Change by Yukari Mirai

Naruto by Masashi Kishimoto

Warn: Typo, bahasa tidak baku, dan masih banyak ranjau lainnya.

...

...

...

Hyuuga Hinata menghela napasnya lelah. Sudah seminggu ini Uchiha Sasuke—muridnya yang oh-so-wow itu tidak masuk kelas. Seharusnya sih dia tidak peduli dengan ada atau tidaknya si bungsu Uchiha itu. Mengingat pertama kali kesannya pada pemuda itu tidak begitu baik. Namun, entah kenapa dia ingin sekali pergi menemui Sasuke.

Dirinya sudah menggenggam secarik kertas bertuliskan alamat dari Uchiha Sasuke. Hanya tinggal menyiapkan keberanian untuk melangkahkan kaki menuju kediaman pemuda tersebut.

"Ohohohoho~ Sepertinya Hyuuga Hinata yang polos dan lugu mulai mengenal apa itu dilema di dalam cinta, akankah dirinya pergi menemui sang pangeran ataukah menunggu sampai bulukan." Ejekan yang dilayangkan Ino sang sahabat membuat dirinya kembali ke dunia nyata.

Dia mencubit lengan teman pirangnya itu. "Berhentilah menggodaku Ino, aku hanya khawatir terhadapnya." Komentar Hinata datar setelah melepaskan cubitannya di lengan Ino.

"Hinata aku yakin kau adalah gadis yang sudah bisa berpikiran dewasa mengingat kau lulus S1 di usia yang menabjubkan. Namun, apakah kau masih belum bisa membedakan yang mana perasaan khawatir dan perasaan—umm penasaran tentangnya mungkin?" Ino mencoba menjadi Mario Tegar—eh maksudnya Mario *biip*.

"A-a-aku..."

Ino memandang Hinata penasaran, menunggu kelanjutan kalimat yang hendak gadis itu sampaikan.

"—tak tahu." Cicit gadis lavender itu pelan, namun dia yakin sahabatnya akan tetap mendengar.

Sang Yamanaka hanya tersenyum kecil melihat Hinata yang menyembunyikan rona merahnya, pertanda kalau gadis itu gugup.

"Hmm.. lalu bagaimana kalau kau mencoba terlebih dahulu?" Hinata memandang Ino bingung. Mengerti dengan tatapan yang dilemparkan Hyuuga itu kepadanya Ino melanjutkan.

"Coba saja dulu datang kerumahnya, mungkin Uchiha Sasuke benar-benar membutuhkan les privat darimu. Dan mungkin saja itu bisa menghilangkan sejenak rasa penasaran atau khawatir yang datang." Hinata mengerjap, haruskah dia lakukan?

"Kalau umpamanya cocok ya lanjut aja, tapi kalau dirasa banyak ketidakserasian coba untuk ikhlas. Lagian jodoh enggak kemana kok." Ino memamerkan senyum seribu wattnya. Tidak menghiraukan Hinata yang sepertinya melayangkan tatapan aneh untuknya.

"Ino kenapa kau malah seperti menjadi makcomblang untukku?" Hinata mendesah bosan. Ino itu pertama bisa sok bijak tapi nanti akhirnya ngelantur sampai ujung dunia.

"Eh? Really? Sorry baby i too carried away." Hinata mendengus melihat reaksi temannya. Tapi ada hal lain yang berputar-putar di dalam otaknya. Apakah dia harus menjalankan saran Ino? Menemui pemuda itu kah?

"C'mon Hime. Try it before you regret it." Ino mengerling singkat pada Hinata, sebelum gadis itu meninggalkannya untuk mengajar di sesi ke dua.

.

.

.


Hinata memandang bangunan besar di depannya. Mulutnya sedari tadi terbuka membentuk huruf 'o' seraya maniknya berkilat kagum. Kalau dibilang rumah mungkin bangunan di depannya ini terlalu berlebihan.

Ya, Hyuuga Hinata mengikuti saran dari sahabat pirangnya. Mengunjungi rumah Uchiha Sasuke dan yang dia temukan bukan rumah tapi sama dengan istana yang selalu dia imajinasikan sedari kecil.

Halaman luas yang ditengahnya terdapat air mancur menghiasi rumah besar bergaya eropa tersebut. Dan jangan lupakan bunga tulip berbagai warna yang menghiasi sisi kanan dan kiri yang semakin memanjakan maniknya.

Sebelum sampai ke depan pintu besar rumah tersebut, sudah ada seorang wanita dengan setelan kerja hitam putih dengan rok selutut ketat dan heels nya menghampiri Hinata.

"Selamat sore Hinata-sama. Uchiha-sama telah menunggu anda sejak seminggu yang lalu." Wanita tersebut membungkuk hormat kepada Hinata, sedangkan gadis yang bersangkutan hanya membalasnya kikuk.

Di otaknya berputar beribu pertanyaan seperti mengapa pemuda itu menunggunya sejak seminggu lalu? Atau kenapa wanita seksi di depannya ini mengenali Hinata?

"Mari saya tunjukkan jalannya." Wanita itu pergi mendahului Hinata yang mengekor dibelakangnya. Menunjukkan jalan untuk menemui pemuda Uchiha. Wanita itu berhenti tatkala mereka sudah mencapai pintu besar berukir yang menjadi pemisah antara halaman luas itu dengan bagian dalam rumah. Saat pintu besar dihadapannya terbuka bertambahlah kekaguman Hinata.

Sanggat klasik, bernuansa putih-hitam dengan barang-barang berkelas di dalamnya. Lukisan abstrak yang sepertinya mempunyai nilai tersendiri terpajang rapi di dinding. Dan tangga berkarpet hitam yang Hinata yakin sangat halus itu terjulur indah di bawahnya.

Wanita itu kembali berjalan melewati pintu-pintu besar yang entah berapa banyaknya, tak lupa Hinata ikut di belakangnya. Menjelajah ruang demi ruang yang berganti design walaupun tetap bernuansa putih-hitam. Mungkin Hinata tidak akan bisa keluar jika dia ditinggalkan sendiri.

Langkah jenjang itu pun terhenti di depan pintu hitam, membuat Hinata hampir menabraknya dari belakang. "Silahkan masuk Hyuuga-sama, Uchiha-sama sudah menunggu." Wanita tersebut membukakan pintu di depannya. Hinata melangkahkan kaki perlahan.

Ternyata ruangan yang Hinata masuki adalah sebuah perpustakaan. Dilihat dari banyaknya rak menjulang berisi berbagai buku di sana-sini.

"Akhirnya sensei datang juga." Suara yang mendekatinya itu—Sasuke Uchiha sedang berjalan ke arahnya. Dan jangan lupakan seringaian seksi pemuda yang 2 tahun dibawahnya itu.

Langkah besar pemuda itu semakin dekat dengannya, Hinata tidak mendapat sinyal tanda bahwa pemuda itu akan berhenti, sehingga mau tak mau Hinata juga ikut melangkah. Bedanya kalau Sasuke terus melangkah ke depan sedangkan Hinata harus memundurkan langkahnya.

Dan akhirnya batas Hinata telah sampai manakala punggung mungilnya menyentuh bongkahan besar yang dia yakin bahwa itu adalah sebuah rak. Belum sempat mengambil langkah untuk menghindar sebelum Sasuke datang. Dirinya sudah terkekang lengan putih milik pemuda itu.

"Kenapa sensei menghindariku? Sebegitu takutkah sensei kepadaku?" Sasuke merendahkan kepalanya untuk memandang Hinata yang menunduk. Walaupun Hinata lebih tua bukan berarti dia lebih tinggi dari Sasuke. Gadis 18 tahun tersebut bahkan tidak mencapai dagu pemuda di depannya—hanya sebatas dada bidang pemuda itu.

Salah satu tangan Sasuke mengankat dagu Hinata agar gadis itu menatapnya. Sasuke memperhatikan satu-persatu pola Tuhan yang terlukis di hadapannya.

Mata pucat yang nampak menahan tangis itu membuat Sasuke terkekeh dalam hati. Hidung bangirnya tampak sedikit memerah di ujung, mungkin gadis di depannya memang benar-benar menahan tangis. Bibir mungil lembab itu terlihat merah alami membuat Sasuke ingin mengecapnya. Dan jangan lupakan pipi chuby Hinata yang membuat gadis itu tambah menggemaskan.

Sayangnya keidahan ukiran Tuhan itu tidak bisa Sasuke lihat saat pertama kali mereka bertemu. Hinata saat pertama mereka bertemu hanyalah gadis culun berkacamata dan berkuncir kuda. Begitupun pertemuan kedua mereka di kedai ramen. Hinata hanyalah gadis yang menurutnya tidak menarik.

"Kenapa sensei menutupi anugrah Pencipta dengan berdandan seperti itu?" Sasuke berbisik di samping telinga gadis itu. Membuat yang bersangkutan menggeliat tidak enak.

"K-k-kumohon, le-lepaskan aku." Hinata mengeluarkan suara kecilnya yang sedari tadi dia pendam. Tangannya terjulur mendorong dada pemuda di depannya. Namun, hukum alam bahwa tenaga laki-laki itu lebih besar tidak akan merubah apapun. Sasuke bahkan tidak bergerak sedikitpun dengan dorongan Hinata.

"Kenapa aku harus melepaskanmu?" Sasuke kini mulai menciumi puncak kepala Hinata, mengecap wangi apel yang ada di sana. Gadis di depannya benar-benar seperti anak kecil.

"U-u-uchiha-san, kumohon l-lepas!" Hinata menambah dorongan pada pemuda tersebut tapi Sasuke masih belum bergeming dari posisinya.

"Sasuke sensei bukan Uchiha." Oke, kali Ini Hinata rasanya ingin menjerit sejadi-jadinya. Uchiha Sasuke—muridnya itu mulai berani menciumi lehernya. Menyebarkan hawa panas di sekitar sana.

"Sasuke!" Kegiatan pemuda tadi pun terhenti ketika Hinata berteriak. Seringaian puas terpampang di wajah porselennya.

"Sasuke-san aku ke sini bukan untuk melakukan hal yang tidak berguna!" Hinata mulai berani menaikkan nada bicaranya. Dia sudah lelah dengan kelakuan Uchiha itu. Sedangkan Sasuke sudah mulai memberi jarak dengan Hinata. Wajah yang tadi menampakkan seringaian itu telah berubah menjadi datar.

"Lalu untuk apa sensei kesini?" Jelaga kelam menatap perak Hinata. Tatapan tajam nan sombong dipancarkan oleh kelamnya obsidian itu.

"Kau menyuruhku untuk menjadi guru privatmu kan? Aku ke sini untuk mengatur jadwalnya." Hinata mencoba tetap berani dengan muridnya yang satu itu. Sasuke yang mendengar jawaban Hinata mendengus singkat dan membalikkan tubuhnya. Berjalan meninggalkan Hinata yang masih berdiri di tempat semula.

"Harinya terserah sensei saja, tapi aku bisanya pada waktu malam." Sasuke mengambil novel asing dari salah satu rak dan membukanya—menunggu Hinata untuk menjawab. Hinata yang tadi ditinggal Sasuke di tempat semula pun menyusul pemuda tersebut.

"K-Kalau begitu hari Rabu dan Jumat aku akan datang, les akan mulai jam 6 malam. Kau harus siap-siap terlebih dahulu." Hinata melihat pemuda yang entah mendengarkannya atau tidak itu masih asik dengan novel 500 halaman tersebut.

"Terserah sensei saja. Sekarang kemarikan ponsel sensei." Pemuda yang tadi sibuk dengan novelnya sekarang mengalihkan perhatiaannya kepada Hinata. Gadis 18 tahun yang tidak mau berdebat dengan Sasuke itu menyerahkan ponselnya dengan segera. Lagipula Uchiha tidak akan mencuri ponsel bututnya.

Sasuke segera mengetik sesuatu di dalam ponselnya, setelah itu menyerahkan kembali benda itu kepada Hinata. "Kalau begitu sensei boleh pulang. Mau kuantar?" Hinata mengerjap singkat.

"Tidak perlu. Aku akan ke kedai ramen ayah." Sasuke hanya mengangguk singkat. Dan Hinata segera meninggalkan pemuda tersebut di sana. Setelah keluar dari perpustakaan yang menyiksa itu pun Hinata disambut oleh wanita yang tadi mengantarnya.

Wanita tersebut kembali menunjukkan jalan untuk Hinata. Mengikuti langkah itu dengan perlahan akhirnya Hinata dapat mencium udara bebas lagi. Sebelum pulang Hinata menyempatkan membungkuk singkat kepada wanita yang sedari tadi menolongnya menunjukkan jalan itu.

Setelah menerima anggukan singkat sebagai balasannya, Hinata melangkahkan kaki menuju gerbang depan istana Uchiha. Namun, baru beberapa langkah sesuatu di tasnya bergetar. Hinata mengambil ponsel ketinggalan zamannya itu. Mengecek pesan singkat yang masuk yang masuk.

From : My Lovely Boyfriend

Subject: -

Word : Sensei, jangan lupa habis ini mandi yang bersih untuk menghilangkan 'tanda' yang kubuat di lehermu.

Hinata langsung memegang lehernya yang tadi sempat dibuat 'kanvas' untuk Sasuke berkarya. Dirinya ingin sekali menghajar pemuda itu. Tangannya mengepal. Wajahnya memerah antara malu dan marah.

"UCHIHA SASUKE!" Dan itu pertama kalinya Hinata berteriak dalam 18 tahun hidupnya, sedangkan jelaga yang mengawasinya dari jedela perpustakaan menyeringai seksi tanpa Hinata ketahui.

.

.

.


-TBC-

A/N: Hai minna, masih ingatkah dengan fanfic ini? Gomen updatenya ngaret banget. Makasih yang udah nge ripiu, fav, dan follow. Mudah-mudahan chap ini bisa lebih baik dari yang kemarin. Dan saya mohon untuk mengingatkan apabila ada kesalahan dalam bahasa inggrisnya. See you next chap~