Pemuda itu berlarian di pinggir tebing batu itu. Jauh di bawahnya, ada sebuah sungai yang mengalir deras. Surai pirangnya berkibar karena tiupan angin malam. Seorang gadis yang mengenakan jaket berwarna ungu muda mengejar dari belakang.

Manik safir itu memandang lurus ke depan. Ia dapat melihat sebuah daerah yang agak menurun dan penuh bekas galian. Di sana, mesin-mesin kontraktor dan truk-truk pengangkut tengah di dalam keadaan mati. Lentera-lentera menjadi satu-satunya penerangan di daerah itu. Naruto dapat melihat sebuah jalan setapak yang juga menurun.

Rencana yang Shikamaru katakan tadi siang kembali terngiang di pikiran Naruto.

"Malam ini, sektor A kosong," terang Shikamaru sembari menunjuk sebuah titik di atas selembar peta. "Area sektor A berupa tebing-tebing dan gunung batu. Di dekat sana juga ada area pertambangan batu bara yang katanya diganggu oleh seekor siluman monyet berwarna merah."

"Dikatakan di sini bahwa siluman itu cukup berbahaya," ujar Sakura, membaca kertas yang dilaminating dengan rapi itu.

"Ya, dan kita bisa menggiring Hinata ke sana. Jika dia kesulitan, maka kita bisa membantunya," ujar Sasuke.

"Dan bagaimana cara menggiringnya?" tanya Naruto.

Serentak, ketiga orang itu menoleh bersamaan kepada Naruto.

"Menjadikanku umpan, selera humor mereka tinggi juga," keluh Naruto. Manik safirnya melirik ke belakang dan mendapati Hinata termakan rencana gila ketiga sahabatnya untuk menjadikan dirinya umpan.

Di depan adalah sebuah area pertambangan batu bara yang mulai jarang beroperasi karena gangguan siluman berbentuk monyet merah. Naruto tak heran jika di depan sana banyak truk-truk dan mesin penggali. Ia dapat melihat beberapa pekerja yang tertidur di dalam kendaraan atau di atas sehelai karpet dengan penerangan sebuah lentera. Dari sini, ia dapat mencium bau batu bara yang tidak sedap. Pemuda itu menutup hidungnya sembari terus berlari.

Rencana Shikamaru kembali teringat.

"Naruto, kau pancing Hinata untuk masuk ke bagian lebih dalam dari pertambangan itu," ujar Shikamaru. "Siluman itu pasti ada di sana. Lalu, usahakan untuk memancing mahluk itu keluar dari area pertambangan agar tidak membangunkan orang-orang di sekitarnya."

"Bagaimana cara memancingnya tanpa membuat keributan, bodoh?" tanya Naruto.

"Aku yakin setiap bagian dari senjatamu―bahkan rantainya―tidak terbuat dari bahan biasa. Kau bisa mengeluarkan seluruh kemampuannya, 'kan?" tanya Shikamaru.

Naruto terlihat tersentak. "Tapi, menunjukannya di depan Hinata, apakah tidak terlalu dini?"

"Menggores leher gadis yang baru kau kenal selama tiga minggu, apakah tidak terlalu dini?" tanya sekaligus sindir Shikamaru.

"Itu beda kasusnya!" seru Naruto.

"Kita harus cepat, Naruto," ujar Sasuke. "Agar semua ini cepat selesai."

"Sasuke benar, Naruto," dukung Sakura.

"Cih," decih Naruto. Pemuda itu berlari dengan kencang memasuki area pertambangan. Ia berusaha memelankan langkahnya agar tidak membangunkan para penambang yang sedang tertidur itu, begitupun dengan Hinata. Naruto merasa gadis itu mengerti privasi orang lain, namun tidak privasinya.

Kedua orang itu terus saja saling berkejaran. Naruto menuruni jalan setapak dari pasir itu. Jalannya sedikit lebih terang daripada di pinggir tebing tadi karena lentera-lentera itu. Pemuda itu berusaha mencari sosok besar berwarna merah di sana, namun ia belum menemukannya. Yang ia lihat hanyalah truk-truk, mesin penggali, dan para penambang yang terlelap. Bau menyengat batu bara makin kentara, Naruto berusaha menahan napasnya. Ia menyesal tidak meminjam masker milik Shikamaru.

"Kenapa harus sektor ini yang kosong? Menyebalkan sekali," keluh Naruto lagi. Jujur, ia tak tahan jika harus berlari sambil terus menarik napas dan menahannya. Beberapa kali aroma batu bara ikut terhirup dan itu sangat tidak menyenangkan baginya. Pemuda itu segera menenggelamkan hidungnya ke dalam syal merah yang baru saja ia beli.

Bahkan di pertambangan batu bara seperti ini suasana dingin musim gugur masih terasa.

Pemuda itu melirik ke pinggir area pertambangan. Sebuah cahaya berkedip-kedip tiga kali.

"Area pertambangan saat malam hari pasti gelap," ujar Shikamaru. "Kami akan membantumu untuk menemukan lokasi siluman itu."

"Tapi, bagaimana cara kalian memberitahuku? Kalian tidak bisa ikut denganku, 'kan?" tanya Naruto.

"Sinyal cahaya," ujar Sasuke. Pemuda itu mengambil dua buah senter dari dalam tas ranselnya, "dengan ini."

Naruto mengambil senter yang dari tadi ia bawa di dalam jaketnya dan menjawab isyarat itu dengan kedipan cahaya sebanyak dua kali.

Cahaya di seberang kembali menyala. Kali ini tidak berkedip, namun diarahkan tepat jauh di depan Naruto.

'Di sana, ya ….'

Pemuda itu menjawab sinyal itu dengan tiga kali kedipan senternya. Beberapa saat setelah itu, cahaya di seberang padam dan tidak menyala lagi.

Cahaya lentera mulai berkurang. Mereka mulai mendekati area dalam. Naruto mulai kembali mempercepat langkahnya, begitupun dengan Hinata. Kedua orang itu terus berlarian di sepanjang jalan setapak itu dan mendekati area penggalian batu bara.

Naruto memegang kedua ujung senjatanya dan mengangkatnya ke depan. "Lepaskanlah gemuruh badai yang mengamuk di dalam kegelapan dan angin ribut yang berteriak menghancurkan segalanya. Bebaskan yang telah terkekang dan biarkan ia menelan teriakan putus asa!"

Pedang Naruto mulai bersinar samar dengan cahaya ungu. Secara perlahan, cahaya itu mulai bersinar lebih terang. Kedua ujung tajam pedang Naruto mulai memanjang dua kali lipat dari sebelumnya ketika cahaya ungu yang benderang itu menyelimutinya. Naruto membuka bagian rantai di pedangnya itu dan membiarkan cahaya itu menyelimutinya juga. Rantai itu mulai melayang sendiri dan memanjang. Cahaya itu terus bersinar selama beberapa saat sebelum mulai meredup dan hilang sepenuhnya. Rantai yang tadi melayang kini kembali tertarik oleh gravitasi. Naruto menutup bagian rantai itu dan kembali berlari sembari membawa senjatanya yang kini lebih panjang dan mematikan dari sebelumnya.

"Aku harap ini berhasil," gumam Naruto.

Hinata yang melihat itu agak terkejut. Gadis itu menambah kecepatannya untuk menyusul Naruto yang kini makin di depan. Pemuda itu melirik ke belakang sekilas sebelum kembali mengalihkan fokusnya ke depan.

Di sana, Naruto dapat melihat sesuatu yang bergerak-gerak. Seperti sedang memukul-mukul tanah. Walaupun sedikit dan tersamarkan oleh kegelapan malam, Naruto dapat melihat sebuah tangan berbulu berwarna merah yang bergerak-gerak.

"Pasti itu," gumam Naruto lagi. Ia dapat melihat sebuah batu raksasa yang menjulang tepat di dekat siluman itu. Pemuda itu mengangkat senjatanya ke depan lagi dan membuka bagian rantainya sebelum memegang salah satu ujung pedang dan bagian rantai itu. Ia memutar-mutar bagian rantainya yang menyebabkan ujung lain senjata itu ikut berputar sebelum melemparnya ke batu itu. Rantai itu segera memanjang mengikuti jarak antara Naruto dan batu itu. Ujung yang Naruto lempar berhasil melilitkan rantainya ke batu itu.

Pemuda itu menambah kecepatan berlarinya sebelum tiba-tiba melompat dan terseret oleh rantai senjatanya yang mulai memendek di udara. Otomatis, ia bergerak menuju batu itu dan meninggalkan Hinata jauh di belakang.

Melihat jaraknya yang kini jauh lebih dekat dari sebelumnya, pemuda itu menarik ujung senjatanya yang membelit ke batu itu dan mendarat di dekat siluman itu. Ia memutar-mutar ujung yang telah terlepas itu dan melemparnya ke siluman itu, membelit tubuh raksasa itu hingga tidak bisa bergerak. Naruto mengambil senter dengan sebelah lengannya dan melihat wujud aslinya.

Ia benar-benar mirip monyet―tidak, simpanse. Seluruh fisiknya benar-benar mirip kecuali ia berbulu merah dan berukuran tiga kali ukuran orang dewasa. Siluman itu menatap nyalang Naruto dan berteriak keras serta berusaha untuk melepaskan dirinya dari belitan rantai Naruto.

"Percuma," ujar Naruto. "Kau tidak akan bisa lepas dariku."

Pemuda itu menyimpan kembali senternya dan memegang rantai itu dengan kedua tangannya. Perlahan, Naruto menarik siluman itu ke belakang. Siluman itu melawan, namun akhirnya ia terjatuh dan diseret oleh Naruto.

"Senjata ini membuat semuanya lebih mudah," ujar Naruto. "Tetapi juga menyerap tenaga lebih banyak …."

Jauh di sana, ia dapat melihat Hinata yang berlari sembari membawa senter.

Naruto menyeringai. Pemuda itu berhenti di tempatnya saat itu dan menunggu gadis itu menghampirinya sembari mengeratkan ikatan di tubuh siluman itu, membuatnya berteriak kesakitan dan terus meronta.

Sinar itu makin mendekat ke arahnya hingga menyinari wajahnya. Ia dapat melihat Hinata yang menarik napas dengan terengah-engah. Naruto yakin gadis itu lelah mengejarnya hingga ke sini. Namun, baru saja Naruto akan menunjukkan rasa kasihannya, gadis itu menjatuhkan senternya dan melesat maju untuk menyerang Naruto. Pemuda itu berkelit ke samping dan mundur beberapa langkah. Gadis itu benar-benar keras kepala.

"Maaf, Hinata, namun lawanmu kali ini bukanlah aku," ujar Naruto, menyeringai. Gadis itu mengernyitkan dahinya sebelum Naruto melepas rantai yang melilit siluman itu. Manik awan Hinata membulat ketika siluman itu bangkit perlahan dan berteriak.

Naruto mengambil sesuatu dari kantungnya sebelum membungkuk hormat kepada Hinata. "Nikmati pertunjukanmu, Nona."

Bersamaan dengan itu, Naruto menghilang dengan bom asap.

Black Paradise © zandore

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning : AU, miss-typos, maybe a little bit OOC

Inspired from Kyokai no Kanata.

Chapter kali ini lebih panjang dari chapter sebelumnya. Jadi, jangan terkejut jika kalian membutuhkan waktu lebih lama untuk membacanya.

Saya tidak mengambil keuntungan materiil apapun dari fanfiksi ini.

.

.

Sebuah tangan menyerangnya dari atas, namun ia segera melompat mundur. Tangan itu menghantam tanah dan menghasilkan bunyi berdebum yang nyaring, menghancurkan tanah batu di bawahnya, menerbangkan debu, menutupi pandangannya. Gadis itu merogoh kantung celana belakangnya dan memegang tiga buah bilah besi tajam di maisng-masing tangannya. Ia berdiri di sana, menunggu serangan berikutnya.

Selama beberapa waktu tak ada sesuatu yang melesat dari debu-debu terbang yang menyerupai gumpalan asap itu. Detik demi detik berlalu seiring dengan meningkatnya kewaspadaan gadis itu. Ketenangan yang mencekam menghampiri, meningkatkan adrenalin yang mengalir di pembuluh darah. Suara deru napas yang terengah-engah jadi terdengar begitu keras, mengalahkan melodi malam para jangkrik.

Debu-debu itu mulai menghilang bersama perjalanan sang angin. Menipisnya penghalang pandangan itu bersamaan dengan tusukan dingin semilir malam yang sampai ke sumsum tulang. Suasana yang mencekam itu makin kentara, genggamannya kepada ketiga bilah besi di kedua tangannya mengerat, kewaspadaannya meningkat, fokusnya terpaku pada satu tempat.

Asap itu makin menipis. Menipis. Menipis. Menipis hingga asap itu mulai menunjukkan apa yang ia sembunyikan selama ini.

Tanah yang kini menjadi seperti kawah kecil.

Gadis itu membelalakan kedua matanya lebar-lebar.

Asap itu kini hilang sepenuhnya dan ia mendapati bahwa siluman itu kini telah menghilang dan dia belum membunuhnya.

Mungkinkah? batin gadis itu. Ia menggerak-gerakan manik matanya ke seluruh penjuru demi mencari keberadaan siluman itu. Tidak ada lubang di tempat itu, tidak mungkin di bawah. Tidak mungkin di belakang. Ia pasti merasakannya jika siluman itu berlari memutarinya dan berusaha menyerang dari belakang. Di bagian kanan dan kiri pun tidak ada.

Itu berarti hanya ada satu.

Suara teriakan menggema dari langit. Gadis itu segera mendongak ke atas dan kembali terbelalak atas apa yang datang dari atas itu. Sebuah tangan yang diselubungi oleh api.

Bagaikan meteor yang akan menghujani bumi, serangan itu terus meluncur. Namun, gadis itu terpaku di sana, seolah-olah ia telah dihipnotis untuk menerima serangan itu. Kedua manik awannya memantulkan bayangan serangan yang makin mendekat itu. Ia seolah lemas. Keenam bilah besi di kedua tangannya terjatuh, menimbulkan bunyi dentingan besi.

Ia tak dapat bergerak.

Serangan itu makin mendekat kepada dirinya, teriakan itu kembali menggema. Teriakan itu sangat berat dan keras, namun di telinganya, perlahan suara itu mulai berubah. Dari teriakan berat itu menjadi teriakan yang melengking. Melengking hingga menusuk setiap syaraf di tubuhnya dan berbicara kepadanya.

'Lari, Hinata!'

"Lari, Hinata!"

Kedua manik awan itu bagai mendapat cahayanya lagi begitu sebuah suara yang ia kenal merasuki indra pendengarannya. Dirinya bagai ditarik kembali ke kenyataan. Gelombang kejut kembali menyerangnya, namun semua sudah terlambat, ia dapat merasakan hawa panas itu di kulitnya. Terlambat. Bahkan untuk berteriak.

"Brengsek!"

Tepat setelahnya, serangan itu tiba-tiba terlempar jauh dari dirinya. Yang ia ingat adalah suara benturan, kemudian tubuh siluman yang terlempar jauh dan menabrak batu raksasa di sana kemudian terjatuh.

Seseorang segera mendarat di depannya. Hinata terduduk di atas tanah dengan gelombang kejutnya yang masih terasa. Orang yang menjadi penyelamatnya itu segera berlutut dan mendekatinya.

"Kau tidak apa-apa, Hinata?" tanya seorang gadis yang memakai syal berwarna oranye. Hinata dapat melihat surai merah muda itu dan manik emerald itu. Namun, tubuhnya bagai terpaku, maniknya bergetar hebat.

"Dia terkena serangan syok!" seru Sakura. Kedua pemuda di belakangnya segera maju dan bersiap dengan senjata masing-masing sementara seseorang di belakang membentuk sebuah segel sebelum bayangannya memanjang dan mengikat siluman itu.

"Kalau begitu sadarkan dia!" seru pemuda di belakang itu. "Kita tidak punya banyak waktu!"

Sakura mengguncang-guncang pundak Hinata. "Hinata! Hinata! Hinata sadar! Hinata!"

Namun, Hinata tak bereaksi. Tubuhnya bergetar. Ia tak dapat bergerak.

"Hinata! Hinata!" jerit Sakura panik. Ia membuka tas selempang kecilnya yang berwarna coklat muda dan mengeluarkan sebuah botol dan membukanya sebelum mendekatkannya kepada hidung Hinata. "Hinata, rileks! Rileks! Hirup pelan-pelan, dengarkan aku Hinata! Hinata!"

Hinata tak mendengarnya. Hinata tak dapat mencium apa-apa. Teriakan Sakura perlahan mulai mengecil, mengecil, hingga ia bagai menuli. Tertelan oleh kegelapan. Sunyi dan dingin. Mencekam. Ia bagai dirasuki oleh siluman.

Kemudian sayup-sayup, ia mendengarnya lagi. Lengkingan yang menyakitkan.

'Lari, Hinata!'

"TIDAAAAAK!" jerit gadis Hyuuga itu sembari memegangi kepalanya sebelum jatuh tak sadarkan diri.

~o0o~

Kedua kelopak mata yang terpejam itu mulai bergerak sedikit, perlahan menyingkapkan manik seputih awan yang bersembunyi di baliknya. Cahaya yang menyilaukan bagai menusuk kedua matanya, memaksanya untuk kembali bersembunyi di balik perlindungan kelopak matanya. Kepalanya serasa berdenyut, sakit sekali. Sebelah lengannya bergerak untuk memegangi kepalanya yang berdenyut itu sembari lengan yang satunya mengusap-usap pelan kedua matanya.

"Kau sudah sadar, Hinata?"

Sebuah suara menginterupsinya. Perlahan, ia menelengkan kepalanya ke samping untuk melihat siapa yang memanggil namanya. Karena ia baru saja bangun, penglihatannya masih buram. Namun perlahan, penglihatannya kembali membaik seiring ia mengedipkan kedua matanya dan mengusapnya. Ia dapat melihat seorang pemuda dengan baju polos berwarna putih sedang menatapinya dengan kedua manik safirnya.

"Naruto?" gumamnya lemah. Sebuah senyum mulai terukir di wajah pemuda itu. Ia kelihatannya senang karena dirinya telah berhasil mengenali wajahnya.

"Duduklah pelan-pelan, Hinata," ujar Naruto. Hinata menurutinya saja. Ia mulai bertumpu kepada kedua siku lengannya dan mulai bangkit perlahan. Sakit. Kepalanya begitu sakit saat ia bergerak seperti ini. Ia nyaris saja jatuh kembali ke ranjang jika saja Naruto tidak membantunya berdiri dengan menopang punggung dan kepalanya. Ia dapat merasakan hangatnya tangan pemuda itu.

Namun, rasa sakit itu kembali menyerang. Ia memegang kepalanya, rasanya sangat sakit.

"Kau tidak apa-apa, Hinata?" sebuah suara lain menginterupsi lagi, kali ini suara wanita. Hinata menelengkan kepalanya kepada sebuah pintu yang terbuka sedikit. Dari balik celah itu, sebuah manik emerald mengintip sebelum membuka pintu itu lebih lebar dan masuk ke dalam sembari membawa sebuah nampan berisi lima buah cangkir dan sebuah teko.

"Sakura-san …," gumam Hinata lagi. Gadis itu menaruh nampan itu di sebuah meja pendek di tengah ruangan sebelum menuangkan cairan berwarna hijau ke dalam cangkir itu dan memberikannya kepada Hinata sembari Naruto berpindah tempat dari samping tempat berbaringnya ke salah satu sisi meja pendek itu.

"Ayo diminum," ujar Sakura sembari tersenyum ramah. "Teh hijau hangat akan membuatmu merasa lebih baik."

Hinata terdiam selama beberapa saat, agak terkejut melihat senyum yang terukir di wajah Sakura. Ini pertama kalinya ia melihat wajah cantik itu dari dekat dan ia sudah memberikan senyum yang ramah kepadanya. Entah kenapa, sesuatu seperti mengganjal di hatinya ketika ia melihat cangkir berisi teh hijau hangat yang terulur kepadanya itu.

"Teh ini tidak enak jika sudah dingin, lho," ujar Sakura, masih tersenyum. "Ayo diminum. Teh hijau bisa membuatmu lebih rileks dan hangat."

Hinata kembali terkejut. Dalam hati, ia berpikir bagaimana bisa gadis ini berbicara kepadanya seperti teman lama kendati ia berusaha membunuh Naruto, ia bingung sekaligus agak takut. Namun, ia terima saja cangkir itu dengan perasaan yang tercampur aduk. Perkataan Sakura terbukti ketika ia meminum teh itu dan menghabiskannya dalam beberapa tegukan saja. Tubuhnya terasa lebih hangat dari yang tadi kendati sakit kepalanya masih belum reda sama sekali, namun ia merasa lebih tenang.

"Te-terima kasih …," ujar Hinata, mengembalikan cangkir teh itu kepada Sakura. Gadis itu menerimanya dan menaruhnya di atas nampan.

"Mau kutuangkan teh lagi?" tanya Sakura ramah. Hinata terdiam selama beberapa saat. Tangan Sakura sudah siap di pegangan teko dan satunya memegangi cangkir itu sementara Naruto memperhatikan dari seberang meja kecil itu. Hinata mengangguk samar dan Sakura menuangkan teh hijau lagi ke dalam cangkir itu.

"Onee-san!"

Sebuah suara anak kecil datang dari luar. Refleks, Hinata, Naruto, dan Sakura menelengkan kepala mereka ke arah pintu masuk yang segera dibuka dengan kasar. Dari luar sana, seorang anak kecil bersurai coklat berlari-lari menghampiri Hinata, memanjat tempat tidur itu dan memeluknya erat. Hinata terkejut, begitupun dengan Sakura dan Naruto.

"Onee-san tidak apa-apa? Onee-san kena apa? Kenapa kepala onee-san diperban?" tanya gadis cilik itu bertubi-tubi. Hinata langsung terkejut karena di saat itu juga ia baru sadar bahwa kepalanya telah diperban. Ia meraba lembut perban itu.

"Onee-san?" ulang Naruto dengan nada bertanya. Sakura menelengkan kepalanya kepada Naruto sebelum melemparkan pandangan bertanya kepada Hinata sembari menaruh cangkir teh yang baru saja akan diberikan kepada Hinata itu.

"Dia adiknya," terang Sasuke. Pemuda itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan. Di belakangnya, Shikamaru ikut masuk sebelum menutup pintu itu dan ikut duduk di dua sisi kosong meja pendek itu. Sakura menaruh teh milik Hinata dan menuangkan teh di dua cangkir lainnya sebelum memberikannya kepada Shikamaru dan Sasuke.

"Adiknya?" ulang Sakura dengan nada bertanya. Gadis itu mengambil cangkir milik Hinata dan berjalan menghampiri ranjang gadis itu. Ia melempar pandangan bertanya kepada Hinata.

Hinata yang dipandangi hanya menerima cangkir teh itu dan menyeruputnya. Ia memandangi Sakura dan menjawab, "I-iya … dia adikku, Hyuuga Hanabi."

Gadis yang disebutkan namanya itu memegang erat kaus yang dipakai oleh kakaknya itu dengan takut-takut. Hinata membelai lembut surai Hanabi yang terlihat ketakutan itu.

"Dia sangat pemalu. Mohon dimaklumi," ujar Hinata dengan suaranya yang lemah. Hanabi berpindah ke punggung Hinata dan bersembunyi di sana sembari mencuri-curi intip penasaran dari pundak Hinata. Sakura mengangguk dan menerima cangkir teh kosong dari Hinata dan menaruhnya kembali di atas nampan sesudah Hinata berkata tidak ketika ia menawarinya secangkir teh lagi.

Sakura meninggalkan cangkir teh Hinata sendirian dan menuangkan teh untuk Naruto. Selama itu, keheningan yang canggung menyelimuti ruangan itu. Suara aliran teh menjadi satu-satunya pengisi keheningan di sana, selain itu keadaan begitu hening dan canggung. Hinata yang tidak tahu harus apa, Shikamaru dan Sasuke yang memasang wajah datar dan masam mereka, dan Hanabi yang malu-malu.

Kecanggungan itu makin diperpara dengan fakta bahwa Hinata, seorang pembunuh yang berusaha membunuh Naruto, kini sedang dirawat oleh teman-teman Naruto. Ironi yang makin membuat keadaan semakin buruk.

Keheningan itu berlangsung selama beberapa lama. Suara detik jam yang berlalu mengiringi kecanggungan yang terus berjalan. Saat-saat ini bagai di Neraka. Hinata merasa bingung, takut, dan tidak enak. Perasaannya tercampur aduk.

Bahkan suara menarik napas bagai auman singa di dalam ruangan itu. Waktu terus berlalu.

"Aku akan mengisi tekonya lagi dan mengambil tambahan cangkir," ujar Sakura tiba-tiba. Gadis itu berdiri dan tersenyum singkat kepada Hinata sebelum berjalan keluar ruangan sembari membawa nampan yang kali ini hanya berisi tekonya saja.

Namun, keheningan itu masih terus berlanjut. Kecanggungan yang menyelimuti mereka. Naruto mengetuk-ngetukkan kukunya ke cangkir, Shikamaru memandangi tehnya, dan Sasuke melirik tajam dua gadis Hyuuga yang kini berada di ranjang Naruto. Hinata sendiri hanya bisa memainkan jarinya karena semua ini. Sementara Hanabi duduk bersandar di tembok sembari menunduk dan memainkan rambutnya.

Rencana mereka untuk menjadikan Hinata sebagai teman seolah-olah gagal―atau memang gagal. Tak ada yang mau berbicara. Tak ada yang mau membuka mulut mereka dan memecahkan keheningan yang mencekam ini karena perasaan mereka. Perasaan mereka …

… karena telah menolong seorang pembunuh.

~o0o~

Sakura mengaduk-aduk air yang sudah dicampuri bubuk the hijau itu. Sebelah tangannya bergerak mengaduk, namun perasaannya bagai hampa. Sebuah kejanggalan. Pandangan dari manik itu seolah kehilangan cahayanya, ia menatap kosong arus air yang ia aduk. Berputar-putar tak menentu, seperti perasaannya.

Harusnya ia tahu ini tak akan berhasil. Harusnya ia tahu ini tak akan pernah berhasil.

Membuat sebuah ikatan dengan pembunuh sahabatmu selama 16 tahun tidaklah mudah. Tidak. Ini jauh di luar dugaannya. Ia seharusnya tak melakukan ini. Membawa pembunuhmu ke apartemenmu bukanlah ide bagus, namun Naruto tetap bersikeras melakukannya, hal itupun membuahkan sebuah debat di antara mereka berdua. Shikamaru dan Sasuke diam saja, tetapi Sakura tahu bahwa mereka sebenarnya juga tidak setuju.

"Kenapa kau ingin membawanya ke apartemenmu, Naruto?! Dia bisa mengetahui lokasimu kemudian menyerangmu kapan saja atau menggali informasi tentang dirimu―"

"Hentikan, Sakura!" sela Naruto. "Ini adalah cara terbaik!"

"Bagaimana kau bisa menyimpulkan ini adalah cara terbaik?! Membiarkan pembunuhmu datang ke rumahmu?!" teriak Sakura.

"Aku tidak bermaksud begitu!" Naruto balas berteriak.

"Lalu kenapa kau ingin dia datang ke apartemenmu?!"

"Ini cara terbaik!"

"Pikirkan lagi!"

"Hanya ini satu-satunya cara!"

"Membawa pembunuh―"

"Dia bukan pembunuh!"

Dan hal itu berakhir dengan keheningan yang canggung seperti di ruangan itu. Keheningan yang mencekam.

Sakura sungguh tidak bermaksud meneriaki Naruto. Ia hanya ingin mengusulkan untuk membawa Hinata ke tempat lain, seperti di dalam gua atau di rumah yang lainnya. Tetapi, Naruto sungguh keras kepala untuk membawa Hinata ke apartemennya. Ia sendiri tidak tahu mengapa Naruto begitu ingin menjalin ikatan dengan seorang pembunuh sepertinya.

Jujur saja, Sakura masih tidak dapat menerima gadis itu memandangnya. Tidak, eksistensinya saja sudah menjadi kesalahan besar untuk Sakura. Ia harusnya tidak ada di dunia ini.

JIka saja Hinata tidak menerima permintaan untuk membunuh itu, jika saja Hinata tidak menjadi Pemburu Siluman ilegal, jika saja Hinata tidak berusaha membunuh Naruto, maka … maka … seharusnya ia tidak akan dibenci seperti ini.

"Sial!" umpat Sakura. Ia mengeratkan pegangannya pada gagang sendok. Namun, ia terlalu kuat dan mematahkan sendok itu. Sakura mendecih kesal. Ia berjalan sembari menghentak-hentakkan kakinya dan mengambil kasar patahan sendok itu dan membuangnya ke tempat sampah sebelum mengambil sendok baru.

Ia kesal. Ia marah. Ia tidak terima. Bagaimana bisa Naruto begitu idealis? Maksudnya, ia memang selalu idealis dan berusaha mewujudkannya, namun kali ini sifat idealisnya sudah terlalu jauh. Nyawanya terancam dan ia membawa malaikat pencabut nyawanya ke markasnya sendiri dan berharap menjadikanya teman dan bernegoisasi dengannya.

Ini jelas sangat jauh.

Sebuah sendok kembali ia patahkan. Sakura mendecih sebelum mengambil sendok baru lagi.

"Kau tidak seharusnya mematahkan sendok."

"Maaf, aku tidak tahan," tanggap Sakura tanpa menoleh. Ia sudah tahu suara siapa yang menginterupsi kegiatan pelampiasan amarahnya ini.

Sebuah helaan napas terdengar dari arah belakangnya. "Tenanglah. Naruto tahu apa yang dia lakukan."

"Tidak. Dia bodoh, Shikamaru," bantah Sakura. "Dia sangat bodoh dan idiot."

Shikamaru mengendikkan bahunya sebelum melipat kedua tangannya di depan dada dan bersandar di tembok dapur. "Bukankah ia selalu seperti itu?"

"Tapi ini kejauhan."

Suara helaan napas yang berat kembali terdengar. "Mungkin aku memang salah dengan mendukung rencana ini, ya? Dengan mencari tempat, menyusun rencana, dan segalanya. Benarkah, Sakura?"

Gadis itu tetap mengaduk cangkir teh itu dengan hampa. "Tidak tahu."

"Kau sebenarnya juga tahu bahwa rencana ini tidak akan selalu berjalan mulus," ujar Shikamaru. "Tapi kau tetap mengikutinya."

"Bukankah itu definisi dari mengambil resiko?" tanya Sakura. Ia menaruh cangkir teh itu di atas nampan dan kini bergantian memasukkan sendok demi sendok teh ke dalam teko. "Mengikuti atau melakukan sesuatu yang kau tahu atau tidak tahu apa resikonya."

"Dan kita tidak bisa hidup tanpa mengambil resiko," tambah Shikamaru. "Ironis. Namun kita tetap harus melakukannya."

"Jika kau berniat memberiku nasehat, maka itu tidak akan berhasil."

"Aku tidak bermaksud menjadi orang bijak di sini," ucap Shikamaru. "Aku hanya ingin kau percaya kepada Naruto meskipun itu artinya taruhan nyawa."

"Tidak. Dia sudah cukup membahayakan nyawanya," Sakura menuangkan air ke dalam teko itu sebelum mengaduknya. "Tidak lagi."

"Kau terlalu mengkhawatirkannya. Ikutilah saja arus permainan ini."

"Bagaimana kau bisa setenang itu ketika nyawa seseorang sedang dalam bahaya?" tanya Sakura. Gadis itu membawa nampan berisi sebuah cangkir dan teko yang penuh dengan teh hijau yang hangat. Shikamaru tertawa kecil sebelum gadis itu melangkahkan kakinya dari dapur, membuat gadis itu tiba-tiba terpaku di tempat.

"Apanya yang lucu?"

"Tidak ada," jawabnya. Pemuda itu beranjak dari posisi bersandarnya dan berjalan mendahului Sakura, membuat gadis itu mengernyitkan dahinya. Ia berjalan mengikuti Shikamaru di belakang.

Mereka terus melangkahkan kaki dalam hening hingga mereka sampai di depan sebuah pintu kayu. Shikamaru memutar knop pintu itu dan mendorong pintu itu ke dalam sebelum bersandar pada pintu itu, memberikan ruang bagi Sakura untuk lewat. Namun, baru beberapa langkah, gadis itu langsung terpaku di tempatnya lagi. Shikamaru menyeringai.

Naruto, sedang mengerjakan PRnya, bersama dengan Hinata yang mengajari dan mendiktenya. Sementara Sasuke mengajari Hanabi seni melipat kertas.

Apa yang―

"Oh, Sakura, kau telah kembali?" tanya Naruto. Pemuda itu mengambil cangkirnya dan mengangkatnya. "Kebetulan, isikan aku teh lagi, ya!"

Manik emerald itu membulat lebar.

"Ah, Hinata juga isikan!" Naruto mengangkat cangkir gadis Hyuuga itu juga sementara Hinata berusaha menggapai-gapai cangkir itu agar tidak diisikan.

"Tidak usah―"

"Sudahlah!"

Apa … ini … ?

"Sudah kubilang, 'kan?" tanya pemuda berkuncir itu. Salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas. "Kau harus percaya kepadanya."

Bukankah seharusnya ini tidak mungkin?

"Sudahlah," ujar Shikamaru, menepuk pundak Sakura. "Biar aku yang jelaskan."

~o0o~

Jubah hitam itu berkibar di tengah semilir angin malam. Dedaunan yang mengusik terhanyut oleh perjalanan sang angin. Dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulang bagai tak berpengaruh kepadanya. Kedua mata di balik topeng putih ittu terus mengawasi sebuah kamar yang kini berpenghunikan enam orang itu.

"Kau sudah selesai?" tanya orang itu.

"Ya," jawab sebuah suara di balik bayangan. "Bagaimana dengan mereka?"

"Mereka mulai bergerak dan memiliki langkah awal yang mulus," jawab pemuda bertopeng itu. "Aku tidak percaya aku tidak perlu ikut campur banyak dalam hal ini."

"Tetapi kau telah menyelamatkan gadis itu dan mengobati lukanya. Jadi, tetaplah awasi mereka," himbau suara di balik bayangan itu.

"Tidak perlu kau katakan aku juga tahu," ujarnya. "Aku tidak akan membiarkannya mendapatkan apa yang ia inginkan. Sudah, laporkan saja sana."

"Baik," ujar suara itu. Setelah itu, tak ada suara lain lagi yang berbicara. Keheningan menghampiri.

Angin malam yang dingin terus berhembus. Orang itu mengeluarkan sekuntum mawar berwarna putih dari balik lengan jubahnya dan menggenggam mawar putih itu di depan dadanya.

"Mengajak pembunuhmu ke rumahmu dan memperlakukannya bagaikan kawan lama, aku tidak mengerti apa yang kau inginkan," ujar orang itu. "Permainan apa yang sebenanya kau mainkan, Uzumaki Naruto?"

Ia mengangkat tangannya dan melepaskan genggamannya, membiarkan mawar itu menari di tengah angin.

~o0o~

Naruto mengajak Hinata berbicara tentang PR terlebih dahulu dan memilih untuk melupakan urusan pembunuhan itu terlebih dahulu. Awalnya, gadis itu memang terkejut ketika dia diminta Naruto untuk mengajarinya tentang PRnya. Namun, ia menurut saja dan lama-lama terbawa oleh arus permainan yang dimainkan oleh Naruto.

Sementara itu Hanabi yang tidak mengerti hanya diam saja, namun mulai tertarik ketika Sasuke mulai membuat seni lipat kertas berbentuk pesawat dan melemparkannya ke seberang ruangan. Gadis cilik itu perlahan mulai mendekati Sasuke dan malu-malu memperhatikan bagaimana pemuda itu melipat-lipat kertas yang ia sobek dengan seenaknya dari buku catatan Naruto dan meminta diajari bagaimana cara melipatnya.

Semua ini memang di luar dugaan Sakura bahwa Naruto dan Sasuke bisa membawa dua Hyuuga itu dalam euforia masing-masing kendati Hinata yang masih agak gugup mengajari Naruto. Ia lebih banyak diam, namun terkadang juga memperhatikan dan membetulkan jawaban Naruto jika ada yang salah.

Dan kini, mereka sudah selesai. Naruto bernapas lega sembari menutup bukunya.

"Haah, akhirnya selesai juga," ujar Naruto sembari menarik napas. Ia melirik Sakura yang terduduk diam di meja belajarnya dan Shikamaru yang tiduran di ranjangnya. "Aku menunggu liburan."

"Bukankah kita ada perjalanan tiga hari lagi?" tanya Sasuke, menerbangkan pesawat kertasnya dengan Hanabi yang melihatnya dengan riang.

"Perjalanan?" tanya Naruto.

"Berkemah di gunung selama empat hari tiga malam," ujar Shikamaru. "Yah, aku harap di gunung itu tidak banyak silumannya."

Hinata yang mendengar kata 'siluman' langsung tersentak.

"Seharusnya acara berkemah menjadi acara yang menyenangkan, tetapi jika kita malah harus bekerja tambahan di sana namanya tidak menyenangkan lagi," ujar Naruto. "Tapi jika ada buruan yang 'lezat', maka kita akan mendapatkannya, benar, 'kan, Hinata?"

Hinata yang baru saja disikut oleh Naruto kembali terkejut dan menjawab dengan gugup, "I-iya."

Naruto mengalihkan fokusnya kepada jam yang digantung di dindingnya. "Sudah hampir tengah malam."

"Kalau begitu kami pulang," ujar Sasuke, pemuda itu berdiri dan kembali mengenakan jaket serta syalnya. Ia membuka lemari Naruto dan mengambil tombaknya sebelum membuka pintu yang menghubungkan kamar Naruto dengan balkon diikuti dengan Sasuke dan Sakura yang melakukan hal yang sama.

Kini, tinggal Hinata, Hanabi, dan Naruto.

"Biar aku antar, Hinata," ujar Naruto, mengambil pedang bermata duanya sekaligus jaket dan syalnya.

"Ti-tidak usah, aku―"

"Seorang gadis tidak boleh pulang sendiri," ujar Naruto bersikeras. Ia mengambil jaket Hinata dan memberikannya kepada sang pemilik. "Sekarang, ayo kita pergi."

~o0o~

Ia tidak senang berada di dekat Naruto.

Sungguh. Ia tak menyangka Naruto akan menyelamatkan dirinya dan memberikannya teh hangat di apartemennya, di bawah atap tempat ia bernaung. Memaksa dirinya untuk mengajarinya PR lagi. Itu di luar dugaannya.

Ia tidak ingin membantu Naruto mengerjakan PRnya tadi, namun untuk membalas kebaikannya, Hinata bersedia melakukannya kendati rasa canggung yang berat terus membebaninya. Sangat sulit untuk melakukannya.

Kini, Hinata bisa membunuh Naruto kapan saja.

Namun, ia merasa tak enak karena kebaikan Naruto. Ia merasa tak enak untuk menggores nadinya atau menusuk jantungnya. Naruto telah menyediakan kebaikan di depan matanya dan kini ia kehilangan tekadnya untuk membunuh pemuda bersurai pirang yang sedang memainkan handphonenya ini.

Selain itu ….

"Lari, Hinata!"

Gadis itu memejamkan kedua matanya erat-erat. Tidak. Ini bukanlah saat tepat. Naruto adalah targetnya. Pemuda itu adalah targetnya dan ia adalah pembunuhnya. Ini bukanlah saat bagi dirinya untuk mengeluarkan belas kasihannya. Ia ditugaskan untuk membunuh seseorang. Ya, seseorang yang asing baginya. Seseorang yang asing. Seseorang yang asing. Seseorang yang ….

"Awas, Hinata!"

Sebuah duri melesat dengan cepat dan tiba-tiba berhenti di depan wajah Hinata. Duri yang besar, kira-kira bentuknya seperti jarum, berwarna hijau tua, dan memiliki panjang yang sama dengan betis manusia. Tangan Naruto yang menghentikan laju duri itu melemparnya jauh-jauh.

"Kau tidak apa-apa, Hinata?" tanya Naruto. Gadis itu segera tersadar dari rasa terkejutnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku tidak apa-apa," jawabnya. Hanabi yang melihat bagaimana duri itu melesat ke wajah Hinata bersembunyi di balik punggung kakaknya sembari mengintip dengan takut-takut.

"Aku rasa ada sesuatu yang tidak beres di sini," ujar Naruto. Ia mengawasi daerah di sekitarnya, begitupun dengan Hinata. Mereka memang berada di seberang jalan yang berada di dekat sebuah tanah kosong jadi tidak heran bila ada siluman yang muncul. Namun, Hinata bilang dia telah memasang segel untuk mencegah siluman masuk dan menghalangi dirinya atau warga yang akan lewat saat malam hari. "Kita harus memeriksanya."

Tidak mungkin. Hinata tidak ingin bersama lebih lama lagi dengan targetnya. Ia tidak ingin merasakan kebaikan Naruto lebih jauh lagi.

"Maaf," ujar gadis itu, menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Aku bisa menyeberang sendiri. Permisi!"

"Eh, tunggu!" panggil Naruto. Namun, ia sudah terlanjur berlari lebih dulu menyeberang jalan yang sepi tanpa kendaraan mendahului Naruto sembari menggandeng Hanabi. "Hinata, berbahaya!"

"Onee-san, tadi itu apa?" tanya Hanabi yang kebingungan saat ia diajak lari oleh Hinata.

"Sudahlah," himbaunya. "Kita lebih baik terus berlari―"

Belum selesai ia berbicara, sebuah duri lain melesat ke arahnya. Gadis itu segera menelengkan kepalanya untuk menghindarinya. Belum cukup sampai di sana, duri-duri lain segera melesat dengan cepat ke arahnya. Hanabi berlindung di belakang punggung kakaknya lagi sembari Hinata menangkis duri-duri itu dan menghindarinya dengan gesit. Duri terakhir mengarah ke jantungnya, Hinata mengambil benda tajam itu dan melemparnya balik ke depan. Suara sesuatu yang menancap di tembok terdengar.

"Hinata memang hebat seperti biasanya, ya," ujar sebuah suara wanita. "Sesuai dugaanku."

"Suara ini …," gumam Hinata. Sebuah kaki yang jenjang melangkah dari kegelapan. Sepasang sepatu high heels berwarna ungu adalah yang pertama kali terlihat. Setelah itu, sebuah atasan ketat di atas lutut yang berwarna ungu dengan glitter di mana-mana. Semakin naik, pakaian atas yang ketat itu makin menunjukkan dirinya dan tubuh yang dibalutnya. Hinata dapat melihat pakaian itu tak memiliki lengan dan mempunyai garis leher bermodel scoop. Wanita itu terus melangkah keluar hingga sinar bulan menyinari wajahnya. Manik bagai batu amethyst yang indah dan rambut pirang sepunggung yang terkesan lembut.

"Shion-san?" tanya Hinata.

Wanita yang dipanggil Shion itu memainkan mawar merah berduri yang ia pegang. "'Mawar yang indah memiliki duri', ya? Peribahasa itu memang cocok untukmu, Hinata."

"A-apa maksudmu?"

"Siapa yang menyangka bahwa kau akan bersekongkol dengan Pemburu Siluman dari pemerintah? Oh, mari kita dengar informasi apa saja yang kau bocorkan," ujar Shion, langsung ke inti pembicaraan.

"A-aku tidak bersekongkol dengan mereka, Shion-san! Aku di-ditolong oleh mereka!" ujar gadis itu.

"Maaf, sayang, tapi peraturan adalah peraturan," ucap wanita itu. Ia mendekatkan bunga mawar merah itu ke hidungnya dan meresapi aromanya sebelum mencabut salah satu duri di batang mawar itu. Ia menyeringai.

"Ja-jadi yang melempar duri itu a-adalah Anda?" tanya Hinata.

Wanita itu tidak menjawab. Ia hanya mengambil lebih banyak duri dan menggenggamnya sebelum bersiap-siap melemparnya. "Dilate."

Shion melempar duri-duri itu kepada Hinata. Sesaat setelah duri-duri itu dilempar, mereka membesar seperti duri-duri yang Hinata lihat tadi. Gadis itu membulatkan kedua matanya.

Namun, sebelum sempat menyentuh Hinata, sebuah tongkat yang berputar kencang terlempar ke arah duri-duri itu dan menangkis semuanya. Seorang pemuda yang mengenakan jaket oranye mendarat di depan gadis itu dan menangkap tongkat itu yang ternyata sebuah pedang bermata dua.

"Jadi, kau yang seenaknya melempar benda-benda tajam itu? Berbahaya, tahu," ujar Naruto. Manik safirnya memandang Shion penuh determinasi. "Malam-malam lagi."

"Lebih bagus. Orangnya datang sendiri. Dengan ini, aku bisa menjatuhkan dua ekor burung dengan satu lemparan batu," ujarnya. Ia mengambil sebuah batu kecil dan bersiap-siap melemparnya. "Dilate!"

Sama seperti jarum tadi, batu itu membesar sesaat setelah dilempar. Batu itu melayang ke arah dua orang itu.

"Dia benar-benar melempar sebuah batu …," gumam Naruto.

"Awas!" Hinata segera berdiri di depan Naruto dan mengeratkan tinjunya hingga tangannya bergetar. Ketika batu itu sudah berada di depannya, ia menghancurkannya dengan satu tinjuan, memecahnya menjadi pecahan-pecahan yang lebih kecil dan melindungi Naruto serta dirinya.

"Kau melindunginya?" tanya Shion dengan sebelah alis terangkat. "Sayang sekali."

"Su-sudah kukatakan ba-bahwa ia hanya me-menolongku!" ujar Hinata.

"Dan sudah kukatakan bahwa peraturan adalah peraturan," ulang Shion. "Siapapun yang melakukan kontak dengan orang luar akan dibunuh."

"Hoi, memangnya kau siapa?!" teriak Naruto. "Aku tidak tahu siapa kau dan kau tiba-tiba melempar sebuah batu penutup gua kepadaku dan Hinata, apakah kau pemain sirkus yang mabuk atau pembunuh bayaran yang lain?!"

"Pemain sirkus?" tanyanya. Ia bersandar di tembok apartemen Hinata dan kembali meresapi aroma mawarnya. "Aku lebih dari itu, sayang. Aku adalah seorang aktris yang gemilang di kemilaunya."

"Aktris?" ulang Naruto.

"Dia adalah Shion. Seorang … seorang Pemburu Siluman yang ilegal sekaligus penjaga kerahasiaan sekaligus identitas para Pemburu Siluman yang ilegal di area ini," jelas Hinata. "Namun, di luarnya, di-dia adalah model se-sekaligus peraga busana ya-yang cukup terkenal."

"Kau sudah mendengarnya," ujar Shion. "Dan peraturan kami mengatakan bahwa jika ada yang membuat kontak dengan orang idiot sepertimu, maka dia harus dibunuh."

"Peraturan macam apa itu?! Itu bodoh!" protes Naruto.

"Sama sepertimu," ujar Shion.

Naruto menggeram. Pemuda itu mengambil duri raksasa yang kebetulan ada di dekatnya dan melemparnya bak tombak ke arah wanita itu. Namun, ia menangkap duri itu dengan mudah.

"Shrink," ujarnya. Duri itupun perlahan kembali ke ukurannya semula.

"Cih, kekuatan apa itu?" tanya Naruto.

"Itu sihir," jawab Hinata. "Be-beberapa Pemburu Siluman ju-juga menggunakan si-sihir, benar, 'kan? Shion-san me-memiliki kekuatan sihir yang dapat me-mengubah ukuran suatu benda sesuai keinginannya. Ta-tapi, benda itu harus digenggam di tangan Shion-san ta-tanpa ada sedikitpun bagian ya-yang keluar dari genggaman tangannya."

"Dia benar," ujar Shion, menjatuhkan duri kecil itu. "Dan nama dari kekuatanku ini adalah …."

Ia meresapi aroma mawarnya lagi.

サイズ変化

" …, Saizu Henka."

~o0o~

Api-api kecil di batang-batang lilin itu menari-nari bagai mendengar melodi yang merdu, menyinari ruangan yang gelap dengan cahayanya yang redup tak menentu. Tetesan-tetesan lilin yang terbakar mengalir dan mengeras seiring waktu, memperkokoh berdirinya lilin itu sekaligus mengikisnya sedikit demi sedikit.

Di ruangan yang memiliki sedikit cahaya itu, seseorang sedang duduk di atas sembari menangkupkan kedua tangannya. Seseorang yang lain sedang membungkuk hormat kepada orang yang duduk di balik meja itu.

"Jadi begitu, ya," ujar orang itu.

"Ya, Tuan," jawab orang lainnya yang membungkuk itu. "Tetapi, dia tidak terlihat membocorkan informasi apapun. Apa yang harus kita lakukan kepadanya?"

Orang di balik meja itu terdiam beberapa saat sebelum menjawab, "Kita awasi dulu lebih lanjut. Jangan terburu-buru dulu."

"Lalu, bagaimana jika dia berkhianat?"

"Bukankah sudah jelas?" tanyanya balik. "Kita bunuh dia dan cari penggantinya. Yang seperti dia bukan hanya satu saja."

"Dimengerti," ujar orang yang membungkuk itu. Ia berdiri dan membungkuk hormat sebelum melangkahkan kakinya untuk keluar dari ruangan itu. Namun, sebelum sempat menyentuh kenop pintu, suara tuannya menginterupsinya.

"Tunggu dulu," ujarnya. "Ada dua hal lagi."

"Apa itu, Tuan?" tanyanya, berbalik.

"Jika ada halangan yang mengganggu, cepat habisi dan hapus buktinya tanpa ada yang tersisa," perintahnya. "Apapun halangan itu, sesepele apapun."

"Baik, Tuan," ujarnya.

"Satu lagi. Beritahukan kepada gadis Hyuuga itu bahwa ada perubahan rencana," ucap tuannya. Ia melempar sebuah kertas yang dilaminating dengan rapi ke orang itu yang ditangkap dengan cekatan. "Dari 'membunuh' jadi 'menangkap."

Lilin itu menari-nari dalam kegelapan.

Topeng putih yang terselubung jubah hitam itu memandang tuannya yang berada di dalam kegelapan. "Baiklah, Tuanku."

~o0o~

Pecahan-pecahan kaca melayang ke arahnya saat ia melompat mundur.

"Dilate!"

Tepat saat pecahan-pecahan kaca kecil itu akan mengenainya, mereka membesar. Pemuda itu membulatkan kedua matanya. Namun, Hinata berhasil menyelamatkannya dengan menendang semua pecahan itu dengan kakinya, membuatnya pecah menjadi pecahan yang lebih kecil.

"Percuma," ujar Shion. "Dilate!"

Pecahan-pecahan kaca yang dihancurkan Hinata itu membesar lagi, kedua orang itu segera melompat menjauh. Namun, saat di tengah udara, sebuah batu raksasa jatuh dan akan menimpa mereka. Hinata melakukan salto di tengah udara dengan punggung Naruto sebagai pijakan dan menghancurkan batu itu dengan tendangannya. Naruto yang dijadikan pijakan terjatuh ke bawah dan menghancurkan pecahan-pecahan kaca itu. Hinata mendarat sesudahnya.

Kedua orang itu berdiri menengadah ke atas, ke atap apartemen Hinata di mana wanita model itu berdiri dan melemparkan benda-benda raksasa ke arah mereka.

"Sial! Hinata, bukankah kau mengatakan bahwa ia hanya dapat membesar dan mengecilkan benda yang bisa ia genggam sepenuhnya?" tanya Naruto. "Kalau begitu, kenapa dia bisa mengecilkan benda-benda raksasa itu?"

"Benda-benda ya-yang sudah ia sentuh bagai ter-terikat dengan sihirnya, i-ia bisa mengecilkan dan membesarkannya ka-kapan saja," ujar Hinata. Naruto mendecih.

"Ia benar. Aku bisa menggandakan benda juga. Contohnya, pecahan-pecahan kaca itu. Semakin kalian menghancurkannya, maka akan semakin mengecil dan banyak. Tetapi, aku bisa membesarkannya lagi dan menjadikan tempat kalian berpijak saat ini bagai sebuah ladang ranjau yang bisa menusuk kalian kapan saja," ujar Shion. "Menyenangkan, bukan?"

"Kalau begitu, kami harus menghancurkanmu terlebih dahulu!" ujar Naruto. Pemuda itu segera melompat ke salah satu balkon kemudian ke balkon lainnya demi mencapai Shion yang berada di puncak.

"Percuma," ujarnya seiring Naruto terus memanjat balkon demi balkon. "Semua yang kau lakukan itu percuma!"

Naruto sampai di atap. Namun, belum sempat ia menginjakkan kakinya, sebuah kaki berbalut high heels menendang wajahnya, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh. Sebelum ia jatuh, ia dibuat sebagai pijakan oleh Shion untuk melompat dan bersalto di tengah udara.

Selama ia bersalto di udara, ia melempar paku-paku serta jarum-jarum yang juga memiliki duri di bagian batangnya. Ia menancapkan jarum-jarum itu di gedung-gedung yang mengapit jalan itu dan paku-paku di atas jalan raya. Belum cukup sampai di sana, ia menjatuhkan sebuah duri mawar di atas jalan tepat saat ia akan jatuh.

"Dilate!" ujarnya. Duri mawar di bawah segera membesar. Jauh lebih besar dari sebelumnya hingga tingginya sama dengan gedung-gedung itu. Ia segera mendarat di ujung duri dengan seimbang sebelum melompat kembali ke gedung seberang sembari meneriakkan, "Shrink!"

Duri mawar itu segera mengecil dan Shion mendarat di gedung seberang. Hinata segera menangkap tubuh Naruto yang jatuh itu.

"Sial …," gumam Naruto, ia mengusap wajahnya yang memerah akibat tendangan Shio tadi.

"Nah, nah, nah," ujar Shion, "mari kita semua berpesta!"

"Sialan, kau!" umpat Naruto. Ia berdiri dan mengambil sepuluh bilah tajam dari kantong belakangnya dan melemparnya ke Shion secara bertubi-tubi, namun wanita itu berhasil menghindari semuanya dengan mudah.

"Santai saja," ujarnya. Ia mengangkat sebelah lengannya ke atas sembari ia berkacak pinggang dengan pose yang menawan. "Kalian akan bisa beristirahat dengan tenang setelah ini. Istirahat yang panjang."

Naruto mengangkat senjatanya ke depan. "Lepaskanlah gemuruh badai yang mengamuk di dalam kegelapan dan angin ribut yang berteriak menghancurkan segalanya. Bebaskan yang telah terkekang dan biarkan ia menelan teriakan putus asa!"

Sinar ungu menyelimuti senjata Naruto. Kedua bilahnya bertambah makin panjang. Ia membuka bagian rantainya dan membiarkan sinar itu menyelimutinya juga. Rantai itu ikut bersinar dan bertambah panjang sembari melayang-layang di udara. Sinar itu makin menyilaukan seiring detik berlalu dan kemudian meredup perlahan. Naruto menutup bagian rantai itu dan menggeram ke arah Shion.

Shion bersiul. "Jadi, itu kekuatan tersembunyimu? Tidak, kekuatan tersembunyi senjatamu? Atau mungkin tidak juga? Entahlah, yang penting kita akan berpesta."

"Tidak akan ada pesta dan tidak akan ada keberadaanmu lagi!" Naruto melempar salah satu ujungnya ke atap di gedung seberang tempat Shion berada. Rantainya itu memanjang seiring ujung itu terus melesat untuk menusuk tubuh Shion.

Wanita itu menjentikkan jarinya. "Massive Extension Killer!"

Salah satu jarum yang Shion tancapkan ke gedung itu segera memanjang. Senjata Naruto yang melesat itu segera terpantulkan oleh jarum yang juga memiliki bagian tajam di batangnya. Pemuda itu terkejut.

Belum cukup sampai di sana, jarum-jarum lain yang juga tertancap itu ikut memanjang secara bergantian. Kecepatan memanjangnya pun tidak main-main. Jarum-jarum itu memanjang dan memendek kembali dengan cepat. Tidak hanya jarum-jarum itu, paku-paku yang ada di bawah juga memanjang dan memendek dengan kecepatan yang sama. Hinata dan Naruto berlompat-lompatan untuk menghindari semua serangan itu.

Namun, sangat sulit. Paku-paku itu berbahaya dan hanya bisa dilompati. Namun, jika mereka melompat, ada saja jarum yang nyaris menusuk mereka dari samping. Setiap jarum mempunyai jarak jangkauan setengah jalan raya. Jadi, jarum-jarum itu memanjang menutupi jalan raya. Kedua orang itu harus membagi konsentrasi mereka untuk menghindari tusukan-tusukan mematikan yang bisa datang dari mana saja.

"Massive Extension Killer memperpanjang dan memperpendek ukuran benda-benda yang aku sentuh dalam radius satu kilometer. Aku juga bisa mengendalikan interval waktunya seperti mesin yang ada di ruangan eksekusi di mana ada benda-benda tajam yang bisa muncul dari mana saja. Memperpanjang dan memperpendeknya dengan interval waktu yang singkat, membuat sebuah ruang gerak yang begitu sempit sementara berusaha membunuh mereka yang terjebak di dalamnya dari seluruh penjuru. Pemburu Siluman biasa biasanya akan mati dalam waktu kurang dari satu menit," jelas Shion. Ia memain-mainkan mawarnya. "Tetapi, sesuai yang kuharapkan darimu yang menjadi target Hinata. Orang yang lincah dan kuat. Kau memberikan waktu bermain untukku."

"Diam!" teriak Naruto sembari menghindari serangan dari bawah dan samping. "Aku membenci dirimu!"

"Tetapi aku suka dirimu. Jarang sekali aku sesenang ini bermain dengan seseorang," ujar Shion sembari menyeringai keji.

Naruto mendecih. Ia melirik Hinata sesekali sembari berusaha keluar dari jebakan ini. Gadis itu terlihat sungguh berkonsentrasi untuk menghindarinya. Naruto bernapas lega karena tidak ada korban jiwa yang terlibat dalam hal ini. Untung saja Hanabi telah masuk ke dalam apartemen saat Hinata dan Naruto mengalihkan perhatian mereka, jadi Hinata bisa lebih berkonsentrasi.

Tetapi, meskipun begitu, Naruto tetap khawatir bagaimana jika Hinata―

"Naruto-kun, awas!"

Hinata melesat maju dan menyelamatkan Naruto dari sebuah tusukan jarum. Sebagai gantinya, punggung Hinata tergores salah satu duri itu dan mengeluarkan darah segar. Mereka berdua menabrak sebuah jarum yang memanjang dan jatuh ke atas sebuah paku yang sedang memendek. Untungnya, mereka berdua kembali sadar dengan cepat dan kembali melompat-lompat untuk menghindari semuanya kendati Hinata terlihat kesakitan.

"Ko-konsentrasi … konsentrasi, Naruto-kun!"

Hinata benar. Ia tidak berkonsentrasi. Ia terlalu mengkhawatirkannya hingga gadis itu terluka.

Cih, semuanya kacau.

Manik safirnya melirik ke arah atap gedung seberang. Seorang wanita keji yang menyeringai, menikmati eksekusi perlahan dan menyiksa ini. Benar-benar sebuah kemampuan yang di luar nalar bahwa ia bisa mengendalikan semua ini dengan mudahnya.

Hinata dan Shion. Dua orang Pemburu Siluman ilegal dengan kemampuan mengerikan yang tak bisa diremehkan. Dan kini, ia terjebak dengan keadaan yang menyebabkan ia tak bisa berpikir dan keluar.

"Sial!" umpatnya.

Hinata yang melihat Naruto seperti itu menjadi merasa bersalah.

Jika saja ia tidak lemah … tidak, jika saja ia tidak lemah terhadap ….

"Lari, Hinata!"

Hinata menggelengkan kepalanya. Tidak. Ia tidak boleh mengasihani dirinya di saat seperti ini. Ia harus berpikir bagaimana cara keluar dari keadaan ini dan menyelamatkan … tidak, ia harus keluar. Ia. Harus. Keluar.

Namun, untuk berpikir, ia harus berhenti berkonsentrasi untuk menghindari semua ini.

Sungguh, Hinata tidak pernah memperkirakan keadaan ini. Keadaan di mana ia harus rela berhenti menghindari keadaan yang bisa membunuhnya demi bertaruh. Mempertaruhkan nyawanya demi menghentikan kegilaan ini.

Tak ada cara lain.

"Naruto-kun, bi-bisakah kau me-melindungiku sebentar?" tanya Hinata.

"Aku sendiri kesulitan melindungi diriku sendiri!" ujar Naruto.

"Ka-kalau begitu, ge-gendong aku!"

.

.

Hening.

.

.

"Apa?! Kau gila, ya?!" teriak Naruto.

"Ku-kumohon! Jika keadaannya ti-tidak mendesak, a-aku tidak akan meminta seperti i-ini!" ujar Hinata berusaha meyakinkan Naruto.

Naruto mendecih. Memang benar bahwa keadaan ini sungguh mendesak. Tetapi, jika ia disuruh menggendong Hinata … memangnya apa yang mau ia lakukan?

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Naruto.

"Ji-jika kau bisa me-melindungiku cukup lama, a-aku bisa memikirkan bagaimana ca-cara keluar dari sini!"

Bertaruh, ya? Pengorbanan, ya? Ini benar-benar di luar dugaan. Sangat. Sangat di luar dugaan.

Tetapi, ia harus bertaruh.

Naruto melompat dan mendekati Hinata sebelum memegang leher belakang dan bagian belakang lututnya. Ia menggendong gadis itu dan melompat-lompat menghindari benda tajam yang selalu berusaha membunuhnya setiap saat.

"Sudah, berpikirlah sekarang! Aku tidak menjamin ini akan tahan lama!" ujar Naruto. Hinata baru saja mau protes tentang posisi gendongan ini, namun keadaan sudah terlanjur parah dan mau tak mau ia harus pasrah dan melakukan bagiannya.

Hinata memejamkan kedua matanya. Manik awannya bersembunyi di balik kelamnya kegelapan selama beberapa saat. Urat-urat mulai muncul di sekitar matanya.

白眼

"Byakugan!"

Gadis itu membuka kedua matanya yang maniknya kini lebih terlihat. Semua warna yang ia lihat berubah bagaikan efek sepia. Radius penglihatannya meluas secara dramatis. Ia yang tadi hanya bisa melihat di depan kini bisa melihat 360 derajat.

"Mata itu …," gumam Naruto.

"Selalu ada bagian yang memendek ketika yang lainnya memanjang," ujar Hinata, mengobservasi tanpa menghiraukan perkataan Naruto. "Mungkin jika aku mengetahui semua bagian yang memendek pada saat yang sama atau berdekatan dengan interval waktu yang lebih singkat dari memanjang dan memendeknya semua jarum dan paku itu, aku bisa membuat sebuah jalur yang membuat kita bisa mencapainya."

"Tetapi, apa kau yakin dia akan membuka jalur untuk kita? Dia bisa saja menutup jalur kita kapan saja," ujar Naruto.

"Kalau begitu, kita lakukan lebih cepat sebelum ia sadar," ujar Hinata. "Seseorang harus mengalihkan perhatian sementara yang lain akan menyerangnya."

Naruto terlihat tersentak.

"Aku punya rencana."

~o0o~

Sasuke memandangi taburan bintang di angkasa di balkonnya. Bulan purnama yang bersinar lembut bagai memberi ketenangan dalam jiwa yang hanyut dalam pesonanya. Bagai sutra putih menari di tengah alunan melodi seruling, ia juga terbawa dalam pesona itu hingga membawanya dalam ke kebahagiaan semu yang penah ia rasakan.

Kebahagiaan semu yang ia nikmati.

"Perjalanan ke gunung … huh?" gumamnya. Ia melirik ke kalender di dinding kamarnya.

Benar-benar tinggal beberapa hari lagi.

Ia mengalihkan pandangannya kembali ke pesona sang rembulan. Tangannya mengepal erat.

"Pengorbanan adalah hal yang tak dapat dihindari," bisiknya. "Benar-benar tak bisa dihindari."

Kedua matanya perlahan berubah merah. Pupil matanya berubah menjadi sebuah titik yang dikelilingi sebuah lingkaran dengan tiga buah tanda seperti tanda koma.

"Kalau begitu, termasuk mengorbankan segalanya?" tanyanya, entah pada siapa.

Suara ketukan sebanyak tiga kali terdengar. Sasuke diam saja selama beberapa saat sebelum berkata, "Masuk."

"Mereka sudah mulai, Sasuke," ujar Shikamaru. Di belakangnya, Sakura terlihat menunggu dengan palu dan pakaian dinginnya.

"Benarkah?" tanya Sasuke, memastikan.

"Ya," jawabnya. "Kau mau ikut?"

Keheningan menyapa selama beberapa saat. Sasuke melirik ke belakang dengan manik merah darahnya.

"Aku ikut."

~o0o~

Hinata melompat-lompat sembari membawa sebilah bilah tajam milik Naruto. Naruto sendiri sedari tadi melompat-lompat sembari berusaha menyerang Shion. Wanita itu tertawa kejam melihat aksi mereka yang sia-sia.

"Kalian mau keluar? Tidak akan bisa!" ujar wanita itu. Beberapa kali Hinata nyaris tergores serangan Shion, namun ia berhasil menangkisnya dengan bilah besi itu, menyebabkannya tergores-gores. Namun, ia tetap berusaha untuk mencapai jalur yang ia lihat tadi. Sungguh sulit untuk bergerak sembari menghindari semua kegilaan ini.

Shion sendiri terlihat begitu senang melihat mereka berdua terjebak seperti itu. Ia hampir terbawa euforianya sendiri. Hinata yang menyadari itu memanfaatkannya untuk pergi ke jalur yang telah ia buat.

Salah satu paku memendek, Hinata langsung melompat ke sana sebelum melompat ke atas jarum yang baru saja memendek juga. Ia terus melompati jarum demi jarum demi mencapai Shion. Jarum yang memanjang ia jadikan pijakan dan jarum yang memendek ia jadikan ruang untuk bergerak. Gadis itu terus melakukannya hingga ia berada di posisi yang tepat―di dekat kaki Shion.

Gadis itu melemparkan bilah tajam itu dan membuatnya melesat ke wajah Shion.

Namun, sayang sekali. Shion telah menyadarinya terlebih dahulu dan menangkis lemparan itu, membuatnya terlempar menembus salah satu kaca jendela apartemen.

"Bodoh!" ujarnya. Salah satu jarum di depan Hinata memanjang, nyaris menusuk perut gadis itu jika saja terjatuh ke bawah terlebih dahulu. Hinata segera menghindari paku yang memanjang di bawahnya dan kembali mendekat kepada Naruto.

Shion tertawa-tawa. Sungguh berbeda kepribadian dibandingkan dirinya yang elegan di awal pertemuan, kini ia lebih terlihat seperti seorang maniak. Wanita itu mengangkat kedua tangannya.

"Cukup main-mainnya," ujar Shion. "Kini saatnya untuk―"

Belum selesai ia berbicara, sebuah anak panah melesat dan menusuk perutnya. Anak panah lainnya ikut menyusul untuk menembus perutnya.

Wanita itu terpatung selama beberapa saat. Jarum dan paku yang tadi memanjang kini perlahan memendek ke ukuran semula. Kedua tangannya bergetar. Darah merembes dari lukanya, ada yang menetes dan membasahi bajunya. Kedua mulutnya menggembung sebelum ikut memuntahkan darah. Wanita itu terjatuh di atas lututnya.

"Ti-tidak mungkin …," gumamnya. "Ba-bagaimana … bisa?"

"Ini adalah rencanaku dan Hinata," ujar Naruto. "Pertama, kami membuat jalur untuk mendekatimu dengan menemukan jarum serta paku yang memendek di saat bersamaan atau berdekatan."

"La-lalu, kami a-akan menyerangmu dari jalur itu," lanjut Hinata.

"Tetapi, ternyata ada perubahan rencana," ujar Naruto. "Ada dua jalur di sini. Pertama, jalur yang Hinata lewati tadi. Jalur itu memang bisa mendekati kakimu, tetapi kami tidak bisa menyerangmu secara langsung karena kau pasti langsung menyadarinya."

"Ja-jalur itu terlalu dekat," jelas Hinata. "Te-tetapi, ada jalur lain ya-yang langsung terhubung ke te-tempatmu berdiri."

"Sayangnya, garis start jalur itu dimulai dari jendela yang kau pecahkan tadi," ujar Naruto.

"Ja-jadi, je-jendela yang tadi … ?" gumam Shion.

"Itu adalah kamar Hinata dan adiknya yang mempunyai keahlian membidik," ujar Naruto.

Manik amethyst Shion membulat. Ia mengalihkan pandangannya ke jendela yang pecah itu dan mendapati seorang gadis kecil yang sedang membidiknya menggunakan sebuah busur dan anak panah. "Tidak akan kumaafkan yang mengganggu onee-san!"

"Dan bilah besi yang Hinata gunakan untuk berlindung dari serangan-serangan tusukan serta goresan itu bukanlah sembarang bilah besi," ujar Naruto. "Hinata sengaja menggores bilah besi itu menggunakan jarum dan pakumu untuk menulis pesan minta tolong kepada Hanabi."

Gadis kecil itu mengambil bilah besi yang dilempar Shion tadi dan menjatuhkannya ke bawah. Naruto menangkap bilah besi itu dan melemparnya kepada Shion.

"He-help …," baca Shion. Ia membaca sisi lainnya di balik bilah besi itu. "Shot. B-bow. Ja-jadi kalian sudah memperkirakan ba-bahwa aku akan melemparnya ke je-jendela itu?"

"Tidak," jawab Naruto. "Tetapi, kami memperkirakan bahwa setidaknya kau pasti melempar bilah besi itu ke dalam lautan paku dan duri ini untuk menghancurkannya melihat kepribadianmu yang seperti psikopat itu. Kami hanya mengusahakan sudut dan timing yang tepat agar kau melemparnya tepat ke jendela itu."

"A-anak-anak sialan …," umpat Shion. Wanita itu berusaha berdiri sembari memegangi perutnya yang tertusuk anak panah itu dengan gemetar. Kakinya berusaha tertatih-tatih untuk menopang berat tubuhnya. "Ka-kalian akan ku―agh!"

Belum selesai ia berbicara, sebuah tangan memukul tengkuknya, membuat wanita itu terjatuh dan pingsan.

"Sayang sekali," ujar Sasuke, orang yang memukul tengkuk Shion. "Kau tidak bisa melakukannya saat ini. Sekarang, lebih baik kau tidur sebelum kami mengorek informasi darimu."

"Ka-kalian?" ujar Hinata.

Shikamaru mengalihkan fokusnya ke mereka berdua. "Yo, Hinata. Terima kasih, ya."

"Te-terima kasih?" tanya Hinata.

"Semua ini adalah rencana kami dari awal," ujar Naruto. "Kami tahu bahwa kau adalah Pemburu Siluman yang ilegal."

Hinata tersentak.

"Tenang, kami akan merahasiakannya," ujar Naruto. "Kami hanya ingin kau membantu kami menangkap salah satu dari petugas yang mengurus semua identitas Pemburu Siluman ilegal."

"Ta-tapi, kenapa?" tanya Hinata.

"Untuk mengetahui bagaimana struktur asli dan cara kerja dunia hitam Pemburu Siluman yang sebenarnya," ujar Shikamaru. "Kami melakukannya setelah mengetahui sebuah hal janggal."

"Ya," dukung Sakura. "Awalnya semua ini rencana buatan Naruto yang dimulai dari ia membawamu ke apartemennya. Sayangnya, ia tidak memberitahu kami dari awal."

"Kami tahu kau tidak akan bicara apapun―atau mungkin kau yang tidak tahu apa-apa," ujar Sasuke.

Hinata menundukkan kepalanya selama beberapa saat sebelum menengadah kembali. "Ta-tapi, hal janggal apa ya-yang kalian maksud?"

"Tentang pilihan kalian," terang Naruto. "Mengapa kalian menjadi Pemburu Siluman yang ilegal. Aku rasa, kebencian terhadap pemerintah atau kebencian terhadap peraturan yang diterapkan terlalu sepele untuk dijadikan alasan. Apalagi menjadi Pemburu Siluman ilegal adalah kejahatan yang luar biasa."

"Pasti ada sesuatu yang kami tidak ketahui―tidak, sesuatu yang bahkan kalian sendiri juga tidak tahu," ujar Sasuke. "Alasan yang sangat kuat. Alasan yang mungkin tidak akan diberitahukan kepada kalian Pemburu Siluman ilegal yang hanya memburu dan menukarkan ektoplasma."

"Jadi, pasti ada salah satu petugas yang mengetahuinya," ujar Shikamaru.

"Ta-tapi, bagaimana ka-kalian tahu jika Pemburu Siluman ilegal me-memiliki struktur seperti Pemburu Siluman yang legal?" tanya Hinata.

"Menjaga kerahasiaan kalian bukanlah hal mudah," ujar Sakura. "Identitas kalian ada di mana saja. Media sosial, arsip sekolah, arsip kantor, sangat mudah untuk mencari informasi tentang kalian jika memang berniat."

"Karena itu, pasti ada penjagaan khusus yang menjaga identitas kalian," ujar Shikamaru. "Aku sendiri harus bersusah payah mencari informasi yang bisa dipercaya."

"Lalu, kami berpikir : 'jika ada penjagaan khusus, pasti ada orang yang menjalankan atau mengoperasikan penjagaan khusus itu'," lanjut Sasuke. "Jika ada orang yang mengoperasikannya, berarti seharusnya ada lembaga atau organisasi yang sama seperti organisasi Pemburu Siluman milik negara."

"Jika kami bisa menangkap salah satu petugasnya, mungkin saja kami bisa mengorek informasi," ujar Naruto. "Pemburu Siluman yang ilegal memiliki pengawasan yang super ketat karena mereka bekerja secara ilegal dan setidaknya mengetahui beberapa informasi tentang dunia hitam Pemburu Siluman. Karena itu, aku bisa menduga jika saja ada yang melakukan kontak dengan Pemburu Siluman legal, kemungkinan mereka akan dibunuh."

"Dan kami menggunakan dugaan Naruto sebagai alasan menggunakanmu sebagai umpan untuk memancing mereka keluar," ujar Shikamaru. "Memang tidak bisa dipercaya dugaan si idiot itu terbukti benar, tetapi rencananya berhasil."

"Maaf, ya, kau jadi kurepotkan begini," ujar Naruto.

Gadis itu terdiam selama beberapa saat. Manik awannya bagai meredup. "Lalu, jika kalian sudah dapat informasinya, ma-mau diapakan?"

"Tentu saja kami akan merahasiakannya," jawab Sakura.

Hinata kembali tersentak.

"Jika kami berhasil dapat alasan mereka, pasti alasan itu berhubungan dengan pihak pemerintah. Dan jika kami menyebarkannya, maka kedua bilah pihak―pemerintah maupun Pemburu Siluman ilegal―pasti akan bergerak dan melakukan apapun untuk menghapus informasi ataupun menghentikan penyebaran," ujar Sakura. "Dan kemungkinan juga akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sekaligus merugikan kami sendiri."

"Tenang saja," ujar Naruto, menepuk pundak Hinata. "Kau tidak perlu memberitahukan alasanmu juga, karena aku yakin tidak semua Pemburu Siluman yang ilegal memiliki alasan yang sama. Aku juga tidak akan memaksamu mengatakan mengapa kau berusaha membunuhku."

Hinata tertunduk selama beberapa saat. Ia tidak menjawab. Gadis itu terdiam, begitupun dengan empat orang lainnya. Keheningan menyapa.

Sasuke melirik ke tubuh Shion yang mulai mengeluarkan lebih banyak darah. Ia menggendong tubuh wanita itu. "Baiklah, kami akan membawa dia pulang dan mengobatinya dulu. Dia saksi yang penting. Kalian bersihkan jarum-jarum ini."

"Jaga diri kalian baik-baik," ujar Shikamaru. Ia berjalan menyusul Sasuke yang sudah pergi terlebih dahulu.

"Hati-hati, Naruto, Hinata," himbau Sakura. Gadis itu juga ikut menyusul kedua temannya.

Kini tinggal Naruto dan Hinata sendirian. Semilir angin malam meniupi mereka, membuat masing-masing surai menari di tengah keheningan.

"Hinata," panggil Naruto. "Lukamu tidak apa-apa?"

"Ma-masih sedikit sakit," jawab Hinata. "Ti-tidak apa-apa, biar Hanabi ya-yang mengobatinya."

"Sungguh?" tanya Naruto, memastikan. Manik safirnya yang lembut memancarkan kekhawatiran terhadap pembunuhnya ini.

"I-iya," jawab Hinata.

"Kalau begitu, masuklah ke kamarmu. Biar aku yang bersihkan," ujar Naruto lagi.

"Ta-tapi―"

"Sudahlah, kau obati lukamu. Sudah cukup kau bekerja keras," sela Naruto. Hinata dapat melihat bagaimana pemuda itu mengkhawatirkannya. Pembunuhnya.

Hinata menggeleng. Tidak. Ini sebuah dilema yang terlalu membingungkan.

Gadis itu membungkuk dan mengucapkan selamat malam sebelum masuk ke dalam apartemennya.

~o0o~

Hanabi kini tertidur lelap. Namun, berbeda dengan Hinata. Ia terjaga di pinggir tempat tidur, duduk sembari memandangi cahaya lembut sang rembulan yang kini mulai tergantikan dengan sinar mentari pagi.

Hanabi mungkin pemalu. Namun, ia rela melakukan apapun demi melindungi kakaknya meskipun itu artinya membunuh.

Karena mereka hanya berdua.

Hidup hanya berdua di apartemen mewah yang dibiayai oleh hasil buruan yang ilegal. Entahlah, Hinata sendiri bingung apakah yang dilakukannya benar atau salah.

Ia memburu secara ilegal. Berusaha membunuh orang yang ternyata begitu baik. Orang yang telah menolongnya dan mengkhawatirkannya, pembunuhnya.

Kini, ia tak tahu apakah ia mampu membunuhnya―tidak, dari awal ia tahu ia tidak bisa membunuhnya. Dari awal ia tahu ia tidak bisa membunuh seorang manusia. Seorang manusia dengan hati.

Ia ingat apa yang dikatakan oleh orang berjubah itu.

"Kau itu sudah melanggar peraturan negara dan menjadi penjahat. Tidak perlu takut untuk mengotori tanganmu dengan darah."

Sekalipun begitu, membunuh manusia itu sungguh berbeda. Sangat berbeda. Apalagi membunuh manusia seperti Naruto.

Ia menggenggam erat baju tidurnya. Ini sungguh sulit. Sangat sulit.

Manik awannya beralih fokus kepada sebuah pot bunga yang ia letakkan di balkonnya. Pot yang berisi tumbuhan mawar berwarna putih. Tumbuhan itu kini telah tumbuh sangat subur. Tumbuhan yang berarti bagi Hinata.

"Andai saja kau ada di sini …," gumam Hinata.

"Siapa?"

Gadis itu langsung tersentak dan berbalik ke belakang. Manik awannya yang membulat itu segera menangkap sosok bertopeng putih dan berjubah hitam.

"Ka-kau …," gumam Hinata.

"Langsung saja. Aku ke sini untuk memberitahukan sesuatu dari Tuan," ujarnya. "Sebuah pergantian perintah."

"Pergantian … perintah?" ulang Hinata.

"Ya," jawabnya. Ia berjalan memutar dan mendekati Hinata. "Kau ingin tahu?"

"A-apa itu?"

Ia mendekatkan wajahnya kepada Hinata dan mengangkat dagunya. "Dari membunuh jadi menangkap."

Manik awan itu membulat lebar.

"Tangkap Uzumaki Naruto."

TBC

Rahasia Lelaki(?!) :

Saya tahu ini kepanjangan tapi saya bingung kalo mau dijadiin dua chapter dipotong di bagian mana, jadilah saya gabungin aja. Toh, ini juga oleh-oleh(?) dari saya setelah lama gak update Black Paradise. /duk

Omake

Cahaya lentera mulai berkurang. Mereka mulai mendekati area dalam. Naruto mulai kembali mempercepat langkahnya, begitupun dengan Hinata. Kedua orang itu terus berlarian di sepanjang jalan setapak itu dan mendekati area penggalian batu bara.

Naruto memegang kedua ujung senjatanya dan mengangkatnya ke depan. "Lepaskanlah pakaian dalam yang mengekang dan lepaskan mahluk buasnya!"

Suara machine gun terdengar dan tubuh Naruto berlubang. Hinata, sang penembak, berteriak, "Bukan itu mantranya, mesum!"

"O-oh, kalau begitu, biarkan jiwamu bebas dan terbang ke seluruh penjuru dunia agar aku bisa mengorbankannya kepada Pangeran Kegelapan!"

"Mati kau!" teriaknya sembari berusaha memotong leher Naruto menggunakan pisau guillotine.

End Omake

Bales review.

yudi : Syukurlah bila sesuai.

firman : Terima kasih atas saran-sarannya, ya.

Dan terima kasih bagi kalian semua yang fav dan follow fic ini. Semoga chapter kali ini memuaskan.

Critic? Review?

Adios, amigo!