A/N: Kenapa Luhan nggak ada kenalan di pesta?
Karena Luhan baru akhir-akhir ini di minta ayahnya buat dateng ke acara kolega-kolega ayahnya, jadi dia belum terlalu akrab sama siapa-siapa. Begitulah. Aku bisa keluarin kemungkinan-kemungkinan lain, semacam… Luhan mungkin memang nggak berniat buat ngobrol karena dia tahu semua keramahan itu sekedar fake, dia bilang sendiri kan di kalimat yang aku buat? Jadi begitulah, Luhan nggak mau jilat ludahnya sendiri. Dia gamau ikut ikutan nge-fake buat hal semacam beramah tamah gituu.
Wah, ada yang tau ini dari trailer Stranger, ya? Aku juga sukaaa banget itu, tapi cari fiksinya ga ketemu-ketemu. Akhirnya aku buat aja jadi fiksi versiku sendiri. Lol XD
Aku kaget waktu tahu ternyata belum ada 5 jam udah ada 10 review, bener-bener di luar dugaanku loh. Serius deeh. Aku makasih banget sama kalian yang udah secara cuma-cuma tinggalin review kalian.
Omong–omong, aslinya ini udah aku buat sejak lalu, tapi aku inget, kan bulan puasa, gaya apa aku post ff rated M di bulan puasa XD akhirnya yaaa aku post tunggu bulan puasa. Maaf yaaa. daaan ini juga baru ada waktu karena sejak lebaran aku di luar rumah teruss hihihi
Btw, ini formatnya flash fict ._.
2015 © sehunorita
proudly present
IN THE PARTY
2nd story
a HunHan fanfiction
Romance | M | Series
"Aku harus pulang," Luhan bergumam dalam pelukan Sehun, mendorong tubuh yang lebih tinggi darinya agar menjauh.
Sehun bergeming, tidak mau melepaskan ataupun membiarkan si mungil di pelukannya bebas dari kungkungan. "Jangan," Sehun menjawab dengan suaranya yang dingin.
"Sehun, aku serius."
Sehun terkekeh, ia mengecup kening Luhan lembut. "Beri aku nomormu dan aku biarkan kau bebas."
Luhan mendesah pelan, "Baiklah. Kemarikan ponselmu."
Sehun tersenyum, ia lalu melepas pelukannya untuk meraih celananya yang ada di tepi kasur. Ia memasukkan tangannya ke kantung untuk meraih ponselnya, lalu ia serahkan pada Luhan.
Luhan bangun dari tidurnya, ia menerima ponsel Sehun lalu mulai mengetikkan nomor teleponnya yang aktif pada telepon pintar Sehun. Begitu sudah, ia menekan tombol telepon untuk menghubungi nomornya. Ponselnya lalu berdering setelah itu. "Lihat? Aku pulang sekarang, ya? Ini sudah lewat satu jam dari janjiku pulang."
"Tentu," Sehun mengedipkan satu matanya dengan cara yang menggoda, "Aku harap kita bisa bertemu lagi. Mungkin di hotel?"
"Ck, ayo antar aku turun. Kau mau membuatku terlihat seperti penyusup?"
Sehun beranjak, ia berdiri dan mulai menggunakan pakaiannya. "Cepatlah. Kau masih telanjang," Sehun bersuara saat mengancingkan bajunya.
.
Luhan menyetir dengan kecepatan lebih dari dirinya biasanya, rasanya seperti terbang. Ia harus cepat sampai rumah, apa lagi saat ia membuka ponselnya ada banyak pesan masuk dari ayahnya yang menanyakan keberadaannya. Sial memang, Sehun itu benar–benar seorang musang.
Ia sampai di rumahnya sepuluh menit lebih cepat dari perkiraannya—hanya dua puluh menit ia sudah sampai di rumah. Sambutan yang ia dapati tentu tatapan kesal ayahnya dan ibunya yang sibuk mengelus lengan sang suami. Luhan mendengus. Niat ingin mengeluarkan hasrat yang biasanya mengumpul di kandung kemih, justru biji-biji kotor di testis yang keluar. Ya sudahlah, setidaknya sama-sama lewat uretranya.
"Kau menikmati pestanya?" Ayah Luhan menyambut Luhan dengan pertanyaan.
Luhan mengangguk, "Lumayan, pa. Kenapa menyuruhku pulang cepat?"
"Duduk dulu. Ini soal pekerjaan dan beberapa pertemuan dengan kolega papa."
Ia menurut, menempelkan pantatnya yang masih sedikit sakit karena milik Sehun yang memasukkinya dan bergerak kasar di dalamnya banyak kali. Ia mendesis lirih menahan sakitnya. "Ada apa?"
"Papa mau kau ke Pulau Jeju untuk menghadiri peresmian restoran baru milik salah satu kenalan papa, karena pada hari yang sama pula papa harus ke China untuk mengecek perusahaan kita yang katanya terkena sedikit masalah. Awalnya papa pikir menunggumu pulang dari pesta bukan sebuah masalah, tapi ternyata tiket pesawat yang papa beli menunjukkan pukul setengah delapan sebagai jam keberangkatan, itu artinya sekitar dua jam lagi. Jadi, kau mungkin perlu bersiap-siap dan langsung menuju bandara setelah itu."
"Oh," Luhan mengangguk paham, "Baiklah, pa. Aku bersiap dulu. Kita berangkat bersama, 'kan?"
Ayahnya tersenyum, "Tentu saja. Lekaslah kemasi barangmu, tidak perlu terlalu banyak, kau di sana hanya satu hari. Oh iya, bersikaplah yang ramah. Sebagian besar kolega papa lebih mengenalmu daripada adikmu."
.
Luhan dan ayahnya sampai dibandara pukul setengah tujuh, masih ada sekitar satu jam untuk mempersiapkan keberangkatan. Luhan berangkat lima belas menit lebih dulu dari ayahnya, ia sudah dipesani banyak hal oleh ayahnya selama perjalanan menuju bandara tadi. Ada tentang siapa saja kolega ayahnya yang sangat akrab hingga yang hanya kenal—bersyukur tidak ada yang bertembok dengan ayahnya—, sampai apa saja yang perlu dan tidak perlu ia lakukan di sana.
"Tuan Oh sepertinya juga mengirim anaknya, hanya saja dia datang besok. Aku harap kau bisa berhubungan baik dengan anak itu, karena ayah belum begitu akrab dengan keluarga Oh."
Luhan tersedak ludahnya sendiri saat marga seseorang yang rasanya tidak asing hinggap di pendengarannya. "A–ah? Oh siapa, papa?"
"Nanti yang akan kau temu itu anaknya, jadi… Oh Sehun. Ya, anaknya yang terakhir namanya Oh Sehun."
"Sial," Luhan memaki dalam hati. "Ah…, baiklah papa, nanti aku akan mencoba menjalin hubungan baik dengan anak itu."
"Dia tampan," ayah Luhan terkekeh kecil, "kalau kau mau, misal keluarga kita akhirnya bisa dekat dengan keluarga Oh, aku akan menjodohkanmu atau adikmu dengan Oh Sehun itu."
Luhan benar–benar terbatuk sekarang, "p–papa! Jangan membicarakan perjodohan denganku!"
Suara kekehan ayah Luhan berubah menjadi tawa, "kau sudah besar, kau perlu segera menikah juga, Luhan-ah."
"Nanti, pa," Luhan bersungut kesal, "aku akan mencari yang cocok dengan hatiku, tidak asal dijodohkan begitu."
"Papa mengerti," ujar ayah Luhan, lalu ia melirik jam tangannya. "Oh, sudah pukul tujuh lebih lima menit, mungkin kau bisa langsung pergi ke pesawatmu, Luhan-ah."
"Sungguh?" Ia sama–sama mengerling pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya, "wah, iya… ya sudah papa, aku berangkat dulu!" Luhan mencium pipi ayahnya yang sangat ia sayang itu lalu membungkuk sebelum segera berbalik dan berjalan menuju tempatnya masuk ke pesawat.
"Oh Sehun?" Luhan berbicara pada dirinya sendiri, matanya menatap bantal yang biasa ia gunakan di pesawat tidak percaya. "Bagaimana bisa dunia sesempit ini? Kupikir kita tidak akan bertemu lagi, ternyata justru papa ingin keluarga kita dekat. Hal gila macam apa ini?!"
Ia mendesah tidak tenang, merutuki kebodohannya sampai salah masuk ruangan dan berakhir terpancing nafsu pemuda albino yang empat tahun lebih muda darinya itu. Bagaimana dirinya seceroboh itu, padahal biasanya ia bisa dengan tenang menolak.
.
Luhan sampai di Bandara Internasional Jeju setelah memakan beberapa waktu untuk terbang, katanya ia di jemput oleh sopir yang dari pembuat acara untuk membawa diri Luhan menuju hotel. Begitu Luhan keluar, Luhan mendapati sopir itu membawa karton besar dengan nama dirinya, warnanya mencolok jadi membuatnya langsung terfokus pada benda itu. Ia menghampiri laki–laki lumayan tua dengan pakaian jas yang rapi, laki–laki itu membungkukkan badannya lalu tersenyum dan mengulurkan tangannya, meminta koper yang Luhan bawa untuk berpindah pada dirinya. Dengan senang hati Luhan menyerahkan gagang kopernya pada paman itu.
Begitu tiba di hotel, Luhan langsung diberi kunci kamar. Luhan melangkah ringan menuju lift untuk naik ke lantai sepuluh, tempat kamarnya berada. Sesampainya di sana, ia langsung mencari kamarnya untuk segera mengistirahatkan tubuhnya karena kelelahan naik pesawat dan juga sudah waktunya tidur.
Paginya Luhan terbangun oleh suara ketukkan pintu kamarnya, ia menghela napas kesal dan merapikan sedikit bagian rambutnya yang berantakan lalu membuka pintu. Mendapati seorang pelan hotel yang membawa makanan, Luhan menarik sudut bibirnya dan mempersilakan orang itu masuk juga menata makanan di mejanya.
Luhan mengumamkan kata terima kasih pada wanita itu begitu wanita itu keluar, menutup pintu setelahnya. Dengan cekatan ia meraih sikat gigi untuk membersihkan mulutnya, lalu segera menghabiskan makanan yang tersedia di meja karena rasa lapar yang menyerang.
Mengerling pada jam, ia mendapati jarum yang menunjukkan pukul tujuh. Masih ada tiga jam sebelum acara di mulai dan Luhan bisa menyiapkan semuanya nanti setelah bermalas–malasan. Luhan pun kembali membawa dirinya pada kasur untuk menikmati waktu luang sebelum bersusah payah menyangga bibirnya agar terus tersenyum pada kolega–kolega ayahnya. Tidak lupa ia menyetel alarm pukul sembilan, menyiapkan waktu lebih cepat satu jam sudah menjadi kebiasaan Luhan sebelum menghadiri acara. Takut–takut nanti kalau ia bersiap–siap menghabiskan waktu lama.
.
Acara peresmian sudah dilaksanakan, hanya tinggal pesta beberapa jam kedepan dan mempersiapkan senyuman terbaik agar memberi kesan ramah. Luhan mendengus lirih, mengutuk betapa mengenaskannya dirinya sudah berada di dunia gila uang ini. Semua terlihat beramah–tamah pada siapa saja, bahkan mengajaknya berkenalan atau bertanya–tanya tentang keluarganya.
Hanya saja Luhan bersyukur, keramaian ini membuatnya tidak menemukan pemuda tampan yang menindihnya sehari kemarin dan masih meninggalkan sedikit bekas sakit pada bagian bawahnya.
"Deer."
Sial. Baru saja dibicarakan, suara orang yang sangat Luhan kenali ini menyapa inderanya. Neuronnya seketika bekerja dan memberikan beberapa pilihan. Menoleh, atau melangkah lawan arah dan berpura–pura tidak dengar. Hanya saja, pilihan kedua terdengar seperti pilihan mengajak ribut pemuda itu, maka Luhan pun memutuskan untuk menoleh dan memasang wajah malas.
"Apa?" Luhan bertanya dengan nada malas.
Suara kekehan muncul dari pemuda yang memegang gelas cocktail, "Jangan galak–galak, aku tidak akan menyakitimu, kok."
"Bohong."
"Oh, satu–satunya waktu aku akan menyakitimu adalah… ketika kau di bawahku."
Luhan memukul bahu Sehun kesal, "Hentikan pikiran kotormu. Aku tidak mau berdekatan denganmu."
"Wah… sayang sekali, deer, tapi ayahku sangat ingin berhubungan baik dengan keluarga Lu. Aku pikir keluarga Lu juga ingin berhubungan baik dengan keluarga Oh, benar 'kan? Jadi… mari kita berhubungan baik, katanya kalau hubungan keluarga kita baik, kemungkinan aku dijodohkan denganmu atau dengan adikmu," Sehun tersenyum penuh kemenangan.
"Sial," Luhan mendengus kasar. "Kalau begitu nanti aku akan menyuruh adikku yang dijodohkan denganmu."
Yang lebih tinggi menggeleng dengan gerakan jari menunjukkan penolakkan, "Aku akan memilihmu, lalu keluargaku yang akan melamarmu. Kau tidak bisa memilih."
"Kau mengerjaiku, Oh?"
Sehun tersenyum miring, ia mendekatkan wajahnya pada wajah Luhan. "Aku sangat ingin melihatmu di bawahku tepat setelah acara selesai."
Acara pesta selesai dan Luhan berhasil kabur dari jeratan pemuda mesum macam Oh Sehun. Ia sudah tiba di hotel dan bersiap menyembunyikan diri di kamar agar pemuda itu tidak dapat menemukannya.
Sialnya, saat dirinya sudah berdiri di depan pintu kamar hotel, kunci yang seharusnya berada di kantungnya menghilang. Ia memastikan sekali lagi, merogoh seluruh kantongnya takut–takut ia lupa menempatkannya di mana.
"Mencari ini?" Suara gemerincing kunci bersamaan dengan nada menyebalkan seseorang muncul dari belakang Luhan.
Luhan menoleh, matanya langsung mendapati tubuh tinggi Sehun dengan seringaian menyebalkan membawa kunci bertuliskan nomor kamarnya. Sial, kapan bocah itu mendapatkan kuncinya?
"Kemarikan," Luhan memerintah dengan nada yang dalam.
"Tidak mau."
"Oh Sehun," Luhan menatap pemuda itu, "Kemarikan!"
Sehun tertawa, "Dengan syarat… kau di atasku. Bagaimana?"
"Aku memasukimu? Boleh."
"Kau paham maksudku, deer."
Luhan mendecak kesal, "Satu ronde, kau di atas, dan setelah itu biarkan aku tidur. Deal?"
Sehun melebarkan matanya dengan senyuman, "Sungguh? Oke, deal!"
Luhan menghembuskan napasnya banyak kali, mendesah kesal bercampur nikmat karena pemuda bermarga Oh di atasnya kini sibuk menggoda kulitnya dengan jemari nakal yang ia miliki. Belum apa–apa dirinya sudah tersenggal karena keahlian pemuda di atasnya.
"Kau menikmatinya, deer," Sehun bergumam di sebelah telinga Luhan, menjilat daun itu dengan cara yang seduktif sampai mampu membuat yang dibawahnya mendesah lebih keras.
Luhan tidak bisa mengelak. Gerakan luar biasa yang Sehun lakukan benar–benar melemahkan seluruh persendiannya, membuat dirinya tidak mampu bergerak dan menumbuhkan jiwa submisif Luhan yang sekiranya sudah ia kubur dalam sejak dulu. Sehun terlalu dominan meski permainannya sederhana.
Sampai saat seluruh pakaian yang melekat pada masing–masing mereka sukses ditanggalkan, tubuh polos mereka bersembunyi di balik selimut. Luhan sudah lemah dengan tatapan sayu, sentuhan luar biasa yang Sehun lakukan mampu melumpuhkan yang lebih tua itu.
"A–akhh!" Luhan memikik keras, meremas lengan putih Sehun hingga meninggalkan bekas merah di kulitnya karena jemarinya yang menekan kuat lengan itu. Sialnya, di bawah sana, Sehun sudah dengan pintar membuat kaki Luhan lemas dan hanya mampu menendang–nendang sprei pelan karena jemari panjangnya.
Sehun terkekeh, tersenyum dengan cara yang seksi sambil menatapi penuh kemenangan pada diri Luhan. Luhan lumpuh, jemari panjang Sehun yang ada di dalam Luhan lah penyebab kelumpuhan seluruh saraf si rusa.
Begitu Sehun sudah merasa seluruh tubuhnya menegang, ia menarik keluar jarinya lalu mempersiapkan bagian bawahnya untuk masuk ke dalam tubuh Luhan.
Perlahan ia mendorong miliknya masuk ke dalam tubuh Luhan, menimbulkan suara erangan serta cakaran pada punggungnya. Sehun meringis, sakit, tapi ini tidak boleh berakhir begitu saja. Maka dengan kata maaf yang banyak sebelumnya, ia mendorong masuk seluruh dirinya ke dalam Luhan sampai menghasilkan teriakkan keras dari yang di bawah. Sempit dan hangat, nyaman rasanya dibalut dengan dinding yang menjepit seluruh miliknya.
"Bergeraklah, cepat!" Luhan memekik kesal sambil memukul kepala Sehun, menggerakkan pinggulnya karena tidak sabar dengan tumbukan nikmat dari yang di atas. Ia mendesis akibat gerakannya sendiri.
Sehun mendesah tipis sebelum akhirnya menahan pinggang Luhan, "calm, biar aku yang bekerja," ujarnya dengan nada rendah dan segores nada frustasi di dalamnya, frustasi akibat gerakan cerdas Luhan.
Tidak mau berlama–lama, Sehun mulai bergerak naik turun untuk menekan tubuh Luhan, mengenai titik manis pemuda di bawahnya, teriakkan pun langsung muncul. Tidak peduli dengan ribut, Sehun langsung menumbuk titik itu berkali–kali, makin lama makin keras.
"S–sebentar lagi—aahh!" Luhan masih meremas lengan Sehun, kali ini lebih keras karena bagian bawahnya serasa tertarik dan siap mengeluarkan benihnya.
"Bersama," suara berat itu menyahut.
Mereka tertarik, keluar menemui kenikmatan putih yang luar biasa secara bersamaan. Sehun ambruk di samping Luhan, sementara Luhan memejamkan matanya karena kelelahan.
"Kau puas?" Luhan bertanya dengan suara parau, ia masih memejamkan matanya dan mengatur napasnya yang memburu.
Sehun terkekeh kecil dan lalu mengacak rambut lepek Luhan, "Belum, tapi kau lelah. Tidur lah, deer."
Fin.
GILAA! Astaga aku gila aku gila ;A; ini apaaaa? Wkwk ya ampuunn. Pasti kacauuu banget dek fiksinya XD dann… yeuu aku tauuu aku tau alurnya cepet, cumaaa aku emang sengaja skip skip bagian ga penting. Karenaaa fokusku adalah anuannya HunHan(?) aaah yesss! Fict ini tiap seriesnya akan selalu berakhir dengan anuan! Mesum? I know! Ini hanya selingan gilaku, kalau aku lagi mesum yaaa aku bikin fiksi ini (?) jadi ga mungkin akan fast update wkwk yaa karena pikiran kotorku ga dateng tiap saat -..-
Eh, tapi nggak menutup kemungkinan aku post series ini tanpa anuan siiih. Kali aja ada ide ide nyangkut berhubungan sama ceritanya, jadi aku pingin tulis. Tapi akhirnya kok ga ada anuan, begitu deh(?)
Yasudah. Sampai sini sajaa
Last,
review please?