.

This Hurt 2

.

Ini adalah sebuah potongan kisah mengapa mereka berperilaku demikian. Potongan kisah yang terjadi dua setengah tahun yang lalu. Tepat satu minggu setelah perkenalan siswa-siswi baru. Menimbulkan perasan sakit dan kehilangan yang nyatanya disasakan oleh kedua belah pihak. Menyebabkan hubungan yang semula terjalin dengan indah, terhenti di tengah jalan. Mengubah sepasang manusia yang dulu biasa bertukar kebahagiaan dan kesedihan menjadi saling asing. Mengubah perasaan yang hangat menjadi rasa sesak yang begitu menyakitkan dan menyiksa.


.

.

This Hurt

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Typos, Abal, Gaje, Aneh.

Hurt (no Comfort), Drama (Ga juga), Romance (Gak yakin)

Bungsu Uchiha – Sulung Hyuuga

Typos, aneh, gaje, lebay, dan segala kekurangan lainnya.

DIBUAT SAAT EMOSI AUTHOR SEDANG MEMBARA(?)

TERDAPAT KATA-KATA KASAR YANG TIDAK PATUT DITIRU. *sok bener

.

.

This Hurt by Natsumidouri/Nat/Natsumi2208/A.A.N/Nyonya-Nara(?)

.

.


"Ayo kita pacaran." ajak seorang pemuda pada Hinata di salah satu koridor sekolah.

Hinata mendongakan kepalanya yang semula menunduk, memiringkannya tanda tak mengerti.

"Aku bilang ayo kita pacaran." ulang sang pemuda tanpa berani melihat manik pucat yang tengah menatapnya.

"A-Apa? Tt-Ta-tapi.. Sasuke-kun.." masih kaget dengan apa yang didengarnya, Hinata menjawab dengan gugup.

"Kenapa? Apa karena si Dobe?" tanya Sasuke dengan nada sinis, mulai berani menatap kedua manik lavender.

Cepat-cepat Hinata menggeleng. "Bukan begitu, tt-tapi.. Aku pikir akan lebih nyaman jika seperti ini. Kk-kita terus bersahabat saja ya, Sasuke-kun?" kata Hinata yang sebenarnya masih ragu dengan jawabannya sendiri.

"Kita bisa mencobanya."

Kembali menggeleng. "Aku rasa Sasuke-kun mungkin salah mengartikan perasaanmu sendiri. Pasti Sasuke-kun hanya menganggapku sebagai sahabat, kan?" ucap Hinata sambil tersenyum kecil.

Sasuke mendengus. "Jangan bercanda! Apa hanya itu alasanmu menolakku? Katakan saja Kau hanya ingin bersama Dobe sialan! Hanya aku yang tahu benar bagaimana perasaanku! Kau tidak tahu apa-apa.. Tidak. Bahkan Kau tidak pernah mau tahu perasaanku! Jadi lebih baik Kau tak usah sok tahu!"bentak Saruke keras.

"Huh. Bahkan si Dobe tetap tak menyadarinya walau hampir seluruh angkatan SMP kita tahu. Dia terlalu terbutakan oleh gadis merah muda itu. Sebenarnya apa yang Kau lihat darinya, huh?" Hinata tak berani menjawab, kembali menundukan kepala tak berani menatap sepasang manik kelam yang tengah membentaknya. Jantungnya bergemuruh sekarang.

"Jika Kau memang mau menolakku, jangan menggunakan perasaanku sebagai alasan seolah Kau tahu. Menjadi sahabatku selama tiga tahun ini ternyata tak membuatmu memahami dan menyadarinya." ia tersenyum miris. "Mungkin lebih baik dari awal kita tak usah bersahabat, atau mungkin lebih baik dari awal aku tak mengenalmu." lanjut Sasuke dengan nada pahit yang sebisa mungkin ia usahakan tak terlihat.

Hinata mendongakkan kepalanya dengan cepat. Matanya mulai memerah mendengar kata terakhir si bungsu Uchiha. Ia tak tahu apa maksud dari sang pemuda. Kenapa Sasuke mengatakan itu. Sementara dia sendiri bingung apa atau bagaimana ia harus bersikap. Dan ada apa dengan dadanya? Kenapa paru-parunya seolah tak bisa menggembung sebesar-senormal-seperti biasanya? Kenapa ingin selalu mengempis? Seolah bernafas menjadi sulit untuk dilakukan. Begitu menyesakkan, menyiksa dan menyakitkan.

"Mulai sekarang, tak ada lagi yang menjemputmu-mengajakmu ke sekolah dengan sepeda. Tak ada lagi yang mengganggumu dengan dering handphone yang memekakkan telinga saat Kau akan tidur. Tak ada lagi yang mau mengajakmu untuk sekedar pergi ke tempat yang kekanakkan saat akhir pekan. Tak ada lagi yang mengganggumu dengan ratusan email tak penting menanyakan apa yang Kau lakukan. Tak ada lagi Uchiha Sasuke 'sahabatmu'. Anggap kita tak saling kenal." dia pergi melangkahkan kaki lebar-lebar dengan cepat. Meninggalkan seorang gadis yang mematung dengan mulut sedikit terbuka. Mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian ia tersadar.

"Sasuke-kun! Sasuke! Ssasukke!" Hinata berteriak memanggil, berlari berusaha mengejar langkah sang Uchiha. Ia berhasil mengejar dan menghentikan langkah sang Uchiha dengan menahan tangannya. "Kumohon, jika pun kita tak bisa menjadi sepasang kekasih, kita masih bisa bersahabat kan? Jangan kekanakkan seperti ini! Ini bukan Uchiha Sasuke yang—"

"Kekanakan Kau bilang?" Sasuke memotong perkataan Hinata, menghempaskan tangan kecil yang menahannya. Dan berkata dengan nada yang keras dan tegas. "Kau yang terlalu naif, Hinata! Kau pikir kenapa aku mau mempunyai sahabat wanita sementara aku anti terhadap mereka? Kau pikir kenapa, Huh?" ia membentak Hinata dengan keras. Dapat Hinata lihat amarah yang terpancar dari kedua manik kelam itu. "Tiga tahun aku mencoba menahan perasaanku. Mencoba lebih dekat denganmu dengan alibi menjadi sahabatmu!" terkuak sudah sandiwaranya untuk menutupi sebuah rasa. "Aku pikir, dengan melakukan semua itu perlahan Kau dapan melihatku sebagai seorang pria. Tapi apa yang kudapatkan?" Mata yang berkilat penuh amarah kini berubah sendu. "Ku pikir Kau berbeda dengan gadis lain, tapi kenyataannya tidak. Kau sama saja. Bedanya, jika gadis lain memilih untuk menjadi penggilaku, tapi 'SA-HA-BAT'ku sendiri memilih menjadi penggila si Dobe. Bukankah itu lucu?" tawa miris itu lagi. "Apa tak ada sedikit celah untukku? AH! Aku lupa! Memang ada celah untukku, tapi bukan sebagai pemuda pemilik hatimu, tapi tak lebih dari sekedar apa yang Kau sebut sebagai 'sahabat' atau Kau lebih suka menyebutnya 'pengganggu'?" Nada miris, kesakitan, bercampur dengan nada yang belum bisa Hinata artikan.

Hinata bersumpah. Ini adalah kalimat terpanjang yang pernah ia dengar dari Sang Uchiha. Belum lagi selama ini Sasuke tak pernah sekali pun membentaknya. Walaupun ia bertingkah seaneh apapun, tidak pernah. Dan kenyataan bahwa Sasuke sekarang membentaknya membuat hatinya merasa tertohok sakit.

Sasuke mengela nafas sedikit kasar, mencoba sedikit mengenyahkan amarahnya. "Seperti yang kukatakan tadi, mulai sekarang tak ada lagi Uchiha Sasuke sahabatmu. Sudah cukup selama ini aku tersiksa menahan perasaanku. Mulai sekarang, anggap saja kita tak saling mengenal. Menjauhlah dariku." Sasuke kembali meninggalkannya. Kali ini Hinata tak memanggil ataupun mengejar untuk menahannya. Berdiam diri hingga kakinya lemas. Terjatuh bersimpuh dengan air mata berlinang.
Apa yang terjadi? Tanyanya tak percaya dalam hati.

Semenjak saat itu, mereka benar-benar tak berbicara lagi. Kehidupan SMA Hinata terasa tenang, namun terasa hampa pada saat yang bersamaan. Jika mereka berpapasan atau ketika menyadari ekstensi sang pemuda tak jauh darinya, Hinata selalu mencuri pandang pada Saruke, namun Si Bungsu Uchiha yang menjadi objek pandangan nyatanya tak menghiraukan, hanya menguarkan aura yang begitu menyesakkan.

Jika kata orang mengungkapkan perasaanmu membuat hatimu menjadi lega, tapi tidak untuk seorang Uchiha Sasuke. Justru ini membuat perasaannya menjadi semakin sakit. Ada kalanya ia menyesal mengungkapkannya, menyesal karena telah berkata kasar pada sang gadis dan ingin kembali seperti dulu persama Hinata. Kembali berstatus sebagai sahabatnya. Tapi semua sudah terjadi. Dia tak akan kembali 'sahabat' Hinata. Karena dia adalah seorang Uchiha yang tak akan menjilat ludahnya sendiri.

Saling mendiamkan satu sama lain, bersikap seolah tak saling kenal. Hingga mereka berada di kelas yang sama-kelas akhir sebelum meninggalkan masa SMA. Uchiha Sasuke mulai melemparkan olokan menohok setiap harinya. Seolah memanggil namanya atau setidaknya nama marganya adalah sebuah keharaman. Sedih dan sakit Hinata rasakan setiap kali pangeran sekolah itu memanggilnya dengan sebutan yang tak pantas. Tapi ia berusaha untuk bertahan. Paling tidak, ia bisa mencuri pandang wajah tampan yang selalu ia rindukan setiap hari. Tak apa tak dianggap. Tak apa jika harus menjadi objek hinaan. Tak apa diperlakukan kasar. Asal ia bisa melihat sosok itu. Tak apa.

Keduanya tak menyadari bagaimana 'sayang', 'benci' dan 'cinta' bisa bercampur aduk. Apakah ini 'sayang' sebagai sahabat? Apakah ini 'benci' karena perbuatan sosok itu? Apakah ini 'cinta'? Entah. Mereka tak tahu. Mereka hanya tau perasaan aneh campur aduk tiap kali mereka bertemu. Tak tauh keanehan itu disebut apa. [Yang jelas bisa saya pastikan ketiga perasaan itulah yang tengah melanda mereka.]

Mereka tetap menjalani peran yang mereka pilih dengan baik. Hingga akhirnya—

.

.

FIN(?)

.

.


Sebenernya, saya ga punya niat buat ngelanjutin ff ini.. Biarin aja ni fic ngegantung kayak jemuran. Tapi ntah kenapa tiba-tiba muncul ide yang kebetulan nyambung ama nih fic.

Tapi, bukannya tentang kelanjutan hubungan mereka, malah masa lalu mereka. Salahkan saja ide yang tiba-tiba mampir.

Anggap aja fic ini udah kelar. Kalo saya ada ide saya lanjutin, tapi kalo gak ya… *tamplaked

Berhubung bentar lagi mau puasa, dan Nat mau hiatus.. Nat minta maaf kalo ff ini atau ff buatan Nat yang laen ada yang menyinggung perasaan readers..

Kalo setelah mbaca fic ini mood minna buruk dan pengen mood baik lagi.. Silahkan mbaca ff SasuHina punya Nat yang judulnya '200percent'*promosi

Adakah yang mau ngasih saya kripik dan saran?


.

.

.

"Sasuke-kun." terdengar suara seorang wanita memanggil sang Uchiha bungsu.

"Hn?" Sahut Sasuke dengan nada malas.

"Jangan menjawab dengan nada seperti itu pada Kaasan-mu!" Perintah wanita paruh baya itu dengan nada sedikit meninggi. Mereka tengah berada di meja makan, baru saja menyelesaikan makan malam mereka berdua. Ya, hanya berdua. Sang kepala keluarga berada di Jerman mengurusi salah satu cabang perusahaan. Sementara si sulung sedang bergelut dalam kesibukannya sebagai mahasiswa di Inggris.

"Ya, Okaasan, ada apa?" sahut Sasuke masih dengan nada malas. Dasar anak durhaka. Ibunya baru tiba di Konoha hari ini setelah sejak dua bulan lalu disibukkan dengan pembukaan butik barunya di Kobe, dan sekarang ia menjawab panggilan ibunya seperti itu? Dasar! Apa dia tak merindukan ibunya? (Minna, jangan ditiru ya?)

Mikoto menggeleng-gelengkan kepalanya. Si bungsu ini benar-aenar. Lalu ia menghela nafas. Sepertinya ia tak perlu basa-basi. "Kenapa Kau tak bilang kalau Hinata-chan sekelas denganmu?"

"Kaasan tidak pernah menanyakannya." jawabnya tenang seraya meminum air putih.

"Sekalipun Kaasan tak pernah menanyakan, harusnya memberi tahu. Kalian 'baik-baik saja' kan?" entah apa maksud kata 'baik-baik saja' itu. Sayangnya Sasuke tak menjawab. Mikoto memicingkan mata. Sepertinya ada yang tak beres.

"Jika Kau memberi tau lebih awal, kan Kaasan akan pulang mengambil raportmu kemarin dan bertemu Hinata-chan." Ya, bukan Mikoto, Fugaku, atau Itachi yang mengambil raport Sasuke. Tapi Kakashi, sekertaris kepercayaan ayahnya.

"Sebenarnya anak Kaasan siapa? Jika alasan Kaasan mengambil raportku hanya untuk mengobrol dengannya, lebih baik tidak usah." Sasuke heran, apa mantra yang gadis tengik rapalkan pada ibunya? Bahkan hingga ibunya lebih menyayangi gadis itu ketimbang kedua anaknya.

"Sasuke-kun! Kaasan kan rindu dengan Hinata-chan! Kaasan sudah tak bertemu dengannya dua tahun lebih!" Sasuke mendengus. Jika benar merindukan gadis itu kenapa tak berkunjung ke rumahnya. Oh! Tidak! Sasuke meralat pikirannya. Jika ibunya berkunjung ke rumah tua itu jelas ia akan menyeret paksa Sasuke untuk ikut bersamanya. Sekalipun Saruke mengeluarkan seribusatu alasan, ibunya benar-benar akan menyeretnya ke rumah itu. Sasuke jelas tak mau itu terjadi terlebih ke rumah itu dan bertemu gadis itu. BIG NO!

"Besok sepulang sekolah, Kau harus membawa Hinata-chan ke rumah!"

"Tidak mau." Tuh kan? Biasanya ketika SMP, Sasuke tak pernah menolak membawa Hinata ke rumah. Tapi sejak masuk SMA, Sasuke selalu menolaknya dengan dalih mereka tak sekelas dan sama-sama sibuk. Dan sekarang, mereka sekelas. Dan walaupun mereka sibuk karena mereka sudah kelas tiga, tapi untuk berkunjung sehari di hari Jum'at harusnya tak apa kan? Mengingat esoknya hanya diisi oleh bimbingan wali kelas dan kegiatan klub. Dan kelas tiga harusnya sudah mundur dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan klub. Jadi, kenapa Sasuke menolak?

"Tidak ada kata TIDAK! Kau harus membawa Hinata ke sini! Atau mulai besok Kau harus mengucapkan selamat tinggal pada kartu kreditmu, mobilmu dan seluruh game-mu!" What the Heck?! Kaasannya sudah mulai mengancamnya, sekarang?

"Apa? Yang benar saja Kaasan!" well, sebenarnya sih, Mikoto sudah pernah mengancam Sasuke dengan hal yang sama ketika nilai-nilai Sasuke menurun drastis. Sasuke pikir ibunya hanya menggertak, jadi Sasuke hanya menganggapnya angin lalu. Dan ketika nilainya kembali menurun, apa yang diancamkan ibunya benar-benar terjadi. Dan Sasuke tak mau itu terjadi lagi.

"Sudah Kaasan bilang tidak ada kata tidak!" sepertinya, sifat egois dan perintah mutlak yang Sasuke kira diturunkan oleh ayahnya, nyatanya ia salah. Kedua orang tuanya jelas sama-sama memilikinya. Atau itu memang bemar sifat ayahnya yang kemudian ditularkan pada ibu dan anak-anaknya? Entahlah..

Mikoto yang sudah menyelesaikan perkataannya kembali ke kamar utama di lantai dua. Sementara Sasuke berdecak kesal.

Dan yang terjadi di hari berikutnya adalah Sasuke yang menunggu Hinata selesai piket. Sasuke yang memanggil Hinata dengan olokan. Sasuke yang menahan tangan Hinata. Sasuke yang mengajak Hinata pulang. Sasuke yang balas berteriak pada Hinata. Sasuke yang meninggalkan Hinata. Sasuke yang pulang tanpa membawa Hinata. Sasuke yang kena omel mama Mikoto. Dan Sasuke yang fasilitasnya disita.

.

.

END or Next?

.

.


Maaf kalau ini tidak memuaskan. Terimakasih sudah membaca. Bolehkah saya meminta review?

This Hurt by Nyonya Nara (?)

12/06/15