Mellifluous Chansonnette
{ Prelude }
Hetalia – Axis Powers © Hidekaz Himaruya. Tidak ada keuntungan material apapun yang didapat dari pembuatan karya ini. Ditulis hanya untuk hiburan dan berbagi kesenangan semata.
Pairing: America/Belarus, slight!Canada/Ukraine. Genre: Hurt/Comfort/Romance, Rating: T. Other notes: historical references, political stuffs, post-cold war era.
(Pasca perang dingin, Alfred menambah aliansi. Mengetuk rumah kecil berteras penuh salju untuk memberikan sebuket bunga matahari, "Selamat datang di dunia internasional, Belarus—Natalya.".)
Matthew tahu banyak tentang Alfred. Tentang kehidupannya, caranya bersikap, bahkan cara berjalan. Matthew juga tahu soal tertawanya Alfred. Senyumnya, terlebih.
Dan ketika mereka sedang bersama-sama menikmati panekuk bersaus maple—dan saus cokelat untuk Alfred—di salah satu rumah milik Alfred di Iowa, Matthew tahu, senyuman Alfred ketika menonton televisi memiliki banyak maksud.
Tentu saja.
Itu berita tentang penandatangan naskah sah bubarnya Soviet, omong-omong.
Matthew tidak mengerti apa yang Alfred cari dari dirinya—walau, yah, dia bersyukur akan itu—bukan Washington,Texas, atau negara bagian lainnya. karena Alfred yang tidak pernah betah sendiri itu paling sering mengajaknya bertemu. Mungkin ikatan saudara lebih berharga bagi Alfred daripada ikatan dengan para negara bagian. Padahal, Matthew pendiam dan dirinya tahu itu. Bisa jadi Alfred memang hanya butuh telinga dan bukan para negara bagiannya yang juga sama-sama ribut.
Seperti saat ini. Di rumah milik mereka bersama tak jauh dari Niagara, perbatasan antara Kanada dan Amerika Serikat, Alfred mengajak Matthew menginap.
(Heyyy, Matt, rumah yang itu lama tidak ditinggali! Ayo adakan pesta menginap di sana!)
Dan Matthew hanya mengiyakan. Tidak ada hal yang buruk tentang itu. Alfred datang terlebih dahulu dan langsung menyambut Matthew dengan begitu agresif dan lincah, seakan mereka tak pernah bertemu bertahun-tahun.
Lalu, mulailah Matthew curiga ada sesuatu. Entahlah, cuma perasaan saja, mungkin.
Atau naluri antarsaudara.
Walau, Matthew tidak bisa membuktikan itu pada awalnya.
Malam itu, mereka memanggang daging dan membuat cokelat panas setelahnya. Tak lupa panekuk. Persetan dengan diet, kata Alfred, karena liburan bersama saudara tanpa pekerjaan-pekerjaan administrasi merepotkan itu begitu mubazir jika dihabiskan tanpa makan-makan.
"Ini cokelatmu, Matt," Alfred menyerahkan satu mug pada Matthew yang duduk kekenyangan di sofa.
Alfred masih berdiri sambil menyeruput minumannya. Matthew memindah-mindah kanal televisi. Alfred langsung berhenti menenggak dan refleks berucap, setengah berteriak, "Stop, stop! Yang tadi, yang tadi!"
"Yang mana ...?"
"Berita, berita!"
Matthew paham, dan segera kembali ke kanal yang dimaksud. Tetapi sayangnya, cuplikan berita internasional itu sudah sampai di akhir dan hanya menyisakan kata 'eks-Soviet', 'perdagangan', dan 'negara baru'—setidaknya hanya itulah yang berhasil ditangkap Alfred.
Laki-laki itu tersenyum miring. Lalu duduk di sudut sofa yang berbeda dengan Matthew. Dia meminum cokelatnya lagi. "Well, Matt, memang tidak ada kekuasaan yang abadi, ya?"
Matthew melirik.
"Ha ha ha, aku jadi ingat masa-masa awal Perang Dingin," Alfred tertawa puas, Matthew menemukan kilat yang aneh di dalam mata Alfred. "Percaya diri tinggi. Arogansi. Blok Timur. Ha. Kepentinganlah yang abadi, bukan persatuan."
Matthew memeluk beruangnya yang sedang tidur dengan lebih erat. Ada banyak hal yang ditakutkan, semuanya tiba-tiba merebak dan membuatnya ingin menjelma menjadi manusia biasa saja. Yang tak perlu bertahan berabad-abad hanya untuk menyaksikan kerusakan. Manusia suka hidup lama, dan menginginkannya, karena mereka ingin mengalami banyak hal—tapi Matthew rasa kehidupannya tak semudah menonton belaka. Ada perang dan pertarungan serta pertukaran yang tak gampang untuk ditangani. Manusia bisa lari dari itu, tetapi mereka tidak. Dan perkataan Alfred menyadarkannya, bahwa perdamaian tak mungkin datang begitu saja dengan mudah di dekade terakhir abad kedua puluh ini. Pasti ada hal lain, lain, lain dan lainnya, meskipu era Perang Dingin telah selesai.
"Yah, Matt, apa yang akan kaulakukan setelah ini?"
"... Eh?"
"Ya. Setelah ini. Ada banyak negara merdeka setelah ini. Tidak berminat?"
"Um ... mungkin aku hanya akan mengikuti langkahmu. Kau?"
Alfred tertawa keras. Sedikit sinis. "Oh ayolah, seperti aku tidak tahu saja bahwa kau sudah melakukan sesuatu duluan terhadap Ukraine."
"E-eh, itu ..." Matthew tertunduk, wajahnya yang merah berusaha dia sembunyikan di balik kepala Kumajirou. "Ya ... aku sudah melakukannya, dan dia berjanji akan berkunjung ke sini akhir musim dingin nanti. Mengakui kedaulatan orang lain adalah hal yang baik, 'kan, Al?" dia menoleh sedikit, berbisik disertai dengan mata menatap kosong.
"Well done, Kawan," Alfred menepuk-nepuk punggung Matthew keras. Kumajirou membuka matanya namun segera menutupnya kembali. "Dan aku akan segera mengambil tindakan juga. Sebelum si Commie sialan itu sempat menguasai lebih banyak hal setelah runtuhnya kejayaannya. Daerahnya potensial akan nuklir dan sumber daya, hm? " Alfred tersenyum bangga.
"Apa ... hanya itu motifmu?"
Alis Alfred terangkat, "Ha, memangnya kau tidak berpikir seperti itu pada Ukraine? Uh-oh, Matt, pilihanmu bagus sekali. Ehm—komoditi pertaniannya—sangat potensial, kalau kau melihat negaranya. Dan aku belum berbicara soal ehm, tubuhnya."
Merah wajah Matthew makin parah dan dia sampai menekan separuh wajahnya di kepala si beruang putih, dan beruang itu pun akhirnya benar-benar bangun dan kelihatan linglung. "Aku ... cuma mengakui dia sebagai orang—eh, maksudku negara—yang bebas dan mandiri. Dan berhak mengatur hidupnya sendiri ... cuma itu ..."
"Aaha ha ha ha, seperti inilah yang diharapkan dari seorang saudara yang polos," Alfred menyilangkan kakinya dan bersandar miring pada punggung sofa.
"Kau, Al?"
"Ya. Aku mengincar salah satu. Tapi bukan hanya untuk sumber dayanya semata, tenang saja."
"Lalu ...?"
"Ingin kubuktikan pada Ivan bahwa aku juga punya cukup banyak kekuatan untuk menjadi tempat bersandar para mantan bawahannya atau bahkan saudara-saudaranya. Ha. Ha."
Matthew menarik napas. Kadang-kadang, sisi kedua dari Alfred memang membuatnya sedikit takut. "Belarus, kah?"
Alfred mengangguk cepat. "Natalya Arlovskaya. Targetku berikutnya," Alfred membentuk jari-jarinya seperti sebuah pistol. Lalu dia menembakkannya, dan meniup ujung-ujung jarinya. "Mungkin agak sulit, karena dia yang paling obsesif dan posesif pada kakak laki-lakinya. Tetapi, tenang saja, keberhasilan ada karena kemauan."
Alfred menghabiskan cokelatnya, lalu pergi ke dapur. Melakukan sesuatu di pantri, tetapi Matthew tak terlalu mempedulikannya. Acara dokumentasi tentang seekor beruang Grizzly dan anak-anaknya sedang ditayangkan, tetapi dia terlalu sibuk untuk memperhatikan hal-hal detil. Termasuk memikirkan kata-kata Alfred tadi. Dia punya negara sendiri untuk diurus, dan tentu saja, dia tak perlu repot-repot mengawal Alfred karena dia sendiri dan Ukraine pun punya banyak hal untuk dibereskan bersama secara diplomatik.
Malam itu, malam terakhir dari liburan mereka di dekat Niagara, Alfred pulang terlambat.
"Dari mana saja?" Matthew bertanya, dengan semangkuk salad di tangan. Masih ada banyak sisa, dan ia merasa harus kembali lagi ke dapur untuk mengambilkan mangkuk terpisah untuk Alfred.
"Pennsylvania lama sekali. Tapi untunglah dia menepati janjinya, ho ho."
"Kau ke rumahnya ...? Kau meminta tolong soal sesuatu padanya?"
"Iya," Alfred melemparkan benda yang ia keluarkan dari saku bagian dalam mantel musim dinginnya ke atas meja dan benda itu hampir jadi berhamburan.
"Tiket dan paspor? Kau akan pergi ke mana?"
Alfred menyeringai kecil. "Maaf, Natal kali ini akan kuhabiskan di luar Amerika Serikat. Aku ingin memberikan kado spesial untuk seseorang."
Matthew kelihatan terkejut.
"Matt, sesuatu yang baik harus diawali dari sesuatu yang baik juga, 'kan?"
Tak susah menemukan rumah tempat dia akan bertamu.
(FBI, ingat? Negara dengan sistem pencari informasi tercanggih takkan sulit menggali data dari negara lain dengan cara yang rapi.)
Alfred mengancingkan mantel terluarnya. Demi Tuhan, ini sudah mantel lapis kedua setelah di dalamnya dia memakai tiga kaos dengan ketebalan berbeda. Soal suhu, Eropa Timur ini memang tak pernah bisa diajaknya berdamai. Kanada mungkin memang kurang lebih sama, tapi berterimakasihlah pada saudaranya karena Matthew yang tahu dirinya tak terlalu suka dingin lebih sering mengajaknya ke Toronto saja, di mana semuanya terasa lebih hangat.
Dia membunyikan bel. Sambil memperhatikan rumah. Tidak ada dekorasi apa-apa. Oh, iya, dia ingat. Ortodoks. Belarus mungkin masih akan mengikuti tradisi kakaknya, memperingati Natal pada Januari bulan depan.
Pada bunyi ketiga, barulah pintu dibukakan.
"Hai."
Natalya tampak terkejut dan mundur serta menyembunyikan separuh tubuhnya di balik pintu. Alfred terkekeh.
"Tidak apa-apa kalau kau tidak mau mengajakku masuk. Aku cuma," Alfred pun mengeluarkan tangannya yang sedari pintu dibuka terus bersembunyi di balik punggungnya. "Terima ini, ya. Mari bersahabat mulai dari sekarang."
Sebuket bunga matahari akhirnya berhasil menarik Natalya keluar. Dia bergantian memandang mata Alfred dan buket bunga itu. Tangannya sempat bergerak, namun karena ragu dia menariknya kembali. Alfred tertawa kembali, lalu dia menarik tangan kanan Natalya, membuka jari-jarinya dan menaruh bunga itu di sana, lalu merapatkan jemari Natalya kembali di tangkai buket itu, dengan hati-hati dan lembut sekali.
"Selamat atas kemerdekaanmu, Рэспубліка Беларусь."
"Terima ... kasih," Natalya masih ragu, tapi dia mencoba untuk membalas tatapan Alfred.
Alfred memasukkan kedua tangannya ke saku mantel, dan mengangkat bahu. "Yah, kurasa aku hanya ingin menyampaikan itu. Mulai dari sekarang, kau bisa meminta tolong padaku kapan saja kau mau. Tentang negaramu, tentang pribadimu, semua tentang masalahmu. Kita teman, 'kan? Dan kurasa teman dan teman tidak perlu sungkan satu sama lain."
Natalya cuma mengangguk. Sedikit. Sedikit lagi dia terlihat yakin. Andai saja dia berani lebih tegas lagi.
"Baik, Nat—eh, maksudku, Belarus ... sampai sini saja. Aku akan kembali—ehm—" Alfred belum mau pergi, sebenarnya, tetapi ya sudahlah, dia tak akan memaksakan kehendaknya terlalu ngotot di permulaan yang seharusnya baik. "—ke hotelku."
Diinginkan namun tak diprediksi Alfred, Natalya melebarkan pintu. "Masuklah."
Alfred tersenyum cerah. Dengan tak sabar dia melepaskan sepatu dan melemparkannya begitu saja di dekat pintu tanpa mau repot-repot meletakkannya di dalam ruangan. Masa bodoh dengan hujan salju dadakan. Lalu dia masuk dan ternyata Natalya meninggalkannya ke dapur.
Ruangan itu seperti interior rumah biasa. Tak banyak perabot, tak banyak pajangan, dan tak juga ada hal mencolok yang bisa menarik perhatian Alfred. Semuanya biasa saja. Hanya ada satu foto di sana—Stanislav Shushkevich, dan piguranya pun amat sederhana. Mungkin Piagam Belavezha begitu berarti untuk Belarus sampai-sampai dia menyimpan wajah pemimpinnya yang menandatanganinya. Di tempat khusus yang tak biasanya dia jadikan area memajang.
Uh-oh, ada bendera merah-hijau kecil di samping foto. Dan Alfred tersenyum. Ah, wanita ini ...
Alfred telah menyaksikan banyak negara yang merdeka, dan kelihatan begitu mantap melangkah di depan dunia setelah perang terjadi. Indonesia, Malaysia, India, Filipina, negara-negara Afrika, mereka semua membuat Alfred, yang mengakui dirinya sendiri sebagai simbol kebebasan, turut bahagia dan bisa tertawa puas. Tetapi untuk kali ini, khusus untuk Natalya, dia merasa bangga dan tersentuh. Ikut senang namun sedikit khawatir. Ingin merangkulnya tetapi juga takut dia hancur ketika dirinya menyentuhnya.
Ow, kompleks. Alfred tak pernah merasa seribet ini. Dia mencoba memakai topeng kembali ketika Natalya datang membawa aroma cokelat.
"Minumlah."
"Terima kasih! Aaah, nikmat sekali kelihatannya!" Alfred langsung menyeruputnya dengan bersemangat, tetapi langsung refleks ber-'pfuih! Pfuih!' ria ketika cokelat itu menyentuh lidahnya. Sangat panas! "Maaf, maaf, aku tidak sadar! Aduh bukannya cokelatnya tidak enak, Nat—Belarus, maksudku! Ini enak ta-ta-tapi, uwaaah, panasnya! Aku harus lebih hati-hati!" dia menurunkan cangkir itu.
Alfred bertaruh dia sempat melihat sudut bibir Natalya tertarik ke atas dan ada suara seperti sepotong gelak yang ditahan.
Lelaki itu minum sambil tersenyum dan mendelik, mengintip dari sudut cangkir.
Tidak ada satu hal pun yang dibicarakan, dengan lidah Alfred yang masih cedera dan Natalya yang terlalu pendiam dan mungkin telah menemukan dunia lain di dalam jalinan antarbenang di rok birunya. Alfred juga tak tahu apa yang harus dia katakan. Seribu ide yang biasanya mencuat di kepalanya setiap kali berhadapan dengan orang lain saat ini mengasingkan diri entah ke mana. Dan dia mengutuk mereka, karena tidak hadir di waktu yang tepat.
"Uhm ... Belarus."
Mata bertemu mata. Alfred mencukupkan isyarat itu.
"Aku akan segera membuka kantor kedutaan besar di Minsk. Para pemimpin kita akan segera mendiskusikan ini, berikut pula dengan kerja sama lainnya. Dan selamat datang di dunia internasional, di mana kau telah benar-benar mandiri."
"Uhm."
Sekali lagi menenggak cokelatnya, Alfred pun menggosokkan tangan di atas pahanya, bersiap untuk berdiri. "Kurasa cukup," ia bangkit. "Terima kasih sudah menerimaku. Dan aku menunggu kabar baik darimu. Senang bisa bertemu denganmu. Semoga sukses."
"Terima kasih kedatangannya, America. Aku mengapresiasinya."
Hanya kalimat itu yang mengantarkan Alfred sampai ia pulang dan meninggalkan blok rumah Natalya.
Tetapi dia tak menginginkan lebih lagi. Setidaknya untuk saat ini.
Tahun baru bukan waktu yang tenang untuk Alfred. Libur tahun baru hanya dia dapatkan sampai tanggal dua Januari dan setelahnya berarti kesibukan yang meraja. Oh Tuhan, dia masih cinta kasur dan kalkun panggang buatan Matt!
Walau dia masih kepikiran soal Belarus dan kemerdekaannya serta janji dirinya ... masih ada banya kesibukan dalam negeri yang tak bisa dinomorduakan. Dia bekerja sampai lupa waktu dan bahkan tidak sadar bahwa dia telah menolak telepon Matthew dari telepon di ruang kerjanya sebanyak lebih dari lima kali.
Baru dia sadari setengah jam setelah panggilan terakhir.
Di saat-saat seperti ini dia tak boleh mengabaikan panggilan, tentu saja, dan dia bertekad untuk mengangkatnya jika telepon itu berdering lagi.
Tepat.
"Ya, dengan America di sini! Ada yang bisa kubantu?"
"Al ..."
"Ohooo, Matt! Hei, hei, heeei, ada apa? Aku sedang sibuk, sih, tetapi sambil bertelepon denganmu bukanlah hal yang mengganggu. Yo, ada hal yang gawat?"
"Aa ... maaf sudah mengganggumu ... tapi ... tadi aku baru saja bertemu dengan Kat—maksudku Ukraine ..."
"OOOH?! Whooaaa! Dan, dan, dan bagaimana? Pembicaraan kalian sudah sampai mana? Kerja sama apa saja yang dilakukan? Apa kau juga membawanya ke kamar?"
"Al ..."
"Oha ha ha ha~! Iyaaa, iya, aku pahaaam, pahaam, itu urusan kalian, ha ha! Nah, oke, sekarang ... apa yang kalian bicarakan?"
"Ini soal adiknya Kat ..."
Mata Alfred membulat dan mulutnya tak bisa tertutup untuk beberapa saat ketika mendengar cerita Matthew.
Seandainya ada Matthew di sini, kerah kemejanya pasti akan dicekik Alfred.
Matt, bajuku sudah rapi, belum? Katakan, katakan! Bagaimana, bagaimana? Ha?! Rapi, tidak?
Dan sejenisnya.
Dan sekarang, telah lewat lima menit dari jam perjanjian, Alfred mulai bolak-balik cermin-sofa untuk memastikan bahwa dia layak untuk menyambut. Alfred tak peduli pada keanehan diri yang memang disadarinya sejak awal—karena baginya penyambutan tamu penting ini lebih diperlukan ketimbang memikirkan perubahan drastis yang tak perlu penilaian (—hanya butuh pemakluman).
Saat dia membenarkan dasi merahnya, bel berbunyi. Dia menyambar pintu seperti Flash. Jika seorang sutradara melihatnya dia pasti akan direkrut untuk menjadi bintang film superhero berikutnya. Lekas-lekas dia lebarkan pintu dan ...
"Selamat datang, Natal—maksudku, Belarus!"
Dia datang hanya dengan mantel hitam dan boots abu-abu. Sebuah koper kecil dan tas tangan yang kelihatannya amat ringan. Sebuah buku di pelukan, juga. Dia mengangkat alis karena melihat formalitas Alfred, namun lekas-lekas dia abaikan. Tak penting, mungkin dia baru pulang rapat, dan gadis itu kemudian berucap, "Panggil saja seperti itu."
"Ah, boleh—?!"
Natalya cuma mengangguk.
"Aaaa, kau teman yang sangat baik sekali, oke, oke, sini, masuk!" Alfred menggapai punggung Natalya dan mendorongnya masuk. Sempat tertahan sebentar di bingkai pintu karena Natalya melepaskan sepatunya—namun Alfred tetap terlihat tak sabar. "Berapa hari kau berencana untuk tinggal?"
Mata mereka beradu. Alfred menahan napasnya sebentar. Tuhan, apa matanya bisa mengeluarkan kekuatan magis ala alien dan dia bisa berkomunikasi lewat mata? Nampaknya Alfred harus menyalahkan marathon film superhero yang dilakukannya tadi malam.
"Tak terbatas."
Alfred tercekat, dengan wajah menunjukkan senyum yang membeku dengan lebarnya.
Natalya menundukkan kepala sedikit, "Mohon bantuannya."
Alfred masih tercengang.
"Kalau kau keberatan, aku bisa memperpendeknya—"
"Yahooo! Tentu saja tidak, Nat, tentu saja tidak!" Alfred mengacak-acak rambut Natalya, "Jangan khawatir! Aku tidak akan keberatan! Tetaplah tinggal di sini sampai kapanpun kaumau! Sampai kau merasa bosan, kalau perlu sampai dunia kiamat! Woo-hoo, Amerika Serikat senang menyambut para tamu dan teman-teman yang mau bekerja sama dengan baik! Karena kami menyukai kebebasan, termasuk kebebasan untuk berteman dan memilih siapa saja yang kaumau!" Alfred terkekeh jahil lalu menggenggam kedua tangan Natalya dengan tangannya, "Selamat bergabung di duniaku, Nona."
Natalya tidak menjawab sama sekali, dan senyuman juga tak dia tampakkan. Dia hanya mengangguk.
Tetapi Alfred berhasil berteriak keras di dalam hatinya,
Satu-kosong, Russia. Dan ini adik kesayanganmu.
Lalu ketika dia ingat bahwa Ukraine, kakak Russia, telah menjalin hubungan diplomatik yang sangat sehat—ehm, sedikit mencurigakan bagi Alfred—dengan Canada, Alfred belum pernah ingin tertawa sekeras ini.
Dua-kosong. Mampus kau, Ivan.
Jangan bertanya siapa yang memasakkan makan malam yang super kaya akan menu ini. Karena dia pasti akan menyumpal mulutmu dan tidak akan membiarkan Natalya mengetahuinya, dan tetap memainkan drama di mana dialah sang koki handal yang menyiapkan seluruh masakan.
(Tanpa membeberkan bahwa North Carolina baru saja pulang dari rumahnya dengan dompet yang menebal penuh uang baru.)
Natalya makan dengan tabble manner seperti yang disangka Alfred. Sedikit kaku, namun tangannya begitu lihai memainkan pisau ketika memotong bistik. Ada gosip yang beredar bahwa gadis itu selalu menyimpan pisau lebih dari tiga buah di dalam tubuhnya, sebagai alat berjaga-jaga karena daerah negaranya begitu menyeramkan—dan katanya rasa waspadanya yang kelewat tinggi itu karena trauma masa lalunya. Entah karena era ekspansi Mongol, Oktober Berdarah, atau Perang Dunia Kedua, Alfred belum bisa menebak.
Yang jelas, dia menikmati makan malam ini.
Satu aliansi baru telah terbentuk kokoh. Dia merasa semakin kuat dengan statusnya sebagai negara adidaya. Runtuhnya Soviet saja sudah membuatnya tertawa, apalagi dengan bergabungnya eks-Soviet ke kubunya, bagaimana dia bisa tertawa pelan? Tidak akan. Walau Natalya bungkam sepanjang acara jamuan sederhana ini, dia sudah cukup puas dengan kenyataan.
Ada asisten yang sesekali dipanggil Alfred ke rumahnya untuk beres-beres. Dia datang di waktu yang tepat, dan Natalya yang menawarkan diri untuk beres-beres pun langsung ditolak Alfred, "Kita bersantai saja," katanya, murah hati dan murah senyum sekali Alfred malam itu.
Alfred berharap sebuah malam yang menyenangkan dengan obrolan mengenai rahasia-rahasia Soviet dan strategi-strategi ala negara baru yang siap dia bantu, tetapi Natalya langsung pergi ke kamar dan menutup pintunya sebelum Alfred sempat meminta.
Alfred menatap cermin kecil di ruang tengah. Dia masih tersenyum.
Tidak apa.
Laki-laki itu kemudian melepaskan jasnya. Tak dirasanya sia-sia memakai itu, walau mungkin Natalya tak memperhatikannya sama sekali.
Sepertinya sekarang waktu yang tepat untuk menelepon Matthew dan menceritakan kesan pertama. Dia baru saja mengangkat gagang teleponnya ketika dia melihat Natalya turun. Ia tidak jadi menelepon.
Uh-oh, gadis itu sudah berganti piyama. Dia punya jam malam yang sangat ketat, rupanya.
"Sudah mau tidur, Nat?"
"Tidak. Aku biasa membaca buku dulu sebelum tidur."
"Aku punya banyak koleksi buku," Alfred menggosokkan tangannya antusias. Lantas mendekati Natalya. "Kau bisa meminjamnya kapan saja, tanpa perlu izinku untuk memasuki ruangannya. Ruangannya ada di ujung sebelah barat lantai kedua. "Kaubisa berbahasa Prancis? Ada banyak buku bagus dengan bahasa itu."
"Sedikit," Natalya mengangkat bahu. "Aku tidak yakin dengan kemampuanku sendiri."
Cukup mengejutkan wanita yang selama ini tinggal dalam isolasi tahu bahasa asing, terlebih yang menggunakan huruf berbeda. Alfred semakin tertarik dengan masa lalunya. Gadis perenung yang kutu buku juga rupanya dia.
"Kaumau apa? Minum? Biar kuambilkan."
"Aku akan mengambilnya sendiri."
Natalya berlalu begitu saja. Alfred mulai merasa dia sudah terbiasa. Dia berdiri menatap dengan puas, sampai Natalya kembali lagi. Wanita itu berdiri di hadapannya dengan segelas besar air putih. Lama. Alfred bingung, namun mencoba tertawa.
"A-ada apa, Nat?"
Lalu bagian lain dirinya terkekeh licik. Sejak kapan terbata-bata adalah bagian baru dari dirinya?
"Bukankah seorang kakak biasanya mengucapkan selamat malam untuk adiknya?"
Hening.
KAKAK?!
Tetapi Alfred tetap melakukannya, walau sambil tertawa tak bisa menahan gejolak di dalam perutnya. Lucu, lucu, ini lucu, dan mengejutkan. Lalu dia mempertanyakan selera humornya, sesaat. "Selamat malam, Natalya," dia mengacak rambut wanita itu.
Alfred merasa baru memulai segalanya.
Kesibukan sudah dimulai. Banyak perjalanan luar negeri yang harus dilakukan. Dan Alfred harus menunda semua hasratnya untuk membongkar banyak hal dari Natalya dan masa lalunya.
Natalya tak berkata banyak ketika dia bilang dia punya banyak jadwal yang beruntun. Alih-alih, wanita itu juga minta izin untuk pergi sesekali. Karena ada banyak urusan yang tak bisa diselesaikan secara tak langsung dari Washington D.C., dan ia harus sekali-sekali terbang ke Minsk.
Mereka bersatu, tetapi berpisah.
Alfred menahan dirinya.
Natalya selalu ada di rumah setiap kali dia pulang dari sebuah pertemuan atau dari perjalanan luar negeri. Kadang-kadang ada secangkir minuman di meja tepat setelah dia selesai mandi, kadang-kadang tidak. Sesekali Natalya tidak terlihat peduli ketika dia datang dan hanya berlalu dengan cuek, namun tak jarang juga dia seolah menanti dengan duduk berjam-jam di ruang tamu dengan tiga buku tebal di atas meja, menanti giliran untuk dibaca.
Matthew berkata bahwa Natalya datang ke sini hanya untuk meminta lebih banyak bantuan untuk negaranya. Dia butuh banyak pembenahan setelah isolasi sekian tahun. Matthew dengan pelan juga berkata bahwa lebih dari lima puluh persen niat Natalya untuk 'menyerahkan dirinya' pada Alfred agar Alfred mau membantu negaranya lebih banyak lagi adalah karena dorongan Ukraine. Tetapi lama kelamaan Alfred mulai berpikir bahwa Natalya juga punya motifnya sendiri.
Entah apa itu. Alfred hanya mencoba waspada.
Atau ... motifnya hanya karena dia benar-benar ingin mengabdi?
Mendengar batinnya berkata hal itu Alfred hanya tergelak lepas di depan cermin kamar. Sejak sistem politik diciptakan, selalu ada maksud terselubung. Dunia tak secantik pelangi. Tak semua bagian bumi seindah nirwana. Sebuah gua kotor yang gelap lembab dan berbau bisa saja berada di bawah sebuah padang bunga yang benar-benar dicintai manusia.
Dia turun dari kamarnya. Namun beberapa macam makanan yang tersaji di atas meja membuatnya mengabaikan sesaat soal padang bunga dan gua berbau barusan. Dia ingat, dia sama sekali belum memanggil asistennya hari ini, dan itu artinya menemukan jawabannya semudah menggerakkan bola mata.
Natalya datang dari dapur dengan dua piring porselen putih yang bersih. Matanya bersirobok dengan Alfred.
"Ini ... semua ... kau ...?" Alfred bertahan di anak tangga terbawah.
Natalya mengangguk.
"Wohooo! Kaubisa memasak?" Alfred dengan cepat menuju meja makan, dan menarik kursi yang paling dekat dengan sepiring besar olahan daging panggang yang dihiasi banyak selada. "Serius, aku tidak menyangka!"
"Kakak."
"Ukraine?"
"Hn," Natalya mengambil tempat tepat di seberang Alfred. "Dia mengajariku banyak olahan. Masakanku memang tidak seenak miliknya, tapi setidaknya ini bukan kali pertamaku."
Alfred tertawa kecil. "Well done, Nat. Aku suka ini."
Laki-laki itu mengambil potongan besar daging dan banyak kentang goreng. Natalya juga menggoreng ikan—sepertinya tuna—lalu Alfred juga melirik dua macam kue yang diletakkan di sudut. Ini benar-benar makan besar, apalagi jika dihitung dengan puding buah besar yang sudah menunggu di dekat piring Natalya.
Sambil memotong ikannya, Alfred berbicara. Dia tak suka basa-basi, sudah banyak yang tahu. "Kau meminta tambahan bantuan keuangan, penjagaan dari FBI di negaramu, atau mungkin beberapa tambahan bisnis bawah tanah?" Alfred mengangkat pandangan sebentar, kilat aneh tersirat dari balik kacamatanya. "Katakan saja."
Natalya balas menatap. Dingin dan tajam. Alfred sempat tersentak dan menahan kunyahannya. Mata Elang Nevada yang tadi menyelidik kalah sesaat dari hardikan tatapan Macan Siberia.
"Aku tahu kausuka main kotor, tapi setidaknya kau tak perlu memandang semuanya kotor, Alfred Fitzgerald Jones."
"Ow, ow, ow, santai, santai, ha ha," Alfred mengiris daging. Wajahnya lebih tenang sedikit sekarang. "Karena zaman sekarang, apapun dilakukan untuk kepentingan."
Bunyi garpu dan pisau beradu dengan piring. Begitu Alfred mengangkat kepala, Natalya telah berdiri.
"Bagaimana kalau kukatakan bahwa kepentinganku adalah berterima kasih dan menyambutmu?"
Alfred membuka mulutnya namun Natalya telah pergi meninggalkan meja.
Dan bunyi pintu yang ditutup keras-keras lalu dikunci rapat akhirnya membuat Alfred menyimpulkan beberapa hal. 1) Ia harus menghabiskan semua makanan ini sendirian dan memulai program diet lagi mulai lusa, 2) siapa yang akan mencuci piringnya?
Dan tiga: dialah yang bersalah.
Andai meminta maaf semudah menghabiskan makanan.
Hari berikutnya Alfred berangkat pagi-pagi sekali (oh damn, salahkan panggilan Presiden yang tanpa kompromi mengganggu mimpi dini harinya!), dan baru pulang tengah malam. Telah melewati jam malam Natalya. Alfred masih menunggu besok, dan memutuskan untuk minta maaf secepatnya—walau ia tahu ia pasti harus mematahkan gengsinya untuk mengetuk pintu kamar Natalya sebelum berangkat mengikuti rapat besok.
Tetapi, sebelum ia menghinakan dirinya (ayolah, negara adikuasa melakukan itu untuk sebuah negara kecil yang terpencil dan terasingkan? Takkan Alfred biarkan dunia tahu!), Natalya ternyata sudah muncul di ruang tengah. Dengan remote televisi di tangan dan buku yang tertutup di pangkuan, dia memang tidak terlihat sedang menunggu seseorang, namun setidaknya moodnya telah membaik.
Alfred sempat berdiri kikuk di samping sofa, sebelum akhirnya mengulurkan tangan.
"Aku minta maaf."
Natalya mendongak. Hanya sekali mengangkat alis. Lalu berpindah perhatian ke televisi lagi. Memindah kanal beberapa kali, tak jua menemukan yang cocok.
Alfred berdecak.
"Ya. Aku memaafkanmu."
Pemuda itu tak jadi menarik tangannya. Alih-alih, mengacak rambut Natalya. "Adik manis."
Alfred berani bersumpah tadi dia melihat Natalya mendelik tajam walau hanya sedetik. Ini pancingan yang bagus. "Oh, kau tidak suka disebut adik?"
Natalya menyingkirkan tangan Alfred dengan sekali kibas. "Pergilah. Aku tidak akan menyambutmu hari ini. Aku harus pergi."
"Minsk lagi?"
"Ya."
"Berapa lama?"
"Cuma dua hari."
"Oh. Hati-hati di jalan," Alfred mulai bergerak. Merasa tak ada hal yang diperlukan lagi dan satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanyalah berangkat. Tetapi tak susah bagi Alfred untuk mengetahui bahwa ada sepasang mata yang sedang mengarah padanya. Keuntungan terjun ke perang dunia, dia rasa. Dia pun menoleh.
"Kau juga. Hati-hati. Jangan lupa makan."
Pesan Natalya terngiang di telinganya bahkan ketika dia telah sampai di Gedung Putih.
Dan dia pulang lalu menemui rumah yang kosong.
Tidak benar-benar kosong. Ada gema suara Natalya, "Kau juga. Hati-hati. Jangan lupa makan."
"Halo, Matt, kau pernah diganggu suara Katyusha saat dia sedang tidak ada di dekatmu, tidak?"
"P-pernah ..."
"Itu artinya apa?"
"Aku tidak tahu ..."
"Kau terus tersenyum dari tadi."
Alfred menjepit seluruh kertas yang baru dia satukan dengan penjepit hitam. "Oh ya?"
Staf itu menggeleng, "Kau bahkan masih melakukannya."
Tawa kecil yang menggelikan terdengar. "Apakah itu hal yang besar?"
"Besar kalau kau merahasiakan alasannya. Kau tidak capek? Seharian ini bahkan kita empat kali dimarahi."
"Mmmm, tapi kurasa akan ada yang menyenangkan hari ini. Setelah ini."
"Tempat tidur," tebak si staf. "Atau rumah hiburan dan perempuan-perempuannya. Dan anggur mahal satu botol. Pasti begitu, 'kan?"
Alfred memasukkan seluruh berkas ke dalam tasnya, kemudian melonggarkan dasinya. Dia cuma menyeringai sedikit. "Ada yang lebih menyenangkan dari itu. Dan—sungguh, aku tidak sadar hal itu membuatku tersenyum terus dari tadi. Kau perhatian sekali," lantas dia tergelak. "Baiklah, selamat malam. Aku pulang duluan. Berdoalah yang banyak semoga besok kita tidak akan dimarahi lagi."
"Hn, ya. Selamat malam, America."
Alfred melaju kencang dengan mobilnya. Jarak ke rumah terasa jauh lebih panjang. Seakan, untuk menghilangkan lelahnya kali ini dia butuh lebih banyak waktu. Seolah waktu mengujinya. Menguras kesabarannya, apalagi dengan beberapa persimpangan dengan lampu merah yang selalu terasa lama. Tetapi akhirnya, dia bisa tiba di waktu yang dia targetkan.
Rumah masih kosong. Bagus. Alfred tidak mengganti pakaiannya sama sekali, dan langsung menuju dapur.
Bersyukurlah karena Matthew—yang mewarisi keahlian memasak dari Francis—sering mengajaknya menjamah dapur bersama.
Ketika semuanya selesai, barulah Alfred mendengar pintu depan dibuka. Dia baru ingat dia hanya mengenakan kemeja putih kerjanya dan celana hitam yang kumal—bukan pakaian rapi yang seharusnya—saat dia akan menyambut di ruang tengah. Tetapi dia tidak punya waktu, dan dia biarkan semua. Lalu saat dia sudah bertemu mata dengan siapa yang datang, dia sadar.
Kenapa jadi seantusias ini dan menyiapkan banyak hal hanya untuk seseorang yang ... bukan rekan kerja yang menguntungkan?
"Alfred?"
"Oh?" Alfred menggeleng, pertanyaan tadi langsung tersapu dari pikirannya. Dan dia tak sempat mencari jawabannya. "Ya? Ah-uh, selamat datang kembali, Nat! Bagaimana perjalananmu? Ayo, ayo, ke ruang makan. Nanti saja ganti bajunya," Alfred menggiring Natalya, tangannya menempel erat pada punggung si gadis. "Aku menyiapkan sesuatu untukmu."
"Makan malam?"
"Ya!"
"Kuharap kau tidak mewarisi resep dan cara memasak dari England."
Alfred langsung tergelak menggelegar. "Tentu saja tidak. Aku punya bakat yang sama dengan Matthew. Dan kau pasti tahu Matthew belajar dari siapa."
Mereka duduk berseberangan. Alfred mengharapkan pujian dari Natalya saat suapan pertama, namun yang gadis itu lakukan hanyalah terus makan dan beberapa kali mengambil menu lain. Alfred sempat kecewa dan mulai memutar otak untuk mencari pemancing, tetapi lantas dia paham—Natalya bukan seorang pemuji yang punya kemampuan khusus. Dia menambah porsinya sudah merupakan pujian tak langsung—dan akhirnya Alfred pun bisa maklum dan mampu berkata dalam hati, aku menang.
"Alfred."
"Ya, ya, yaaa?"
"Aku butuh bantuan."
"Secara personal atau untuk negara?"
"Negara. Aku sudah menyiapkan beberapa tawaran balasan."
Ow, ow, gadis ini pintar negosiasi juga rupanya. Dan cara blak-blakannya memberitahu Alfred, Natalya bukan lagi si gadis pengecut yang cuma bisa berdiri di balik punggung saudara-saudaranya.
"Tawaranmu apa?"
"Hanya ketika kau sudah setuju."
Tawa kecil. "Ou, jadi ketika aku tidak setuju, maka tawaran itu masih akan tetap jadi kartu as negaramu, dan kaurahasiakan, lalu akan kautawarkan pada negara lain—pada Ludwig atau negara-negara Skandinavia, misalnya—begitu?"
Natalya mengangkat alisnya. "Kau membaca pikiranku."
"Ha ha. Itu gampang, Nat."
"Setuju atau tidak?"
"Jika itu menguntungkan untukku."
Natalya menuangkan jus ke dalam gelasnya. Matanya tak singgah pada pandangan Alfred yang sedari tadi memanggilnya. "Ini win-win."
"Baiklah, aku setuju."
Alfred bersumpah dia melihat Natalya menyeringai.
"Soal pertahanan. Dan aku akan memperbolehkanmu memperluas peluang bisnis swasta perusahaan-perusahaan yang ada di bawah nama negaramu di negaraku. Terserah untuk sektor apa, baik minyak maupun nuklir. Kauboleh mengirimkan lebih banyak peneliti untuk nuklir, dan aku akan mempermudah akses peneliti yang ingin mencari tahu soal dampak Chernobyl."
"Woah!" Alfred langsung meletakkan garpu dan pisaunya. "Tentu saja boleh. Kau perlu berapa tentara?"
"... Dan negaraku juga butuh pelatihan agen rahasia dan mata-mata."
"Itu gampang. Agen-agen FBI siap kuterbangkan ke Minsk."
Natalya kembali makan. "Anggota-anggota Departemen Pertahanan kita akan membahas jumlah-jumlahnya lebih lanjut. Akan kuberitahu mereka secepatnya bahwa Amerika Serikat sudah setuju secara personal."
"Kautahu," geletuk kecil garpu, pisau dan piring menyela, "Kau punya pesona saat bernegosiasi.
"Kau kakak pertama yang memujiku seperti itu."
Alfred terperangah. Lalu terbatuk. Ow, agak sakit.
"Yang paling diperlukan dari negosiasi adalah persetujuan. Dan cara menuju itu adalah dengan penyampaian yang menyembunyikan kelemahan kita."
Alfred masih mengunyah, "Mmmnnn."
"Dunia politik tidak menerima orang-orang yang lemah."
Alfred sudah buka mulut untuk menyambung. Natalya memotong.
"—dan kadang-kadang malah memenangkan orang-orang licik. Karena kelicikan adalah salah satu jalan terbaik untuk menyembunyikan kelemahan."
"Hoo," Alfred menampilkan senyum miring. "Apa kau melakukan hal itu kali ini, di depanku?" matanya berkilat aneh. Natalya telah membangunkan sisi lain Alfred.
"Ada hal lain di atas kelicikan yang bisa membuat orang-orang menang. Hal yang membuat dunia politik, geopolitik, dan pemerintahan masih cukup bersih dan tidak kotor sepenuhnya karena kelicikan. Kemurahan hati untuk berbagi. Bagaimanapun, tidak ada yang bisa memimpin dan memerintah sendiri, hm? Dan dia harus berbagi posisi."
"... Karena walaupun dia licik, para pengisi posisinya bisa saja orang-orang murah hati yang membuat dunia ini tak sepenuhnya hitam, begitu 'kan yang ingin kaukatakan, Natalya Arlovskaya?"
Natalya cuma menatap datar. Mungkin sedikit kesal karena dia berhasil ditebak—lagi-lagi. Tapi mau bagaiamana? Ini Alfred Fitzgerald Jones. United States of America. Seseorang yang jauh lebih berpengalaman darinya, walau dari usia, mungkin dirinyalah yang sedikit lebih senior.
"Aku benar, 'kan? Dan Nat, aku kagum. Kau benar-benar cerdas. Seribu keping emas untuk hasil kerja otakmu barusan."
Gadis itu cuma memutar bola matanya. "Tinggallah di daerah bersalju dan kau akan merasakan bahwa salju itu berperan banyak untuk perenunganmu."
Tawa Alfred mengisi ruangan lagi. Natalya menyelesaikan makannya tak lama setelah itu.
"Terima kasih makan malamnya. Kau adalah kakak yang baik," ucapnya sebelum meninggalkan meja makan dan menyeret koper kecilnya yang sedari awal menunggu di samping kursi.
Alfred melipat saputangan putih di hadapannya, sempat terhenti sejenak karena kalimat Natalya. Dan dia mendelik.
"Kau benar-benar menganggapku 'kakak'?"
Natalya telah menghilang.
Natalya bukan orang yang suka tidur di hari libur, begitu yang Alfred pelajari.
Dan ajakan ke lapangan tembak ini adalah buktinya. Pengiriman perdana beberapa anggota Angkatan Darat Amerika dan beberapa agen FBI ke Belarus sepertinya membuat Natalya juga terpacu untuk belajar soal bela diri era modern.
Alfred mau meladeninya, tentu saja, karena dia juga suka senjata. Perang dunia membuatnya lebih mencintai kemiliteran.
"Jangan taruh dulu jarimu di pelatuk kecuali kau siap menembak. Nah, yang ini namanya trigger, baru dibuka saat kau sudah mantap dengan targetmu."
Natalya mengangguk dua kali.
"Yang ini namanya magazine. Tempat menyimpan peluru. Pistol-pistol punyaku di rumah kebanyakan memiliki magazine. Tapi ada juga yang tidak memiliki bagian ini—aku kurang terbiasa. Oh, ya, sekadar saran, kalau kau mengambil pistol dari saku pun, jangan coba-coba langsung menaruh jarimu di pelatuknya."
Gadis itu mungkin tak bisa langsung disebut berbakat, tetapi setidaknya dia punya minat. Dan dari sepuluh tembakan, satu kali mengenai pusat bidikan hanya membuatnya semakin ingin berlama-lama di sana. Alfred menyaksikan di sampingnya. Alfred mulai sadar dia kehilangan fokus sebagai 'pembimbing' ketika memperhatikan bagaimana Natalya beraksi dengan senjata.
Natalya benar-benar tidak terlihat 'perempuan' hari itu. Jaket baseball tertutup sampai leher, jeans yang sudah agak pudar warnanya, topi yang sedikit menutup wajahnya, dan boots cokelat yang agak kebesaran—semuanya tidak bisa menjadi prasyarat untuk memenuhi kriteria menawan.
Tetapi bahunya tegap, lengannya lurus mantap ketika membidik. Jari-jari lentiknya tetap berjodoh dengan pistol yang biasanya untuk laki-laki—kuku-kukunya yang berkilat tidak membuatnya risih atau takut tergores. Rambutnya yang dikuncir ekor kuda dan menjulur di bagian belakang topi membuat lekuk lehernya terlihat jelas. Kacamata semakin menutupi wajahnya, dan penutup telinga terpasang pas di kepalanya. Kakinya seperti seorang tentara wanita, tidak terlalu kurus dan sepertinya mampu membuat seorang pemuda tersungkur. Torsonya boleh jadi terbungkus rapat dan tak memperlihatkan kurva tubuh, tapi hal itulah yang membuat Alfred membayangkan.
Setua apapun dia sebagai personifikasi, Alfred paham bahwa masih ada jiwa pemuda berusia sembilan belas yang agak liar di dalam dirinya. Jiwa itu masih hidup, segar, dan dia sudah tak lama bangkit seperti ini.
Dan fakta bahwa dia tinggal serumah dengan Natalya sama sekali tidak memperbaiki keadaan.
Alfred mulai merasa gerah. Dia melepas topinya dan menjadikannya kipas. Cuaca Maine hari ini tak terlalu cerah, padahal. Dia menjauh sedikit dari Natalya, dan duduk di bawah naungan kanopi. Tetapi hasrat tak bisa dengan mudah disuruh berhenti. Hasratnyalah yang mengendalikan matanya.
Ini lucu bagi Alfred. Dia jadi tergugah pada wanita yang sedang tidak memakai hak tinggi, gaun berbelahan tinggi dan rambut tergerai serta aroma parfum yang pekat di lehernya. Alih-alih, pada wanita yang sedang mengasah hasrat membunuhnya. Yang sedang menyipitkan mata pada target. Yang sedang membuka kakinya bukan untuk menaklukkan lelaki—namun untuk menjadikannya kuda-kuda agar bisa disebut penembak yang teguh.
Ini salah. Salah. Dialah yang seharusnya menaklukkan. Alfred jadi gelisah. Dia menenggak air putih hingga hampir habis, dan menyiramkan sisanya pada wajahnya. Untuk sejenak, dia merasa begitu manusiawi.
Natalya datang tak lama kemudian. Dia melepas topinya kemudian mengibaskan rambutnya. Diam-diam tangan Alfred mencengkeram botol air mineralnya sampai penyok.
Gadis itu menyeringai. Alfred di ujung tanduk hasratnya sendiri.
"Apa kakakku yang satu ini mau bertanding menembak denganku?"
Sekali lagi dia merasa manusiawi. Dia sakit hati.
"Alfred."
Bukan Alfred namanya jika tidak mampu menemukan topeng yang tepat di waktu-waktu dia tersudut. Ia berdiri, mencoba mengabaikan jarak mereka yang amat dekat yang telah membuatnya berpikiran ow bagaimana rasanya kalau aku menciumnya dan membuatnya memelukku?
"Tidak kali ini, Manis. Aku sedang tidak dalam mood yang bagus. Aku kurang tidur."
Natalya tidak protes. Dia hanya mengangkat alis ketika Alfred pergi.
Alfred masih mengipasi dirinya ketika menjauh.
Aku masih sakit hati. Kakak, huh?
Kau kesal?
Kenapa?
Tidak tahu.
"Matt."
"Ya, Al?"
"Ini gawat."
"Ada sesuatu yang bisa kubantu?"
"Bahkan aku sendiri tidak dapat membantu diriku sendiri."
"Apa perlu kupanggil Arthur, Francis, dan yang lain ...?"
"Tidak! Kalau dengan mereka, semua akan tambah kacau!"
"Lalu ...?"
"Apa wajar kalau aku tidak suka ketika Natalya memanggilku ... 'kakak'?"
Ini sangat jarang: Matthew tertawa. Pelan dan lucu.
"Mungkin aku bisa merasakan hal serupa kalau Katyusha memanggilku 'adik'."
"Apa dia memanggilmu begitu?"
"Untungnya ... tidak."
"Sial kau."
Natalya menubruk pintu dan langsung masuk begitu saja ke ruang kerja Alfred. Beberapa kertas ada di tangannya. Dia langsung menghadap Alfred dan kedua tangannya memukul meja. Tak terlalu keras, memang, tapi cukup untuk membuat Alfred terlonjak.
"Ajari aku berpidato yang baik dan benar."
"Ha?"
"Kau lebih berpengalaman."
"Apa kaubilang tadi?"
"Kau tidak mungkin tidak mendengarku."
"Serius, Nat!"
"Ajari. Aku. Berpidato."
"Untuk?"
"Ada beberapa negara Uni Eropa yang mengajakku dalam sebuah pertemuan formal yang melibatkan investor. Aku negara baru yang harus memperkenalkan diriku dengan baik untuk menarik mereka untuk datang dan menjadi pemasukan bagi negaraku."
"Oh, ha ha, kau bertanya pada ahlinya," Alfred melepas kacamatanya sebentar, meniupnya, mengelapnya ala kadarnya. "Sekarang?"
"Detik ini. Besok aku harus berangkat dan aku hanya punya waktu menghafalkan pidatonya selama penerbangan."
"Besok? Kau pergi?"
"Kenapa memangnya?"
"A-aa, tidak, tidak," Alfred menggeleng cepat. Rencananya mengajak Natalya makan malam di luar terpaksa diundur. "Berapa lama?"
"Lima hari."
"Wow, lebih lama dari biasanya."
"Cepat. Ajari aku."
"Oke, oke. Sekarang, mana pidatomu? Sudah selesai disusun? Kalau belum, selesaikan saat ini juga."
Natalya menyerahkan kertas-kertas tersebut. Alfred membacanya sebentar saja, lalu langsung memberikannya kembali. "Isinya sudah bagus. Aku tidak akan mengoreksinya. Hmmm," Alfred mengelus dagunya, mengamati Natalya dari atas hingga bawah dengan saksama. "Posemu saat berpidato sangat menentukan. Dan ekspresi wajahmu. Coba, seperti apa wajah yang akan kautunjukkan ketika kau berbicara di depan mereka."
Wajah datar itulah yang muncul. Alfred mendengus.
"Begini, Nona Manis," dia menggunakan kedua telunjuknya untuk menarik kedua sudut bibir Natalya sedikit saja. "Jangan tersenyum, tapi perlihatkan bahwa kau bukan gadis yang benar-benar dingin. Kau tak terlalu terbuka namun kau siap menunjukkan siapa dirimu Senyum seperti ini yang pas," dan dia mengangkat dagu Natalya. "Jangan lemas tapi jangan terlalu kaku. Dan tolong buka matamu lebih lebar. Jadilah wanita elegan, yang mantap, tegas, tapi bersedia membuka matamu untuk perubahan dunia."
Alfred lalu mundur sedikit, meneliti lebih jauh. Apakah salah Natalya yang memakai piyama yang licin seperti sutra ini, sehingga dia menjadi kurang konsentrasi?
Lelaki itu menggeleng. Mengusir hal yang tak perlu. Dia merapat pada Natalya lagi, dan mengatur bahunya. Dia tak bersuara nyaring, hanya berbisik dengan suara sedikit parau di depan telinga, "Kau akan jadi bintangnya, tenang saja. Ikuti saja apa yang kuarahkan kali ini."
Natalya mendelik dan tubuhnya menegang.
"Berbicaralah dengan lancar dan yakin. Kesalahan kata tidak akan membuatmu jadi orang yang tak berharga. Ketidakberanian dan ketidakyakinanlah yang akan membuatmu begitu."
Alfred belum melepaskan tangannya dari kedua bahu Natalya. Tangan itu mulai bergerak dengan tak seharusnya ke punggung gadis itu, menjadikan Alfred memeluknya dan pemuda itu pun akhirnya membiarkan semuanya berlanjut. Dia menunduk di pundak Natalya, mulutnya terselip di antara kusutnya kain.
"Alfred ...?"
"Biarkan saja, boleh? Aku sedang ingin menjernihkan pikiranku."
"Aku akan membuatkanmu minuman kalau kaumau."
"Tidak. Tidak perlu. Otakku kacau bukan karena pekerjaan atau sejenisnya. Kepalaku penuh karena kau, dan kupikir dengan melakukan ini mungkin bisa membuatku lebih tenang. Kau penyebabnya, kaulah obatnya."
Alfred merasa Natalya menjadi kaku di depannya. Hanya membuatnya merangkul lebih rapat.
"Sebentar saja."
Alfred menepati janjinya. Dan topeng telah terpasang ketika dia melepaskan, "Baik! Nah, praktekkan kembali apa yang kuajarkan tadi!"
Natalya nampak linglung, namun Alfred mengeluarkan senjatanya yang biasa: senyuman tiga jari seperti anak kecil. Natalya mencoba menyesuaikan diri dengan suasana yang menikung tak wajar begini. Dia bisa melakukannya. Ya, bisa, dan Alfred menepuk kepalanya bangga.
"Yang perlu kaulakukan sekarang hanyalah memraktekkannya, oke? Selamat berjuang, Nat, semoga Uni Eropa menyukaimu. Aku mau menyelesaikan pekerjaanku dulu."
Alfred menuju ke meja. Mata Natalya mengikutinya, tetapi lekas-lekas dia alihkan ketika Alfred duduk dan memandangnya sekilas. Dengan terburu-buru dia meninggalkan ruangan.
Ketika langkah kaki Natalya sudah terdengar jauh, Alfred membenturkan dahinya ke permukaan meja. Aku gila.
Alfred sengaja meluangkan waktunya untuk Natalya. Mengantarkannya ke bandara, tentu saja. Dan mereka tiba tepat waktu, tak terlalu terlambat namun juga tak terlalu cepat. Sebelum Natalya memasuki ruang tunggu di salah satu terminal yang terjauh, Alfred menahannya.
"Semoga sukses."
Ada senyuman tipis. "Terima kasih."
"Kau ..." Alfred mendehem, sadar bahwa dia menempatkan diri terlalu rapat. "Akan kembali secepatnya, 'kan?" dia maju selangkah. Tahu. Alfred tahu apa yang ia lakukan.
"Ya. Tepat setelah acara selesai."
Alfred membuka mulutnya untuk bicara, tetapi tak ada kata-kata yang dia rasa cukup untuk mewakili yang selanjutnya. Ada banyak perasaan dan hal-hal abstrak yang kadang bukan harus diwakili dengan kata-kata. Hal yang membungkus dirinya sebagai personifikasi negara adalah tubuh manusia—dan Alfred sadar bahwa manusia tak jarang tak mampu mengendalikan hasrat terkotornya sekalipun.
Alih-alih, tangannyalah yang bergerak naik menangkup pipi Natalya. Menyusup di antara helai-helai rambutnya, dan beberapa jari menyusuri kulit pucat Natalya. Dia menutup mata dan jarak mereka. Dia hanya berniat untuk mengecup sebentar—namun saat kepala Natalya juga bergerak miring selaras dengannya—Alfred tahu sekantong keuntungan berada di tangannya. Dia mulai berani dengan sedikit membuka mulutnya dan menyapu habis rasa apapun yang tersisa di bibir Natalya. Natalya baru saja membuka mulutnya untuk menerima Alfred, namun bahunya tersenggol seorang penumpang yang tengah terburu-buru.
Mereka refleks sama-sama mundur. Oh, ini di bandara. Mendadak mereka berdua lupa.
Natalya mengeratkan cengkeramannya pada tas tangannya. Menunduk malu.
Alfred meraih bahunya lagi.
"Hubungan kakak-adik tidak seharusnya seperti ini, Nat."
Suara serak itu adalah yang terakhir kali Natalya dengar sebelum Alfred mundur. Ketika gadis itu mengangkat kepalanya lagi, Alfred sudah memunggunginya.
Namun tetap menoleh. Dan dia membuat gestur seperti menghormat dengan jari telunjuk dan tengahnya. Masih tersenyum.
Natalya berbalik. Mereka sama-sama memunggungi.
Tetapi lebih dari separuh diri mereka masih tertinggal di titik tadi.
tbc.
mellifluous . [adj] – flowing like honey
chansonnette . [n] – a little song
.
sebab cinta adalah lagu, yang mengalir bersama waktu
.
- Sesudah Piagam Belavezha ditandatangani (8 Desember 1991), Uni Soviet pun dibubarkan dan terbentuklah Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (Commonwealth of Independent States – CIS).
- Penandatangan Piagam Belavezha: Boris Yeltsin (Rusia), Leonid Kravchuk (Ukraina), Stanislau Shushkevich (Belarus).
- Amerika mengakui kedaulatan Belarus di 1991, tahun 1992, kedutaan besar Amerika pun dibuka di Minsk (yang merupakan kantor perwakilan diplomatik luar negeri pertama di Belarus dalam bidang itu). Ada sistem kunjungan permanen dari para kepala bidang hubungan luar negeri dan departemen pertahanan dari kedua negara tersebut.
- Amerika juga menjadi partner Belarus dalam hal implementasi program dalam likuidasi angkatan bersenjata strategis dan prekonstruksian industri pertahanan. Amerika juga 'menemani' Belarus dalam hal pengurangan kemungkinan dampak nuklir dalam sebuah perjanjian di 1992. Total 123 juta USD dialokasikan untuk Belarus dalam hal ini.
- Militer Belarus dan Amerika berkooperasi di bawah program Partnership for Peace (salah satu program NATO) sejak 1995 dan Belarus masih menjadi anggota hingga abad 21 ini.
.
Sebenarnya masih ada banyak aspek kerjasama Amerika-Belarus yang bisa dibahas, tapi terlalu panjang buat di sini (dan nanti kerasanya kayak modul kuliah dong, bukan fanfic :p). Kalo ada yang berminat, aku punya dua file yang benar-benar berguna buat meneliti sejarah kerjasama USA-Belarus sejak kemerdekaan Belarus dari Uni Soviet sampai sekarang, sampai era pemerintahan Barack Obama di Amerika Serikat. Boleh PM email kalian biar kukirim file-nya.
.
kayaknya heavily-political-stuff banget ya fic ini haha entah kenapa aku yang ngetik pun ngerasa ini berat di politik, ow =_=)/ tapi, yeah, siapa bilang politik ga bisa disisipin romens-romens kyahaha dan please, like usual, kalo ada fakta yang keliru di sini, diperbolehkan banget buat mengoreksi~
.
ya, saya ngambil prompt canon di mana dinyatakan di manga kurang lebih begini, Belarus datang ke rumah America dan America menjadi seperti sosok seorang kakak baginya yang berusaha untuk melepaskan diri dari Soviet. aku mengolahnya dengan caraku sendiri.