan Heiji.

"Belum," koreksi Heiji, membuat Conan tersenyum tipis.

"Aku tahu kau mengalami banyak hal, kau sibuk memikirkan banyak masalah, kadang aku ingin memaksamu untuk bercerita... Tapi yah, aku belajar untuk sabar menunggu. Lagipula aku percaya kau akan menceritakan semuanya padaku pada akhirnya, kuharap sebelum semuanya terlambat."

Conan menutup matanya. Dulu, ia sering berpikir Heiji adalah orang yang sangat merepotkan. Mendadak muncul untuk mencari Shinichi yang hilang, kemudian muncul lagi dan memerasnya untuk mengatakan semua rahasianya, kemudian entah sejak kapan detektif Osaka itu terus mendobrak masuk ke dalam hidupnya.

Kenapa? Kadang Conan ingin bertanya seperti itu padanya.

Tapi, Conan tahu jawabannya.

Karena mereka akhirnya menemukan orang lain yang bisa mengerti pola pikir mereka dan menjadi diri mereka sendiri tanpa perlu merasa aneh. Yang mereka bicarakan memang biasanya berbeda dari kebanyakan remaja lainnya, tapi mereka bersenang-senang dengan cara mereka sendiri dan itulah arti 'teman' untuk mereka.

"Kadang... Aku ingin kau tahu sesedikit mungkin karena... Semakin kau tahu banyak, semakin bahaya untukmu... Hattori," Conan akhirnya jujur pada temannya itu.

"Aku juga tidak ingin menyusahkanmu lebih dari ini, hek, aku sudah sangat sering menyusahkanmu selama ini," lanjutnya.

Heiji terus diam.

"Jadi, aku bukannya tidak cerita padamu karena tak percaya padamu."

Heiji mendesah berat. "Aku tahu itu."

Conan akhirnya menghempaskan dirinya ke tempat tidur.

"Maaf, kau boleh marah kalau kau mau," katanya, sambil menutup matanya dengan kedua lengannya.

"Huft... Untuk apa marah...? Yah, aku memang sedikit kesal. Tapi... Aku mencoba untuk mengerti kondisimu Kudo. Jadi, aku cuma ingin kau tahu aku tak akan kemana-mana. Aku akan menunggu."

Conan ingin menangis rasanya. Ia bukanlah orang melankolis yang terbiasa bicara tentang pikirannya sendiri. Ia kadang ingin sekali memberi tahu Heiji bagaimana ia bersyukur memiliki teman sepertinya, yang mau menerima dirinya dan segudang masalah yang ia miliki. Yang membantunya tetap waras dan tak lupa dengan dirinya sendiri. Yang tidak marah meskipun ia sering sekali meminta bantuannya seperti tak kenal malu.

Semua itu membuat Conan merasa bersalah.

"Setelah semua ini selesai, ayo kita liburan bersama lagi... Seperti ini, atau bersama Nee-chan dan Kazuha juga boleh...," Ujar Heiji.

"Uhm," Conan mengerjapkan matanya yang berair.

Heiji mendengus melihatnya. "Kukira cuma si detektif pirang itu saja yang sensitif, ternyata kau juga," ejeknya.

"Diam kau," Conan melempar bantalnya tepat ke wajah temannya itu.

Ia sangat menantikan saat ia bisa kembali ke tubuh aslinya, bebas dari semua masalah ini, dan bersenang-senang dengan Heiji seperti dua remaja pada umumnya.

Atau, lebih tepatnya, dua detektif SMA pada umumnya.

IoI

Salah satu alasan kenapa Hakuba mempelajari Criminal Science adalah untuk mengerti pola pikir manusia. Ia mengakui, dan sepertinya tak sedikit yang tahu, kalau ia kesulitan untuk mengerti pola pikir orang lain.

Singkatnya, ia memang kesulitan dalam berteman.

Masa kecilnya yang hidup di Inggris sebagai blasteran Jepang-Inggris memang tidak begitu enak untuk dikenang. Seperti itu saja sudah sulit untuk mendapatkan teman, apalagi ditambah ia terlalu pintar untuk anak seusianya dan terlalu kaku untuk mengerti candaan.

Tak heran, meski sudah SMA, ia masih sulit untuk berteman dengan orang lain.

Karena itu, awalnya ia tidak percaya ia ingin berteman dengan Kuroba Kaito atau lebih tepatnya, Kaitou Kid?

Tapi, deduksi dari Conan menjawab semua sikap aneh yang ia lakukan selama ini.

Kenapa ia masih terus menyimpan sarung tangan Kid tanpa melakukan apapun...

Mengejar Kaitou Kid memang membuatnya hampir gila, tapi sejujurnya... Memang menyenangkan. Bersama dengan Kuroba Kaito kerap menjadikan Hakuba sasaran empuk trik sulap miliknya... Tapi ia tak sepenuhnya membencinya.

Saat berinteraksi dengan Kaito di sekolah, membuatnya merasa jadi anak SMA yang normal. Bertengkar, berdebat, saling mengejar, berusaha mengalahkan satu sama lain... Itu interaksi paling normal dan jujur yang Hakuba alami di sekolah. Bukan interaksi canggung atau palsu.

Karena itu...

Hakuba menoleh saat ada ketukan di jendela pintu kamarnya. Setelah akhirnya bisa pulang ke rumahnya tanpa insiden apapun, ia sudah menunggu kehadiran Kaitou Kid.

Jendela kamarnya pun terbuka dan memperlihatkan Kid dengan jubah putihnya, di belakangnya terlihat langit malam dengan sinar bulan purnama.

"Selamat malam, Tantei-san, aku terkejut kau tidak menyalakan lampu padahal hari sudah gelap."

Hakuba tersenyum tipis, memang ia hanya menyalakan lampu meja belajarnya dan kamarnya terlihat gelap.

"Supaya kau tidak perlu susah-susah mematikan listrik di rumahku," jelas Hakuba. Ia tahu Kid akan melakukan itu agar cahaya tidak menyinari wajahnya.

"Terima kasih atas pengertiannya...," Balas Kid.

Hakuba mengangguk, ia kemudian mengambil sarung tangan putih dari atas meja belajarnya. Tangannya sendiri juga mengenakan sarung tangan.

"Kau datang untuk ini kan?" tanya Hakuba. Ia melihat Kid menyeringai.

"Sejak aku kehilangan sarung tangan ini, aku terus mencari dimana kah ia gerangan. Aku memang sudah curiga ternyata ada padamu, Tantei-san."

Dan jelas Kid juga sudah menunggu Hakuba menggunakan bukti dari sarung tangan itu sebenarnya, Hakuba rasa seperti itu. Karena itu ketika Hakuba ternyata tidak mrlakukan apa-apa, ia menjadi bingung dan menduga Hakuba tidak memegang sarung tangannya.

"Apa kau butuh waktu selama ini untuk tahu bahwa sebenarnya sarung tanganmu ada padaku?"tanya Hakuba.

Kid menarik turun topinya dan melangkah mendekat.

"Karena awalnya kukira tak ada padamu, Tantei-san."

Hakuba mengangguk. Kid menjulurkan tangannya dan Hakuba terdiam sebentar sebelum menyerahkan sarung tangan itu. Tapi kemudian ia meletakkannya di telapak sang pencuri.

"Kukira kau akan meminta hal tertentu sebelum memberikan ini kembali padaku, aku terkejut...," kata Kid, menaruh sarung tangan itu ke dalam jas putihnya.

"Aku terkejut kau belum mencurinya dariku," balas Hakuba.

Mereka saling menatap meski Hakuba tak bisa melihatnya dengan jelas dalam suasana temaram.

"Bisakah setidaknya kau berjanji satu hal untukku?" tanya Hakuba.

Kid terdiam.

"Aku tahu aku tidak bisa memintamu untuk berhenti, aku juga tahu kau selalu berusaha sebisanya untuk menjaga dirimu sendiri... Tapi, aku ingin berjanji setidaknya, saat keadaan genting, kau meminta bantuan polisi, aku, Edogawa-kun atau bahkan kalau perlu, Hattori-kun. Aku tahu kau kriminal dan berat untuk meminta bantuan pada kami, tapi dibalik topeng itu kau juga cuma manusia," jelas Hakuba.

Hakuba tahu bahaya dibalik pencurian Kid. Ada bekas tembakan peluru padahal jelas, kepolisian divisi 3 tidak menggunakan senjata api saat mengejar Kid. Ada sesuatu yang lain yang mengejar Kid, Hakuba tidak tahu apa, tapi ia tahu itu berbahaya.

Karena itu, Hakuba ingin mengerti motif Kid mencuri, agar ia bisa menghentikannya, agar ia tidak terbunuh.

Tapi ia tahu, ia meminta terlalu banyak untuk itu. Jadi setidaknya, ia hanya bisa memintanya berjanji untuk hal ini, meski itu bahkan sudah terlalu berat untuk Kid.

"Meski pada akhirnya aku akan dijebloskan ke penjara oleh kalian?" tanya Kid.

"Lebih baik daripada mati terbunuh," timpal Hakuba.

Kid tertawa kecil. "Baiklah, Tantei-san, aku berjanji."

Dan Kid pun menghilang di balik kepulan asap.

Hakuba menoleh ke luar jendela yang terbuka.

Mungkin cuma perasaannya, tapi ia merasa mendengar bisikan "terima kasih" sebelum Kid pergi.

Atau mungkin cuma suara angin.

IoI

Kaito tidak suka detektif. Mereka menyebalkan, suka ikut campur masalah dan sok.

Tapi, Kaito juga sadar detektif itu manusia.

Terlebih untuk Hakuba, ia juga cuma remaja laki-laki, yang mungkin tidak begitu normal dibanding remaja pada umumnya, tapi dia juga cuma murid SMA.

Mendengar bahwa Hakuba ingin berteman dengannya membuat Kaito syok.

Sebegitu syoknya sampai ia tidak bisa meninjau museum secara seksama, lupa untuk menyusun rencana sampai akhirnya Jii yang harus meninjau ulang museum itu lagi.

Setelah syoknya mereda, Kaito tidak tahu harus berbuat apa.

Jika dalam kesempatan lain, Hakuba mengatakan itu terang-terangan padanya, Kaito akan menduga ia sedang menipunya. Tapi, ini lain. Yang menebak Hakuba ingin bertemannya adalah Conan, dan jujur setelah mencuri dengar curhatan Hakuba pada detektif cilik itu, Kuroba juga menduga hal yang sama.

Sebenarnya...

Jika ia bukan Kaitou Kid, cuma Kuroba Kaito seperti sebelum ia mengetahui identitas ayahnya, ia akan dengan senang hati berteman dengan Hakuba.

Hakuba... Tidak sepenuhnya buruk. Oke, sebenarnya ia juga cukup menarik. Senang rasanya ada yang bisa mengikuti Kaito bahkan bersaing dengannya. Mengerjai Hakuba, mencoba membuat trik sulap yang tidak bisa dipecahkan olehnya, membuat sekolah yang biasanya membosankan jadi lebih menantang.

Tapi, Kuroba Kaito adalah Kaitou Kid.

Dan Hakuba Saguru adalah detektif plus anak dari komisaris kepolisian.

Terlalu bahaya untuk mendekatinya. Terlalu berisiko untuk mencoba berteman dengannya.

"Pagi Kuroba-kun."

"Pagi Hakuba."

Kuroba melirik mejanya, kadang ia masih menanti saat Hakuba mencoba mengambil sidik jarinya sekarang. Meski sudah mengembalikan sarung tangannya padanya, mungkin Hakuba sudah mengambil sidik jarinya dari sarung tangan itu.

Sisanya tinggal mencocokannya.

Tapi Hakuba tidak melakukannya, atau belum?

Kaito menatap Hakuba dari tempat duduknya sepanjang kelas. Saat detektif itu menoleh ke arahnya, jelas karena ia merasakan pandangan Kaito, sang pesulap hanya terang-terangan memandangnya dan Hakuba akan mendesah dan kembali fokus pada guru.

Ketika jam makan siang, Hakuba akan membawa kotak bekalnya dan pergi dari kelas, untuk makan sendirian, Kaito tahu itu.

"Kaito-kun?" Aoko bingung karena Kaito juga beranjak.

"Ada urusan sebentar," kata Kaito.

"Kuharap bukan mengintip ruang ganti perempuan lagi, awas ya Kaito-kun!"

"Hek, sekarang jam istirahat, ruang ganti pasti kosong, buat apa?"

Kaito berlari keluat kelas sebelum Aoko bisa mengambil tongkat pel.

Ia berjalan ke luar gedung sekolah dan menemukan pojok halaman yang sepi. Hakuba sedang makan sendirian di sana, seperti orang terisolir. Beberapa murid perempuan melihatnya dan tampak terpesona padanya tapi tak ada yang menghampirinya.

Kaito pernah melihat bagaimana canggungnya teman sekelasnya saat Hakuba mencoba makan bersama mereka. Mungkin mereka menganggap Hakuba seperti pangeran, atau mungkin karena memang mereka tak suka pada detektif itu.

Hakuba meski agak payah dalam bergaul pun langsung paham dan sejak saat itu ia makan siang sendirian.

Saat kerja kelompok, bila tidak mencoba menarik Aoko, Hakuba biasanya hanya diam sampai ada orang mengajaknya. Saat harus berpasangan saat pemanasan olahraga, Hakuba hanya diam menanti orang yang tersisa.

Untuk seorang detektif blasteran yang flamboyan dan punya banyam fans, Hakuba terlihat kesepian.

"Hei."

Hakuba terkejut dan Kaito memasang seringai.

Ia hampir menggoda bagaimama Hakuba makan sendirian, tapi ia berhenti sebelum mengatakannya. Ia tidak datang kemari untuk menyinggung perasaan detektif satu ini.

"Kenapa kau di sini, Kuroba-kun?"

Kuroba mendengus dan duduk di sampingnya.

Sejujurnya seharusnya ia tidak melakukan ini.

Jika saja ia bukan Kaitou Kid.

Jika saja Hakuba bukan detektif.

"Makan siang, menurutmu?" Kaito mengeluarkan sarung tangannya dan menyulap sebungkus roti muncul di tangannya.

Hakuba tampak tak terkesan dengan sulapngnya.

"Tidak dengan Aoko-kun?" tanya Hakuba.

"Aku juga butuh waktu sendiri tanpa Aoko," jawab Kuroba sambil mulai memakan rotinya.

"Aku ada di sini," ucap Hakuba.

"Aku tahu, aku tidak buta."

Hakuba mendesah dan merapikan kotak makannya. Tampak siap untuk pergi.

"Makan sendirian kan tidak enak."

Hakuba berhenti.

"Aku lihat kau makan tidak banyak, aku bisa makan 3 kali porsi yang kau makan, kau tahu?"

Hakuba tampaknya sudah tidak mau beranjak.

"Aku tidak tahu kau peduli...," Ucapnya lirih sambil membuka kotak bekalnya lagi dan kembali makan.

"Kau saja yang tidak tahu...," ejek Kaito balik. Hakuba hanya menggeleng tapi tersenyum tipis karena perkataannya.

Mereka berdua makan dalam diam, sesekali Kaito menceritakan tentang sekolah mereka yang belum Hakuba tahu.

"Kau tahu apa saja 7 misteri di SMA ini?"

"Itu tidak penting, Kuroba-kun, dan hantu itu tidak ada."

"Entahlah, mungkin saja kan? Mungkin kau akan terkejut."

Dan pada akhirnya itulah yang Kaito bicarakan saat sesekali ia menemani Hakuba makan siang. Pembicaraan yang aneh, tapi Kaito yang sudah terlibat dengan hal-hal mistis dan Hakuba yang tetap menikmati misteri apapun bentuknya, pada akhirnya itu menjadi satu topik yang mereka sukai, dimana mereka bisa berinteraksi seperti teman SMA pada umumnya.

Kaito menanti saat ia bisa menemukan Pandora dan menyelesaikan semua masalah yang mendiang ayahnya tinggalkan. Mungkin setelah itu, ia akan bisa benar-benar berteman dengan Hakuba tanpa perlu merasa paranoid.

Seandainya hari itu akan tiba...

Tapi, mungkin saja mereka bisa berteman bahkan dengan status mereka yang bersebrangan, karena Kaito juga masih ingat janjinya kepada Hakuba. Ia harap 'keadaan genting' itu tidak terjadi, tapi yah...

Siapa tahu?

End


Akhirnya selesai!

Aah! Aku suka cerita persahabatan mereka! Rasanya pengen ngelanjutin cerita gimana akhirnya empat-empatnya beneran temenan terutama Heiju dan Hakuba karena interaksi mereka yang paling asik buat ditulis, di luar dugaan

Tapi harus nunggu dapet ide dulu sih

Teruma kasih untuk semua review dan favorite dan follownya semua! Adios! Sampai jumpa di fanfic lainnya!