Satu tendangan mendarat tepat di perut. Disusul sebuah pukulan telak di belakang kepala. Tubuh menghantam permukaan kasar tanah. Satu kaki terbalut sepatu mengkilat diletakkan di atas kepala yang tergeletak tak berdaya.

"Hei. Kenapa kau tidak menjerit kesakitan?" pemilik kaki tersebut bertanya—,

"…" dan tak mendapat balasan apapun dari anak di bawahnya.

"Cih," menggeram kesal, ia angkat kakinya kemudian mendaratkan satu lagi tendangan keras. Membuat tubuh kurus itu berguling dan berubah posisi menjadi terlentang. Memperlihatkan wajah penuh luka, rambut biru muda yang kotor, dan mata indah sebiru langit yang menatap datar.

"Tatapanmu membuatku kesal! Sini kau! Biar kuberi kau pelajaran!"

Anak lain menarik kerah seragamnya, membuatnya terpaksa kembali berdiri. Tak lama, sebuah kepalan tangan mendarat mulus di pipi. Membuat pemilik surai biru itu kembali jatuh tersungkur. Disusul dengan banyak tendangan dari dua orang yang sejak tadi hanya menonton.

Pukulan, tendangan, dan jambakan terus ia terima. Ia tak tau sudah berapa lama mereka bertiga menghajarnya. Tubuhnya seakan mati rasa. Terlalu banyak sinyal rasa sakit yang dikirim ke otaknya.

Ia tak merintih, tak menangis, apalagi menjerit kesakitan. Matanya yang setengah terbuka hanya menatap datar tanah. Pikirannya seakan melayang jauh.

Ah

Sudah berapa lama ia mengalami hal seperti ini? Sudah berapa banyak pukulan yang ia terima? Sudah berapa banyak orang yang menghajarnya sampai ia sekarat?

Kenapa seluruh anggota badannya masih berfungsi? Kenapa tubuhnya tak menyerah?

Kenapa ia masih hidup?


.

.

.

"Nothing"

Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi

Nothing © Scalytta

AU, OOC, typo(s), bullying

Rate M for violence and mature content

AoKuro, AkaKuro

.

Hope you enjoy it

.

.

.


.

Namanya Kuroko Tetsuya. Siswa kelas dua di SMA Teiko. Hawa keberadaannya tipis. Wajahnya datar, hampir tak pernah menampakkan ekspresi apapun.

Dia memiliki surai biru muda, juga mata dengan warna senada. Tatapannya sedatar wajah yang ia miliki. Tubuhnya kurus untuk ukuran seorang remaja laki-laki. Perban dan plester luka tak pernah lepas dari anggota badannya.

Namanya Kuroko Tetsuya. Siswa kelas dua di SMA Teiko. Dia terkenal sebagai korban bully terbesar. Tak ada yang tak mengenalnya, terutama di kalangan laki-laki. Murid seangkatan, kakak kelas, adik kelas, bahkan siswa dari sekolah lain juga pernah membullynya. Bagi para korban bully, Kuroko adalah penyelamat—bukan, Kuroko adalah pengganti yang pas untuk mereka. Dan bagi para pembully, Kuroko adalah sasaran paling empuk untuk melampiaskan segala kekesalan, rasa bosan, dan frustasi yang mereka rasakan.

Jika guru memarahimu, kau hanya perlu mencari sosok Kuroko Tetsuya. Lampiaskan kekesalanmu itu pada setiap pukulan untuknya. Jika kekasihmu mengakhiri hubungan denganmu, temukanlah Kuroko Tetsuya. Tendang perutnya, sikut tengkuknya sampai kau puas dan rasa sakit hatimu hilang. Atau injak kepalanya seperti kekasihmu menginjak-injak perasaanmu.

Lakukan apapun yang kaumau pada Kuroko, karena—

julukannya yang paling terkenal adalah makhluk terendah.

Benar, mereka menganggap tidak ada makhluk yang derajatnya lebih rendah dari seorang Kuroko Tetsuya. Manusia, penjahat, pelacur, bahkan hewan memiliki derajat yang lebih tinggi darinya.

Kenapa? Karena, bahkan pelacur dan hewan pun akan melakukan perlawanan ketika disakiti atau ketika nyawa mereka terancam. Sedangkan Kuroko? Bergerak dari tempatnya sesentipun tidak.

Dia akan tetap diam, tak memberikan perlawanan. Membiarkan orang lain melukainya, menginjak-injak harga dirinya sampai mereka puas dan bosan, kemudian meninggalkannya sendiri.

Kuroko tidak berharga. Dan ia tau itu.

.


.

Hari ini dia kembali dihadang oleh siswa dari sekolah lain. Jumlah mereka ada tiga orang. Satu orang sangat suka menendang perutnya. Sedangkan dua lainnya lebih suka memegang kedua tangannya dan menonton dirinya yang tengah disiksa.

Lebih dari sepuluh tendangan ia terima, bahkan ia mulai terbatuk dan mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Tapi tetap saja, tak ada sepatah kata atau rintihan yang ia keluarkan.

Merasa bosan dan pegal karena kakinya digunakan untuk gerakan yang sama berkali-kali, laki-laki itu menghentikan tendangannya. Dia menggunakan jarinya untuk menyisir rambutnya yang panjang dan menutupi mata.

"Cih, percuma. Dia tak mau mengeluarkan suara!" seru pemilik rambut panjang itu.

"Suara batuk tidak masuk hitungan ya?" tanya salah satu temannya. Dia memiliki sebuah pierching di telinganya. Pemilik surai biru hanya melirik sekilas. Tak tertarik dengan apapun yang coba mereka lakukan. Sudah beberapa hari ini orang-orang menghajarnya dan menyuruhnya mengeluarkan suara. Padahal biasanya mereka tak keberatan—bahkan merasa senang karena ia tidak menjerit dan menangis seperti orang cengeng.

"Bodoh ya?! Taruhannya kan harus membuat dia mengatakan sesuatu, atau minimal berteriak lah—," jeda sejenak, memerhatikan kondisi makhluk tak berguna di hadapannya, si rambut panjang kemudian melanjutkan,

"—coba lepas pegangan kalian."

Dua temannya menurut. Mereka lepaskan cengkraman di masing-masing tangan Kuroko. Membuat pemilik tubuh kurus itu jatuh mencium tanah.

Si rambut panjang melangkah mendekat. Ia angkat kakinya dan mendaratkannya pada telapak tangan Kuroko. Menginjaknya keras-keras.

Sekilas, Kuroko berjenggit. Ekspresinya mengeras, tetapi segera kembali datar. Satu orang lagi mendekat. Si pemilik pierching mendudukkan dirinya di atas punggung Kuroko, kemudian menarik helaian birunya kasar. Menahan perih, Kuroko menutup sebelah matanya.

"Haah, sepertinya ini juga percuma," menghela napas lelah, laki-laki dengan pierching di telinga itu melepas cengkramannya pada rambut Kuroko.

"Kalau begitu—," satu orang yang sedari tadi terdiam akhirnya angkat bicara. Membuat dua temannya mendongak untuk menatapnya. Di tangan kanannya terdapat sebuah benda hitam yang Kuroko tak tau namanya. Yang jelas, benda tersebut dapat mengalirkan listrik.

Mereka terdiam sejenak, kemudian seringai kejam terpasang di wajah ketiga orang tersebut.

.

"—mau mencoba menyetrumnya?"

.


.

Sore itu, seperti biasa, Kuroko Tetsuya duduk termenung di pinggiran sungai. Tempat ini adalah tempat paling aman untuknya. Satu-satunya tempat di mana tidak akan ada orang yang datang dan menghajarnya. Meski para pembully itu tau dia berada di sana, mereka akan membiarkannya sendiri.

Biasanya, sepulang sekolah—dan seusai orang-orang puas mempermainkannya, ia akan segera datang ke pinggiran sungai untuk menikmati matahari tenggelam. Tidak peduli jika lukanya belum dibersihkan dan tubuhnya menjerit kesakitan. Ia akan duduk menekuk lutut dan melamun, atau duduk santai sambil membaca buku di tempat itu.

Ia baru akan pulang ke rumah jika hari sudah benar-benar gelap dan tubuhnya menggigil kedinginan. Kemudian, barulah ia akan membersihkan dan merawat luka-lukanya.

Tempat ini menyimpan banyak kenangan untuknya.

.

"Hei, kau!"

Sebuah suara mengintrupsi lamunanya. Tapi ia tak bergeming.

"Oi! Aku memanggilmu!"

Tak ada respon.

"Oi! Kau itu si makhluk terendah yang terkenal itu kan?!"

Mendengar julukannya, Kuroko lantas menoleh ke belakang. Di sana berdiri seorang laki-laki tinggi. Kulit tannya terlihat mengkilat diterpa sinar matahari sore. Rambut dan matanya sebiru samudra terdalam. Membuatmu seakan tenggelam ketika menatapnya. Dilihat dari seragamnya, sepertinya ia satu sekolah dengan Kuroko. Dan, satu angkatan, mungkin?

Ada apa dia datang ke sini? Ingin menghajarnya kah? Apa ia tak tau peraturan tentang tempat ini?

"Itu benar kau kan? Aku takut salah orang," laki-laki itu mendekat sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Kuroko mengangguk, mengiyakan pertanyaan si pemilik kulit tan. Tatapannya penuh tanya, seakan mengatakan, "Ada perlu apa denganku?"

Seperti mengerti arti tatapan Kuroko, laki-laki itu menjawab, "Err… Aku ke sini ingin mengajakmu bicara."

Canggung, laki-laki itu mendaratkan pantatnya di rerumputan di samping Kuroko.

Mendengar perkataan laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya, dia mengangkat sebelah alisnya heran. Selama ini tidak pernah ada orang yang berani mengajaknya bicara. Well, para pembully itu memang akhir-akhir ini mengajaknya, atau lebih tepatnya memaksanya bicara sih.

Menyadari tatapan aneh yang Kuroko berikan padanya, pemilik mata samudra itu berpikir keras. Mencoba mencari kata-kata untuk menjelaskan maksudnya yang sebenarnya.

"Maksudku, yahh—kautau? Tentang taruhan," jelasnya. Sayangnya, Kuroko masih tak mengerti.

"Aduuuh, masa kau tidak tau sih?! Itu lho, taruhan untuk membuatmu berbicara atau berteriak! Hadiahnya lumayan!" katanya panjang lebar dengan semangat.

Yah, beberapa hari ini dia memang mendengar para pembullynya berbicara tentang taruhan. Tapi dia tidak tau kalau ternyata taruhannya adalah hal sepele macam itu. Sebelum ia sempat mencerna semua penjelasan barusan, si pemilik kulit tan kembali angkat bicara.

"Tadi aku melihatmu dihajar habis-habisan, tapi kau tidak mengeluarkan sedikitpun suara. Bahkan ketika mereka menyetrummu berkali-kali pun kau tidak berteriak kesakitan—," jeda sejenak untuk mengambil napas,

"saat aku melihatmu, aku pikir, whoaaa dia sangat hebat! Begitu. Kalau aku mungkin sudah berteriak kesetanan. Tapi kau dengan mudahnya meredam suaramu. Jadi aku berpikir, mungkin percuma mencoba membuatmu mengeluarkan suara dengan cara menghajarmu. Yah, aku sempat berpikir untuk mencoba beberapa benda tajam, tapi mungkin hasilnya akan percuma. Jadi aku memikirkan cara lain!" ucapnya dengan mata berbinar. Kuroko sempat berpikir dia bodoh atau apa, karena ini pertama kalinya ada orang yang memuji seseorang yang sedang dipukuli dan dikeroyok. Dan juga, dia sempat menatap ngeri orang di sampingnya. Yang benar saja? Dia bilang ingin mencoba menggunakan benda tajam padanya? Orang macam apa yang bisa dengan santainya menjelaskan hal mengerikan seperti itu pada calon korbannya sendiri?

Tapi kalimat terakhir yang diucapkan laki-laki bersurai pendek itu membuatnya penasaran. Cara lain?

"Cara lain seperti apa yang Anda maksud?"

"Yah kautau, orang-orang bodoh itu selalu menganggap kekerasan akan menyelesaikan segalanya. Tapi mereka terlalu naif. Mereka pikir sudah berapa orang yang mencoba metode yang sama dan gagal? Karena itu aku memikirkan metode lain. Kalau menghajarmu sampai sekarat tidak berhasil membuatmu mengeluarkan suara, kenapa tidak coba mengobrol biasa denganmu saja?" jawab laki-laki tersebut. Ia angguk-anggukkan kepalanya, merasa bahwa pemikirannya benar-benar pintar.

"Ah, begitu? Yah, kurasa Anda benar."

"Hah! Iyakan? Aku tau aku itu jenius—tunggu dulu, barusan kaubicara?! Serius?!"

Biru tua bertemu biru muda. Laki-laki yang lebih besar dari Kuroko menatap tak percaya. Seakan pendengarannya sedang mempermainkannya.

"Saya memang lebih rendah dari hewan, tapi saya bisa bicara seperti manusia, kok," jawab Kuroko datar.

Sadar dari keterkejutannya, dia berteriak nyaring,

"Whoaaaaah! Aku menang taruhan! Dan juga, suaramu itu lembut sekali ya? Eh tunggu, tunggu, harus merekam suara—," sejenak ia terdiam, mencari-cari sesuatu di sakunya. Kemudian ia keluarkan sebuah ponsel berwarna biru tua. Setelah beberapa saat mengutak-atik ponsel, ia berkata,

"Baik, bisa katakan sesuatu? Sebagai bukti kalau aku berhasil membuatmu berbicara!" ucapnya penuh semangat.

Kuroko berpikir sejenak. Menimbang apa yang seharusnya ia katakan. Kemudian satu kata terlintas di benaknya.

"Doumo," ucapnya, lagi-lagi datar.

"Yosh! Terima kasih! Dengan ini aku bisa melakukan apapun, haha!" Si surai biru tua menyimpan rekaman suara tersebut. Kemudian dia berlari meninggalkan si surai biru muda yang hanya terdiam melihat punggungnya semakin menjauh.

Jantung Kuroko berdegup kencang. Baru pertama kali ini ada seseorang yang berterimakasih padanya.

.


.

Besoknya, para pembully masih tetap dengan kegiatan rutin mereka—mengerjai dan menghajar Kuroko sampai puas. Bedanya, mereka sudah tak memaksanya untuk mengeluarkan suara lagi. Sepertinya taruhan itu sudah selesai dan pemenangnya adalah laki-laki tinggi dengan surai biru tua yang kemarin datang menemuinya. Kuroko jadi penasaran, hadiah apa yang didapat laki-laki itu?

.

Seperti biasa, Kuroko menghabiskan senja di pinggir sungai. Kali ini ia membawa sebuah novel untuk dibaca. Hari ini mereka tidak terlalu parah memukulnya. Yah, meski ia masih harus berurusan dengan hidung dan mulutnya yang berdarah. Serta beberapa luka memar di tubuhnya.

Kuroko tengah fokus pada kata demi kata di novel yang dibacanya ketika sebuah suara menghancurkan konsentrasinya.

"Yo, kausuka menyendiri di sini huh?"

Kuroko melirik laki-laki yang kini tengah memosisikan dirinya di samping kanan si surai biru muda. Itu siswa yang kemarin mengajaknya bicara.

"Saya memang selalu mampir ke sini sepulang sekolah," jawabnya singkat.

"Begitu?" sahutnya, yang tidak mendapat tanggapan apapun dari Kuroko.

Suasana hening untuk beberapa saat. Kuroko kembali fokus pada novelnya, sedangkan laki-laki di sampingnya bermain-main dengan rumput di sekeliling.

"Ngomong-ngomong, terima kasih untuk yang kemarin ya. Duh, rasanya kemarin aku begitu kurang ajar karena dengan seenaknya mengajakmu berbicara kemudian meninggalkanku begitu saja, hehe. Maklum, aku begitu senang karena memenangkan taruhan itu," katanya, memulai pembicaraan lain.

Kuroko menutup novelnya setelah sebelumnya memberi tanda sampai mana ia membaca.

"Tidak masalah," jawabnya, lagi-lagi secara singkat.

Si surai biru tua melirik ke arahnya, memerhatikan bekas luka di wajah.

"Heee, mereka masih saja menghajarmu bahkan setelah taruhannya selesai?" tanyanya mengangkat sebelah alis heran.

Kuroko mengangguk sebelum memberikan jawaban,

"Ada taruhan atau tidak, mereka akan tetap memperlakukan saya seperti samsak tinju untuk menyalurkan rasa frustasi mereka."

"Benarkah? Mereka kejam juga ya," sahutnya santai.

"Anda tidak tau?" Kuroko mengalihkan pandangannya, menatap tepat di mata sedalam samudra itu. Dia merasa terhisap dan tenggelam di laut yang begitu dalam.

"Yaah, aku cuma dengar rumor saja sih. Tak menyangka ternyata mereka benar-benar hanya menargetkanmu. Kadang aku juga suka membully, tapi hanya orang-orang tertentu. Hehe…," jawabnya, menggaruk belakang kepala yang tidak gatal.

"Souka," kata Kuroko pendek. Tidak menyangka ada orang yang tidak begitu tau tentang statusnya sebagai makhluk terendah. Kemarin dia memang sempat memanggil julukannya. Tapi sepertinya dia tidak begitu tau asal-usul dari julukan itu. Dan kalau diperhatikan, sepertinya orang ini belum pernah sekalipun mendaratkan tinju atau tendangannya ke tubuh Kuroko walaupun mereka satu sekolah.

Padahal siswa sekolah lain pun tau tentang statusnya dan tidak segan-segan ikut serta dalam kegiatan pembullyan terhadapnya. Kenapa ada seorang laki-laki—yang bahkan satu sekolah dan satu angkatan dengannya tidak tau seluk beluk dirinya?

Hening kembali melanda sebelum Kuroko melontarkan sebuah pertanyaan,

"Kalau boleh tau, hadiah apa yang Anda dapat?"

"Hadiah? Oh, maksudmu hadiah taruhan? Hmm… Aku bebas memerintah semua orang yang terlibat dalam taruhan itu semauku! Hebat kan?! Aku bisa mendapat makanan gratis, dan tak perlu capek-capek ke Maji untuk membeli burger haha!" jawabnya penuh semangat.

Kuroko tidak menanggapi. Sibuk dengan pikirannya sendiri. Laki-laki di sampingnya sungguh aneh. Kenapa laki-laki itu sudi berbicara santai dengannya? Bagaimana kalau ada yang melihat mereka? Kuroko takut terjadi kesalahpahaman.

"Oh, ngomong-ngomong, siapa namamu?" tanya si pemilik kulit tan. Membuat pikiran Kuroko buyar seketika.

"Bukankah Anda sudah tau?" tanya Kuroko balik.

"Hah? Aku tidak tau. Dan hei, jangan bicara kelewat sopan begitu. Aneh tau!" sahut siswa yang lebih besar darinya itu.

Menghela napas, Kuroko menjawab, "Mereka menyebutku makhluk terendah. Dan seingatku, kaumemanggilku begitu kemarin."

Sadar bahwa makhluk mungil di sampingnya salah dalam mengartikan pertanyaannya, si kulit tan mengulang, "Bukan, bukan. Maksudku namamu. Nama yang lain, bukan sebutan makhluk terendah. Kalau itu sih aku tau."

Berpikir sejenak, Kuroko kembali menjawab, "Anjing rendahan?"

"Hah? Apa? Bukaaaaan. Namamu yang lain!"

"Jalang?"

Frustasi, tangan kekar itu menggaruk kasar rambutnya. Belum sempat ia menyahut perkataan Kuroko, pemilik surai biru muda itu bangkit dari posisi duduknya. Ia berbalik, hendak pergi.

"Maaf, aku harus pulang. Tadi siang mereka membakar buku catatanku. Jadi aku harus membuat yang baru. Permisi—,"

"Tunggu!" cegahnya.

"Namaku Aomine Daiki. Kau? Maksudku, nama yang diberikan orang tuamu."

Kuroko terdiam. Ia tetap memunggungi laki-laki yang bernama Aomine itu. Membuat laki-laki bersurai biru tua tidak bisa melihat wajahnya.

"Aomine-kun," panggilnya. Membuat Aomine sedikit terkejut karena tiba-tiba namanya disebut.

"Ya?"

"Menurutmu, apa arti dari sebuah nama? Untuk apa kita diberikan nama?" tanya Kuroko datar.

Aomine berpikir sejenak, kemudian menjawab,

"Nama itu, hmm… agar orang-orang bisa lebih mudah memanggilmu? Yah, jika tidak punya nama, tentu mereka akan kesulitan kan? Tidak mungkin mereka akan memanggil dengan, 'hei' atau 'oi'. Itu tidak sopan."

"Benar. Nama itu ada agar orang lebih mudah memanggil dan membedakan kita dengan orang lain," sahut Kuroko.

"Ya, lalu?" tanya Aomine tak mengerti.

"Mereka menyebutku makhluk terendah, jalang, anjing rendahan. Itu cara orang memanggil dan membedakanku. Kalau begitu—,"

Kuroko berbalik, wajahnya yang biasanya datar kini menampilkan senyum lemah. Membuat Aomine terpukau sesaat, tapi kemudian segera mengeryitkan dahi.

Ada apa dengan senyuman itu?

"—bukankah itu berarti sebutan-sebutan tersebut adalah namaku?"

"…"

Aomine tak menanggapi, dan senyum itu masih belum juga hilang. Ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Aomine Daiki tak bisa berkata apa-apa, bahkan setelah Kuroko kembali membalikkan badan dan berjalan menjauhinya.

.


.

Aomine Daiki tidak mengerti. Sudah tiga hari sejak pertemuan terakhirnya dengan laki-laki bersurai biru muda itu. Tapi dia masih belum tau siapa namanya.

Setiap dia bertanya pada teman-temannya, mereka dengan santainya akan menjawab, "Siapa yang peduli dengan namanya? Kau hanya perlu memanggilnya makhluk terendah. Dia tak akan protes."

Oh ayolah, dia benar-benar penasaran. Apa tidak ada orang yang tau nama laki-laki mungil itu?

"—bukankah itu berarti sebutan-sebutan tersebut adalah namaku?"

Tiba-tiba ia teringat akan perkataan si surai baby blue. Dan senyuman itu, senyuman itu membuat Aomine hampir tidak pernah bisa tidur.

Apa arti sebuah nama?

Apa arti dari senyumannya?

"Arrgh!" mengerang frustasi, Aomine akhirnya memutuskan untuk kabur dari jam pelajaran berikutnya dan memilih tidur di atap sekolah.


.

"—chan? Dai-chan?!"

Perlahan ia buka matanya, menampilkan iris biru sedalam samudra. Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah teman masa kecilnya dengan surai merah muda yang dibiarkan tergerai dan beberapa helai menyentuh kulit wajahnya.

"Satsuki kah? Ada apa? Berisik sekali," sahutnya malas kemudian menguap lebar.

"Mou! Lagi-lagi kaubolos pelajaran! Apa kau tidak pernah kapok?" Momoi Satsuki—teman masa kecil Aomine berkata seraya menyilangkan tangan di depan dada.

"Tak apa kan? Lagian aku hanya membolos jam pelajaran olahraga."

"Cih, banyak alasan!" kata Momoi pedas. Yang tidak mendapat balasan dari Aomine.

"…"

.

Hening sesaat. Momoi sibuk memerhatikan teman masa kecilnya. Aneh, tidak biasanya Aomine jadi pendiam seperti ini. Normalnya, dia akan membalas semua ejekan Momoi dengan ejekan lain. Kemudian mereka akan bertengkar karena debat bodoh.

"Nee, Dai-chan, kau ada masalah?" tanya Momoi penasaran.

Aomine menatapnya terkejut. Sepertinya barusan ia melamun.

"Hah? Apa-apaan kau! Dasar sok tau! Juga, jangan panggil aku Dai-cha—," perkataannya terhenti. Aomine tiba-tiba mengingat pembicaraannya dengan Kuroko.

"Dai-chan? Kau baik-baik saja?"

"Satsuki," panggil si surai biru tua. Tak menjawab pertanyaan khawatir dari Momoi.

"Ya?"

"Kenapa orang tuamu memberimu nama 'Satsuki'?" tanya Aomine.

"Eh? Apa-apaan pertanyaanmu?" bukannya menjawab, Momoi malah balik bertanya heran.

"Berisik! Sudah jawab saja!"

"Tentu saja agar aku bisa menjadi pribadi yang baik sesuai namaku. Nama itu kan perwakilan untuk doa. Orang tua kita tentu mengharap agar kelak kita bisa menjadi seseorang sesuai doa mereka. Karena itu mereka pasti memberi kita nama yang baik. Karena nama adalah harapan dan doa dari orang tua untuk kita," jawab Momoi panjang lebar.

"Doa, kah?"

"Memang ada apa? Tiba-tiba bertanya seperti itu," Momoi bertanya heran.

Tidak menanggapi pertanyaan dari Momoi. Aomine bangkit. Hendak meninggalkan atap sekolah.

"Dai-chan? Mau kemana? Hei! Jangan mengabaikanku dasar ganguro!"

"Oi oi! Apa maksudmu dengan ganguro hah?!"

"Dai-chan no baka! Ahomine!"

"Berisik!"

Dengan berlanjutnya pertengkaran kecil itu, Aomine mendapat salah satu jawaban yang dibutuhkannya.

.


.

"Yo."

Melirik sekilas, Kuroko Tetsuya tak menanggapi sapaannya.

Aomine Daiki lagi-lagi memosisikan dirinya di samping kanan Kuroko. Mereka duduk berjejeran dalam keheningan.

"Sebaiknya Aomine-kun berhenti datang ke sini dan mengajakku berbicara. Berbahaya," ucap Kuroko, memecah kesunyian.

"Kenapa?" satu alis terangkat, menatap heran.

Menghela napas, Kuroko menjawab, "Aomine-kun bisa ikut-ikutan terkena bullying."

"Hahaha… Tenang saja. Mereka tidak akan berani melakukan itu. Lagipula, hadiah taruhan itu berlaku untuk sebulan. Jadi bisa dipastikan mereka tidak akan macam-macam!" ucapnya penuh percaya diri.

"Begitu? Tetap saja Aomine-kun tidak boleh dekat-dekat dengan makhluk rendahan sepertiku."

Tak menanggapi perkataan Kuroko, Aomine memilih menanyakan pertanyaan lain, "Nee."

"Ya?"

"Hari ini, kau diapakan oleh mereka?" Aomine bertanya tanpa menatapnya.

Berpikir sejenak, Kuroko menjawab dengan datar, "Dipukul, ditendang, diinjak, dihina. Tidak ada yang baru. Oh, mereka juga memasukkan bangkai tikus ke lokerku."

"Pantas kau tidak pakai sepatu—oh, sudah berapa lama kau diperlakukan seperti ini?"

"Hmm… Kalau tidak salah sejak aku kelas lima SD? Aku tak begitu ingat," jawabnya, masih datar.

"Hah?! SD?! Tunggu, sejak kelas lima SD sampai kelas dua SMA?! Gila! Aku tidak percaya kau masih bisa bertahan hidup," sahut Aomine terkejut. Ia tidak percaya. Seberapa kuat anak ini? Mungkin jika orang lain yang mengalaminya, mereka sudah pasti akan bunuh diri. Atau minimal menjadi gila, kehilangan akal sehat mereka.

"Aku juga terkejut. Kenapa aku masih hidup?" tanyanya, lebih kepada diri sendiri. Kuroko menekuk lutut, membiarkan dagunya beristirahat di lututnya. Kedua tangannya memeluk kaki kurusnya.

Aomine meliriknya sekilas, tak tau harus memberi tanggapan seperti apa. Anak ini, seberapa menderita dia? Setiap hari tak pernah lepas dari luka. Baik fisik maupun hati. Apa karena itu dia tidak pernah menunjukkan emosi? Apa karena dia sudah terlalu sering menangis dan menjerit kesakitan, sehingga akhirnya ekspresinya berubah datar?

"Kau—," suaranya tercekat. Dia tak mampu berkata apa-apa. Padahal masih banyak pertanyaan bermunculan dibenaknya. Entah kenapa, Aomine sangat ingin mengetahui jadi diri laki-laki kurus di sampingnya. Dia coba memilah pertanyaan demi pertanyaan yang akan dilontarkan. Tapi kemudian, dia teringat akan pembicaraan mereka beberapa hari yang lalu. Ya, arti dari sebuah nama.

"Beberapa hari yang lalu—," jeda, pikiran laki-laki berkulit tan itu seakan tersumbat oleh sesuatu.

Kuroko menatapnya, memberi sinyal bahwa ia menunggu kelanjutan dari kalimat yang akan dilontarkan olehnya.

Menghela napas, Aomine melanjutkan, "Tentang pertanyaanmu akan arti sebuah nama,"

"Ah, Aomine-kun sudah menjawabnya kan?" sahut Kuroko.

"Ya. Tapi, aku rasa jawabanku salah—," lagi-lagi jeda. Dan Kuroko dengan sabar menunggu.

"Waktu itu aku menjawab, nama diberikan agar orang bisa lebih mudah memanggil dan membedakan kita. Tapi bukan itu saja."

"Lalu?" tanya Kuroko. Dia tatap dengan lekat paras Aomine. Penasaran tentang jawaban apa yang akan diberikan laki-laki itu.

"Nama, diberikan kepada kita untuk mewujudkan doa mereka. Ya, nama adalah perwujudan doa dan harapan. Mereka ingin agar kita menjadi pribadi sesuai dengan nama kita. Namaku adalah Daiki. Artinya cahaya yang baik. Orang tuaku ingin agar aku bisa menjadi cahaya penuntun menuju kebaikan," jelasnya. Entah kenapa, setelah mengucapkan semua itu, hati Aomine terasa begitu ringan. Dia ingin, suatu hari nanti, dirinya benar-benar bisa menjadi cahaya penuntun.

Kuroko terdiam, menatapnya dalam. Tak sepatah katapun ia ucapkan.

.

"Tetsuya-kun, kaa-san ingin Tetsuya-kun menjadi orang yang bijaksana. Kaa-san ingin Tetsuya-kun melindungi keluarga dengan sifat bijaksanamu, nee?"

Sekelebat bayangan muncul di ingatannya. Benar, ia juga punya nama. Bukan julukan yang diberikan orang-orang padanya. Tapi sebuah doa yang mewakili harapan ibunya. Ya, dia punya nama, kan?

"Ak—," Kuroko bergumam. Seperti sedang mencari suaranya.

"Apa? Maaf, aku tidak dengar," kata Aomine. Diperhatikannya wajah Kuroko yang terlihat linglung. Tapi ekspresi itu tak bertahan lama, karena wajahnya kembali datar. Kuroko memalingkan tatapannya dari Aomine. Beralih melihat bintang yang sejak tadi telah menggantikan matahari.

"Kuroko. Namaku, Kuroko Tetsuya." Lirih, ia bergumam.

Aomine mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian tersenyum lebar.

"Tetsu, kan? Senang berkenalan denganmu!"

.


.

-TBC-

.

Saya kangen genre angst :'D

Saya sedang mengerjakan sekuel dari fic sebelumnya, tapi ide ini muncul dan menghantui saya. Makanya saya coba ketik saja daripada kepikiran X3

Delete or countinue? Kritik dan saran sangat diterima :D