Disclaimer : Naruto hanya milik MK seorang, saya hanya meminjam charanya saja. Saya mah apa atuh, cuma remah-remah rempeyek.
.
Old Grudges Die Hard © Vandalism27
.
Warning : YAOI, SASUNARU, alur kecepetan, alur gak jelas ngalor ngidul, typo(s), OOC, dan seabrek kekurangan lainnya.
.
RATE : M; untuk adegan dan hal-hal lain yang tidak sesuai untuk anak-anak.
Sinopsis:
Dulu, aku dan kau bersahabat. Kita tidak terpisahkan. Tapi semenjak kejadian itu, kau berubah. Benar-benar berubah hingga aku tidak bisa mengenalimu lagi. Apakah tidak ada kesempatan kedua bagiku, meskipun aku menerima semua perlakuanmu padaku? Ataukah aku harus memberikan nyawaku, agar kau mau memaafkan aku, Sasuke?
.
.
Selamat Membaca!
.
.
Aku terbangun ketika jam menunjukkan pukul lima tepat. Mataku yang masih mengantuk aku paksakan untuk terbuka. Masih dengan mata setengah terpejam, aku berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diriku.
Pukul enam, aku sudah siap dengan segala persiapanku untuk ke sekolah. Ku cek kembali buku-buku dan alat tulis yang harus ku bawa hari ini, setelah yakin semua lengkap, ku tenteng tasku dan keluar kamar.
"Oh, selamat pagi, Naruto. Hari ini kau bangun pagi seperti biasanya." Sapa seorang wanita cantik saat aku sampai di meja makan. Dia adalah Uchiha Mikoto, ibu angkatku.
"Selamat pagi, kaasan." Sapaku balik, dengan tersenyum manis.
Di meja makan sudah ada Uchiha Itachi, kakak angkatku dan Uchiha Fugaku, ayah angkatku. "Selamat pagi, Itachi-nii, tousan." Sapaku pada kedua orang itu. Tousan hanya tersenyum tipis menjawab salamku.
"Selamat pagi, Naruto. Bagaimana tidurmu, nyenyak?" Tanya Itachi-nii.
Aku mengangguk, "Nyenyak, Itachi-nii. Semalam aku tidur lebih cepat jadi aku bangun lebih pagi."
Kaasan mendesah, "Kau sampai melupakan makan malam, dan langsung masuk ke kamarmu begitu sampai di rumah. Jadi sekarang kau harus makan yang banyak." Kaasan menjitak pelan kepalaku, seharusnya tidak sakit, tapi karena kejadian kemarin kepalaku sangat sakit, bahkan sentuhan ringan saja rasanya nyeri. Aku meringis pelan, tapi untungnya kaasan tidak curiga.
Sebenarnya ada alasan kenapa aku semalam langsung masuk kamar setelah pulang sekolah. Itachi-nii sampai harus repot-repot mengurusku di kamar. Hanya dia yang tahu alasan di balik kelakuanku semalam.
"Oh, Naruto. Tolong panggilkan Sasuke, anak itu sudah jam segini kenapa belum turun juga." Kata kaasan.
Aku membeku. Sebenarnya aku tidak masalah membangunkan saudara angkatku yang seumuran denganku itu, hanya saja…
"Naruto?" Kaasan memandangiku dengan dahi mengerut. Oh, tidak. Aku tidak boleh membuatnya curiga, apalagi sampai membuatnya khawatir.
"B-Baik, kaasan. Aku akan memanggil Sasuke." Ucapku gugup, lalu beranjak dari kursi yang aku tempati.
Dalam hati aku berdoa, semoga Sasuke tidak marah padaku.
Aku menghentikan langkahku tepat di depan kamar Sasuke. Aku pandangi pintu kamar berwarna hitam ini, yang seakan-akan seperti pintu neraka bagiku. Tanganku bergerak hendak mengetuk pintunya, tapi tertahan di udara. Aku sungguh tidak berani mengetuk pintu itu.
Tapi kubulatkan tekadku, mengingat jam di tangan kiriku mulai menunjukkan pukul enam dua puluh, sedangkan pukul tujuh tiga puluh aku sudah harus tiba di sekolah.
Tok tok
Ku ketuk pintu itu dua kali. Menunggu sekian detik, tapi tidak ada jawaban dari dalamnya. Apa dia masih tidur?
Tok tok tok
Ku ketuk lagi. Tapi setelah menunggu dua puluh detik, tidak ada sahutan dari dalam. Akhirnya aku memberanikan diri membuka pintu itu, yang ternyata tidak dikunci. Ku masukan kepalaku ke dalam kamar, mengintip apakah Sasuke sudah bangun atau belum.
Kamar Sasuke rapi untuk ukuran seorang cowok. Kamarnya di dominasi dengan warna biru tua. Apa Sasuke suka warna biru tua? Entahlah, aku tidak peduli.
Perhatianku jatuh pada gundukan di atas ranjang. Jangan bilang dia masih tidur? Astaga, sudah jam berapa ini?
Ku hampiri ranjang itu, lalu berjongkok untuk membangunkan Sasuke. "Sasuke. Bangun, Sasuke. Sudah siang, apa kau tidak berangkat sekolah?" ucapku pelan, sambil menggoyang pelan tubuh berbalut selimut biru tua itu.
Gundukan itu bergerak sedikit, lalu sebuah kepala menyembul dari balik selimut. Matanya menyipit dan wajahnya terlihat kesal. Ugh, matilah aku!
"Brengsek! Aku masih mengantuk, idiot!" desisnya. Satu kaki Sasuke menendangku tepat di wajah. Aku yang tidak siap menerima tendangan itu langsung terjengkang, jatuh terlentang dengan kepala mendarat di lantai.
Kepalaku pusing dan pandanganku berputar sesaat akibat benturan itu.
"Orang sepertimu memang pantas diberi pelajaran!" katanya, "Rasakan ini!" Sasuke menginjak dada dan perutku berkali-kali, sampai aku terbatuk tidak kuat menahan sakitnya.
Setelah puas, Sasuke meninggalkan aku begitu saja, lalu beranjak menuju ke kamar mandi.
Masih menahan sakit di kepala, aku berdiri perlahan dengan bantuan pinggiran ranjang. Ku usap belakang kepalaku yang terasa nyeri, kemudian keluar kamar Sasuke setelah sebelumnya menyeka air mataku yang menetes.
Pukul tujuh tepat aku berangkat bersama Sasuke, aku menumpang di mobilnya. Sebenarnya aku lebih suka berangkat naik bus umum, tapi kaasan memaksaku untuk berangkat bersama Sasuke. Sial, aku bisa terlambat kalau jam segini baru berangkat!
Jika kalian menganggap aku benar-benar berangkat bersama Sasuke sampai ke sekolah, kalian salah besar. Tepat di tikungan yang agak jauh dari rumah, Sasuke menurunkanku begitu saja.
"Turun kau. Aku tidak sudi membawa sampah sepertimu ke sekolah." Ujarnya dingin.
Aku melepas sabuk pengaman, kemudian turun dari mobil. Mobil Sasuke segera melaju menjauh, meninggalkanku sendirian di sini. Ah, sebaiknya aku cepat-cepat, karena halte bus lumayan jauh dari sini.
Sebenarnya aku juga tidak ingin menjadi bagian dari keluarga Uchiha, tapi kedua orang tuaku tewas dua tahun lalu karena perampokan yang terjadi di rumah. Saat itu aku sedang menginap di rumah Sasuke, jadi aku tidak ikut menjadi korban.
Mereka mengangkatku sebagai anak, tapi biarpun begitu margaku tetap Uzumaki, mereka tidak mengganti margaku.
Dulu, Sasuke sangat baik padaku. Kami sangat dekat, tidak terpisahkan. Tapi semenjak kejadian itu, Sasuke berubah total. Dia menjadi Sasuke yang tidak aku kenal, dia menjadi sangat asing bagiku.
Ku percepat langkahku ketika halte bus sudah terlihat.
Setelah lima menit aku menunggu di halte, bus yang aku tunggu pun tiba. Aku segera naik, lalu memilih tempat duduk di sisi sebelah kiri. Di sebelahku ada seorang pemuda yang sepertinya seumuran denganku, dia mengenakan seragam tapi penampilannya berantakan sekali. Dia sedang memejamkan matanya, apa dia sedang tidur? Dia memakai seragam Suna High School.
Ku pandangi wajahnya. Rambutnya berwarna merah, kulitnya juga putih, berbeda denganku yang sedikit kecokelatan. Ada tato di dahinya bertuliskan 'cinta'. Pffftt, aku menahan tawaku ketika membaca tato itu. Kenapa dia membuat tato di dahi, dengan tulisan seperti itu?
"Sudah puas tertawanya?" tiba-tiba orang di sebelahku membuka matanya, menampilkan iris mata berwarna hijau indah, sangat kontras dengan tatapannya yang dingin dan menusuk.
"A-ah, m-m-maafkan aku, aku tidak bermaksud… A-aku…" ucapku terbata. Aku takut salah bicara dan menjadikan tubuhku samsak hidup─lagi.
Dia tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya melirikku dengan tajam. Tubuhku menegang, aku sangat takut, sepertinya dia sama dengan Sasuke. Tolong aku, Tuhan…
"Hei." Panggilnya, aku spontan menoleh dengan ketakutan. "Tidak perlu takut, aku tidak akan menghajarmu atau apa. Duduklah dengan santai, kau membuatku seperti preman yang hendak memperkosamu."
Aku menganga. Mempe-pe-perkosa, katanya?!
"T-tapi aku laki-laki!" kataku tidak terima. "Mana ada laki-laki di p-p-perkosa!"
Laki-laki itu tersenyum tipis, tapi tidak membalas perkataanku. Dia kembali menyandarkan kepalanya ke jendela, kemudian memejamkan matanya.
Ku rasakan ponselku bergetar, buru-buru ku ambil dari dalam tas. Ku aduk isi tasku sedikit kasar, karena ponselku terselip entah dimana. Setelah ku temukan, aku angkat panggilan itu, ternyata dari Itachi-nii.
"Halo, Itachi-nii."
"Halo, Naruto. Nanti kau pulang sekolah jam berapa? Aku akan menjemputmu." Kata Itachi-nii diseberang sana.
"Ah, aku pulang jam empat sore. Memang ada apa?" tanyaku, tumben sekali Itachi-nii menjemputku.
"Apa kau lupa? Kita akan mengunjungi makam kedua orang tuamu, kan? Lagipula aku tidak yakin Sasuke mau mengantarmu."
Aku mengangguk membenarkan, tapi buru-buru menjawab karena aku sadar Itachi-nii tidak bisa melihatku mengangguk. "I-iya. Nanti tolong antarkan aku, ya, niisan." Jawabku, sambil tersenyum.
"Sama-sama. Kalau begitu nanti hubungi aku kalau sudah waktunya pulang sekolah, oke? Sampai nanti."
Sambungan terputus, lalu aku masukkan ponselku kembali ke dalam tas.
Bus yang aku tumpangi berhenti di halte dekat sekolah, lalu aku buru-buru turun sebelum terlambat. Tapi sepertinya aku sedang sial, aku sudah terlambat! Guru sudah berdiri di dekat gerbang, menginterogasi murid-murid yang terlambat.
"S-s-selamat pagi, Ibiki sensei." Sapaku.
Ibiki sensei memandangku, "Naruto? Tumben sekali kau terlambat?" katanya, sedikit terkejut.
Aku mengangguk malu, "M-maaf, sensei. Tadi malam saya belajar sampai malam, akhirnya saya terlambat bangun." Kataku membuat alasan. Tidak mungkin aku bilang terlambat datang karena menunggu Sasuke yang bangun kesiangan, sudah begitu diturunkan di tengah jalan pula! Aku jadi kesal.
"Baiklah, karena ini pertama kalinya kau terlambat, maka aku tidak akan menghukummu. Silahkan masuk." Ibiki sensei merentangkan tangannya, mempersilahkan aku untuk lewat.
Aku membungkuk dalam, lalu segera berlari ke dalam sekolah.
.
.
.
"Enak sekali, si culun itu. Kenapa dia boleh masuk?"
"Entahlah, sensei pilih kasih!"
"Kita beri dia pelajaran nanti!"
"Setuju!"
"Hei! Ada apa kalian bisik-bisik?! Kalau ingin protes, silahkan katakan pada saya secara langsung!"
"Tidak ada, sensei!" jawab murid-murid itu kompak.
Hiiii…..
.
.
.
Aku mempercepat langkahku hingga sampai di kelas. Ternyata Kakashi sensei belum datang. Guruku satu itu memang sering terlambat masuk kelas.
Aku segera menuju ke bangkuku, di pojok kanan paling belakang.
Aku menghela napas ketika melihat banyak sampah dimasukkan ke dalam laci mejaku. Hal seperti ini memang sering terjadi. Ku pungut sampah-sampah bau itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
"Kenapa sampahnya di buang? Kau kan sampah, harusnya duduk bersama sampah-sampah bau itu." celetuk seseorang. Tanpa menoleh pun, aku tahu siapa. Sasuke.
"Kau benar, Sasuke. Sampah sepertinya memang seharusnya bersama sampah lainnya. Celetuk suara lain, Suigetsu.
Seseorang tertawa kecil, "Kalian jahat sekali. Kasian kan sampahnya harus ada di meja dia." Itu Sai. Meskipun dia tidak ikut mem-bully ku secara fisik, tapi kata-katanya yang kadang keterlaluan. Membuatku emosi saja. Tahan, Naruto. Tahan...
Mereka berdua memang suka sekali mem-bully ku. Ditambah satu orang lagi, Neji. Memang sih, dia tidak melakukan apa-apa. Tidak mengusili atau menghinaku, dia hanya menonton saja, tapi entah mengapa tatapannya membuatku takut. Bagaimana, ya... tatapan matanya seperti ingin memakanku hidup-hidup.
Sasuke merupakan salah satu siswa populer, jadi banyak anak di kelasku maupun kelas lain yang ikut-ikutan mem-bully ku, padahal aku tidak mengenal mereka. Mungkin mereka ingin mengikuti idolanya, agar mendapat perhatian? Tapi beruntunglah mereka hanya mengusiliku saja, tidak sampai main fisik seperti mengeroyok atau apa. Hanya Sasuke yang sering kasar, bahkan memukuliku.
Aku kembali berjalan dengan tatapan lurus ke mejaku. Aku terjerembab membentur lantai ketika sebuah kaki menghalangi jalanku, kaki milik Karin, salah seorang fans berat Sasuke.
"Oops, maaf, kakiku terlalu panjang." ucapnya, tanpa rasa bersalah sama sekali. Seisi kelas menertawakanku, tapi aku diam saja. Aku hanya tersenyum lemah menghadapi kelakuan Karin. Ku lirik Sasuke, pasti dia senang sekarang. Tapi mungkin hanya perasaanku saja, aku lihat dia memandang sangat tajam dengan rahang mengeras. Bukan untukku, tapi... Karin. Aneh sekali.
Sebenarnya, bukan aku tidak ingin melawan, sungguh, aku sangat ingin melawan. Tapi aku punya alasan yang membuatku tidak bisa melawan kelakuan mereka.
Hidungku berdarah, rasanya nyeri sekali.
Tiba-tiba sebuah tangan menarikku untuk berdiri, dia Shikamaru. Teman baikku.
"Kau tidak apa, Naruto? Hidungmu berdarah." Katanya, sambil mengusap hidungku dengan sapu tangan yang dibawanya.
Aku menggeleng, "Tidak apa, Shika. Terima kasih telah membantuku." Kataku sambil tersenyum lalu berjalan ke bangkuku. Disana ada Kiba, yang menatapku dengan cemas.
"Astaga, Naruto! Hidungmu berdarah! Ayo aku antar kau ke UKS."
Aku menahan lengan Kiba yang hendak bangkit, "Tidak perlu, Kiba. Aku baik, ini tidak apa-apa." Kataku, lalu mendudukkan diriku di bangku.
Bangku Kiba dan Shikamaru ada di depanku, mereka teman sebangku dan juga sepasang kekasih. Hanya mereka yang tidak ikut jadi korban bully karena menolongku, sedangkan murid lain pasti ikut jadi korban kalau ketahuan membantuku.
Shikamaru merupakan atlit karate, sering ikut kejuaraan mewakili sekolah jadi kemampuannya tidak diragukan lagi. Dia pernah menghajar kakak kelas yang mencoba mem-bully dirinya dan Kiba. Para pem-bully sok jagoan itu pasti berpikir ratusan kali sebelum mengerjai salah satu dari mereka lagi.
Teman-teman tidak akan menggangguku jika ada Shikamaru atau Kiba di sekitarku, tapi lain cerita kalau di kelas ada Sasuke. Shikamaru malas mencari masalah dengan Sasuke, jadinya dia hanya bisa menahan amarahnya tiap Sasuke dan gengnya menggangguku. Tapi, lain Shikamaru, lain pula Kiba.
"Dasar kalian, pengecut sok jagoan! Beraninya menindas Naruto yang tidak melawan! Benar-benar pengecut!" teriak Kiba murka.
"Apa maksudmu, Inuzuka Kiba?" Balas Sasuke tidak kalah sengit.
Shikamaru bangkit dari mejanya, kemudian memaksa Kiba untuk duduk. "Pssstt, diamlah, nanti Naruto semakin mereka tindas kalau kau melawan, Kiba." Bisik Shikamaru.
"Tapi aku tidak terima sahabatku diperlakukan begitu, Shika!"
Shikamaru menghela napas, "Iya, aku tahu. Aku mengerti perasaanmu." Shikamaru mengelus bahu Kiba. "Tapi kemarahan tidak akan menyelesaikan masalah, mengerti?"
Akhirnya Kiba menurut, dia duduk kembali meskipun dengan tampang bersungut-sungut. "Aku tidak habis pikir, Naruto yang baik hati dan tidak pernah berbuat salah pada mereka justru menjadi korban bully hanya karena Sasuke yang membencinya tanpa alasan."
Aku menghela napas melihat sahabatku satu itu marah, aku tidak berani menginterupsi karena pasti akan menjadi sasaran kekesalan Sasuke dan gengnya. Aku menopang dagu, lalu memandangi bangku di sebelahku yang kosong.
Dulu ada seorang anak yang duduk disitu, tapi dia sudah pindah sekolah. Dia adalah korban penindasan selanjutnya, hanya karena dia membelaku yang hendak dicakar Karin. Dan tidak ada teman-teman yang lain yang mau duduk di sebelahku, katanya aku bau, jelek, bodoh, dan sebagainya.
Aku memang tidak sepintar Sasuke ataupun Neji, tidak juga sejenius Shikamaru. Tapi paling tidak aku tidak pernah mendapatkan nilai jelek di setiap tes, karena aku selalu belajar dengan giat meskipun berada dalam lingkungan penuh tekanan seperti ini.
Ketegangan di kelas berakhir ketika Kakashi sensei masuk ke kelas. "Selamat pagi, minna. Maafkan saya terlambat, tadi ada seorang anak bernama Hachi, dia tersesat ketika sedang mencari ibunya."
Krik krik krik...
Tidak ada yang menyahut.
"Baiklah, buka buku kalian halaman 158. Kita lanjutkan pelajaran minggu kemarin."
.
.
.
Bugh!
Aku meringis ketika merasakan tongkat yang menghantam punggungku. Aku jatuh terjerembab, meringkuk seperti janin berusaha melindungi kepala dengan tanganku. Ya, saat ini murid sekolahku─entah siapa─sedang asyik memukuliku dengan tongkat kayu yang entah mereka dapat dari mana.
Ada empat orang, dua orang membawa tongkat kayu dan yang dua tidak membawa apa-apa. Aku tidak begitu mengerti apa yang terjadi, saat tiba-tiba ditarik menuju ke belakang sekolah.
Aku tidak yakin dengan apa yang sudah aku lakukan pada mereka sampai mereka menghajarku begini. Biasanya para penindas itu tidak ada yang sampai menghajarku. Aku sangat yakin tidak mengenal mereka.
"Ugh, sakit..." erangku.
Bukannya merasa iba, mereka malah menendang punggungku. "Dasar culun! Mati saja kau! Untuk apa kau ada di sekolah ini?" kata salah satu dari mereka, kemudian dia menendangku lagi, kali ini di paha.
"A-apa salahku pada kalian semua? Aku bahkan tidak mengenal kalian!" Ucapku, berusaha bertanya apa alasan di balik pemukulan yang aku terima ini.
Satu orang yang tadi sempat menjambak rambutku berjongkok, kemudian menyeringai. "Aku kesal karena tadi pagi Ibiki sensei menghukum kami dengan berlari keliling lapangan sebanyak sepuluh kali, lalu menyuruh kami membersihkan toilet! Sedangkan kau? Kau si pembawa masalah malah bebas dari hukuman itu hanya karena kau murid kesayangan para guru!"
Aku meringis, ternyata gara-gara itu. "M-maafkan aku, aku tidak bermaksud begitu."
"Berhenti membela diri, dasar otak udang!" seru salah seorang dari mereka, sambil menginjak kepalaku berkali-kali.
Tongkat kayu terangkat, bersiap untuk memukulku lagi. Tapi sebuah suara menghentikannya.
"Berhenti, kalian!"
Mereka berempat menoleh ke asal suara. Harapanku sempat muncul, akhirnya sebuah pertolongan datang. Apakah Kiba? Atau Shikamaru? Tapi harapanku berganti kekecewaan ketika kulihat dia berdiri di ujung gedung sambil bersidekap.
Disanalah dia berdiri, sesosok pemuda berambut panjang, yang juga sering menghinaku lewat tatapan matanya meskipun tidak melakukan apa-apa.
Hyuuga Neji.
Ketika dia mendekat, keempat pemuda yang memukuliku tadi berlari menjauh. Aku berusaha mengangkat tubuhku, tapi rasa pusing di kepala membuat aku terjatuh kembali. Pemandangan terakhir yang aku lihat adalah Neji berjongkok di depanku, lalu semuanya gelap.
Aku terbangun ketika merasakan sesuatu yang hangat mengenai pipiku. Ku buka mataku, sedikit menyipit karena cahaya yang mengenai mataku. Ketika sudah terbiasa, ku lihat Kiba sedang mengusapkan handuk hangat ke pipiku. Wajahnya di penuhi kekhawatiran.
"Siapa yang sudah memukulimu, Naruto?" Tanya Kiba, suaranya serak. "Bajingan sekali mereka, beraninya main keroyokan!"
Shikamaru menghela napas. "Sudahlah, Kiba, lebih baik bersihkan saja dulu darah dan tanah yang menempel di wajahnya itu. Masalah siapa pelakunya nanti aku akan mencari tahu."
Kiba merengut masam. "Kau itu selalu saja begitu, apa kau tidak kasihan melihat Naruto diperlakukan seperti ini?"
"Bukan begitu, Kiba. Mengertilah, aku tidak mau salah bertindak yang malah akan membuat mereka kesal dan melimpahkan semuanya pada Naruto." Shikamaru berusaha membujuk Kiba. Tapi memang dasarnya Kiba keras kepala, dia hanya diam tidak menanggapi.
"Sudahlah, aku tidak apa. Tidak usah berdebat." Aku berusaha melerai, tapi kemudian aku terdiam. Seingatku tadi aku di belakang sekolah, kenapa tiba-tiba ada di UKS? "Ngomong-ngomong, apa kalian yang membawaku ke UKS?"
Kiba melihatku, lalu melirik Shikamaru. "Hm, tadi Shikamaru yang mengangkatmu kemari. Ada seorang gadis yang entah siapa namanya mendatangi kami, lalu dia memberitahu katanya kau dipukuli sampai pingsan, lalu kami kesana."
Aku mengernyit. "Gadis?" aku diam, mencoba mengingat sesuatu. "Tapi tadi aku didatangi Neji. Dia menyuruh anak-anak itu untuk berhenti, kemudian aku tidak tahu apa yang dia lakukan padaku, aku sudah keburu pingsan."
Kiba dan Shikamaru berpandangan. "Neji? Kau yakin?" Tanya Shikamaru.
"Hah, anak-anak itu lagi! Benar-benar keterlaluan! Lihat saja, setelah ini akan aku patahkan leher mereka!" Kata Kiba emosi sambil meremas-remas handuk yang dipegangnya.
Shikamaru berdecak. "Tidak usah berbuat macam-macam, Kiba. Aku tidak mau mereka melakukan hal yang buruk juga padamu." Kata Shikamaru dengan nada malas, tapi kentara sekali dia begitu perhatian pada kekasihnya itu. Sedangkan Kiba, dia menggembungkan pipinya yang memerah.
Ah, seandainya saja aku juga punya pacar yang bisa melindungiku. Eh? Apa-apaan? Aku kan laki-laki, harusnya aku yang menjaga pacarku nanti. Biarpun aku tidak keberatan dengan kedua sahabatku yang seorang gay, tapi aku yakin aku masih suka perempuan.
"Kau istirahat saja dulu disini, Naruto. Aku dan Kiba akan kembali ke kelas. Kami akan mengatakan kau istirahat di UKS karena tidak enak badan."
Aku spontan bangun dari ranjang, yang langsung aku sesali karena punggungku rasanya mau patah. "Ah, aku ikut ke kelas, aku sudah lebih baik kok. Aku tidak mau bolos pelajaran."
Setelah sedikit berdebat dengan Kiba, akhirnya aku diijinkan untuk ikut pelajaran selanjutnya. Di kelas sudah ada Kurenai sensei yang mengajar, tapi kami diperbolehkan masuk setelah Shikamaru memberikan alasan mengantar aku ke UKS karena pingsan.
Ketika berjalan menuju ke bangku, aku merasa ada yang menatapku. Ketika aku mendongak, ku lihat Sasuke dan gengnya melihatku dengan tatapan tajam dan sinis. Tapi fokusku kali ini bukan ke Sasuke, melainkan sosok yang saat ini menyeringai ke arahku, Neji.
.
.
.
Hal yang paling aku sesali sekarang adalah, aku tidak membawa payung! Hari sudah beranjak sore, dan sekolah otomatis sudah sepi karena hampir seluruh siswa sudah pulang ke rumah masing-masing.
Aku berdiri sambil memandang ke langit, memperhatikan langit kelabu yang menurunkan air hujan dengan derasnya. Shikamaru dan Kiba sudah pulang duluan, karena aku memang jarang pulang bersama mereka. Rumah kami berlainan arah.
Sasuke entah kemana, tadi setelah bel tanda pulang berdering dia sudah menghilang. Aku juga tidak pernah pulang bersama dia. Dia tidak suka aku berada dalam mobilnya, ingat? Orang rumah tidak akan tahu aku tidak pulang bersama Sasuke karena mereka masih di tempat kerja ketika kami pulang sekolah.
Tadi Itachi-nii menelepon, katanya dia ada pekerjaan mendadak yang harus diselesaikan segera, jadi dia tidak bisa menjemputku. Yah, aku pasrah saja. Aku tidak boleh bertindak egois kepada orang yang sudah berbaik hati padaku.
Karena hujan tidak kunjung reda, akhirnya aku putuskan untuk menerobos hujan. Dulu sekali, ketika aku masih kecil dan kehidupanku masih berjalan indah, aku dan Sasuke sering bermain hujan seperti ini. Tapi sekarang, semuanya sudah berubah.
Semenjak kejadian itu…
Ku hela napasku, lalu aku berlari lebih kencang. Ketika aku akan menyeberang, sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi hampir menabrakku. Aku katakan hampir, karena ada yang menarikku dari belakang.
Ku tolehkan kepalaku untuk berterima kasih, dan mataku membola melihat siapa yang menarikku.
Hyuuga Neji.
"Uummm, terima kasih sudah menolongku." Aku membungkukkan badan berterima kasih, tapi aku tidak berani balas memandang matanya yang menatapku tajam.
"Ya." Ucapnya datar. "Aku tidak menyangka kau sebodoh itu sampai tidak tahu caranya menyeberang jalan."
Kata-katanya benar-benar menusuk. Udara dingin dari air hujan yang membasahi seluruh tubuhku masih kalah dingin jika dibandingkan dengan tatapan dan nada bicaranya padaku.
"Maaf, Neji. A-aku tidak bermaksud menerobos─"
Aku tidak meneruskan kalimatku, karena Neji menarik tanganku─menggenggam kalau boleh aku bilang begitu, menuju ke mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempat kami berdiri.
Aku mulai panik, berusaha melepaskan genggaman tangannya yang entah mengapa semakin menguat. "Err... Neji, kita mau kemana?" tanyaku gugup. Berbagai hal buruk muncul di otakku─hei, dia ini salah satu gengnya Sasuke, ingat?
Dia berhenti ketika akan membukakan pintu mobilnya untukku. "Diam, dan masuklah." Ujarnya, masih datar dan dingin. Aku mengernyit, hendak membuka mulutku tapi dia membuatku bungkam dengan kata-katanya yang penuh penekanan. "Masuk.
Aku meneguk ludah, dan mau tidak mau aku masuk ke mobilnya. Ya tuhan, semoga tidak ada hal buruk yang terjadi padaku.
Di dalam mobil, Neji hanya diam sambil memandang lurus ke jalanan. Aku duduk dengan gelisah, masalahnya aku membuat jok mobil mahalnya ini basah. Meskipun dia juga kebasahan meskipun tidak separah aku, tapi ini kan mobilnya!
Pikiran buruk yang aku pikirkan buyar ketika aku mengenali jalanan ini. Sangat familiar. Eh? Ini kan jalan menuju ke rumah? Dan benar saja, mobil ini berhenti tepat di depan rumah keluarga Uchiha.
"Sudah sampai." Kata Neji.
Aku tergeragap, "I-i-iya. Aku tidak tahu kalau kau mengantarku sampai ke rumah. Maaf, eh, Terima kasih." Aku menggigit bibirku, kata-kataku jadi belepotan karena ketakutan. "Maaf jok mobilmu jadi basah."
"Ya, tidak masalah. Sekarang masuklah ke dalam rumah. Pastikan kau segera mandi, lalu minum atau makan sesuatu yang hangat. Mengerti?"
Aku melongo. Apa tidak salah dia menasehatiku seperti itu?
Ku pandangi seperti itu, Neji merengut. "Apa?" katanya sedikit ketus.
Aku buru-buru menggeleng. "A-ah, tidak. Sekali lagi terima kasih, Neji. Sampai jumpa besok." Kataku, lalu keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah. Ah, mobil Sasuke sudah terparkir di garasi, sepertinya dia sudah pulang.
Ketika aku masuk ke dalam rumah, pelayan di rumah itu, Ayame segera mendatangiku dan memberikan sebuah handuk kering. "Ya ampun, Naruto, kenapa pulang basah-basahan begini?"
Aku tersenyum, "Tidak apa, Ayame. Aku hanya ingin mengenang masa kecilku sambil bermain hujan." Ayame geleng-geleng kepala mendengar jawabanku. Ayame memang memanggilku dengan namaku saja, tanpa embel-embel sama seperti yang lain, memang aku yang memintanya.
"Dobe," panggil seseorang dari lantai atas, membuatku mendongak mencari asal suara. "Masuk ke kamarku setelah ini. Aku harus bicara denganmu." katanya lagi, menekan pada kata 'bicara', yang aku tahu artinya apa. Dia berdiri angkuh, kedua tangannya berada dalam saku celana. Matanya memandang tajam seolah menusukku. Yah, dia memang selalu begitu sih.
Dari mana sih mereka belajar tatapan mata mengerikan begitu? Hari ini aku sudah mendapatkan pelototan dari banyak orang. Pertama di bis, kedua, orang-orang yang menghajarku tadi, ketiga, Neji, lalu sekarang, Sasuke.
"Baiklah, Sasuke. Tapi aku mau ganti baju dulu, pakaianku basah semua." Kataku.
Sasuke masuk kembali ke dalam kamar. Di rumah, dia memang tidak macam-macam. Tapi jika tidak ada orang melihat─di dalam kamar, misalnya─dia akan menyiksaku dengan pukulan, tendangan, atau makian.
Setelah aku mandi dan berganti pakaian aku mengetuk pintu kamar Sasuke. Setelah mendapat persetujuan masuk dari si empunya kamar, aku masuk perlahan ke dalam sana.
Ku lihat Sasuke duduk di atas ranjang. Topless.
Memperlihatkan ototnya yang terlatih dan kulitnya yang putih. Membuatku iri saja, aku kurus dan rata begini, kulitku juga kecokelatan. Bicara tentang topless, apa dia tidak kedinginan? Di luar kan sedang hujan deras?
"Ada apa Sasuke?" tanyaku, berdiri kaku setelah menutup pintu. "Kenapa kau tidak pakai baju? Apa kau tidak kedinginan?"
Sasuke tidak menjawab, dia menghampiriku. Bulu kudukku meremang ketika Sasuke mendorongku perlahan, menghimpitku di pintu dengan dia berdiri di depanku, kedua tangannya memerangkapku sehingga aku tidak bisa kabur. Adegannya mirip perempuan yang mau diperkosa. Tapi aku kan laki-laki, bagaimana bisa diperkosa.
"Tidak akan kedinginan, karena ada kau yang akan membuatku hangat." Katanya, sambil menyeringai. Aku mengerutkan keningku, menghangatkan dia? Memangnya aku kompor?
"Huh? Apa maksudmu, Sasuke?"
.
.
.
TBC
.
.
.
Hallooo, semuanya. Saya adalah author baru. Lagi pengen bikin fic nih, setelah bertahun-tahun saya jadi reader. Maaf kalau ceritanya kurang bagus, karena memang saya baru, dan masih perlu belajar.
Disini SasuNaru-nya masih sedikit, tapi kedepannya SasuNaru saya usahakan lebih banyak lagi.
Oh iya, cerita ini hanya fiktif dan tidak ada maksud untuk mendukung penindasan, karena saya sendiri juga pernah ditindas sama teman sekelas dulu, tapi saya melawan bahkan sampai berkelahi dan orang tua dipanggil, jadinya dia menyerah. Buat yang sering ditindas, melaporlah, karena kalau didiamkan apalagi hanya menangis, mereka akan semakin bahagia dan menjadi-jadi. Setidaknya tunjukkan kalian bukan orang lemah. Tapi jangan ikuti cara saya, cara saya untuk membuat orang tua tahu itu salah (berkelahi).
Jadi saya ingatkan buat reader sekalian untuk tidak melakukan praktek bully di sekolah ataupun tempat lain ya! Kasihan mereka. Sesama manusia, rasanya tidak pantas kalau saling menindas, setuju?
Apakah cerita ini layak untuk saya lanjutkan?
RnR, please?