Ia pikir dirinya tidak akan terbangun lagi.

Tapi ketika rasa sakit mulai membanjiri sekujur tubuhnya, Kuroko Tetsuya kembali membuka matanya, perlahan. Merah. Dunianya melebur dalam warna tersebut.

Sayup-sayup, ia dapat mendengar panik dari sekitarnya. Ingin menengok pun ia tak mampu.

Rasanya, tubuhnya remuk, seperti habis dihantam palu secara berulang. Rasanya, tubuhnya ini akan hancur jika ia bergerak sedikit saja.

Tak berdaya, ia memilih diam dengan posisinya sekarang. Diam mendengarkan suara orang-orang yang panik di sekitarnya, meski tak bisa mendengarnya jelas, ia bisa tahu kalau orang-orang itu sedang berusaha menyelamatkannya.

Dan sekarang ia mulai merasa sulit untuk bernapas. Mulut dibuka lebar-lebar. Ia mencoba meraup oksigen sebanyak yang ia bisa. Ia butuh lebih. Lagi... lagi. Dadanya sakit. Tidak, seluruh tubuhnya gemetar karena rasa sakit, rasa sakit itu perlahan menelannya, melumpuhkan indera perasanya, hingga yang bisa ia rasakan hanya-

"TENSI DARAH BERADA DI BAWAH 30!"

"PASIEN MENGALAMI KESULITAN BERNAPAS, DOK!"

"Kuroko Tetsuya. Kuroko Tetsuya, bisakah kau mendengarku!?"

...bisa.

Tapi mulutnya terlalu sibuk untuk mengisi oksigen di paru-parunya.

Bipbipbipbipbipbip-

"DETAK JANTUNG PASIEN TAK BERATURAN!"

"Ambil defibrillator!"

Mereka semakin panik saja. Sebenarnya, apa yang terjadi di luar sana? Suara mesin yang berbunyi nyaring di sebelahnya sangat berisik.

Ia sendiri sedang berjuang, berjuang untuk mempertahankan hidupnya meski rasanya percuma.

Ia akan mati.

Seseorang berkata tepat di telinganya. "Hei, nak, kau bisa mendengarku? Kau harus bertahan, nak. Demi orang-orang yang menyayangimu, dan demi dirimu juga, oke?" Kali ini ia bisa menangkap perkataan orang itu. Tak mampu menggerakan anggota tubuhnya, bahkan untuk menggangguk sekali pun, Kuroko mengiyakan dalam hati.

" Satu... dua... tiga...!"

Dadanya naik, sesuatu mengaliri tubuhnya. Ia memuntahkan sesuatu, seseorang buru-buru mengelap apa yang keluar dari mulutnya.

Dunianya semakin memburam, ia mulai kehilangan fokus.

"Oke! Sekali lagi. Satu dua tiga!"

Sekali lagi, dadanya naik. Dan Tetsuya kembali memuntahkan sesuatu.

Sakit sekali...

Jika Tuhan benar-benar ada... Ia berdoa, dari lubuk hatinya terdalam, permudahlah kematiannya ini. Ia tidak akan meminta diberi kekuatan untuk melewatinya, karena rasa sakit ini benar-benar sudah membutakannya.

Ia tidak akan sanggup.

Inikah yang dinamakan sekarat...?

"L-lagi..."

Siapa dia...?

Dalam kesadarannya yang mulai memudar, ingatannya seolah berputar sendiri seperti kaset rusak, memperlihatkan beberapa kejadian yang tak asing.

Itukah kenanganku?

Ada yang tersenyum malu-malu

Ada yang tersenyum cerah

Ada yang tersenyum lebar sekali

Ada juga yang tersenyum tenang

Wajah-wajah polos yang sedang tersenyum kepadanya itu...

Siapa mereka?

Otaknya tak lagi mengenali wajah-wajah familiar itu. Ia merasa tak seharusnya melupakan mereka, ini salah, dosa besar. Mereka adalah orang yang penting. Ingat, ingat, Ku-siapa pula namanya?

Saat sesuatu yang dingin itu kembali menyentuh dadanya, tubuhnya tak lagi bereaksi. Iris sebiru langit meredup. Rasa sakit tak lagi terasa, ia tak perlu mencoba susah payah bernapas seperti tadi, suara gaduh di sekitarnya juga ikut menghilang-digantikan suara nyaring dari sebuah mesin yang kini menunjukan garis lurus pada layarnya.

Waktu seakan terhenti.

.

.


.

.

Ketika pintu ruangan UGD terbuka, lima remaja pelangi yang awalnya sedang duduk menunggu dengan cemas langsung mengerubungi sosok yang baru keluar dari ruangan itu.

Sang dokter memandangi mereka berlima satu-persatu, lalu menunduk. "Maafkan kami..." katanya sesal. "Kami sudah berusaha semampu kami, tapi luka pasien terlalu parah. Jadi... kami tidak bisa menyelamatkannya.

"Kalaupun pasien bertahan, kami khawatir dia akan lumpuh karena sarafnya yang rusak. Kemungkinan terburuknya, lumpuh total. Ada kemungkinan dia akan buta.

"Pasien termasuk orang yang beruntung karena tidak akan merasakan hal itu..."

Aomine menunduk. Kedua tangannya mengepal kuat. Tubuhnya bergetar selagi mendengarkan penjelasan dokter. Matanya merah dan melotot. Tiga detik kemudian, kerah jas sang dokter ditarik ke atas, sampai tubuh pria paruh baya itu tak lagi menapak lantai.

"Jadi kau sengaja membiarkan adikku mati, HAAAAAAAA?!"

"SHINTAROU, ATSUSHI!"

Lengannya langsung dipegang dari kedua sisi, seperti perintah Akashi. Sang dokter jatuh ke lantai. Jelas ketakutan melihat Aomine yang mengamuk dan segera mundur.

"Lepas! Lepas, Sialan!"

"Tenangkan dirimu, Aomine Daiki!" kata Akashi, berusaha menenangkan Aomine yang terus saja memberontak seperti orang gila. Membuat Murasakibara dan Midorima kewalahan.

"Ini semua bohong kan...?" suara serak Kise membuat perhatian semua orang tertuju padanya. "Tetsuyacchi tidak mungkin pergi. Dia sudah berjanji tidak akan meninggalkanku... kenapa... pasti aku sedang bermimpi. Haha.. ya, sebentar lagi aku akan terbangun. Tidak perlu panik, Ryouta. Tetsuyacchi-mu baik-baik saja di dunia nyata... dia sedang... dia pasti sedang tertidur di kamarnya. dia tertidur-"

"Ryouta..."

"Akashicchi... Ini semua mimpi... kan?" Kise bertanya sambil menahan air mata. Mencengkram lengan baju Akashi.

Tapi ekspresi gelap Akashi mengkhianati kepercayaannya.

Seketika setelah Kise mendapat jawabannya, air matanya langsung mengalir deras dari sepasang kelereng kuning yang terlihat redup. Mulut Kise terbuka lebar, segera tangannya langsung menutup mulutnya, mencoba menahan teriakan yang hendak keluar.

Akashi sendiri... hanya diam. Mencoba tetap tenang di antara keributan saudaranya.

Tapi bagaimana dia sendiri bisa tenang? Tetsuya, Kuroko Tetsuya adiknya baru saja dinyatakan meninggal oleh dokter. Bagaimana... otaknya yang katanya jenius ini memproses informasi semacam ini?

Penglihatannya mulai menggelap saat melihat wajah putus asa Kise. Kepalanya sakit ketika mendengar amukan Aomine dan dua orang saudaranya yang lain yang berusaha menenangkannya. Seluruh tubuhnya melemas, saat mengingat bahwa adiknya sudah tiada.

Adiknya sudah meninggal.

Kuroko Tetsuya sudah mati.

Saat itu, yang niat awalnya Akashi ingin menenangkan Kise, malah tubuhnya runtuh di pelukan saudara pirangnya. Kesadarannya hanya tersisa seperempat, dia mulai ditelan kegelapan.

Lalu, dia melihat sesuatu.

Seorang wanita berambut merah panjang, yang berjalan menuntun seorang anak berambut biru.

Okaa-san dan Tetsuya.

Mereka berdua berjalan menuju cahaya yang menyilaukan.

"Jangan...!"

Tahu apa yang akan terjadi jika ia tak menghentikan mereka, Akashi berlari mengejar keduanya, sebelum salah satu dari mereka sempat melangkah masuk ke dalam pintu.

"Jangan bawa Tetsuya, Kaasan!" Akashi akhirnya berhasil menahan pergelangan tangan adiknya. Keduanya menoleh ke arah Akashi. Wajah mereka hanya terlihat setengah karena tertutupi rambut masing-masing.

Tetsuya mendongak, tapi Akashi tetap tidak bisa melihat jelas wajah saudaranya itu. "Tetsuya, kau tidak boleh ikut! Dengar, aku tidak mengizinkanmu... Kami masih membutuhkanmu!" Ia memperkuat cengkraman pada tangannya, tidak peduli itu bisa membuat tangan adiknya hancur. Akashi hanya ingin adiknya diam di sini, bersamanya, bersama saudaranya yang lain. Ia belum siap untuk kehilangan adiknya.

Yang dipanggil 'Tetsuya' bergeming untuk sesaat, kembali menatap wanita berambut merah. Cukup lama mereka saling bertukar pandang, sebelum... yang lebih kecil melepas paksa gandengan tangan sang ibu.

Akashi membulatkan matanya, kala tangan mungil yang satunya balik menggenggam tangannya.

.

.

.

"-Akashicchi! Akashicchi! Midorimacchi, bagaimana ini...!? Akashicchi pingsan!"

"Bawa dia ke ruang rawat! Kau bisa menggendongnya, kan, Kise?"

"Aku... aku tidak tahu... aku merasa begitu lemas... aku tidak yakin bisa menggendongnya..."

"Murasakibara-"

Murasakibara jatuh terduduk. Tangannya memegang dadanya, sebelum meremas kaus seragam Teiko miliknya.

"... sakit... " bisiknya, namun masih bisa terdengar oleh Midorima. "Dadaku sakit sekali... Mido-chin, kurasa aku juga sakit."

Melihat air mata yang mengalir deras di pipi Murasakibara, membuat hati Midorima goyah.

Ia sampai lupa untuk mengekspresikan emosinya.

Kise menangis sambil memeluk tubuh kecil Akashi, mencoba membangunkkan saudara merahnya yang pingsan karena syok.

Murasakibara diam memandang lantai sambil menangis dalam diam.

Aomine... Midorima masih memegang lengannya, menahannya agar tak mengamuk. Tapi sekarang saudara hitamnya jadi tenang tak bersua. Midorima mencoba menengok, sedikit menunduk, melihat wajah Aomine, dan betapa terkejutnya ia ketika menemukan wajah syok Aomine, dengan mulut sedikit terbuka, dan mata yang lurus menatap ruang tempat Kuroko Tetsuya ditangani. Ruang di mana tubuh tak bernyawa adiknya berada.

Tubuh tak bernyawa... adiknya?

Saat itu juga, cengkramannya pada tangan Aomine melemah. Midorima mundur perlahan sampai tubuhnya menabrak tembok, dan merosot. Ia menunduk, tangannya menelusuri rambutnya, sebelum ia jambak keras surai hijaunya itu.

"Akashicchi?! Midorimacchi, Akashicchi sadar! Mi-"

"D-DOKTER!"

Omongan Kise terpotong oleh suara suster yang baru saja keluar dari dalam ruang UGD.

"...J-jantungnya... JANTUNG PASIEN KEMBALI BERDETAK!"