.
.
.
2
.
.
.
Aku merupakan gadis polos yang terarah ke jalan yang benar. Sejak aku kecil, aku sudah diajarkan untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri, apa lagi merugikan orang lain.
Kuakui hidupku itu sangat membosankan dan tidak sangat menarik. Itu kata sahabatku yang memiliki rambut pirang dan berperakan seperti boneka Barbie, Yamanaka Ino namanya. Entah mengapa ia mengatakan jalan hidupku sangat monoton, ibarat jalan tol yang selalu lurus.
Aku bekerja di salah satu rumah sakit yang terkenal di Tokyo. Tepatnya Konoha Hospital. Aku tidak seperti sahabatku, atau seperti gadis pada umumnya yang selalu menghabiskan waktunya berkumpul dengan sesama teman wanita merka di suatu tempat. Profesiku yang mengharuskan menyelamatkan nyawa orang lain, membuatku selalu betah berlama-lama disini. Jika sudah pulang dari rumah sakit, aku tidak kemana-mana. Langsung pulang ke apartemenku. Mungkin karena itu itulah Ino menganggap hidupku itu sangat membosankan.
Ditambah lagi, karena sampai saat ini aku masih sendiri. Sementara Ino, sudah kesekian kalinya gonta-ganti pasangan. Oh ayolah, umurku masih terbilang cukup muda untuk memiliki seorang kekasih. Meski, tidak dapat kupungkiri bahwa ada perasaan iri dan cemburu melihat pasangan lain selalu diantar dan dijempul oleh kekasih mereka. Tapi itu tidak berlangsung lama. Karena aku yakin, setelah nanti aku sukses, bukan aku yang akan mengejar lelaki. Tetapi, para lelakilah yang akan mengejarku.
Cita-cita kusebagai seorang dokter bedah juga baru dimulai. Memiliki relationship, lebih baik saat ini di undur dulu. Itulah prinsipku.
Hidup tenangku yang nyaman dan damai, berlahan-lahan berubah sejak aku mengenal seorang lelaki gila yang secara tidak sengaja kutabrak kemaren malam.
Kuakui kalau lelaki yang menjadi korbanku itu memiliki paras yang sangat tampan layaknya seorang aktor papan atas. Tubuhnya yang gagah, tinggi badan menjulang di atas rata-rata, sorot matanya yang tajam dan dingin, sempat membuatku merona. Apa lagi saat aku melihat otot-otot yang terbentuk di tubuhnya, hampir saja membuatku lupa untuk bernapas.
Jangan pernah berpikir aku pernah mengintipnya . Aku juga secara tidak sengaja melihat tubuhnya. Saat aku menabraknya, hujan sedang turun dengan sangat derasnya. Aku yang seorang dokter, sangat tahu, mengenakan pakaian yang basah dapat membawa penyakit. Sebab itu, kemaren aku harus membuka pakaiannya yang basah, agar dia tidak menggigil kedinginan.
Ternyata, wajah tampan yang ia punya, tidak sama tampannya dengan sikapnya yang tidak tahu terimakasih. Dia yang sudah aku tolong, bukannya bersikap baik. Malah membuatku naik pitam melihat sikap angkuhnya. Bahkan lelaki itu juga sempat akan melaporkanku ke polisi jika aku tidak setuju dengan negosiasi yang dia berikan. Gila 'kan? Aku sudah menolongnya dan merawat lukanya, tetapi dia justru akan melaporkanku.
Aku juga sempat shock saat melihat ada luka tembakan di salah satu lengannya yang berotot. Itu membuatku berpikir bahwa dia bukan pria baik-baik. Terbukti karena ia membawa kabur mobil kesayanganku. Pemberian dari kedua orangtuaku ketika aku berulangtahun dua bulan yang lalu.
Persepsiku mengatakan bahwa dia bukan laki-laki yang baik, karena aku melihat langsung dengan kedua mata emeraldku, dia dikejar-kejar mobil sedan dan melihat mereka saling melempar tembakan senjata di salah satu bangunan yang belum selesai dibangun.
Bagaimana aku tahu? Setelah jadwal pekerjaanku di rumah sakit sudah selesai, aku segera kembali ke apartemenku dengan menggunakan taksi, mengingat mobilku telah dibawa kabur oleh lelaki gila itu.
Kebetulan atau bukan, saat itu lampu jalan sedang berwarna merah dan taksi yang kutumpangi berhenti. Aku yang sedang bosan di dalam taksi, memandang keluar jendela. Kali aja ada sesuatu yang dapat menarik perhatianku. Tidak sengaja, mobil yang sangat kukenali melaju dengan kecepatan yang sangat tinggi di sisi jalan. Tidak lupa ada beberapa mobil sedan berwarna hitam mengikutinya.
Tanpa pikir panjang, aku meminta kepada supir taksi untuk mengikuti mobil-mobil tersebut.
Sampailah aku di bangunan yang belum selesai dibangun itu. Manik mataku melotot lebar melihat mobil kesayanganku sudah hancur lebur seperti barang rongsokan dan sangat tidak layak digunakan lagi. Aku marah dan kesal. Ingin rasanya aku menghajar lelaki itu. Apapun ceritanya, dia harus ganti rugi. Dia pikir mobilku ini adalah mobil balap. Dumelku.
Rasa kesalku, tiba-tiba menguap entah kemana saat kedua indra pendengaranku mendengar suara tembakan di dalam bangunan itu. Bingung, kaget, dan takut, melingkupi hatiku.
Entah dapat perintah dari mana, kedua kakiku membawaku masuk lebih dalam bangunan belum jadi ini. Oh, salahkan rasa penasaranku ini. Dengan mengendap-endap di pilar bangunan yang belum jadi itu, segala panca indra yang kumiliki kukerahkan seluruhnya. Aku tidak tahu dari mana saja asal tembakan itu. Tapi, suara tembakan dapat memekakkan telingaku—yang terbilang cukup ramai, kini tidak sebanyak yang tadi. Yang tertinggal hanyalah suara pukulan, dentuman benda yang jatuh ke lantai dan sesekali kembali terdengar suara tembakan, berserta suara erangan kesakitan.
Entah kesialanku yang datang hari ini, bilar yang menjadi tempat persembunyianku tertembak dan membuatku menjerit ketakutan. Apakah aku akan mati tertembak saat ini juga? Tanyaku dalam hati. Jantungku benar-benar tidak mau kompromi denganku.
Akibat suara jeritanku yang pertama, suara tembakan dari balik punggungku semakin membabi buta. Aku menutup rapat-rapat kedua mataku. Segala ucapan kata maaf dan terimakasih kepada orangtuaku di dalam bait doaku. Jika seperti seperti ini akhirnya, aku pasrah.
Rasa takut yang sempat aku rasakan tadi, berlahan-lahan terbang entah kemana. Kini rasa nyaman, aman, dan dilindungi hinggap di relung hatiku. Meski seperti itu, perasaan takut tidak menampik semuanya, saat suara tembakan itu sangat dekat di gendang telingaku. Aku tidak ingin membuka kedua kelopak mataku, meski suara pertempuran tadi sudah tidak terdengar. Aku tidak ingin menerima kenyataan, bahwa kini aku sudah berada di dunia berbeda.
"Kau tidak apa?"
Suara bisikan yang mengalun indah di indra pendengaranku, membuatku semakin takut. Dalam nada suaranya, aku dapat mendengar ada nada kekhawatiran disana.
"Apa kau terluka?"
Kali ini, bukan hanya suaranya saja yang kudengar. Deru nafasnya yang hangat, menerpa wajahku. Apakah, seorang malaikat diutus untuk menyelamatkanku?
Merasakan pipiku di tepuk, membuat kedua mataku terbuka.
Dadaku bergemuruh saat mata hijauku berada pada satu garis lurus dengan sepasang mata sehitam malam. Tatapannya begitu menusuk sampai membuat hatiku bergetar.
"Melihatmu yang terpesona dengan wajah tampanku membuktikan kau tidak apa-apa."
Seketika, aku langsung mendorong tubuh lelaki berambut hitam mencuat yang saat ini sedang memelukku. Enak saja dia memelukku. "Aku tidak terpesona denganmu." Kataku sembari mendorongnya agar tubuh kami tidak menempel lagi.
"Dengan wajah merona seperti itu?"
Aku mendelik tidak suka mendengar ucapannya barusan.
Tunggu dulu. Apa benar wajahku merona? Rasa hangat dapat kurasakan saat kedua telapak tanganku menangkup sisi wajahku. Oh, sial. Semoga ucapannya tidak benar. Lagi pula siapa juga yang sudi terpesona dengan pria tidak jelas seperti dirinya.
"… dan apa yang kau lakukan disini?" Tanya lelaki itu lagi dengan tatapan yang tajam dan tidak lupa dengan mimik intimidasi di wajahnya.
Seakan disiram air dingin, aku menjadi ingat tujuanku mengikuti lelaki sok tampan yang ada di hadapanku ini.
"Kenapa kau membawa kabur mobilku?" Aku melihat dia mendengus, sebelum menjawab pertanyaanku.
"Bukan urusanmu."
"Apa?! Bukan urusanku katamu?!" Aku tidak perduli harus membuang semua ajaran ibuku yang selalu menjelaskan padaku, bahwa seorang gadis harus bersikap sopan dan anggun. Untuk lelaki yang berdiri gagah di hadapanku saat ini, tidak perlu bersikap anggun.
Aku tidak takut dengan tatapan setajam mata elang itu. Aku menghampirinya, dan menunjuk-nunjuk dada bidangnya, sambil berkata sinis kepadanya. "Kau sudah membawa mobilku tanpa seizinku. Membuatnya rusak seperti barang rongsokan. Dan kau bilang bukan urusanku?"
Dia mendecih dan berjalan kedepan melihat keadaan sekitar bangunan ini. Terlihat dari tingkah lakunya seperti itu, dia wanti-wanti akan adanya serangan mendadak seperti yang barusan terjadi. Melihat tidak ada serangan yang datang dalam jangka dekat ini, dia menghampiriku dan meraih—oh bukan, tepatnya menarik tangan kananku secara paksa untuk mengikuti langkah lebarnya.
"He—hei! Mau kau bawa kemana aku?!"
Aku tidak perduli, jika teriakanku dapat membuat telinganya tuli. Aku berusaha untuk menarik tanganku dari genggamannya. Tetap saja hasilnya sia-sia. Lelaki ini ternyata memiliki tenaga yang sangat kuat dari yang kubayangkan. Oh, jangan tolol Sakura. Dia saja dapat melumpuhkan lawan-lawannya sendirian.
Jika kalian ada diposisiku, aku yakin kalian gak akan kalah paniknya denganku. Kau menabrak dan menolong seseorang yang kau tidak tahu apa dia lelaki jahat atau bukan. Membawa kabur mobilmu, melihatnya dengan mata kepalamu sendiri dia menembak lawan-lawannya dengan sangat handal, dan kau juga dipaksa untuk ikut bersamanya.
Dalam pikiran terliarku pun, aku tidak pernah memikirkan hal seperti ini akan terjadi untukku. Aku cukup puas dengan hidupku yang membosankan ini.
Aku melirik ke arah lelaki yang ada disebelahku saat ini. Dia mengemudikan mobil kasayanganku yang sudah seharusnya tidak layak pakai lagi dengan sangat damai, dan santai, seakan tidak ada yang terjadi diantara kami.
"Kita mau kemana?" Untuk kesekian kalinya sampai mulutku berbusa menanyakannya kepada lelaki dingin yang disebelahku ini dan tidak ada tanggapan darinya. Semoga saja kali ini dia menjawab pertanyaanku jika tidak ingin dia kusuntik mati.
"Hn. Kemana saja. Asal mereka tidak dapat menyusul kita."
"Mereka? Siapa mereka?" Tanyaku bingung. "Dan kenapa aku harus ikut bersamamu?" Tanyaku lagi sebelum dia menjawab pertanyaanku yang sebelumnya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan lelaki ini, pasti akan membuatku gila.
"Mereka milihatku bersamamu. Aku yakin sebentar lagi mereka juga akan mengerjarmu. "
Untuk kali ini aku cukup tercengang mendengar lelaki yang ada dibalik kemudi ini berbicara. Jelas saja. Aku tidak ada hubungan dengannya dan kenapa aku ikut-ikutan di kejar. Tidak masuk akal.
"Kenapa begitu? "
"Cerewet."
"Ap—"
Ingin rasanya aku memaki lelaki ini. Dan sepertinya, aku harus mengurungkan niatku saat suara panggilan masuk dari ponselku yang tersimpan manis di dalam tas tanganku. Untuk sesaat aku menghela napas panjang setelah melihat siapa seseorang yang diseberang sana yang mencoba untuk menghubungiku.
"Hal—"
'Darimana saja kau?! Aku sudah dari tadi menghubungimu!? Kenapa baru menjawab panggilanku?'
Untuk sesaat aku hanya mampu terdiam sebelum menjawab semua rentetan pertanyaan yang diajukan Ino kepadaku. "Aku sibuk. Baru sempat untuk menjawab panggilanmu."
'Baiklah. Aku menerima alasanmu yang itu. Dan, sekarang aku menunggumu di café biasa. Aha… aku tidak terima alasan yang lain Sakura.'
Aku hanya mampu merotasikan kedua mata hijau cerah milikku melihat tingkah Ino yang kekanak-kanakan. Dan aku mulai kesal dengan sikapnya yang sok tahu, kalau aku akan menolak ajakannya.
Hei, siapa yang tidak kesal jika kalian kau akan dipertemukan dengan kumpulan lelaki yang tidak memiliki pekerjaan yang lebih memilih mengenal seorang gadis dengan acara konyol seperti ini. Aku bukannya tidak lagu, hanya saja masih ingin sendiri. Bodohnya, mereka rela menunggu lama hanya ingin bertemu denganku.
"Baiklah." Kataku pasrah dan mengikuti kemauan Ino.
'Kuberi waktu lima belas menit. Bye, Sakura~'
"Turunkan aku di depan sana." Aku memerintahkan lelaki bersurai hitam itu untuk menghentikan mobil dan menurunkan aku di depan perempatan yang ada di depan kami. Dan apa yang kudapat? Dia justru melajukan mobil rongsok ini semakin cepat, sambil berkata dengan tegas. "Tidak."
Lelaki brengsek yang berhasil merusak hariku saat ini harus tahu, kalau Haruno Sakura paling tidak suka di tentang.
"Jika kau tidak menghentikan mobil ini, maka aku akan lompat." Anjamku.
Bukannya takut, lelaki itu justru menyeringai mendengar ucapanku. Aku kesal melihat seringai miliknya. Dapat kulihat dari seringai miliknya, dia sedang menghinaku.
"Turunkan aku sekarang juga. Jika tidak aku akan lompat." Kataku lagi menakutinya. Dengan sedikit gemetar, aku mencoba membuka pintu yang ada disampingku untuk menggertaknya.
"Shit!" Umpatnya kesal.
Sekarang siapa yang tersenyum lebar? Ternyata cukup pintar juga lelaki ini agar tidak dituduh menjadi tersangka pencurian mobil dan kematianku saat kurasakan laju mobil ini berlahan-lahan melambat dan berhenti tepat di persimpangan yang kumaksud tadi.
Jika dia ingin adu keras kepala denganku, jangan harap dia akan menang. Ayah dan Ibuku saja menyerah.
.
.
.
.
.
Gadis cantik bersurai bubble gum itu melangkahkan kakinya dengan lebar dan ia terlihat tergesa-gesa. Pasalnya saat ini dia akan mengikuti permintaan sahabatnya untuk menghadiri sebuah acara yang menurutnya sangat konyol.
Sedari tadi ia bergerutu tidak jelas kepada seseorang yang mimintanya untuk segera hadir di café langganan temannya. "Dia pikir aku sudah tua sampai tidak ada lagi laki-laki yang ingin bersamaku?" Seperti itulah kira-kira yang dia ucapkan pada dirinya sendiri.
Sakura nama gadis itu, menghela napas panjang sebelum ia membuka pintu café.
Mata hijau cerahnya miliknya menyelusuri isi ruangan café mencari kepala berwarna pirang milik sahabatnya Ino. Kedua mata indahnya berhenti pada sudut café saat melihat lambaian tangan tertuju ke arahnya.
"Sakura… disini?!"
Dengan berat hati Sakura melangkahkan kaki jenjangnya ke arah gadis cantik yang seumuran dengannya di sudut ruangan café. Iris viridian miliknya dapat melihat beberapa warna rambut berkumpul di sana.
"Kau lama sekali!" Sungut Ino begitu Sakura tepat disampingnya. Sementara Sakura hanya cengengesan tidak jelas. "Sudahlah. Duduk dan perkenalkan dirimu dengan mereka." Kata Ino menarik tangan ramping Sakura dan membiarkan gadis musim semi itu duduk tepat disampingnya.
Sakura memperhatikan dua lelaki yang saat ini duduk manis di hadapannya. Sakura tersenyum canggung sebelum memperkenalkan dirinya. "Emm…Halo. Aku Haruno Sakura. Senang berkenalan dengan kalian."
"Sudah kuduga namamu akan serupa dengan bunga musim semi, Sakura-chan. Bahkan rambut indahmu membuatku kagum. Terlebih semangat masa mudamu saat datang tadi, membuat semangat masa mudaku semakin menggebu-gebu. Perkenalkan namaku Rock Lee. "
Seorang lelaki nyentrik bernama Rock Lee yang memiliki model rambut norak langsung memuji Sakura. Yang dipuji justru sweatdrop melihat tingkahnya. Rasanya gadis musim semi itu ingin langsung pergi saja saat ini. Terlebih saat pandangan berbinar Lee hanya tertuju kearahnya. Itu benar-benar menjijikkan.
"Sa-salam kenal Rock Lee-san."
"Dan namaku, Inuzuka Kiba." Kata lelaki berambut coklat yang memiliki model rambut spike memperkenalkan dirinya dengan acuh tak acuh. Setidaknya, lelaki ini masih lebih normal dari lelaki yang satunya, pikirnya.
"Salam kenal Inuzuka-san."
"Bagaimana kalau kita ke club?" Sahut Ino tiba-tiba memecahkan keheningan diantara mereka. Dan dengan semangat pula Rock Lee menjawab 'Ya'.
Sakura hanya pasrah saat ia di tarik paksa Ino.
.
.
.
.
.
Sasuke memperhatikan sekelilingnya dengan tatapan tajam dan penuh tekat . Pencahayaan yang minim tidak mengurangi kewaspadaannya saat ini. Tidak ada yang luput dari pandangannya.
"Ingin memesan apa, Tuan?"
Pandangan Sasuke yang tadinya menyusuri seluruh ruangan luas itu, melirik sekilas ke sumber suara. "Tequila,"
"Baik, Tuan."
Tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu, pesanan Sasuke sudah datang dan di letakkan di hadapannya. Diraihnya minuman beralkohol itu dan diteguknya. Tenggorokannya seakan terbakar saat ia meneguknya.
Perhatian Sasuke tertuju ke tengah-tengah lantai dansa. Dari tempat dia duduk, penglihatannya masih mampu melihat seseorang yang ia ikuti sedari tadi mulai menggila di lantai dansa.
Salah satu alisnya naik ke atas melihat tingkah orang itu sungguh jauh berbeda sebelum ia datang kemari. Seseorang yang menjadi objek pandangannya saat ini, sedang meliuk-liukkan anggota tubuhnya seiring dengan tempo musik yang diputar. Tidak anggun, justru terlihat liar dan sexy?
Dipalingkan wajahnya dari sana. Sebelum lelaki bersurai hitam jelaga itu meneguk minumannya. Mata setajam elang itu tidak sengaja melihat beberapa orang yang mengejarnya tadi berada tidak jauh dari pintu masuk. Sepertinya, orang-orang itu baru saja menapakkan kakinya kemari.
Dengan gerakan bak kecepatan cahaya, Sasuke pergi meninggalkan tempat duduknya.
Mendengar hentakan musik yang semakin keras dan cepat, Sakura semakin bersemangat meliuk-liukan anggota tubuhnya. Tubuhnya sudah dipenuhi peluh. Dia bahkan tidak perduli dengan tubuhnya yang sudah kesekian kalinya bertubrukan dengan tubuh yang ada disana.
Seluruh pikirannya, kini benar-benar sudah diambil alih oleh alkohol. Gadis bermata hijau apel ini tidak kuat dengan yang namanya alkohol. Jadi, tidak heran melihat tingkahnya kalem, menjadi benar-benar sangat liar sekarang.
Seseorang memeluk tubuhnya dari belakang. Melihat lengannya kokoh yang berada di atas perutnya, sepertinya yang memeluknya seorang pria. Sudah hal yang wajar di lantai dansa terjadi hal demikian. Lihat saja, sahabat gadis musim semi itu. Harusnya Ino saat ini berdansa dengan Kiba—lelaki yang menjadi pasangannya malam ini—sekarang. Ternyata, gadis Yamanaka itu justru saling berangkulan dan berciuman? Dengan lelaki berkulit pucat? Ya, ampun.
Sakura yang melihat Ino sudah kelebatas—itu menurutnya—mencoba untuk membawa sahabat pirangnya dari rangkulan lelaki hidung belang itu. Sayang langkahnya tertahan, karena lengan kokoh itu tidak melepaskannya. Justru mengungkungnya semakin erat.
"Kita harus pergi dari sini."
Kedua biji mata Sakura mengecil saat mendengar ucapan lelaki itu. Sakura memang belum terlalu mabuk, dan ia masih dapat mengerti apa maksud perkataan lelaki itu.
Dengan kasar Sakura menyiku perut dan memukuli dada lelaki itu. Bukannya pergi, lelaki itu justru menahan kedua tangan ramping Sakura. "Tidak ada waktu, Sakura."
Lelaki itu tahu namanya?
Sakura langsung mendongak ingin tahu siapa lelaki itu sebenarnya. Hitam, dingin, dan meneduhkan saat ia melihat mata itu. Harusnya menakutkan, ketika melihat tatapan mata itu setajam pisau. Sakura justru mengagumi sepasang mata yang sehitam jelaga itu.
"Kau?"
"Hn."
"Apa yang—"
Suara tembakan yang mengudara, membuat para pengunjung takut dan bergegas ingin segera meninggalkan club itu. Tidak ada lagi musik yang memekakan telinga. Yang terdengar hanya pecahan kaca yang menjadi korban kebrutalan orang-orang yang mengajar Sasuke.
Sasuke bersembunyi diantara kerumunan orang-orang, sambil menarik paksa tangan Sakura. Sebelum Sasuke mencapai ambang pintu, seseorang menghadangnya. Tidak perlu waktu yang banyak untuk membereskan orang itu. Cukup hanya memberikan satu dua pukulan, lawannya sudah tumbang.
Perlawanan tadi ternyata di lihat oleh kelompok orang yang sudah ia lumpuhkan. Melihat lawan-lawannya semakin dekat, Sasuke menyembunyikan Sakura di sudut bangku agar tidak terlihat oleh musuh-musuhnya.
Beberapa tembakan dilayangkan kearah Sasuke dan dengan gerakan reflek ia menunduk. Tidak imbang melihat jumlah lawan Sasuke ternyata lebih dari lima orang. Sementara ia hanya seorang diri. Tapi itu bukan membuat nyali Sasuke semakin ciut. Satu persatu lawannya ditumbangkan dengan tangan atau alat yang dapat ia jangkau.
Di saat Sasuke sedang berjuang untuk menumpas lawan-lawannya, Sakura justru keluar dari persembunyiannya, dan naik ke atas panggung. Diambilnya microfon yang tergeletak di sana.
"Hei, Kau. Kau pikir kau siapa yang bisa mengaturku?" racau Sakura sambil menunjuk Sasuke yang saat ini menumpas musuhnya di dekat meja bar. "Aku tidak mengenalmu, dan kau mencoba untuk menyelamatkanku? Kau pikir kau sudah hebat."
Dengan sekali tendangan di perut lawannya, Sasuke telah menyelesaikan pertarungan kecilnya. Kakinya, dibawanya menuju kearah panggung, dimana sosok yang merusak konsentrasinya waktu bertarung tadi.
"Ayo, lawan aku sekarang kalau kau memang hebat."
Sasuke mendengus, mencemoh ucapan Sakura yang terdengar sangat kekanakan menurutnya.
"Kenapa? Karena aku cewek? Baiklah, kalau begitu aku duluan yang mulai."
Sakura bangkit berdiri duduknya. Saat hendak melangkah mendekati pria gagah itu, langkahnya yang sudah sempoyongan, membuat Sakura terhuyung ke depan. Untung saja tubuh mungilnya langsung ditahan sehingga tidak beradu dengan kerasnya lantai.
"Bagaimana kau akan melawanku, kalau jalan saja kau tidak mampu." ejek Sasuke.
"Nanti. Aku pasti bisa melawanmu."
Sasuke yang mendengar cicitan Sakura, tersenyum tipis. Di arahkan pandangan, sehingga mata sekelam malam itu dapat melihat langsung wajah gadis cantik yang sudah tidak sadarkan diri di dalam pelukkannya.
"Hn. Katakan itu nanti, kepala batu." Katanya masih dengan senyum tipis yang masih terbentuk di bibirnya.
.
.
.
.
.
.
TBC
A/n : Hai,
Hanya mau bilang, kalau adegan bertarungnya agak gimana gitu, maafkan saya ya… hihihi. XD Mungkin kalian menemukan typo yang sangat menggagu. Aku akan mengeditnya jika ada waktu luang ;)
Terima kasih sudah membaca, meripiu, memberikan masukan. :*
See you next chapter~~
Biiancast Rodith [05042016]