Disclaimer:

進撃の巨人 © Hajime Isayama

a/n: look who's come back...

Chapter 3: Back then (part 1)

.

.

.

Jalanan punya peraturan, tapi bagi para anti-rules, peraturan jalanan. Tidak ada peraturan.

Begitu juga dengan dunia gelap yang mulai ia geluti sejak keluarga terakhirnya berpulang ke rumah Bapa. Ia tak merasa bersalah, malahan ia merasa otaknya terasah. Karena baginya manusia akan mati bila berhenti berpikir. Ia cukup cerdas tanpa menghiraukan anggapan 'orang pintar pasti dapat memilah mana baik dan buruk.' Tapi sekali lagi, dunia itu keras dan ia tidak akan berhenti berputar walau ada hamba kecil yang nyemplung ke lubang 2x1 (pernahkah kau lihat bumi berhenti berputar barang beberapa jam untuk berkabung? Kurasa tidak.)

.

Shiganshina, Februari 2020

Angin dingin menampar wajahku, cuacanya berawan diikuti hujan salju sampai jam 12 malam nanti. Seharusnya tidak ada orang yang sudi meninggalkan ranjang empuknya dihari Minggu pagi hanya untuk kerja. Siapa coba yang mau?

Well, tak ada yang mau.

Kecuali terpaksa.

Dan, ya, aku terpaksa.

Alasan? Yah, aku ada banyak. 1.) Aku tidak memiliki kasur yang empuk, 2.) Sewa apartemenku sudah nunggak tiga bulan lamanya, 3.) Aku punya hutang kredit sebesar 1 juta warisan bapak yang terkuak setelah ibu meninggal, 4.) Aku tak punya pekerjaan tetap, dan 5.) berita pagi ini.

PENGUMUMAN PENGUSIRAN

PENYEWA: EREN JAEGER

BAYAR DALAM TEMPO 3 HARI ATAU ANGKAT KAKI

Kertas itu berkata. Kata-kata sialan itu seolah diketik lengkap dengan huruf besar, dipertebal, dan tiga kali garis bawah. Hari siapa yang tidak rusak dengan notes macam begitu. Itu sama saja menembak mati seseorang saat ia sedang telanjang di kamarnya.

Aku bukannya seorang pengangguran. Kadang aku bekerja sebagai seorang tukang cuci piring di sebuah kedai makan sederhana di tengah gedung-gedung raksasa. Kadang aku juga seorang tukang kurir barang sebuah perusahaan percetakan –tapi aku baru saja di pecat, ada kok beritanya semalam—aku juga seorang penjaga kasir di sebuah toko sarat pengunjung.

Tapi mereka belum pernah memberikanku uang 1 juta yang bunganya bakal terus berkembang setiap tahun, setidaknya sampai aku, Jaeger terakhir mampus.

Uang sewa selama tiga bulan: $3.335 , tagihan kartu kredit: $1.543.000, saldo tabunganku: $20.

Hebat.

Tapi kebetulan aku adalah seorang yang cukup pintar.

Aku pandai soal masalah yang berkaitan dengan komputer. Jadi aku memanfaatkannya dengan meretas akun bank orang –iyalah, masa' setan. Aku mempelajarinya lapop dan ponsel pintar butut yang kubeli setengah harga di pasar barang curian –batrainya suka collapse, dan laptopku harus dicolok dulu baru bisa nyala. Tapi karena lingkupnya kecil aku hanya bisa mengambil sebagian atau orang yang saldo tabungannya tak jauh berbeda dengan milikku. Aku juga tak bisa melakukannya sering-sering karena belakangan mereka memperbarui sistem keamanan mereka yang awalnya langsung terblock menjadi langsung ketok –beberapa bulan lalu teman (bukan teman juga, sih) samping apartemenku kena ciduk, langsung seret dari kamarnya tak peduli habis mandi kek, nyabun kek (nyabun, loh, bukan nyabu) atau lagi telanjang dari kamar mandi—langsung seret ke meja hijau. Mampus lah riwayatnya.

Jadi begitulah kira-kira. Aku bisa sedikit memperpanjang masa sewa selama 3 tahun. Long live the king!

Aku segera berskateboard ke tempat kerjaku di blok 5, tepat beberapa kilo dari sini. Beberapa orang marah yang berjanji akan membunuhku, kemacetan, dan beberapa anak muda yang sepertinya ada janji temu. Kadang aku merasa iri, saat anak-anak seusiaku –19—sibuk dengan game baru rilis, ujian, kampus, dan bangun pagi, atau kencan, karena aku tak pernah mendapatkan kesempatan itu. Tiga tahun lalu aku drop-out, bukan karena aku bodoh atau tak pernah lulus ujian kenaikan, tapi karena... yah, masalah yang menyeretku berskateboard sekarang ini.

Mereka tak harus memikirkan angka-angka itu. sementara aku, sebenarnya sampai mampus pun tak sudi, tapi, ya, mungkin rejekiku seret di patok ayam.

Aku tak pernah mengharapkan drama kehidupan, tapi drama mencintai hidupku.

Sesampainya di tempat kerja; 1.) beberapa bajingan meninggalkan sampah mabuk-mabukan mereka –aku terpaksa bertanggung jawab—2.) Semua gembok toko di tuangi semen –aku terpaksa merusaknya—3.) Tiga pengunjung beradu argumen dengan ngotot. Yang satu ngotot tentang hukum membeli rokok bagi remaja, yang satu ngotot soal kebebasan dan hak manusia, sementara pelanggan ketiga malah promosi di toko orang –aku terpaksa mengusir ketiganya sambil mengancam akan telpon polisi—4.) dept colector menelpon ponselku –aku langsung membuang nomor sial itu—5.) Terlibat perkelahian dengan cecunguk mabuk yang kelewat nafsu ingin menyetubuhi seorang pelanggan wanita –walau aku simpatik, aku menendang 'buah masa depannya', sehingga aku harus memanggil ambulans dengan mengatakan ia jatuh dan melukai 'masa depannya'.

Belum masalah Eld –bosku—yang memintaku menggantikan shift kerja Petra hingga akhir minggu ini. Dengan terpaksa aku harus tertampar angin dingin dan salju malam ini.

Belum puas dengan drama harian di tempat kerja, papan pengumuman di lantai bawah –yang biasa penuh tempelan brosur tempat makan cepat saji di tutupi kertas HVS ukuran A4—ayolah, mana ada yang tidak tau ukuran kertas itu?—menutupi beberapa brosur unik itu,

PENGUMUMAN PENGGUSURAN

EREN JAEGER | K-104

BAYAR SEWA DALAM TEMPO 75 JAM ATAU ANGKAT KAKI

Aku mendengus, lekas merobeknya dari papan pengumuman, meremas dan membuangnya jauh-jauh. Aku capek, mau tidur sampai tahun depan –tapi aku bukan anak putus asa yang bakal menyeruput racun serangga sebagai minuman terakhir.

Masalah tak berhenti disitu, sebelum aku memasuki kamarku, Oluo Bozard datang mendekat. Bangsat, mana kunciku?

"Kau sudah baca peringatannya?" –bedebah, ia langsung memulai tanpa salam pembuka. Tapi mempersoalkannya hanya akan mempersingkat waktu penggusuranku. Mana kunciku?

"Ya, mr. Bozart, sudah." –kau tak perlu mencetaknya sebesar itu, apa perlu kau mencetak banner untuk itu? Ia hanya diam beberapa saat, sebelum melanjutkan,

"Ingat tiga hari. Putusan terakhir." –aku ingin menyumpal mulutnya dengan tempat sampah di belakang sana.

"Ya, akan kuingat." Bangsat, kunciku kabur!

Ia memandangiku sebentar, "Apakah kau bekerja?" –jelas. Kurasa orang buta tak butuh mata untuk melihatnya

"Ya."

"Dimana?"

"Di minimarket blok 5."

"Oh, toko sepi pengunjung itu. berapa penghasilanmu? Kau tau 'kan bekerja di toko seperti itu tak akan membuatmu kaya?" –kau tau 'kan orang yang berpenghasilan kurang dari $100 tak memilih-milih pekerjaan?

"hmm, tergantung penghasilan toko bulan itu."

"Berapa usiamu?" –kalau kau mau cari pacar lelaki, aku akan mengundurkan diri dari daftar itu tak peduli berapa tahun kau biarkan aku tinggal di sini.

"18, beberapa bulan lagi 19." Ia tampak berpikir setelah jawabanku. Akhirnya ketemu, kunciku! Tapi percakapannya tak bisa terselamatkan lagi. Orang satu ini bakal menganggapku tak sopan dan macam-macam dengan tanggal jatuh tempo.

"Pernah mengajukan lamaran di Hyperoad Club? Banyak gadis mendapat 400 hingga 500 dalam semalam, kau pasti bisa dapat lebih." –oi paman buta, aku itu tampan tegas, bukan cantik molek. Kau kira aku mau meliuk-liuk di meja pengunjung atau tiang yang mereka sediakan? Aku mengincar jadi tukang cuci piringnya saja tak dapat. Tapi aku pernah mencobanya, melamar—menjadi penari mereka.

"Kau kira aku belum mencoba? Tak bisa, mereka menolak aku belum berusia 20 tahun. Harus 20."

Ia mendesah lelah –padahal yang harusnya mengesah itu aku —menggelengkan kepalanya dan menggigit lidahnya dengan sengaja kali ini, "Aku tak mau tau, kau sudah harus membayar tiga hari lagi."

"Seminggu lagi kumohon, aku janji akan membayarnya, sumpah, janji pramuka!"

"Itu juga kau katakan seminggu lalu, apa juga pedulimu soal pramuka. Dengar, aku tak mau kau tinggal di gedungku secara gratis, kau akan kujadikan contoh bila tak membayar sesuai tengat waktu. Kalau aku berlaku lembek terus padamu, mereka juga akan meminta hal yang sama."

Bangsat! "Kumohon... jangan usir aku." Mendengarku, ia mengesah lalu menggeleng.

"kau cukup membayar sewa, aku tak peduli bagaimana kau mendapatkannya, aku butuh kau bayar sewa. Dan uang sewa naik $1100." Keparat!

"Maaf, nak." Lalu membalikan badan dan pergi.

.

Aku menatap layar televisi. Menatap angka naik-turunnya kurs dan berita ekonomi lain, berita politik meyela diikuti berita olahraga. Waktunya membuat mie instan.

Tak ada yang bagus di TV. Naik turunnya harga pangan, pergolakan anak tangga musik dunia, artis dan narkoba, film roman bulan ini. Yap, tak ada yang bagus.

Aku mengesah, mie instanku jadi tak enak. Pikiranku kembali mengelana, bagaimana membayar sewa tempat ini? Bahkan bila semua barang di apartemen ini kujual tak mungkin bisa menutupi setengah uang sewa. Kadang aku berharap ibuku ada disini, ia bahkan tak akan membiarkanku memikirkan biaya makan malam. Bah, sekarang itu Cuma mimpi. Aku bisa bertahan di sini selama 3 tahun –2 tahun 2 bulan tepatnya—sudah bagus.

"—ya aku yakin." Suara seorang gadis Asia di TV membuyarkan lamunanku. Yup, itu dia, Mikasa Ackerman. Dengan syal merah yang terus terlilit di lehernya seolah itu adalah bagian dari kulitnya, rambut hitam panjangnya sudah ia potong. Tapi aku mengenalinya sebagai seorang ahli bertahan. Barier terkuat sebuah software keamanan akun bank. Semua bergulir secara canggih, cara pengamanannya pun sudah tak perlu satpam kekar atau polisi garang lagi. Kita hanya perlu membuat sebuah sistem yang bekerja layaknya satpam dan polisi itu.

Ia sumber inspirasiku sebenarnya. Ia lebih muda, tapi sudah menghasilkan jutaan dolar dalam semalam –tidak, bukan— setiap ketukan jari.

"Apakah kau tidak khawatir? Banyak sekali orang diluar sana yang berusaha menembus dan meretas sistem ini, lho." Kata sang pembawa acara –pria necis dengan senyum sejuta watt.

"yah aku sangat yakin, kami yang terbaik di bidangnya." Mikasa tersenyum, senyum simpul yang cukup jarang ia perlihatkan. Lambang Ackerman Coorporation menjadi latar acara malam itu. Lalu acara dipotong iklan. Aku memilih untuk mematikannya.

Aku tau itu bohong. Baru-baru ini aku menemukan sesuatu. Ia tak tau bug yang kutemukan pada sistemnya. Aku tak berani bertindak sejauh itu untuk akun dengan saldo yang besar. Kecil kesempatan dan besar kemungkinan bisa gagal tapi sesuatu di kepalaku berdesir. Disinilah setan dan malaikat berusaha meyakinkanmu dengan presepsi mereka. Hati dan otakmu tak mau sinkron.

Kau menatap sebuah akun bank. Beberapa menit lagi orang ini akan kehilangan sebagian uangnya, mungkin aset propertinya. Jangan lakukan...

Aku memulai langkah pengecekan, jumlah uangnya ratusan juta. Itu bodoh sekali, pikirkan masa depan kalau tertangkap...

Harusnya ia tak akan sadar kalau hanya kehilangan satu persennya. Dasar dungu, kau akan buka topeng kalau berhasil mendapatkannya...

Jangan!

Aku mulai memasukan deretan angkanya –formulaku. Telunjukku mengambang pada tombol enter.

Jangan. Lakukan...

Aku menekan tombolnya.

Goblok, bangsat!

Uang masuk ke akunku. Akun anonimku berkedip dalam gelap, transaksi terjadi seolah ia men-transfer uangnya padaku. Aku bernapas lega, mungkin kali ini hatiku terlalu paranoid.

Transaksi beku. Pada nominal $1.227.420. nama akunku sebelumya adalah anonim. Sekarang huruf terang itu berkeredep. Aku membelo setelahnya,

EREN JAEGER

2301011278

02/29/2020 | 00.01

$1.227.420

Namaku terpampang dengan jelas.

Selama ini aku tetap menjadi anonim bila menyusup ke akun-akun kecil seperti biasa. Mungkin harusnya aku mengujinya dengan akun curianku yang lebih kuat?

Kalau hatiku bisa bersikap sarkastis ia pasti akan berpangku tangan dan berkata "kubilang juga apa." Dan berpaling seolah tak pernah mengenalku.

Mampus.

Lalu tak lama ponselku berdering. Ringtone menyenangkan yang selalu kutunggu itu tak lagi enak kudengar. Aku mengeceknya,

211-2332-001

Nomor tak dikenal. Aku mengabaikannya dan itu mati dalam beberapa menit setelah terabaikan.

Aku kembali menatap layar laptopku lagi. Seolah namaku bakal berubah bila kupandangi lama-lama.

Tapi nomor itu kembali menelpon sampai berpuluh-puluh kali.

Kali terakhir suara dentingan menyenangkan –pesan masuk. Aku membukanya tanpa basa-basi.

From: 211-2332-001

Mr. Jaeger, kumohon dengan sangat untuk merespon panggilan ini.

Mana aku mau!

Aku panik dan dalam kepanikan itu aku menatap bayanganku di jendela yang menyediakan pemandangan malam, disinari cahaya dari layar laptop, kambing putus asa yang akan disembelih saat fajar menyingsing.

Aku melempar ponsel itu jauh-jauh, lalu membanting tubuhku ke atas matras keras berdecitku. Memejamkan mata dan berharap segalanya hanya mimpi buruk.

Malam ikut tenggelam dari pandanganku seiring dengungan ponsel yang mengirimkan malapetaka itu.

.

.

.

To be continue

a/n: saya kembali *gk ada yang nanya* membersihkan lagi akun dan cerita yang terlantar dan perlahan memfosil di sini. Awalnya pengen berhenti sampai kelulusan aj, eh bablas, jd maap klo kurang memuaskan. Jadi... ini lanjutannya, masa lalu eren. anak kos-kosan pemakan mie instan yang menjelma jadi penjahat. Well saya usahakan untuk update minggu depan dengan smut –kalau saya gak php *tabok*

tq for reviews and fav-nya. See you!