AkaKuro's (Pre) Wedding Report
AkaKuro
Romance, Humor garing
Rate T
Warning! Typo(s), yaoi, menjurus, ambigu, author mesum, OOC, etc
Disclaimer
.
.
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
.
.
Story and OC © Kuhaku
–Day 3 ; My fiancée is a pervert!–
Bulan Februari.
Udara dingin masih menyelimuti Kyoto. Jumlah pejalan kaki menurun drastis dibandingkan saat musim semi dan musim gugur. Sebagian besar memilih untuk menggunakan kendaraan dibanding harus membeku di udara dingin.
Salju masih turun, tidak lebat namun cukup dingin bagi penduduk kota yang membenci dingin. Mantel bulu tebal dan syal terlihat di mana-mana, seolah masyarakat sedang berlomba 'siapa yang memakai pakaian paling tebal'. Konyol.
Pekerja kantor berjalan lunglai, dipaksa bekerja di hari dingin tanpa gaji tambahan. Para pelajar pun begitu, sekolah usai sebentar lagi, mereka masih dipaksa masuk untuk menghadiri rentetan acara sekolah yang tak tahu apa saja.
Kalau kau katakan yang paling beruntung adalah ibu rumah tangga, maka kau salah besar. Mereka masih punya tugas untuk membeli bahan makan di supermarket, mencuci pakaian, membereskan rumah, dan lainnya. Paling beruntung dari yang paling beruntung adalah Kuroko Tetsuya.
Pemuda mungil berusia dua puluh satu tahun ini mendapat keberuntungan penuh. Ketika semua orang berlomba-lomba memakai pakaian tebal di jalan luar, yang ia lakukan adalah duduk manis di atas tempat tidur empuk dengan penghangat di dalam kamar. Bukankah sungguh tidak adil?
Ketika pekerja kantor banting tulang, bekerja di hari dingin, mendatangi client perusahaan di luar kantor, maka yang harus Kuroko lakukan hanyalah duduk di dalam kamar yang hangat sambil memangku laptop hitamnya.
Pekerjaannya sebagai seorang novelis tak memerlukan banyak energi –kecuali dekat tenggat waktu mungkin. Ia cukup mengetik baris-baris kalimat di sebuah aplikasi pengetik dokumen kemudian mengirimnya pada editor. Kemampuan Kuroko sebagai seorang novelis tak perlu diragukan, ide selalu muncul dalam bayangnya.
Kuroko menghela napas, mematikan laptop dalam pangkuannya. "Akhirnya selesai."
Ia beranjak dari tempat tidur, meregangkan tubuh sejenak sebelum melangkah ke ujung ruangan. Kuroko melihat ke sekeliling ruangan, menghela napas.
Sungguh, ia hanya berkata ingin menghabiskan waktu bersama tunangannya, namun justru fasilitas berlebihan yang ia terima. Begitu ia menyuarakan keinginannya, sang tunangan langsung meminta para pelayan pergi membeli baju ganti untuknya. Ia tak mau membahas bagaimana jantungnya hendak berhenti berdetak ketika melihat harga pakaian yang diberikan secara cuma-cuma itu.
Sekarang ia sedang beristirahat di sebuah ruangan, mungkin kamar tamu di kediaman kekasihnya. Memang mereka tidur bersama saat malam, namun Kuroko punya alasan tersendiri kenapa ia meminjam ruang kamar itu.
Kuroko membuka laci meja di ujung ruangan, mengeluarkan satu kantung kertas warna coklat yang agak besar. Senyum terulas di bibirnya, ia segera mengeluarkan isi kantung itu dan meletakkannya di atas meja.
Segulung benang wol dan alat untuk merajut.
Setelah merapikan kantung itu dengan melipat dan meletakkannya di atas meja, Kuroko membawa kedua benda yang ia keluarkan dari kantung ke atas tempat tidur bersamanya. Kuroko memosisikan dirinya dengan nyaman di atas tempat tidur sambil bersandar pada bantal kemudian ia mulai meneruskan rajutan yang ia buat. Senandung nada menemani kegiatan Kuroko merajut.
Clik
Kuroko menghentikan aktivitasnya. Suara pintu yang berusaha dibuka menghentikan niatnya melanjutkan untuk merajut. Kuroko buru-buru memasukkan benang wol dan alat rajut ke tempatnya semula. Ia mempercepat langkah, membuka kunci pintu kamar.
"Ah, selamat datang, Sei-kun."
Wajah Akashi yang menautkan kedua alisnya adalah hal pertama yang dilihat Kuroko saat ia membuka pintu.
"Kenapa pintunya dikunci, Tetsuya?"
"Eh? Ah … bu … bukan apa-apa!" Kuroko menjawab dengan panik.
Akashi menarik sebelah alisnya naik. "Bukan apa-apa? Kau mencurigakan, Tetsuya."
Kuroko mundur selankah, Akashi maju selangkah. Hingga Akashi masuk ke dalam kamar yang sedang ditempati Kuroko, pintu ditutup dengan kaki. Kuroko panik, keringat dingin meluncur dari pelipisnya. Ia tahu benar bahwa tunangannya tidak suka bila ia menyimpan sesuatu tanpa bercerita.
"Tetsuya, lebih baik kau katakan padaku."
"A … aku harus mengatakan apa?"
Akashi mendorong Kuroko ke belakang. Tubuh Kuroko tenggelam kemudian kembali timbul efek dari matras tempat tidur di belakang mereka. Akashi pun berada di atas Kuroko dengan bertumpu tangan dan lutut. Akashi mendekatkan wajahnya pada wajah Kuroko.
"Hmm … apa kau sedang melakukan itu, Tetsuya?"
Kuroko menautkan kedua alisnya. "Hah? Itu? Itu apa?"
Akashi menghela napas. Terkadang Kuroko memang terlalu polos, ia bahkan kadang ingin memastikan bahwa Kuroko memang tunangannya yang selalu diajak itu-itu olehnya.
"Kau ini tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti?"
Kuroko masih menautkan kedua alisnya. Ia butuh waktu untuk berpikir sebentar. Itu? Apa hubungan kata 'itu' dengan mengunci pintu kamar?
Wajah Kuroko memerah, tampaknya ia mulai mengerti maksud perkataan Akashi. Akashi masih diam, menunggu jawaban dari Kuroko. Pemuda manis bersurai biru itupun mendongak, menatap tunangannya dengan wajah memerah sempurna.
"Maksud Akashi-kun …. Hnn … nn?" Kuroko menggumamkan kata terakhir, sembari membuat gerakan naik turun dengan tangan kanannya.
Akashi memundurkan tubuhnya sedikit, memperhatikan Kuroko yang membuat gerakan tangan naik dan turun. Ia kemudian kembali melirik Kuroko sambil menyeringai.
"Betul sekali. Anak pintar." Akashi mengecup kening Kuroko. "Jadi? Kau melakukannya?"
Kuroko menggeleng dengan cepat, membuat tanda silang dengan kedua tangannya. "Tidak, Ti-dak. T-i-d-a-k."
Akashi terkekeh. Ia kembali mengecup Kuroko, kali ini di pipi kirinya. "Tetsuya memang manis, ya."
"A … aku tidak manis, a … aku laki-laki, Akashi-kun."
Akashi memejamkan kedua matanya, menghirup aroma vanilla dari shampoo Kuroko. Akashi mengecup puncak kepala berhias helaian biru itu. "Hmm … tapi bagiku Tetsuya paling manis."
Kuroko hanya bisa mengunci mulutnya, wajah benar-benar merah. Ia bahkan bisa merasakan betapa panas pipinya. Mungkin sedikit lagi pipinya bisa digunakan untuk memanggang masakan.
"Jadi … hari ini kita mau ke mana, Akashi-kun?"
Kuroko melirik Akashi yang sedang mengganti pakaiannya. Mereka berdua baru saja selesai mandi –ya, bersama atas paksaan dari Akashi.
Akashi menoleh. "Hm? Kau lupa?"
Kuroko memperhatikan Akashi yang sedang mengaitkan kancing kemeja lengan pendeknya. "Lupa apa? Bukankah Akashi-kun tidak memberi tahu apa-apa padaku?" Kuroko menggembungkan pipinya.
Akashi terkekeh, mengecup pipi Kuroko yang digembungkan karena cemberut. "Kita akan fitting baju kemudian mengambil cincin, kan?"
"Ah, iya. Aku lupa." Kuroko memasang wajah datarnya, tampak seolah ia tidak melakukan kesalahan.
Kuroko menundukkan kepalanya, memainkan ujung kaos putih bergaris biru yang ia kenakan sambil menunggu Akashi mengenakan celana dan ikat pinggang. Sesekali matanya melirik sosok sang kekasih yang sedang bercermin.
"Kenapa melirikku terus, Tetsuya?"
Kuroko mendongak, kepalanya mundur sedikit akibat kaget Akashi mengetahui tingkahnya.
"A … aku tidak melirik Akashi-kun."
Akashi menyeringai. "Hmm … ya, betul kau tidak melirik wajahku, tapi kau melirik ke sini, kan?" Akashi menunjuk pinggangnya yang sudah terbalut celana kain dan ikat pinggang putih.
Wajah Kuroko memerah. Lagi-lagi Akashi tepat sasaran. Terkutuklah Akashi Seijuurou dan emperor eye miliknya.
Akashi hanya tersenyum geli melihat Kuroko yang cemberut dan sepertinya … memaki dirinya yang tepat sasaran. Akashi mendaratkan kecupan –yang entah keberapa hari ini– di pipi Kuroko.
"A … Ah, Akashi-kun, hentikan …" Kuroko mendorong pelan lengan Akashi. "Dari tadi kau menciumku terus, tahu?"
"Iya, aku tahu itu. Tetsuya terlalu manis." Akashi kembali memberikan kecupan ringan.
"Akashi-kun!"
Akashi pun menghentikan aksinya, ia menggandeng Kuroko dan membawanya keluar ruang ganti dengan langkah selebar mungkin.
"Tu … tunggu! Akashi-kun!"
"Tungg– langkahmu terlalu panjang, Akashi-kun!"
….::::***::::….
Akashi meletakkan ponselnya di atas sebuah karpet kecil anti-slip yang ia letakkan pada dashboard mobil. Ia baru saja menutup panggilan tidak penting atas nama pekerjaan kantor. Matanya melirik Kuroko yang duduk di bangku samping pengemudi. Ia baru saja menepikan mobil di pinggir jalan untuk parkir.
Akashi melepaskan sabuk pengamannya, bukan membangunkan Kuroko, hal pertama yang ia lakukan adalah memperhatikan wajah tunangannya yang sedang tertidur dari dekat. Jari telunjuknya dengan jahil menusuk pipi Kuroko yang sedang tertidur lelap.
"Ngh …" Kuroko tidak terbangun, hanya menggelengkan kepala karena merasa terganggu.
Akashi terkekeh. Ia mencoba metode lain … ya, metode yang paling disukai Akashi. Ciuman. Pertama, mulai dari yang paling ringan saja.
**Chuu! Level 1 !**
Akashi memandang wajah Kuroko untuk yang terakhir, masih menunggu kekasihnya untuk terbangun.
Nihil.
Tak ada tanda-tanda Kuroko akan segera bangun. Akashi mengecup keningnya.
Level 1 failed
**Chuu! Level 2 !**
Akashi beralih, menyerah dengan metode ciuman polos di dahi.
Ah, sekalian saja modus bisa mencium kekasihnya sambil membangunkannya dari tidur. Sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui.
Ia mendaratkan kecupan di pipi Kuroko, kemudian menjauhkan wajahnya untuk melihat reaksi sang tunangan.
Nihil.
**Chuu! Level 3 !**
Sekarang, bagian yang paling Akashi sukai.
Bibir Kuroko.
Akashi sedikit memajukan tubuhnya, mempermudah diri sendiri untuk mencium bibir merah muda Kuroko.
Kedua daging tak bertulang itu bertemu, Akashi semakin gencar menempelkan bibirnya pada bibir Kuroko. Matanya sesekali melirik wajah Kuroko, menunggu kedua kelopak itu terbuka. Isapan ringan pada bibir bawah Kuroko dilakukan oleh Akashi, diikuti beberapa jilatan sensual. Sang lawan main belum terbangun juga, Akashi menggunakan pilihan terakhir.
Lidah.
Akashi menarik pelan dagu Kuroko, membuat bibirnya terbuka. Cukup celah bagi lidahnya untuk masuk. Lidahnya bertemu dengan lidah Kuroko, saling membelit dan bergerak liar.
Kuroko yang merasakan napasnya berkurang pun segera membuka kedua matanya, mendapati sang tunangan sedang asik merampas ciuman dari bibirnya. Kuroko mendorong Akashi yang memejamkan kedua matanya.
Akashi yang merasakan dorongan pelan pun membuka kedua matanya. "Ah, Tetsuya. Selamat pagi. Tidurmu nyenyak?"
Kuroko memandang tajam Akashi, wajahnya merah sempurna. Sedang pelakunya hanya bersantai mengucapkan selamat pagi dengan wajah tak berdosa.
"Akashi-kun mesum. Apa yang kau lakukan saat aku tidur?" Kuroko memberikan tatapan menyelidik.
Akashi menyeringai kecil. "Menurutmu, apa yang kulakukan saat kau tidur?"
Kuroko tak menjawab, wajahnya semakin menunjukkan rasa curiga pada Akashi.
"Kenapa tak kau cek dulu celanamu, siapa tahu ada yang… memanggil." Jawab Akashi mendongakkan dagu.
Kedua mata Kuroko membulat, ia lantas segera menoleh ke bawah.
Akashi malah tertawa senang. Ya, dia senang menjahili Kuroko. Melihat wajah datar itu berekspresi manis dan berubah warna memerah.
Kuroko kembali menatap Akashi, wajahnya merah karena malu dan marah. "Akashi-kun kejam!"
"Maaf, maaf, Tetsuya terlalu manis, aku jadi suka menggodamu." Akashi menarik pelan tangan Kuroko, membawa mereka saling berdekatan.
Akashi kembali mengecup bibir Kuroko sekilas.
"Sekarang, lebih baik kita turun dan segera menyelesaikan aktivitas kita sebelum makan siang."
Kuroko hanya mengangguk, mulai melepas sabuk pengamannya dan merapikan rambut yang berantakan.
"Sudah?" Akashi bertanya sembari melirik Kuroko.
Kuroko menoleh, memandang Akashi yang sedang menyandarkan tubuhnya pada sisi kiri mobil yang terparkir di pinggir jalan. "Sudah."
Akashi tersenyum, butuh waktu lumayan lama bagi kekasihnya untuk merapikan rambut. Ia mengusap pelan helaian biru itu. "Bagus. Ayo, Tetsuya."
Akashi menggandeng Kuroko masuk ke dalam toko.
"Selamat datang."
Sapaan beberapa pelayan toko perempuan yang sedang berjajar rapi di dekat pintu masuk terdengar. Akashi yang menggandeng Kuroko santai tak menggubrisnya, ia segera melangkah ke tengah ruangan, dimana sofa berada.
"Selamat siang, Akashi-sama."
Akashi menoleh, mengangguk pelan kepada sang pemilik toko.
"Akashi-kun …"
Merasa kemejanya ditarik pelan, Akashi membalikkan tubuhnya menghadap Kuroko yang sedang duduk di sofa.
"Ada apa, Tetsuya?"
Kuroko memberi gestur pada Akashi untuk mendekat kepadanya. Kuroko pun berbisik di telinga kanan Akashi.
"Jangan bilang Akashi-kun menyewa seluruh tempat ini."
Akashi memundurkan kepalanya sedikit, memasang tampak (pura-pura) terkejut. "Bagaimana Tetsuya tahu?"
Kuroko menghela napas. "Sudah kuduga. Kenapa?"
"Aku tidak mau orang lain melihat Tetsuya yang manis sedang mencoba baju pengantin."
"Ta– "
Perkataan Kuroko dipotong. Akashi menempelkan telunjuknya di bibir Kuroko. "Diamlah dan jadi anak manis."
Kuroko pun diam menyerah. Kalau ia masih saja membantah, bisa dipastikan kalimat "Atau kau akan kuhukum di atas kasur nanti malam." akan keluar dari mulut Akashi.
"Tetsuya, lebih baik kita mencari sendiri bajunya. Bagaimana?" Akashi menawarkan Kuroko.
Kuroko mengangguk, ia berdiri dan memutari toko mencari baju, berpisah jalan dengan Akashi.
….::::***::::….
Kuroko memajukan bibirnya, sudah lima belas menit dan ia sama sekali belum mendapatkan pilihan yang cocok. Sesekali Kuroko melirik Akashi yang diikuti sekretaris pribadinya –entah sejak kapan datang– sambil membawa setumpuk kain warna putih yang membuatnya tak dapat melihat ke depan.
Kuroko kasihan, sekretaris Akashi seharusnya hari ini punya banyak pekerjaan karena mengurusi data-data perusahaan di kantor, sekarang harus bekerja di luar jam kerja membawa setumpuk kain. Kuroko bahkan tak dapat melihat wajah sekretaris sang tunangan.
"Tetsuya? Kau belum dapat?"
Kuroko terlonjak kaget. Entah sejak kapan Akashi sudah berdiri di belakangnya. Kuroko membalikkan tubuhnya menghadap Akashi dan sekretaris pribadinya.
"Belum ada, Akashi-kun …"
Kuroko melirik setumpuk kain yang dibawa sekretaris Akashi.
"Ano … Akashi-kun … kau tidak kasihan pada sekretarismu?"
Akashi mengangkat kedua alisnya, menoleh pada sang sekretaris dan diam tak bersuara –mungkin sedang mengumpat Akashi dalam hati. Pandangannya kemudian kembali beralih pada Kuroko. Kedua bahunya diangkat bersamaan, seolah tak peduli keadaan sang sekretaris.
Kuroko mencubit kedua pipi Akashi.
"Aduh! Sakit, Tetsuya … aduh, aduduh … iya, iya! Aku bawa sebagian bajunya."
Akashi mengalah, Kuroko memasang senyum kemenangan. Ia memperhatikan Akashi yang mengambil beberapa potong kain dari dekapan sang sekretaris sembari mengomel pelan. Kuroko langsung mengelus kepala Akashi yang cemberut.
"Anak pintar."
"Malam ini kau tanggung sendiri, Tetsuya." Akashi berbisik pelan namun cukup terdengar oleh Kuroko.
"Apa aku sudah masuk ke kandang singa tanpa sadar?" batin Kuroko lemas.
Kau baru sadar, Kuroko? Ayolah, selama ini kau tinggal bersama singa di dalam kandangnya.
Mereka bertiga pun melangkahkan kaki menuju sofa putih yang ada di tengah ruangan. Akashi dan sekretarisnya meletakkan kain-kain putih itu di atas sofa.
"Tetsuya, kau mau memilih lagi atau melihat yang ini dulu?"
Kuroko menoleh. "Biar aku lihat yang ini dulu saja, Akashi-kun."
Akashi mengangguk kemudian duduk di sofa menyerahkan urusan milih memilih pada sang tunangan.
.
.
.
Sepuluh menit kemudian
.
.
.
"Bagaimana, Tetsuya?" Akashi melirik Kuroko dari sudut matanya, mengalihkan pandangan dari layar ponsel.
Kuroko menoleh kepada Akashi dengan wajah memelas. Akashi hanya terkekeh kecil, ia berdiri dan melangkah mendekati Kuroko setelah memasukkan ponsel ke dalam saku celana.
"Kenapa? Kau bingung?"
Kuroko mengangguk. "Pilihan Akashi-kun terlalu silau."
"Silau?" Akashi menautkan kedua alisnya.
"Terlalu mewah, Akashi-kun …" Kuroko menggembungkan kedua pipinya.
Akashi hanya menggelengkan kepala. "Tidak. Pilihanku itu simpel, Tetsuya."
"Seperti ini simpel katamu?!" Kuroko mengangkat sebuah kemeja putih lengan panjang dengan pita yang agak besar di bagian dada, ujung lengannya memiliki tiga lapis rumbai kecil. Seperti kemeja yang dikenakan oleh pangeran kerajaan dari negeri dongeng –kata Kuroko.
"Ah, yang ini manis untukmu, Tetsuya. Berterima kasihlah pada Higuchi-san yang memilihkannya untukmu."
Kuroko menoleh ke belakang, matanya menatap tajam sekretaris Akashi hingga yang ditatap hanya bisa berkeringat dingin ditatap (calon) istri renkarnasi iblis.
Tidak, dia tidak akan mengatakannya secara lantang. Ingat itu.
Kuroko menghela napas. "Kalau begitu, lebih baik Akashi-kun membantuku mencari baju yang tepat."
Akashi mengangguk, mengingat satu tumpukan baju yang belum dilihat oleh Kuroko, ia membongkarnya dan mengambil baju yang ia pilihkan untuk Kuroko.
"Tetsuya."
Kuroko yang sedang mencari baju di tumpukan lain menoleh begitu namanya dipanggil.
"Kalau kau pakai ini pasti manis."
Empat siku-siku muncul di pelipis Kuroko.
"Ignite pass … KAI!"
"Ugh!"
"Bakashi!"
"Khghh!"
"Mesum!"
"Kgh!"
*Piiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiip*
*Mohon maaf, tolong tunggu sebentar. Sementara itu, adegan kami sensor. Terima kasih atas perhatiannya.*
Akashi duduk diam di sofa, disampingnya ada Kuroko yang sedang cemberut sambil melipat kedua tangan di depan dada. Sang penjaga toko sudah lama kabur, enggan melihat adegan KDRT ala pasangan merah-biru AkaKuro.
"Bakashi-kun mesum."
Akashi melirik Kuroko dari sudut matanya. "Kenapa sih? Kan kau tinggal memakai gaun itu. Selesai."
"Justru itu masalahnya!"
Akashi menghela napas, memangku sebuah gaun panjang warna putih dengan belahan dada rendah dan kain transparan pada bagian pundak. Payet putih mengilap tertimpa cahaya di bagian atas sedang bagian bawahnya memiliki unsur biru muda pucat pada lapisan terluar. Sebuah pita biru muda menjadi pemanis gaun di bagian pinggang kanan. Gaun bawahnya tak terlalu mengembang, menjuntai ke bawah dan sedikit panjang di belakang hingga menyapu lantai.
"Tapi gaun ini bagus, Tetsuya."
Kuroko mengedip beberapa kali.
Tunggu, telinga dan matanya tidak bermasalah, kan? Ia tidak salah mendengar Akashi menggunakan nada merajuk dan pipi kanannya digembungkan? Yakin tidak salah? Serius?
Satu hal pasti yang Kuroko pikirkan, dunia akan kiamat.
Akashi yang tak mendapat jawaban pun menoleh, memandang Kuroko yang membatu.
"Tetsuya?" Akashi melambaikan tangannya di depan wajah Kuroko.
Kuroko hanya menoleh pada Akashi yang sudah kembali normal. Kuroko menempelkan punggung tangannya pada dahi Akashi.
"Akashi-kun nggak sakit, kan? Sehat ?"
Akashi mengedipkan kelopak matanya beberapa kali. "Aku sehat, Tetsuya."
"Syukurlah."
"Lebih baik kita cari lagi bajunya, nanti toko perhiasan keburu tutup." Akashi berucap sambil mengamati jam digital pada ponselnya.
Ponsel merah pun meluncur masuk saku celana, Akashi berdiri diikuti Kuroko.
Akashi menarik tangan Kuroko.
"Tetsuya mau kemana?"
Kuroko melirik Akashi, wajahnya sedikit memerah. "Eh? Ah … kan kita mau mencoba baju."
"Tidak, kau ikut denganku. Kita berganti satu ruangan."
"Eh? Tapi … Akashi-kun …"
Akashi tak menoleh ke belakang, tetap menarik tangan Kuroko.
"Bukankah kau juga sudah sering memperlihatkan tubuh telanjangmu? Bahkan semenjak kita SMP. Saat kau **********, kau yang duluan membuka baju pertama kali, kan? Kemudian ketika kita melakukan **** dan *********** *** juga **** ***, kemudian **** *** dan ** ?"
Wajah Kuroko memerah sempurna. "Ti … tidak perlu diucapkan begitu, kan?"
Bersyukurlah karena jarak kasir dengan ruang fitting berjarak jauh sehingga para pelayan toko –yang sudah kembali– tidak dapat mendengar obrolan mereka, terutama ucapan Akashi tanpa sensor –yang terpaksa saya sensor karena dapat menyebabkan kejang-kejang serta mimisan parah pada para pembaca.
"Ano, Akashi-kun …"
Akashi yang baru saja melepaskan kemeja merahnya menoleh pada Kuroko.
"Ada apa, Tetsuya?"
Kuroko menolehkan kepalanya ke belakang. "Akashi-kun, tolong … ada kancing di bagian belakang vest ini."
Akashi pun mendekati Kuroko. "Tetsuya, hadap depan." Akashi mendorong pelan kepala Kuroko sehingga menghadap ke cermin.
Akashi menarik pinggang Kuroko, membawa tubuh Kuroko menempel dengan tubuhnya sendiri. Kuroko melirik ke belakang.
"Tunggu, Akashi-kun! Kenapa posisinya harus seperti ini?"
"Hm? Bukankah kau memintaku mengancingkan vest-mu?"
"Ta, tapi kan … Ngh!"
Akashi menyeringai kecil, jemarinya mengelus tengkuk Kuroko perlahan, ia tahu betul bahwa Kuroko memang sensitif di bagian tengkuk dan lehernya.
"Ada apa, Tetsuya?" Akashi berbisik pelan di telinga Kuroko.
"Nnh … Aka- Ngh"
Akashi tersenyum jahil, ia memundurkan tubuhnya. "Sudah selesai, Tetsuya."
Kuroko menoleh ke belakang, wajahnya memerah dan tangan kanannya menutupi bagian tengkuk. "Akashi-kun kejam."
Akashi hanya terkekeh kecil. "Daripada itu, lebih baik kau bercermin, bukankah kau terlihat manis, Tetsuya?"
Setelan kemeja, celana, dan vest pilihan Akashi sangat menawan. Kuroko menatap pantulan dirinya di cermin, berbalut kemeja putih tulang dengan model kerah klasik. Ujung lengan kemeja dipasangi dua kancing transparan. Akashi juga memilihkan vest putih susu dengan potongan rendah dan tiga kancing kecil sebagai pengait. Dasi kupu-kupu warna biru muda terpasang rapi di tengah kerah. Celana kain putih menghias kedua kaki mungil Kuroko, potongan celana lurus membuat kakinya terlihat semakin jenjang.
"Bagaimana, Tetsuya?"
Kuroko mengangguk pelan, kedua matanya masih berbinar. "Aku suka, Akashi-kun."
Akashi terkekeh. "Baiklah, giliran aku."
"Bagaimana menurutmu, Tetsuya?"
Kuroko memperhatikan Akashi yang berdiri menghadapnya dan membelakangi cermin di ruang ganti. Kuroko hanya mampu mengedipkan mata beberapa kali, ia tidak dapat menyuarakan pendapatnya.
Akashi berdiri dengan kemeja putih tulang yang mirip dengan miliknya, namun berbeda di bagian kerah yang dibuat button down, dengan dua kancing kecil di ujung depan kerah. Akashi juga memakai vest warna putih susu, namun ia memakai dasi merah pucat yang tersembunyi di balik vest sebagian. Celana potongan lurus warna putih menghias kaki jenjangnya.
"Tetsuya?" Akashi melambaikan tangan kanannya di depan wajah Kuroko yang masih belum menyuarkan pendapat.
Kuroko hanya mengangguk, masih memperhatikan penampilan Akashi. "Bagus …"
Akashi terkekeh, ia mengecup cepat bibir Kuroko. "Jangan melamun. Aku tahu aku menawan di matamu, Tetsuya."
Kuroko menggembungkan kedua pipinya. "Akashi-kun narsis."
….::::***::::….
"Terima kasih banyak!"
Akashi dan Kuroko meninggalkan toko itu pertengahan hari. Tidak lain, tidak bukan karena Akashi yang masih menyuruh Kuroko mencoba baju ini itu meski mereka sudah menemukan yang tepat. Ya, kira-kira Akashi menyuruh Kuroko mengenakan dress dengan bahan minim, punggung yang terbuka atau dengan bagian rok yang pendek kemudian memakai garter belt. Akashi benar-benar ingin memenuhi semua fantasi liarnya selama ia berkhayal sendirian di ruang kantor. Mungkin nanti malam dia akan memakaikan kostum kucing pada Kuroko, dengan tambahan ekor vibrator padanya.
"Tetsuya, mau makan dulu?" Akashi menawarkan, melirik layar ponselnya yang menampilkan jam.
Kuroko menoleh. "Boleh juga. Akashi-kun mau makan dimana?"
Akashi memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, tangan kiri menggandeng tangan Kuroko dan membawanya berjalan kaki ke seberang jalan.
"Eh? Mobilnya ditinggal, Akashi-kun?" Kuroko melirik tempat mobil mewah berwarna merah diparkirkan.
Akashi hanya mengangguk. "Bukankah begini lebih nyaman? Menikmati siang hari sambil bergandengan tangan, Tetsuya?"
Wajah Kuroko memerah mendengar ucapan spontan Akashi, entah ia sengaja atau tidak mengatakannya.
"Lagipula, nanti kita bisa kembali ke sana lagi mengambil mobil, atau aku bisa meminta Higuchi-san mengantarkannya kepada kita."
Pukulan ringan diberikan Kuroko di pundak Akashi. "Akashi-kun dilarang merepotkan orang lain."
"Gya! Akashi-kun! Apa yang kau lakukan?!"
Kuroko tiba-tiba berteriak.
"Apa yang kulakukan? Kau bilang aku dilarang merepotkan orang lain, bukankah begitu, Tetsuya?"
"Tapi kenapa kau menggendongku?!"
"Tetsuya pasti kerepotan kalau kusuruh berjalan kaki, makanya kugendong saja."
Kuroko segera memberontak dalam gendongan bridal style Akashi, mencoba turun.
"Tetsuya diam, nanti kau jatuh."
"Tidak mau! Turunkan aku, Akashi-kun! Kita dilihat orang banyak!"
"Tidak apa-apa, abaikan saja mereka. Mereka iri melihat kemesraan kita."
"Tapi, Akashi-kun!"
Akashi menghela napas, lelah karena Kuroko sama sekali tidak mau berhenti memberontak. Ia segera membungkam bibir Kuroko dengan bibirnya sendiri. Setelah ciuman lama dan dalam yang diberikan Akashi dilepas, dan berhasil membuat Kuroko diam karena terlalu malu untuk berbicara, Akashi segera melangkahkan kakinya di trotoar menuju tempat makan sambil menggendong Kuroko.
….::::***::::….
Kuroko menyembunyikan wajahnya dibalik kedua tangan yang saling ia tumpuk di atas meja.
"Tetsuya, tidak usah putus asa begitu."
Kuroko langsung mendongak. "Ini semua karena Akashi-kun!"
"Aku tidak salah apa-apa, aku hanya menuruti perkataanmu saja."
"Ta–"
Akashi menempelkan telunjuknya di depan bibir Kuroko. "Lebih baik kau pesan makanan sekarang."
Kuroko yang disuruh diam pun menurut walau menggembungkan sebelah pipinya. Ia segera membaca kertas menu yang diberikan pelayan restoran beberapa menit lalu. Matanya membaca deretan jenis-jenis makanan dari atas ke bawah.
Seorang pelayan wanita mendekati mereka, membawa kertas kecil untuk mencatat pesanan mereka.
"Permisi, apa anda sudah siap memesan?"
Wanita yang Kuroko kira-kira masih dua puluh tahunan itu bertanya dengan nada begitu sopan dan lembut. Tapi! Sekilas ia bisa melihat matanya melirik Akashi dengan seduktif. Kuroko menautkan kedua alisnya.
"Satu miso ramen." Akashi menjawab tanpa memindahkan pandangan dari daftar menu, ia tidak bisa melihat bagaimana pelayan wanita itu memandang dirinya, dan bagaimana Kuroko memandang pelayan wanita itu dengan tajam.
"Baik, satu miso ramen."
"Kau mau apa, Tetsuya?" Ia akhirnya mendongak, menatap wajah Kuroko yang menajamkan pandangannya.
"Ramen dengan daging sapi." Kuroko menjawab dengan cepat dan nada yang datar, membuat Akashi menyadari perubahan sikap Kuroko.
"Baik, satu miso ramen dan satu ramen dengan daging sapi. Apa ada pesanan lainnya?"
Kuroko memandangi pelayan wanita itu yang mengarahkan pandangannya pada Akashi sambil mengedipkan mata beberapa kali, berusaha terlihat manis. Sedang Akashi melihat kembali pada menu, memastikan tidak ada yang hendak mereka pesan lagi.
"Kau mau sesuatu, Tetsuya?"
"Tidak."
Akashi memandang pelayan itu. "Itu saja, terima kasih."
"Baik. Silakan ditunggu sebentar."
Pelayan itu kemudian pergi, setelah mengedipkan sebelah matanya pada Akashi –yang tidak dinotis Akashi tentunya.
"Tetsuya."
Kuroko mengalihkan pandangan menuju jalan luar. "Hn?"
"Ada apa denganmu, hm?"
"Tidak ada apa-apa."
"Tetsuya, jawab."
"Tidak ada."
"Te—"
Perkataan Akashi pun harus terputus, pelayan wanita tadi kembali dengan pesanan keduanya serta dua gelas air.
"Permisi, selamat menikmati."
Akashi menganggukkan kepalanya, tanda berterima kasih. Ia kembali memandang Kuroko.
"Tetsuya, katakan. Sikapmu aneh, kau tahu?" Akashi menaikkan sebelah alisnya.
Kuroko masih memandang jalan luar, seolah pemandangan para pejalan kaki adalah pemandangan paling menarik.
Akashi memukul pelan meja. "Kuroko Tetsuya."
Kuroko melirik Akashi sebentar, ia berdiri dari bangkunya dan hendak melangkah pergi.
"Kau mau kemana, Tetsuya?" Akashi mulai meninggikan nada bicaranya.
Kuroko tidak menjawab, menoleh pun tidak. Akashi pun ikut bangkit berdiri, tangannya menarik pergelangan tangan kiri Kuroko. Tubuh mungil itu limbung, Kuroko menoleh ke belakang menatap Akashi.
"Aduh! Sakit, Akashi-kun, tolong lepaskan tanganku."
"Tidak, sampai kau menjawab pertanyaanku."
"Sakit, Akashi-kun." Kuroko berusaha menarik tangannya yang digenggam terlalu erat oleh Akashi.
Akashi sama sekali tidak melonggarkan genggamannya, malah menambah kekuatan. Kedua matanya menatap tajam Kuroko, menuntut jawaban. Beruntung bagi mereka karena restoran itu sedang sepi pelanggan dan mereka duduk di pojok ruangan yang sedikit tertutup dinding.
"Jawab pertanyaanku, Tetsuya."
Kuroko masih diam, dia meringis sakit.
"Tetsuya!"
Kuroko menggeleng, ia masih mengunci mulutnya dan menolak berbicara.
Satu tamparan menadarat di pipi kanan Kuroko. Genggaman erat di tangannya lepas begitu saja, Kuroko limbung ke belakang beberapa langkah. Tangan kanannya yang bebas sedari tadi mengelus pelan pipinya yang terasa panas, ia memandang Akashi yang masih menatapnya tajam.
"Terserah kau saja, Tetsuya. Aku lelah." Akashi membalikkan tubuhnya, kembali duduk di bangku.
Kuroko menggertakkan giginya, mengepalkan kedua tangannya. Ia merogoh saku belakang celananya, mengambil dompet dan mengeluarkan uang. Dengan cepat, ia meletakkan uang itu di atas meja dan berlari kecil ke luar restoran. Membiarkan makanan yang ia pesan begitu saja hingga dingin. Ia menolak membiarkan Akashi atau siapapun di restoran itu melihat dirinya, seorang lelaki mengeluarkan air mata.
Akashi menghela napas panjang. Ia mengurungkan niatnya untuk meraih sumpit yang ditata rapi di atas meja. Ia hanya memandangi makanan yang ada di hadapannya. Ia memutuskan untuk langsung pulang, tanpa menyendok sedikitpun makanan yang ia pesan. Ia harus mendinginkan kepalanya.
Akashi pun bangkit berdiri, mengambil uang yang diletakkan Kuroko di atas meja dan menyimpannya sementara di dalam dompet. Ia beranjak ke kasir, beruntung restoran sedang sepi sehingga ia tidak perlu mengantri.
"Tuan, apakah anda tidak memakan pesanan anda?"
Akashi mendongak, matanya bertemu dengan pelayan wanita yang tadi mencatat dan mengantar pesanannya dan Kuroko.
"Tidak." Akashi menjawab singkat, mengeluarkan dompet dari saku belakang.
"Maaf, tapi ada apa, tuan? Apakah tidak enak?"
"Biasa saja."
Akashi menjawab singkat, seadanya. Suasana hatinya sedang buruk dan ia tidak mau diganggu siapapun.
"Ah, bagaimana kalau kami bungkuskan kedua makanan yang anda dan teman anda pesan?"
Pelayan wanita itu kembali menawari, entah mengulur waktu agar bisa berbicara dengan pria tampan seperti Akashi atau mencoba memberikan servis terbaik bagi pelanggan, atau mungkin keduanya.
Akashi diam sejenak, tampak berpikir, sebuah anggukan kemudian diberikan sebagai tanda persetujuan.
"Baik, silakan menunggu sebentar. Anda bisa duduk di bangku ujung saja, tuan."
Akashi tak membalas ucapan pelayan itu, ia langsung melenggang pergi dan duduk di ujung ruangan. Sembari menunggu ia mengeluarkan ponselnya. Helaan napas keluar, ia menghabiskan waktu cukup lama di toko tanpa sadar hari sudah hampir sore.
"Setelah ini, mengambil cincin." Akashi bergumam sembari melihat-lihat ponselnya.
Akashi membuka sebuah aplikasi, aplikasi GPS. Ia memperhatikan sebuah ikon bundar berwarna biru muda sedang bergerak di dalam layar ponselnya. Jarinya memperbesar gambar peta di layar agar lebih mudah memastikan letak ikon biru muda itu berada.
Akashi menyilangkan kakinya, dagu bertumpu di tangan kanan, sedang tangan kirinya memainkan ponsel.
"Hmm … Tetsuya sedang di mansion Akashi?" Akashi kembali bergumam kecil, ia kembali memperbesar layar untuk memastikan keberadaan Kuroko.
Kedua alis merah itu ditarik ke atas. "Kamar tamu? Apa yang dia laku— Ah, mengambil barang? Kemudian pulang?"
Akashi mendecakkan lidahnya. Ia pun segera mengunci layar ponselnya dan kembali memasukkannya ke dalam saku celana. Ia berdiri dan mendatangi kasir, hendak segera pulang. Siapa tahu Kuroko masih ada di sana.
Pelayan wanita tadi meletakkan sebungkus plastik putih di atas meja kasir, Akashi kembali mengeluarkan dompetnya.
"Berapa?"
"Total semua, sembilan ratus lima puluh yen."
Tanpa banyak bicara lagi, Akashi segera mengeluarkan dompetnya.
….::::***::::….
"Kuroko?"
Yang dipanggil diam saja, masih duduk di atas sofa dan memojok. Kedua kaki ditekuk di depan dada, kedua tangan memeluk erat bantal empuk warna coklat.
"Kuroko? Ayolah, jangan seperti itu."
Kuroko hanya melirik orang yang memanggilnya, kemudian menyembunyikan wajahnya di balik bantal sofa.
"Kuroko?"
Kuroko mendongak, merasa tempat di sampingnya sedikit tenggelam. Ia menoleh ke kiri.
"…"
"Ayolah, cerita. Tiba-tiba saja kau datang, kemudian kau masuk ke dalam rumahku tanpa berbicara apapun selain berkata "permisi", kemudian kau memojok di sofa? Ayolah, ada apa sebenarnya?"
Kuroko tiba-tiba menangis lagi, dengan keras.
"O– Oi, Kuroko!"
Pria bersurai coklat itu menghela napas. "Sudah, hentikan tangisanmu. Minumlah, kubuatkan teh hijau kesukaanmu."
Kuroko mengangguk pelan, sesekali masih sesenggukkan. Hidung mungilnya memerah. Tangannya meraih cangkir keramik putih polos dengan cairan hijau pekat di dalamnya.
"Jadi? Ada apa? Kau bertengkar dengan Akashi?"
Kuroko meletakkan cangkirnya di atas meja, mengangguk kecil.
"Baiklah. Kalian bertengkar karena apa, hm?"
"Akashi-kun tidak peka, Ogiwara-kun."
Kedua alis Ogiwara naik. "Tidak peka? Maksudmu?"
Kuroko pun menceritakan semuanya, mulai dari perjalanan mereka ke restoran hingga bagaimana ia berlari keluar restoran.
Ogiwara mengangguk-angguk. "Hm, aku bisa mengerti hal itu. Tapi, seharusnya kau juga mengatakan padanya, kau tahu?"
"Um, iya. Aku rasa aku yang salah," Kuroko menghela napas. "Tapi, tetap saja!"
Ogiwara hanya menggelengkan kepalanya, memaklumi sifat keras kepala sahabatnya sejak kecil. Kuroko berdiri, meletakkan bantal di atas sofa.
"Ogiwara-kun, aku mau pinjam toilet."
Ogiwara mengangguk. "Toilet di sana." Jarinya menunjuk arah koridor di belakang sofa.
Kuroko menoleh ke belakang, mengangguk. "Baik."
"Tunggu, Kuroko."
Kuroko pun mengurungkan niatnya. "Ada apa, Ogiwara-kun?"
Ogiwara menunjuk pipi kanannya sendiri dengan telunjuk. "Pipi, merah."
Kuroko menutupi pipi kanannya.
"Kenapa?"
Kuroko melirik Ogiwara. "Ogiwara-kun bisa menebaknya, bukan?" Ia pun kemudian berlari kecil ke arah toilet.
….::::***::::….
Titik-titik air perlahan berubah menjadi guyuran. Para pejalan kakipun segera mencari tempat berlindung. Langkah kaki menginjak genangan air di trotoar bersahut-sahutan.
Akashi berteduh di depan sebuah toko, ia mengeluarkan ponselnya. Kembali, jemarinya dengan lincah membuka aplikasi pelacak.
Akashi mendecakkan lidahnya. Ikon bundar berwarna biru muda itu hilang, tanda bahwa sang pemilik mematikan ponselnya. Tak dapat dilacak sama sekali.
"Tuan, silakan masuk. Anda bisa menunggu di dalam sembari menunggu hujan reda."
Akashi dikejutkan sebuah suara. Ia menoleh ke kanan, seorang gadis kecil membuka pintu toko baginya. Akashi mengangguk kecil.
"Terima kasih." Ia pun melangkahkan kakinya ke dalam toko.
Akashi memperhatikan seisi toko. Ruangan yang tak terlalu besar dengan dinding putih bersih dan lantai kayu coklat susu. Sebuah kipas angin yang terbuat dari kayu berputar pelan di langit-langit toko. Ember-ember logam tipis diletakkan di atas meja, setiap ember berbeda isinya.
"Toko bunga, hm?" Akashi menggumam dalam hatinya, masih memperhatikan isi toko.
"Tuan, silakan duduk."
Akashi melirik gadis kecil tadi berdiri di belakang sebuah sofa tunggal warna krem. Akashi segera duduk di sana setelah mengucapkan terima kasih.
Sebuah cairan coklat pekat dalam cangkir tiba-tiba terhidang di hadapannya. Ia menoleh ke kanan, seorang wanita tua dengan rambut yang hampir memutih seluruhnya berdiri sambil tersenyum.
"Silakan diminum."
"Terima kasih banyak."
Akashi menyesap isi cangkirnya, mencoba menenangkan pikirannya yang masih berantakan dan kesal. Wanita tadi duduk di sofa seberang Akashi.
"Tampaknya kau punya masalah, tuan?"
Akashi memandang wanita itu, sebatas mengangguk kecil.
"Ah, biar kutebak. Pertengkaran sepasang kekasih?"
Akashi hanya tersenyum kecil mendengar kata 'pertengkaran'.
"Bagaimana sebuket bunga untuk kekasihmu? Kau bisa berbaikan dengannya."
Akashi mendongak, kedua alisnya naik. "Bunga…"
Wanita itu mengangguk, masih tersenyum ramah. "Karena toko hari ini sedang tutup, anda bisa mengambil sebuket bunga secara gratis, tuan."
"Ah, tidak, tidak, Saya harus membayar untuk apa yang saya beli."
Wanita itu hanya menggeleng pelan. "Tidak perlu, kami tidak memerlukan bayaran hari ini."
"Tetapi, tetap saja."
"Sudahlah, anak muda. Silakan kau pilih bunga yang kau mau."
Akashi mengangguk. "Bagaimana kalau saya bayar dengan dua mangkuk ramen?"
Wanita itu melirik bungkusan yang dibawa Akashi, sebuah anggukan kecil diberikan. Akashi tersenyum kecil.
"Terima kasih banyak. Saya ingin sebuah buket baby's breath."
Wanita itu mengangguk lagi. "Baiklah. Silakan menunggu, akan segera kami buatkan."
Akashi kemudian memberikan bungkusan putih itu pada sang wanita tua yang beranjak untuk membungkus pesanan Akashi. Sembari menunggu, Akashi kembali mengecek aplikasi pelacak pada ponselnya.
"Ah, sudah dinyalakan."
Jemarinya memencet ikon biru muda kembali, menemukan letaknya.
"Apartemen OS kompleks B, nomor 777. Rumah siapa?" Sebelah alis Akashi naik, mencoba mengingat-ingat teman Kuroko yang bertempat tinggal di apartemen itu. "Shigehiro?"
"Tuan, buket pesanan anda sudah selesai."
Akashi langsung menoleh, ponsel ia masukkan ke dalam saku celana. Ia berdiri dan melangkah ke kasir.
"Ah ya, tuan, saya menemukan ini di dalam bungkus plastik tadi. Mungkin milik anda."
Akashi melirik secarik kertas putih yang dilipat sedang digenggam wanita pemilik toko bunga itu. Ia tak pernah melihatnya, Akashi mengambil kertas itu dan memberikan ucapan terima kasih.
"Sama-sama, tuan. Hujan juga sudah reda, mungkin anda ingin bergegas bertemu kekasih anda?"
Akashi melirik keluar, hujan sudah berhenti. "Terima kasih banyak, saya akan segera bertemu dengannya. Sekali lagi, terima kasih banyak atas bantuan anda." Akashi membungkukkan tubuhnya.
"Berhati-hatilah di jalan."
….::::***::::….
"Oi, Kuroko."
Pemuda bersurai biru yang tengah asik bergelung dalam selimut hasil pinjaman di atas sofa sambil menonton televisi itu hanya bergumam.
"Oi, kau tidak mencoba menghubungi Akashi?"
"Tidak, untuk apa?"
"Yah, maksudku, setidaknya minta maaf?"
Kuroko melirik Ogiwara. "Tidak mau."
"Ayolah, bukankah kau mengaku kau juga bersalah?"
"…"
Kuroko bungkam, enggan menjawab karena kalah telak. Ia memang mengaku salah, bukan berarti ia mau meminta maaf.
"Sudahlah, lebih baik kau tidur. Kau bisa pakai kamar kedua, sudah kurapikan tadi siang."
Kuroko mengangguk, mulai beranjak dari sofa. "Terima kasih banyak, Ogiwara-kun."
Ogiwara hanya mengangguk kecil, memandangi sahabatnya yang beranjak dan masuk dalam kamar kedua di apartemen miliknya. Ia menghela napas, mengambil cangkir-cangkir di atas meja kemudian membawanya ke dapur. Tentu saja ia harus mencucinya sekarang.
Ogiwara melirik jam yang tergantung di dinding ruang tengah, pukul setengah dua belas malam. Matanya mulai terasa berat, kantuk mengajaknya menikmati tempat tidur yang empuk dan selimut yang hangat. Sesekali uapan kantuk membuat Ogiwara membuka mulutnya lebar, tangan masih sibuk bermain dengan air dan busa sabun.
Ding Dong
Ogiwara melirik ke ruang tengah, pintu sedikit terlihat dari dapur.
"Tamu? Lagi?"
Ding Dong
Tamu tak sabaran, Ogiwara buru-buru menyelesaikan aksi cuci mencuci cangkir di jam hampir tengah malam ini. Ia buru-buru mengeringkan tangan seadanya, cukup dengan menggosoknya beberapa kali di celana jins yang ia pakai sekarang. Kakinya melangkah cepat.
Ding Dong Ding Dong Ding Dong
"Iya, iya, sebentar!" Ogiwara berteriak kecil, merasa tamunya tak bisa mendengar bila ia tak berteriak.
Rantai pada pintu dilepas, ia segera membuka pintu.
"Tetsuya disini, kan?"
Ogiwara mengedipkan matanya beberapa kali. Sudah tidak ada salam, kini tamu yang seenaknya itu malah menjulurkan kepalanya ke dalam apartemennya, melirik ke kanan dan kiri.
"Oi, oi, baru datang kau begitu."
Akashi melirik Ogiwara. "Selamat malam. Aku mencari Tetsuya."
"Kenapa kau mencari kemari?" Ogiwara, sebagai sahabat yang baik, merasa harus melindungi keberadaan sahabat baiknya.
Akashi menunjukkan layar ponselnya. "Karena GPS ku mengatakan posisi Tetsuya ada di sini."
Ogiwara menghela napas. "Masuklah, kau duduk dulu. Akan kupanggilkan Kuroko."
Sang Kaisar bertindak, maka tak ada yang dapat menghentikannya. Akashi bertitah, tak ada yang bisa membantah, atau gunting melayang. Ogiwara menutup pintu apartemen setelah Akashi masuk ke dalam dan menyamankan diri di sofa.
"Tunggulah."
Akashi hanya duduk diam di sofa, menunggu keputusan sang empunya rumah. Ia sempat mendengar pembicaraan samar-samar dari koridor yang ia rasa adalah kamar kedua. Ia melirik koridor itu, berharap Kuroko akan muncul segera. Tak selalu realita seindah ekspetasi, yang muncul justru Ogiwara.
"Mana Tetsuya?" Akashi melirik kembali koridor itu.
Ogiwara menggeleng. "Dia tidak mau keluar."
Akashi menghela napas. "Sudah kuduga."
"Kau mau apa sekarang? Pulang? Atau kau mau ikut menginap di sini?"
Akashi menggeleng. "Tidak keduanya. Aku akan mendatangi Tetsuya sekarang, bahkan bila harus memaksanya keluar."
Akashi segera bangkit berdiri, melangkah cepat menuju koridor yang ia hanya pandangi sedari tadi. Tangannya ditarik cepat dari belakang.
"Hei, Akashi, tunggu. Kau tidak bisa memaksa Kuroko kalau ia tidak mau."
"Tidak, aku harus menyelesaikan masalah ini dengan cepat."
Ogiwara mendecak kesal. "Tidak bisa, ya tidak bisa."
"Diamlah, Shigehiro. Tetsuya bukan seorang wanita yang harus selalu dilembuti. Ingat, dia juga seorang lelaki."
Dengan kalimat itu Ogiwara bungkam. Ia memutuskan untuk membiarkan Akashi melakukan apa yang ia mau, tapi ia juga mengekor dari belakang. Berjaga-jaga bila terjadi sesuatu. Mereka berdiri di depan sebuah pintu besi warna putih. Akashi mengetuk pintu itu, tak mengucapkan sepatah katapun.
"Ogiwara-kun? Ada apa lagi? Apa Akashi-kun sudah pulang?"
Akashi memandang Ogiwara, yang dipandangi hanya bisa mundur teratur.
Sedang Kuroko yang merasa tak mendapat jawabanpun membuka pintu. "Ada ap— "
"Tetsuya."
Kuroko melirik Akashi, dengan cepat ia menutup pintu. Ya, awalnya begitu, sebelum Akashi menahan pintu itu. Tentu saja Kuroko tidak dapat menutupnya, dengan tenaga yang berbeda.
"Akashi-kun lepas, kalau tidak kujepit tanganmu."
"Tidak akan, Tetsuya, keluar kemari."
"Tidak mau! Akashi-kun bodoh, kejam, tidak peka."
"Tetsuya, keluar atau aku yang masuk ke sana."
Kuroko menjulurkan lidahnya. "Coba saja kalau bisa."
Akashi mendecak kesal, tanpa sungkan mengerahkan seluruh kekuatannya. Pintu besi berhasil dibuka, ia menarik Kuroko.
"Tunggu, Akashi-kun! Kau tidak bisa memaksaku."
"Begitu? Tapi aku bisa dan aku mau."
"Oi, Akashi! Hentikan!"
"Diamlah, Shigehiro. Terima kasih telah menemani Tetsuya, sekarang biar aku yang mengurus dia."
Akashi dengan langkah kakinya yang panjang dan cepat, menarik Kuroko keluar dari apartemen Ogiwara. Sedang sang pemilik apartemen hanya bisa mengikuti mereka hingga ke pintu depan.
"Permisi, selamat malam."
"Oi! Akashi!"
Teriakan tak terdengar, kedua orang itu sudah memasuki lift. Ogiwara menghela napas, hanya satu yang dapat ia lakukan. Berdoa, ya itu saja. Untuk siapa kau tanya? Keduanya tentu, bisa saja keselamatan Kuroko yang dibawa Akashi yang sedang marah, atau keselamatan Akashi yang bisa saja mendapat ignite pass kai oleh Kuroko.
"Akashi-kun! Lepaskan tanganku!"
Akashi tak menoleh sama sekali, ia tetap menarik tangan Kuroko hingga ke parkiran. Ia mendorong Kuroko masuk dan buru-buru masuk ke dalam mobil, memasangkan sabuk pengaman Kuroko dan miliknya sendiri dan segera melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Tak ada lima belas menit, Akashi menghentikan mobilnya, memandang Kuroko. Kedua matanya membulat.
"Tetsuya …"
Air mata bening mengalir pelan dari kedua ujung matanya, bibir mungil itu bergetar pelan. Isakan perlahan mulai terdengar, tak Akashi tahu sejak tadi Kuroko menangis karena deru mesin. Akashi berusaha menyentuh tangan Kuroko, dengan hasil ditepis kasar hingga punggung tangannya memerah. Akashi menghela napas, ia turun dari mobil dan membuka pintu bagi Kuroko.
"Tetsuya, turunlah."
Kuroko masih diam, pandangannya kosong lurus ke depan, tangan kiri terkepal di atas paha sedang tangan kanan berusaha menghapus air mata yang mengalir.
"Tetsuya, turunlah." Akashi kembali meminta Kuroko turun dari mobil, mencoba memperhalus nada bicara.
Kuroko akhirnya menurut, daripada ia ditarik paksa lagi oleh Akashi. Kedua kakinya lemas, sedikit bergetar. Akashi menggenggam pelan tangan Kuroko, menuntunnya turun.
"Tetsuya."
Kuroko memandang Akashi.
"Kumohon, jangan pergi kemana-mana. Tunggulah di bangku itu." Akashi menunjuk sebuah bangku kayu di taman yang temaram, lampu taman dinyalakan sebagian.
Kuroko mengangguk menyanggupi, daripada Akashi harus memaksanya kembali. Orang mana yang berani membantah perintah Akashi selain orang bodoh? Ia pintar, ia tak akan membantah, itu juga demi keselamatannya sendiri. Kuroko pun segera melangkahkan kakinya, ia mendaratkan tubuhnya di atas bangku itu, menunggu Akashi yang memintanya duduk di bangku taman.
Tak lama, ia dapat melihat figur Akashi dengan kedua tangan di belakang tubuh. Kuroko menautkan kedua alisnya, mengerucutkan bibirnya. Penasaran, dengan apa yang dibawa Akashi. Pisau? Cutter? Gunting? Atau apa? Gergaji mungkin?
Sebuah hal yang tak Kuroko kira. Akashi membuang kehormatannya, demi Kuroko. Pria bersurai merah itu bertumpu pada lutut kirinya, sebuket bunga baby's breath di tangan kanan, tangan kiri menggenggam tangan kanan Kuroko.
"Tetsuya, maafkan aku. Aku tahu, aku tidak peka. Maafkan aku, aku tidak tahu sama sekali. Kini aku mengerti, kau cemburu, aku mengerti. Maafkan aku karena aku tidak peka. Maafkan aku karena aku menamparmu, bahkan ketika aku penyebab masalahmu."
Kuroko mengangguk, air mata kembali mengalir.
"Kuroko Tetsuya, menikahlah denganku."
Ya, Kuroko akui. Akashi memang pemaksa. Jika ia tidak salah, yang ada di memorinya ketika Akashi melamar dirinya untuk menikah adalah kata-kata "Ah, Tetsuya, aku sedang memikirkan pernikahan kita. Bagaimana menurutmu?". Selama ini, ia tidak merasa ia harus menuntut lebih dari Akashi, misal dengan lamaran yang lebih manis dan romantis.
Ia tak pernah, sama sekali tak pernah melihat seorang Akashi Seijuurou berlutut di hadapan siapapun, karena apapun itu alasannya. Juga, tak pernah ia melihat seorang Akashi Seijuurou meminta maaf sebelumnya. Melepas dan mengenyampingkan harga dirinya yang tinggi, Kuroko tak tahu harus berbuat seperti apa.
Kuroko hanya dapat mengangguk, bahagia membuncah di dada. Kehilangan kata-kata mungkin merupakan ungkapan paling bahagia dari Kuroko saat ini. Ia hanya bisa mengangguk terus menerus.
Akashi berdiri, buket bunga diambil Kuroko yang memeluk erat dirinya. Akashi memeluk Kuroko, mengecup puncak kepalanya berkali-kali sambil membisikkan kata maaf dan kata cinta. Akashi merogoh saku celananya setelah melepaskan pelukan erat itu. Ia menyerahkan sebuah kotak mungil berlapis beludru ungu.
Kuroko mendongak, menatap Akashi yang hanya mengangguk padanya. Ia mengambil kotak itu dan membukanya. Ia tersenyum lebar. Cincin yang mereka pesan kemarin, tak sekedar cincin. Dua cincin, dengan ukiran nama mereka di luar dan dalam. Cincin dengan ukuran lebih besar, jelas milik Akashi punya batu berlian berwarna biru muda, sedang yang lebih kecil yaitu miliknya sendiri punya berlian berwarna merah. Kuroko kembali menutup kotak itu dan memeluk Akashi.
"Terima kasih, Sei-kun."
Akashi menunduk, menatap Kuroko tak percaya. "Kau barusan … memanggilku apa?"
Kuroko masih memeluk Akashi, enggan menatap Akashi dengan wajah merahnya. Ia semakin mempererat pelukan di pinggang Akashi. "Sei-kun … Terima kasih."
"Sama-sama, Tetsuya. Aku mencintaimu."
"Ah, aku juga punya sesuatu untuk Sei-kun."
Akashi menaikkan kedua alisnya. "Hee? Apa itu?"
"Tutup mata dulu, baru kuberikan." Kuroko tersenyum jahil.
Akashi mengendikkan bahu, menutup kedua matanya. Ia hanya dapat mendengar suara kantung kertas yang bergesekkan, dan tiba-tiba sesuatu yang hangat mampir.
"Boleh buka mata."
Akashi membuka kedua matanya, melirik sesuatu yang hangat dan lembut melingkar di lehernya."
"Syal?"
Kuroko mengangguk. "Maaf kalau jelek, aku belum pernah merajut."
"Hmm … buatan sendiri? Jadi ini yang kau lakukan di kamar?"
Kuroko mengangguk, wajahnya ditundukkan. Akashi hanya terkekeh kecil, ia menarik dagu Kuroko dan memberikan kecupan singkat.
"Terima kasih, Tetsuya. Lain kali buat syal yang panjang, ya?"
Kuroko memiringkan kepalanya. "Eh? Untuk apa?"
"Tentu saja supaya kita bisa berbagi." Akashi tersenyum, menggandeng tangan Kuroko.
"Um, iya …"
….::::***::::….
"Ah, Akashi-kun, gendong …"
Kuroko membuka kedua tangannya lebar dengan pose minta digendong. Dirinya sedang duduk di sofa ruang tengah kediaman Akashi. Akashi melirik Kuroko.
"Hmm? Tumben?"
Kuroko menggembungkan kedua pipinya. "Apa aku tidak boleh bermanja?"
Akashi terkekeh pelan. "Tentu saja boleh."
Dengan cepat Akashi menggendong Kuroko bridal style, mengecup bibirnya sekilas.
"Oh, ya, Tetsuya. Jangan harap kau tidur malam ini." Akashi mengedipkan sebelah matanya.
"Eh?"
"Kau dengar secara jelas, kan?" Akashi mulai melangkah menaiki tangga.
"Tunggu! Akashi-kun! Turunkan aku sekarang!"
"Bukannya tadi kau yang minta? Diamlah, nanti kau jatuh."
"Tidak! Aku berubah pikiran! Turunkan! Akashi-kun!"
"Tadi kau memanggilku Sei-kun? Kenapa kembali ke margaku?" Akashi masih mengabaikan berontakan Kuroko dalam gendongannya.
"Biar saja! Akashi-kun!"
Jurus terakhir tentu, Akashi membungkam bibir Kuroko dengan ciuman panjang.
Ah, indahnya malam ini. Ya, mari biarkan mereka menikmati malam ini hingga besok siang. Mengheningkan cipta untuk bokong mulus Kuroko yang tersodok sepanjang malam dan sepertinya, ia harus tinggal di atas tempat tidur besok, sepanjang hari.
.
.
.
To be Continued
Author's note: I... ya... pertama-tama, saya mau minta maaf atas keterlambatan update yang jauh diluar perkiraan saya. '-' Ada berbagai halangan, mulai dari saya sakit, pergi liburan ga bisa bawa laptop, mengerjakan tugas untuk MOS, hingga pelajaran yang sudah dimulai. Oke, jujur saya ga berani ngintip itu tanggal berapa saya terakhir update. Mumpung saya lagi mood untuk menulis cerita, jadi saya kebut aja beberapa hari ini, dannnnnn akhirnya selesai. Saya mau berterima kasih juga untuk readers yang mau tetap menunggu cerita ini bahkan ketika authornya kayak jam karet :| Molooorrr terus dari deadline. Ya, maafkan saya ._.
N/B: Oke, saya punya pemberitahuan '_', untuk Autumn's Rain, kemungkinan besar akan saya hapus dan saya tulis ulang atau mungkin ada beberapa perbaikan. Untuk pembaca Secret Love, saya mungkin akan semi-hiatuskan ceritanya. Saya akan update, tapi saya tidak bisa janji kapan tepatnya saya akan update. Untuk setelah ini, saya akan fokuskan terlebih dahulu pad e, baru setelah itu Secret Love. Sekali lagi, mohon maaf karena saya mengecewakan banyak pembaca karena kemoloran saya update.
Tolong lihat di bawah balesan REVIEW untuk pengumuman lainnya ya.
REVIEWERS
Fujimoto Yumi: iya :') mau daftar jadi maid di mansion Akashi, kak? lowongan dibuka. Gaji 20 juta perbulan, plus makan, minum, tempat tidur, kamar mandi, asupan plus plus. Silakan :3
ichitenku: yah, udah pingsan duluan '_' jangan dong... Iya dong, masih pacaran seminggu dua kali lah... sudah tunangan mereka nganu seminggu yah.. minimal lima kali lah.. kalo nikah saya mah no coment, anaknya bisa bikin kesebelasan kali ya? ayuk atuh, lowongan kerja di mansion Akashi dibuka :') gaji dan asupan menjanjikan.
adelia santi: duh, panas yak? *lempar kipas angin* Maaf membuat anda menunggu :') ini chapter semoga terpuaskan hasrat AkaKuro-nya.
QiYamiharu: Terima kasih sudah membaca :') pasti lanjut! saya yang bikin kelewat semangat /eh
Ryuusuke583: Saya bisa alih profesi jual tisu pak-pakan ya? Laku keras mah kalo jualnya di forum ffn terutama bagian rated M
Akashi lina: pasti lah masih ada XD sayanya masih kelewat mesu- eh salah! kelewat semangat maksudnya buat bikin ff ini ^3^
mai-chan: etto ... iya ... ehm... di chapter depan-depan sepertinya masih ada lemon *intip otak, ngubek inspirasi*
yolandaashari: duh, no comment lah sama review kamu XD saya telat pake banget soalnya. Yah, semoga tetap menikmati ya.
siucchi: S&M ... hmm.. bisa-bisa.. *kedip mesum* biar saya masukin ke list berpotensi masuk cerita XD
Tanaka Ichira: terima kasih sudah membaca :') selamat menikmati
Hyuuga Arisu: *sodorin tisu* mau? oke, selamat menikmati :3
azurefey: halo jugaa~ iya ini fluff, dan lemon *kedip mesum*, terima kasih pujiannya :3 semoga kamu juga lanjut bikin cerita lemon /eh pokoknya, terima kasih banyak sudah baca :3
Terima kasih banyak buat para pembaca sekalian, terima kasih sudah menyempatkan diri membaca fic ini dan me-review. Terima kasih juga pada silent readers. Untuk beberapa chapter ke depan, apakah ada yang mau memberi usul? usul buat scene lemonnya juga boleh, karena saya butuh inspirasi scene lemon baru *ngubek file lemon* Segitu aja, mohon pendapatnya.
Sekian, dan akhir kata, terima kasih.
Sign,
Kuhaku