Disclaimer : Naruto BUKAN punyaku.

.

Old Grudges Die Hard © Vandalism27

.

Warning : YAOI, SASUNARU, incest (mungkin?), alur kecepetan, ngalor ngidul, typo(s), dan seabrek kekurangan lainnya. Aku mah apa atuh, cuma remah-remah rengginang #enak :p

.

RATE : M; untuk adegan dan hal-hal lain yang tidak sesuai untuk anak-anak.

.

Sinopsis:

Dulu, aku dan kau bersahabat. Kita tidak terpisahkan. Tapi semenjak kejadian itu, kau berubah. Benar-benar berubah hingga aku tidak bisa mengenalimu lagi. Apakah tidak ada kesempatan kedua bagiku, meskipun aku menerima semua perlakuanmu padaku? Ataukah aku harus memberikan nyawaku, agar kau mau memaafkan aku, Sasuke?

.

.

Selamat Membaca!

.

.

Aku mengusap mataku yang basah dengan lengan bajuku. Aku sedang duduk di kursi ruang tunggu sambil mengucapkan doa dalam hati. Aku berharap, Kurama nii-chan segera membuka matanya.

Aku bersyukur, Kurama nii-chan masih diijinkan untuk hidup oleh Tuhan. Meskipun kini dia dalam keadaan kritis, dan saat ini masih koma. Kurama nii-chan menderita patah tulang di kaki kirinya, pendarahan di kepala akibat benturan keras, juga luka bakar akibat mesin mobil yang meledak dan terbakar. Untunglah, hanya bagian depan mobil yang meledak, sedangkan badan mobil hanya sebagian yang terbakar.

Lukaku tidak seberapa jika dibandingkan dengan luka yang diderita oleh kakakku. Aku baru saja keluar dari IGD setelah dokter mengobati luka di kepalaku. Kepalaku mendapat beberapa jahitan karena robek akibat benturan yang cukup keras. Benar kata pak polisi, pakailah sabuk pengaman jika masih sayang nyawa.

Aku menoleh ketika seseorang menepuk bahuku.

"Sasuke," sapaku.

"Ayo pulang, kau tidak ingin istirahat?" Sasuke bertanya.

"Tidak," jawabku. "Kakakku dirawat di sini, bagaimana bisa aku pulang? Lagipula, kalaupun aku pulang, aku akan pulang ke rumah Kurama nii-chan, bukan ke rumahmu."

Sasuke menghela napasnya. "Kau masih belum ingin pulang?" dia kembali mengajukan pertanyaan. "Kaa-san menangisimu terus-terusan. Beliau sedang menuju kemari."

Belum sempat aku menjawab, seseorang memanggil namaku. "Naruto!"

Aku menoleh ke sumber suara. "Kaa-san?" gumamku.

Aku terenyuh ketika melihat penampilan Kaa-san yang tampak berantakan. Padahal biasanya, penampilan ibu angkatku itu selalu rapi dan modis. Kaa-san duduk di sampingku, lalu memelukku dengan erat. Aku meringis ketika kepalaku yang masih terlilit perban, sedikit berbenturan dengan kepala Kaa-san.

"Hati-hati, Kaa-san, kepala Naruto terluka," kata Sasuke.

Kaa-san melepas pelukan mautnya, lalu memegangi bahuku sambil menatap wajahku dengan khawatir. Setetes air mata meluncur turun ke pipinya. "Kau baik-baik saja, Naruto? Kaa-san sangat mengkhawatirkanmu," katanya dengan suara serak.

Aku mengangguk sambil tersenyum menenangkan. "Aku baik-baik saja, Kaa-san. Hanya luka kecil di kepala, dokter bilang lukaku akan segera pulih," kataku. Aku mengulurkan tanganku lalu menghapus linangan air mata di pipi wanita yang sangat menyayangiku ini. "Jangan menangis."

Kaa-san mengusap matanya yang basah. "Syukurlah kalau kau baik-baik saja."

Ketika Tou-san dan Itachi-nii datang, mereka juga memberondongku dengan berbagai pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakan oleh Kaa-san. Jauh di dalam hatiku, aku bersyukur memiliki keluarga angkat yang begitu menyayangiku. Seandainya saja, Sasuke tidak memperlakukanku dengan buruk, mungkin aku tidak akan pernah meninggalkan keluarga ini.

Ku lirik Sasuke yang saat ini duduk di sampingku. Ia terlihat sedang berpikir keras. Jika dulu, aku selalu penasaran dengan apa yang ia pikirkan, sekarang aku tidak peduli dan tidak ingin tahu apa yang dipikirkannya.

"Bagaimana keadaan Kurama?" tiba-tiba Kaa-san bertanya.

"Kakakku dalam keadaan kritis," jawabku.

Kaa-san terdiam. "Kasihan anak itu."

"Kasihan apa?" Sasuke berkata dengan ketus. "Dia mencelakakan Naruto dan membunuh orang tuanya sendiri, juga membunuh kakekku!"

"Sasuke," aku memanggil namanya dengan nada menegur. Kakakku memang bersalah, tapi dia tetaplah kakakku, dan tidak ada yang boleh menjelekkan kakakku. "Tolong jangan berkata yang tidak-tidak tentang kakakku. Aku tahu dia bersalah, tapi dia tetaplah kakak kandungku."

Sasuke terdiam, ia menatap mataku dengan pandangan terkejut. "Kau tidak dendam padanya? Dia membunuh orang tuamu."

Aku menghela napas lelah. "Dendam? Untuk apa? Aku sudah ikhlas dengan kepergian kedua orang tuaku. Memang sudah takdir mereka seperti itu. Setiap manusia itu pasti mati, Sasuke, hanya jalannya yang berbeda-beda. Kalau aku dendam, memangnya orang tuaku hidup lagi?" kataku. "Lagi pula, aku sudah dewasa, aku tidak akan menyimpan dendam, apalagi sampai menyakiti orang lain dengan membabi buta."

Sasuke terdiam, sementara Itachi-nii terbatuk karena ucapanku yang menyindir kelakuan Sasuke selama ini.

"Dia membunuh kakekku, Naruto."

Aku mengangguk. Aku paham benar apa yang dirasakan oleh Sasuke. Kehilangan orang yang disayangi memang sangat menyakitkan. "Atas nama kakakku, aku minta maaf pada keluarga Uchiha atas seluruh perbuatan yang pernah dilakukan oleh Kurama nii-chan," kataku.

Aku menoleh, menatap mata Sasuke yang juga sedang menatapku. "Dan untukmu, Sasuke. Aku minta maaf atas apa yang pernah aku lakukan padamu. Maaf, gara-gara aku, kau kehilangan kakek yang sangat kau sayangi. Dan ini terakhir kalinya aku meminta maaf padamu, semoga setelah ini kau tidak lagi membenci ataupun melakukan hal-hal buruk itu padaku."

"Membenci? Melakukan hal buruk? Apa maksudmu, Naruto?" tanya Tou-san.

Aku tersenyum. "Silahkan tanyakan sendiri pada Sasuke," jawabku. Aku tidak ingin mengungkapkan kejelekan orang lain. Biarlah Sasuke sendiri yang mengatakannya. "Ada hal penting yang ingin aku sampaikan pada Kaa-san dan Tou-san."

"Apa itu?"

"Aku ingin tinggal bersama kakakku," kataku dengan mantap. Keempat Uchiha itu menatapku dengan terkejut. "Aku ingin merawat kakakku hingga dia kembali pulih seperti sedia kala."

"Tidak!" seru Sasuke, dia mencengkram lenganku dengan kuat hingga aku meringis. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi!"

Aku mencengkram pergelangan tangan Sasuke, lalu melepaskan tangan itu dari lenganku dengan paksa. "Keputusanku sudah bulat, Sasuke. Lagipula, aku sudah lelah mengikuti permainanmu selama ini."

"Sasuke!" Tou-san memanggil nama Sasuke dengan nada tajam. "Apa yang sudah kau lakukan pada Naruto? Jelaskan!"

Sasuke menghela napas panjang. Ia mengakui seluruh perbuatannya pada Tou-san dan juga Kaa-san. Ia mengaku sering memukuliku, menghinaku, dan hal-hal buruk lainnya jika tidak ada orang di rumah. Itachi-nii hanya diam, sepertinya dia tidak ingin ikut campur.

"Aku benar-benar menyesal, Tou-san. Aku khilaf," kata Sasuke di akhir ceritanya.

Kaa-san berdiri dari kursinya, lalu menghampiri Sasuke. Aku membulatkan mataku ketika Kaa-san mengangkat tangannya, lalu menampar pipi Sasuke dengan keras. "Kaa-san kecewa padamu, Sasuke! Kaa-san tidak pernah mengajarimu untuk menyakiti orang lain!" dada ibu angkatku itu naik turun, menahan amarah. "Kau juga!" aku berjengit ketika Kaa-san menunjuk hidungku dengan emosi. "Kenapa tidak pernah menceritakannya pada Kaa-san? Kau tidak menganggapku sebagai ibumu?!"

Aku menunduk, memainkan jari-jariku. Aku takut pada Kaa-san yang sedang marah, mengingatkan aku pada ibu kandungku. "M-maaf, Kaa-san. Aku tidak bermaksud begitu," cicitku.

Itachi-nii mendengus geli. "Kalau melihat ini, aku jadi ingat ketika kalian masih kecil dulu. Kaa-san pernah memarahi kalian karena bermain ke hutan tanpa pengawasan orang tua."

"Jangan bercanda!" Kaa-san membentak Itachi-nii, membuat kakak angkatku itu menutup mulutnya rapat-rapat. Jika Kaa-san marah, tak ada satupun dari kami yang berani berkutik, bahkan Tou-san. Kaa-san sangat menyeramkan jika sedang marah.

"Mikoto, sudahlah. Ini rumah sakit," Tou-san angkat bicara. "Sebaiknya kita bicarakan keinginan Naruto untuk tinggal bersama Kurama."

Kaa-san menghela napas panjang untuk meredakan emosinya. Ia memijat pelipisnya lalu mengangguk. "Baiklah."

Aku mengabaikan Sasuke yang kini sedang memandangi wajahku. Aku tahu, dia pasti hanya berpura-pura saja menahanku. Nanti, setelah Kaa-san dan Tou-san pergi, Sasuke pasti akan menghukumku lagi seperti sebelumnya, apalagi tadi ibu kandungnya malah menamparnya gara-gara aku.

Aku hanya berharap, Tou-san mau mengabulkan keinginanku untuk tinggal bersama kakakku, Uzumaki Kurama.

.

.

.

Aku berbaring di atas kasurku di rumah keluarga Uchiha. Tou-san sudah memberikan aku ijin untuk tinggal bersama Kurama nii-chan, tapi nanti, setelah kakakku diijinkan untuk pulang ke rumahnya.

Saat ini keadaan Kurama nii-chan masih belum stabil. Dia masih dalam pengawasan ketat para dokter di rumah sakit. Ku harap, kakakku segera sadar dan bisa berkumpul lagi bersamaku.

Tok tok tok.

Aku refleks mendudukkan diriku ketika pintu kamarku diketuk. "Ya?"

"Naruto, ini aku."

Aku mengerutkan keningku ketika mendengar suara Sasuke dari balik pintu. Aku menghampiri pintu lalu membukanya. "Sasuke? Ada apa?" tanyaku heran. Kenapa Sasuke mengetuk pintu segala? Biasanya kan, dia selalu membuka pintu kamarku lebar-lebar tanpa repot mengetuk segala.

"Makan malam sudah siap," katanya.

Aku semakin mengerutkan alisku. "Kau sakit, Sasuke?" tanyaku. Sasuke hampir tidak pernah memberitahuku tentang makan malam yang sudah siap. Dia bahkan tidak pernah peduli apakah aku sudah makan atau belum.

"Hn?" sebelah alis Sasuke terangkat naik. Dia menggeleng. "Tidak. Memang kenapa?"

"Oh, tidak apa-apa," jawabku pada akhirnya. Aku sedang berusaha untuk cuek pada Sasuke. Aku tidak ingin mencampuri urusannya.

Aku pun bergegas menuju ke meja makan setelah menutup pintu kamarku. Sasuke mengekor di belakangku. Di meja makan, sudah ada Kaa-san, Tou-san, Itachi-nii, dan Ayame yang sibuk hilir mudik menata makanan. Oh, liurku hampir menetes ketika melihat menu makan malam yang agak berbeda dari biasanya. Semua yang ada di atas meja terlihat enak!

Aku kembali terkejut ketika Sasuke mendahuluiku untuk menarik kursi. Aku pikir dia ingin duduk di kursi itu, tapi ternyata dia duduk di sebelahku. Serius, anak ini kenapa? Apa Sasuke ketempelan hantu rumah sakit?

"Apa kau yakin akan masuk sekolah besok, Naruto? Kau tidak ingin istirahat dulu?" tanya Tou-san yang tumben-tumbenan berada di rumah sesore ini. Biasanya, Tou-san pulang larut malam dan jarang ikut makan malam di rumah.

"Hmm," aku menggumam sebagai jawaban, karena mulutku sedang sibuk mengunyah nasi.

"Kau yakin? Apa kepalamu baik-baik saja?" tanya Kaa-san dengan nada khawatir.

"Tidak apa-apa, Kaa-san. Kepalaku baik-baik saja."

"Syukurlah kalau begitu," kata Kaa-san. Ia mencubit lengan Sasuke sampai anak itu mengaduh kesakitan. "Besok kau harus mengantarkan Naruto sampai di sekolah dengan selamat! Kaa-san tidak akan segan membakar mobilmu kalau sampai Kaa-san melihat Naruto di dalam bis!"

Sasuke meringis sambil mengusap lengannya. "Baik, Kaa-san," ucapnya dengan patuh. Jika ada orang di dunia ini yang bisa menjinakkan Sasuke, itu adalah Kaa-san.

Aku menggigit bibirku untuk mencegah tawaku menyembur keluar. Aku tidak ingin membuat Sasuke marah, dan kembali menghajarku. Aku bertemu pandang dengan Itachi-nii yang juga sedang menahan tawa, dan senyumku makin melebar hingga gigiku terlihat.

Aku melirik Sasuke yang kini sedang menekuk wajahnya dengan kesal. Wajah yang sedang cemberut itu mengingatkan aku pada wajah Sasuke-ku yang dulu, yang baru aku sadari tak akan pernah kembali lagi.

Aku mengalihkan perhatian ketika Kaa-san membuka pembicaraan tentang pelanggannya yang sangat cantik dan sebentar lagi akan menikah. Diam-diam, aku menghela napas. Secuil rasa kehilangan menyusup ke hatiku, ketika aku berpikir akan meninggalkan keluarga ini.

.

.

.

Aku meremas tali tasku dengan kuat ketika mobil Sasuke berhenti di parkiran sekolah. Ya Tuhan, perutku mendadak mulas ketika ku lihat murid perempuan menatap mobil Sasuke dengan tatapan liar.

"Ayo turun."

"Eh?"

"Bukan eh! Kita sudah sampai. Turun," kata Sasuke sambil melepas sabuk pengamannya. "Kenapa kau diam saja? Ayo!"

"A-aku takut."

"Takut apa?"

"Bagaimana kalau mereka mencincangku hidup-hidup karena berani satu mobil denganmu?" kataku.

Aku heran pada diriku sendiri. Aku ini laki-laki, tapi takut pada anak perempuan di sekolahku. Yah, soalnya anak perempuan di sekolahku bisa berubah seganas monster kalau sudah menyangkut idola mereka, Uchiha Sasuke.

Sasuke berdecak kesal. "Tidak akan terjadi apa-apa padamu! Ayo, nanti kita terlambat!"

Aku mendengus mendengar ucapan Sasuke. Apa dia tidak sadar, kemarin-kemarin dia sering membuatku terlambat gara-gara menurunkanku di tengah jalan. Tidak ingin terlambat, aku pun membuka pintu mobil ini lalu keluar dengan hati-hati. Tuh, kan. Semua mata menatap ke arahku!

"Cepatlah, Dobe!" teriak Sasuke. Dia sudah berjalan lebih dulu menuju ke gedung sekolah.

Aku berusaha mengabaikan beragam tatapan yang mereka berikan padaku, lalu berlari menyusul Sasuke. Sampai di kelas, ternyata sudah ramai. Sasuke segera berjalan menuju ke bangkunya, begitu pula aku.

"Selamat pagi, Kiba, Gaara!" sapaku pada kedua teman baikku. Aku tidak bisa menyapa Shikamaru karena dia sedang tidur.

"Naru! Kemana saja kau?" tanya Kiba. "Astaga, kepalamu kenapa?"

"Aku mengalami kecelakaan lalu lintas, tapi sudah tidak apa-apa," jawabku. Ternyata perban di kepalaku bisa juga dijadikan alasan. Tidak mungkin, kan, aku mengatakan pada mereka kalau aku diculik kakakku sendiri.

"Makanya, hati-hati!" seru Kiba, membuatku tersenyum. Kiba memang selalu mengkhawatirkan aku.

Aku menoleh ketika Gaara menyerahkan sebuah buku padaku. "Salinan catatan. Kau kan sudah hampir satu minggu tidak sekolah."

"Ah, terima kasih banyak! Ini salinan catatanmu?"

"Bukan. Aku tidak serajin itu. Aku bahkan hanya membawa satu buku tulis ke sekolah untuk menggambar manga."

Aku geleng-geleng kepala mendengar ucapan Gaara. "Lalu, ini catatan siapa?"

Gaara menunjuk Sara, gadis terpintar di kelas. "Dia yang menyerahkannya padaku. Sepertinya dia yang membuatnya."

"Hah?" aku memperhatikan punggung Sara yang sedang sibuk mencatat. Sejak kapan Sara mau membuatkan salinan catatan? Bukankah dia dikenal sebagai gadis paling cuek di kelas?

Obrolan kami terhenti ketika guru yang mengajar hari itu memasuki kelas. Aku pun membuka buku pelajaranku, dan mulai menyimak apa yang dijelaskan guruku.

Ketika aku sedang memperhatikan penjelasan guru, aku merasa seseorang sedang memperhatikan aku. Aku menoleh, dan mataku bertemu dengan mata Neji. Pemuda itu menatapku dengan raut wajah yang terlihat … bersalah? Sedih? Entahlah. Kenapa dia?

Jam istirahat pun tiba. Seperti biasa, aku mengeluarkan kotak makanku. Aku menghela napas ketika sadar Sasuke sudah menghilang bersama gengnya, dan aku tidak tahu mereka pergi ke mana. Hanya ada Neji. Ia sedang duduk sambil bersedekap, kalau dari raut wajahnya sih, sepertinya dia sedang berpikir dengan serius.

Ku hampiri Neji, berniat mengajaknya makan siang bersama. "Neji?" panggilku.

Neji menoleh, ia tampak terkejut melihatku. "Oh, Naruto. Ada apa?"

"Mau makan siang bersama?" tawarku.

Neji terdiam. Ia terlihat salah tingkah. "Tidak bisa. Aku ada janji makan siang bersama Hinata. Maaf, ya."

"Oh, begitu. Ya sudah, tidak apa-apa," balasku. Aku tersenyum, lalu meninggalkan bangku Neji untuk makan siang bersama Kiba, Shikamaru dan Gaara.

Kami berempat makan siang bersama di atap sekolah seperti biasa. Saling membagi makan siang, bercanda, mengobrol, dan hal-hal lain yang biasa kami lakukan. Kiba sempat tidak sengaja menyenggol perbanku hingga aku mengaduh kesakitan.

Selesai makan siang, kami kembali ke kelas. Aku menghentikan langkahku ketika mataku menangkap sosok Sara, baru keluar dari toilet wanita.

"Hei, kalian duluan saja," kataku pada ketiga temanku. Tanpa menunggu jawaban mereka, aku berlari menghampiri Sara.

"Sara," panggilku. Sara menoleh, matanya membulat terkejut ketika melihatku. "Bisa bicara sebentar?"

Sara melihat sekeliling sejenak, lalu mendongak menatap mataku. "Ada apa?"

"Terima kasih salinan catatannya."

Sara mengangguk. "Bukan masalah. Aku hanya menjalankan perintah."

"Perintah? Dari siapa?"

"Sasuke."

Jawaban Sara membuatku mengerutkan alis. "Untuk apa dia menyuruhmu menyalin catatan?"

Sara mengendikkan bahunya. Sangat terlihat dari ekspresi wajahnya kalau dia tidak peduli pada urusan orang. "Mana aku tahu. Aku tidak peduli pada urusan orang, termasuk urusanmu dan Sasuke," katanya, lalu melenggang pergi.

Aku mengamati punggung Sara yang tertutup rambut merah panjangnya. Gadis satu itu memang sedikit judes. Ah, ya sudahlah, yang penting aku punya catatan untuk mengejar ketertinggalanku.

Sebaiknya aku kembali ke kelas. Aku tidak ingin terlambat mengikuti pelajaran selanjutnya.

.

.

.

Ponselku berdering ketika aku baru saja keluar dari kelas. Keningku mengerut ketika aku mendapat telepon dari nomor tidak dikenal. Ketika aku mengangkatnya, rupanya itu adalah telepon dari pihak rumah sakit yang memberi kabar bahwa kakakku sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang rawat. Aku memang sengaja meninggalkan nomor ponselku, dan berpesan pada pihak rumah sakit untuk menghubungiku apabila kakakku sudah siuman.

Aku segera memacu langkahku untuk menuju ke rumah sakit.

"Naruto!" Aku menoleh ketika seseorang memanggil namaku. Ternyata Sasuke. "Mau kemana? Ayo kita pulang!"

"Kau pulang duluan saja. Aku mau ke rumah sakit," sahutku.

"Rumah sakit?"

"Iya, kakakku sudah sadar. Sudah, ya. Aku duluan."

"Tunggu!"

"Apa lagi?!" seruku, setengah kesal. Mau apa sih anak ini? Aku memekik ketika tiba-tiba Sasuke menggenggam tanganku, lalu menariknya. Eh, eh, ada apa ini? Kenapa dia menarik tanganku?

Aku menoleh kesana kemari, lalu meneguk ludah ketika anak-anak lain menatapku dengan tatapan membunuh, terutama kumpulan gadis genit yang menyebut diri mereka sebagai penggemar Uchiha Sasuke.

"Lepaskan tanganku! Aku harus ke rumah sakit!"

"Iya," jawab Sasuke. Dia membukakan pintu mobil bagian penumpang, lalu menyuruhku masuk. "Aku akan mengantarmu. Akan lebih cepat jika kita menggunakan mobilku."

"Eh, iya juga sih. Tapi aku tidak ingin merepotkanmu," kataku. Aku menggigit bibirku, untuk meredam rasa senangku karena Sasuke bersikap baik padaku, tidak kasar seperti biasanya.

Kalau aku ingat-ingat lagi, seharian ini tidak ada satupun anak-anak di sekolah yang menjahiliku. Bahkan Karin dan Suigetsu. Mereka cuek saja ketika melihatku. Padahal biasanya, mereka selalu menggangguku, seolah tangan mereka terasa gatal jika tidak menjahiliku sekali saja.

"Kau tidak dengar apa kata Kaa-san? Kaa-san akan membakar mobilku kalau sampai beliau melihatmu naik bis."

Aku terdiam. Oh, jadi karena itu. Yah, wajar saja kalau Sasuke berbuat baik padaku. Mana ada orang yang rela mobilnya dibakar. Apalagi gara-gara orang seperti aku. Tanpa sadar, aku menghela napas kecewa.

Aku menutup bibirku rapat-rapat ketika Sasuke mulai menjalankan mobilnya, bahkan ketika kami sampai di rumah sakit. Tanpa mengatakan apapun pada Sasuke, aku langsung berlari menuju ke ruangan tempat kakakku dirawat.

"Kurama nii-chan?" sapaku ketika ku lihat kakakku sedang berbaring di kasurnya. Kaki kakakku masih di gips. Wajahnya terlihat pucat saat dia menoleh, lalu tersenyum padaku.

"Naruto," panggil Kurama nii-chan. Suaranya terdengar lemah. "Bagaimana keadaanmu?" kakakku bertanya ketika aku duduk di sebelahnya. Dia mengangkat sebelah tangannya yang tidak terhubung dengan selang, lalu mengelus pipiku. "Maaf, kau terluka gara-gara aku."

Mataku berkaca-kaca. Anggaplah aku cengeng, tidak apa-apa. Aku sangat bahagia bisa melihat kakakku membuka matanya kembali. "Tidak apa-apa, Nii-chan," jawabku. "Luka Kurama nii-chan lebih parah dari pada aku."

Kakakku mendengus. "Luka ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penderitaanmu selama ini."

Aku terdiam. Memang, selama ini aku menderita. Kehilangan Madara Jii-chan, kehilangan sosok Sasuke yang manis, kehilangan ayah dan ibu, ditindas di sekolah, di rumah, dan sebagainya.

"Dan Nii-chan berniat membuatku kehilangan saudaraku satu-satunya?" kataku. Aku mengusap mataku dengan lengan seragamku. "Jangan tinggalkan aku, Nii-chan."

Kurama nii-chan menatapku dengan pandangan sedih. Matanya tampak berkaca-kaca. "Maafkan aku, Naruto. Dosaku tidak terampuni."

"Jangan berkata begitu. Aku tidak marah pada Nii-chan, kok. Aku memaafkanmu."

"Sungguh?"

"Iya," kataku. Ku genggam tangan kakakku yang masih mengelus pipiku. "Tapi, Nii-chan harus minta maaf juga pada Sasuke. Madara Jii-chan meninggal ketika aku hampir diculik. Dan gara-gara hal itu, Sasuke membenciku."

"Apapun akan aku lakukan demi kau, adikku."

Aku tersenyum. Ternyata, kakakku orang yang baik. "Oh iya, Tou-san sudah memberikan ijin untuk aku tinggal bersama Kurama nii-chan. Aku ingin merawat Nii-chan sampai sembuh!"

Kurama nii-chan menatapku dengan tatapan kaget. "Sungguh? Kau mau tinggal bersamaku?"

"Tentu saja. Apa Nii-chan keberatan?"

"Kau bercanda? Tentu saja tidak! Kau boleh tinggal di apartemenku, atau di rumahku. Kau bahkan boleh memilikinya jika kau mau."

Aku tertawa mendengar ucapan kakakku. "Tidak perlu, aku tidak mau rumahmu. Aku hanya ingin tinggal bersama kakakku, yang sudah bertahun-tahun aku lupakan."

Kurama nii-chan kembali tersenyum. "Kau baik sekali, sangat mirip dengan Tou-chan," katanya. "Kaa-chan sangat galak. Kau masih ingat, kan?"

Aku terkekeh, lalu mengangguk. Kami mengobrol banyak soal masa kecil kami. Kurama nii-chan juga bertanya tentang sekolahku, dan keinginanku setelah lulus sekolah. Dia bilang, dia akan menanggung segala biaya dan keperluanku jika aku memutuskan untuk kuliah.

Setelah mengobrol banyak, aku memutuskan untuk pulang karena kakakku masih memerlukan banyak istirahat. Setelah berpamitan, aku segera pergi meninggalkan kamar rawat kakakku. Aku baru ingat, tadi aku kemari bersama Sasuke. Sial, dia pasti marah karena aku melupakannya. Ngomong-ngomong, kemana dia?

"Sudah selesai?"

Aku terlonjak kaget. "Astaga!" teriakku. Aku buru-buru membungkam mulutku yang berteriak terlalu kencang untuk ukuran orang yang sedang berada di rumah sakit. "Sasuke?"

"Iya, aku Sasuke. Kau pikir aku hantu?"

Aku menggaruk tengkukku. Ternyata, Sasuke duduk di kursi di depan kamar rawat kakakku, menunggu hingga aku selesai. "M-maaf, aku membuatmu menunggu lama."

Sasuke menghela napasnya. "Tidak apa-apa," katanya, membuatku menaikkan kedua alisku. Lho, dia tidak marah? "Apa kau sudah selesai? Ayo pulang, aku lapar."

Aku buru-buru mengangguk, lalu berjalan mengikuti langkah kaki Sasuke. Aku mengamati punggung pemuda emosian ini dalam diam. Apakah ini mimpi? Tumben sekali, seharian ini Sasuke sama sekali tidak membentak ataupun memukulku.

Aku membeku ketika menyadari sesuatu. Jangan-jangan, Sasuke serius dengan permintaan maafnya kemarin?

.

.

TBC

.

.

Akhirnya bisa ngetik lanjutannya. Semoga masih ada yang mau baca. Maaf kalo ada typo dan sebagainya. Aku nggak sempet ngedit.

Oh iya, Kurama nggak mati. Awalnya mau aku bikin mati, tapi ternyata pada kasus mobil meledak, nggak semua korbannya tewas. Ada yang selamat meskipun menderita luka bakar.

Enaknya, Kurama dipasangin sama siapa, ya? Apa bikin dia jomblo aja kali ya.

Kok aku nggak tega mau namatin fic ini ya, pengen bikin Sasuke yang ngejar Naruto wkwkwkwk. Gimana menurut kalian?