Note: Ini hanya cerita tambahan aja. Soalnya banyak yang nanya alasan Sasuke ninggalin SakuSara. Hehehe. Ya aku gatau sih apa yang bakal aku tulis ini masuk akal atau nggak. Tanpa bermaksud mendahului MK, anggep aja imajinasi. Iseng-iseng berhadiah lah. Hahahaha.
Daaan, terima kasih banyak untuk reviewnya. Saya gk bisa sebut satu-persatu. Saya ngetik di hape soalnya. Hehe. Jadi curcol. Tapi terima kasih banyak. :) mohon maaf jika ada kesalahan. Ya namanya manusia. Hehehe
Love you all :*
.
.
.
.
.
.
.
Naruto©Masashi Kishimoto
.
.
.
.
.
.
.
Pengorbanan.
Tentang desa. Tentang shinobi. Dan tentang keluarga.
.
.
.
.
.
.
.
.
Mata pria itu masih terpejam rapat. Dadanya bergerak naik-turun. Napasnya teratur. Tak ada perubahan yang terjadi selama pria itu tertidur. Ia tetap berada pada posisi berbaring orang normal lainnya. Hal itu berbeda jauh dengan wanita yang juga berbaring di sampingnya. Tangan mungilnya memeluk lengan pria itu. Namun ia masih terlelap.
Tok tok
Suara ketukan pintu yang lumayan keras memaksa sang pria membuka matanya. Ia menatap langit-langit kamarnya. Lalu melakukan pergerakan kecil untuk bangun. Namun saat merasakan sesuatu menahan lengannya, matanya tertuju pada sosok yang lebih kecil darinya. Ia tersenyum tipis sambil memindahkan tangan wanita yang memeluknya. Ia melakukannya sepelan mungkin agar wanita itu tak terbangun.
Dengan perlahan, ia menuju pintu itu dan melihat siapa yang sudah membangunkannya sepagi ini. Matanya sedikit terkejut ketika mendapati yang datang ternyata adalah Hokage Keenam, Hatake Kakashi.
"Seharusnya kau menyuruhku masuk terlebih dulu, Sasuke." Kakashi berkata dengan nada sarkastik yang datar. Sasuke pun hanya mengangguk dan membiarkan Hokage tersebut masuk ke dalam rumahnya. Lagipula, apa yang dilakukannya sepagi ini di rumah orang?
Hokage Keenam tersebut pun duduk di sofa panjang di kediaman rumah Sasuke. Matanya memandang sekitar ruang tamu rumah tersebut, seakan-akan ada yang ia cari. Sasuke hanya menatapnya datar dengan posisi berdiri dan tangan yang dimasukkan ke saku celananya.
"Aku tidak melihat Sakura," ujar Kakashi sambil melayangkan tatapan bertanya ke Sasuke.
"Dia belum bangun," jawab Sasuke singkat. Pemuda itu pun berjalan dan mengambil tempat tepat di samping Kakashi.
"Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Terakhir kali saat kalian menikah," lanjut Kakashi. Sasuke terdiam tak memberikan respon apapun. Ia hanya menatap sebuah lukisan yang terpajang di dinding tepat di hadapannya.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Kakashi lagi. Kali ini Sasuke sedikit meresponnya. Pemuda tersebut menatapnya sekilas sebelum akhirnya kembali fokus pada objek dihadapannya. Kakashi mengikuti arah pandang pemuda itu. Ekspresinya berubah sedih.
"Dia tidak cukup baik," jawab Sasuke singkat namun tersirat nada kecemasan dalam setiap kata-katanya. Kakashi kembali menatapnya dengan tatapan bertanya. Meski pada akhirnya mereka berdua kembali terdiam dan terfokus pada lukisan yang berisi sebuah simbol Uchiha dan tulisan kanji bertuliskan 'Keluarga Uchiha.'
"Waktu berlalu begitu cepat. Anak-anak kini sudah mulai dewasa. Mereka mulai membangun kehidupan mereka sendiri. Generasi baru sudah mulai bermunculan," jeda sejenak, Kakashi pun melanjutkan, "kalian juga. Kau, Naruto, dan juga Sakura. Kalian bertiga adalah murid-muridku. Kebanggaanku. Dan juga kebanggaan Konoha."
Sasuke mengalihkan perhatiannya. Ia menatap Kakashi yang kini fokus pada lukisan miliknya. Mata sang Hokage tampak menerawang seperti mengingat masa lalu.
"Rasanya semua sudah banyak berubah."
"Aa," sahut Sasuke dengan nada datarnya. Ia kembali menatap lukisan itu. Pikirannya kembali pada masa lalu. Pada Itachi, ayah dan ibunya, klan Uchiha, dan semua kebenaran yang menyakitkan hatinya. Ekspresinya mengeras. Ada sesuatu dalam dirinya yang menginginkan ia untuk memberontak. Namun hal itu mampu dikendalikan oleh dirinya.
"Para shinobi yang telah gugur mendapatkan penghormatan yang begitu besar. Mereka telah melakukan pengorbanan yang luar biasa demi kedamaian dunia ini," lanjut Kakashi.
"Pengorbanan, ya?"
"Aa. Itulah tugas seorang shinobi. Mereka harus rela mengorbankan nyawa mereka demi orang lain, demi menjaga perdamaian dunia. Dan juga-" ucapan Kakashi terputus ketika secara sepihak Sasuke menyelanya.
"Itachi melakukannya," sela Sasuke datar. Namun raut wajahnya yang dingin itu seakan menyimpan luka. Kakashi mengamatinya. Dan rasa sesak itu menghantui dirinya. Pemuda di sampingnya telah melalui banyak penderitaan. Raut wajahnya yang sekarang telah jauh berubah dibandingkan dulu ketika ia melihat wajah polos Sasuke yang bahagia ketika bersama Itachi.
"Aku tak bisa mengerti jalan pikirannya. Namun dia melakukannya … Itachi mati sebagai seorang shinobi sejati. Bahkan di akhir hidupnya, ia tetap memilih mati sebagai shinobi Konoha. Meskipun desa ini hanya menganggapnya sebagai seorang penjahat," lanjut Sasuke dengan nada getir di sana. Ekspresinya masih datar. Begitu yang Kakashi lihat. Aa, betapa malangnya anak ini. Batinnya meringis nyeri.
"Itachi mati dengan senyuman, dengan sebuah kebanggaan dalam dirinya karena ia sudah melakukan tugasnya sebagai seorang shinobi." Kali ini Sasuke menundukkan wajahnya. Bayang-bayang Itachi berlari-lari di kepalanya. Membuat dada pemuda itu sesak. Ingin rasanya Kakashi melakukan sesuatu untuk Sasuke, namun ia tak bisa melakukannya. Ia tak tau harus melakukan apa.
"Kau pernah bertanya padaku tentang tujuanku," lanjut Sasuke. Kepalanya kembali terangkat. Ia menatap Kakashi sejenak, mencoba memberi tahukan pada Hokage tersebut tentang masa lalu di mana sang Hokage pernah bertanya padanya tentang tujuan hidupnya.
"Aa, ya. Aku pernah menanyakan itu padamu," jawab Kakashi. Sasuke kembali memandang lurus. Tatapan matanya terlihat sendu.
"Aku hanya ingin melindungi apa yang Itachi lindungi. Desa ini, Konoha, dan juga Uchiha. Meskipun hal itu mungkin tak akan bisa menebus semua dosa-dosaku, tapi aku akan tetap melakukannya," jeda sejenak. Kakashi agak sedikit terkejut. "Karena kini, aku mengerti perasaan Itachi." Sebuah senyum terlihat di wajah Sasuke.
"Anak ini … sudah berkembang."
"Tapi … aku melakukan sebuah kesalahan," ujar Sasuke. Ekspresi wajahnya penuh penyesalan meski tak terlalu kentara. Kakashi mengerutkan dahinya.
"Apa maksudmu?" tanya Kakashi penuh selidik.
"Aku membawa Sakura dalam masalahku."
Hening sejenak.
"Sakura sangat mencintaimu. Dan menikah denganmu adalah hal yang membuatnya bahagia. Kau tidak bisa menyakitinya lagi, Sasuke."
Sasuke menundukkan wajahnya. Helai rambutnya yang hitam menutupi ekspresi wajahnya. Bayangan akan Sakura muncul perlahan di benaknya. Senyuman Sakura saat dia melamarnya adalah senyum yang tak akan pernah dilupakan oleh Sasuke. Gadis itu begitu bahagia kala itu. Dan Sasuke pun tak dapat menahan perasaan bahagia yang sempat menghilang dari hatinya.
Sakura mengisi kekosongan di hatinya. Wanita itu memberinya banyak cinta. Wanita itu memberinya keluarga. Kakashi benar. Sasuke tidak bisa menyakiti wanita itu lagi. Tapi ketika ia kembali melihat ke belakang, ia merasa sudah membawa Sakura terlalu jauh. Secara tidak langsung ia sudah menyeret Sakura dalam segala permasalahan dirinya. Ia membawa wanita itu dalam bahaya.
"Dia sedang mengandung anakku."
"Eh?"
"Tapi aku …." Sasuke memandang tangannya yang terbuka. "Aku sudah melakukan banyak kejahatan. Tanganku sudah kotor. Aku … akan memiliki anak. Tapi apa yang akan kukatakan padanya nanti? Ayahnya adalah seorang penjahat. Apa aku masih pantas?"
"Kau berhak untuk bahagia," kata Kakashi sambil tersenyum. Sasuke melebarkan matanya.
Sang Hokage pun menepuk pundaknya, membuatnya tersadar dari ketakutannya. Sasuke menatapnya bertanya.
"Kau adalah murid kesayanganku, Sasuke. Jadi … bahagialah. Kau berhak mendapatkan itu."
Beberapa detik pemuda itu tak sanggup bicara. Ada rasa luar biasa di dadanya. Kebahagiaan? Entahlah. Ia mencoba untuk mempercayai hal itu sebelum akhirnya sesuatu hal kembali menyadarkannya bahwa kehidupan sebagai mantan kriminal tak semudah yang dibayangkannya.
"Aa, aku kesini ingin memberitahumu sesuatu," ujar Kakashi serius sambil memberikan sebuah buku kecil kepada Sasuke. Pemuda itu mengambilnya dan membaca judul buku itu.
Buku Bingo?
"Halaman 30," info Kakashi. Sasuke membuka halama tersebut dan matanya memicing tajam meliha sesuatu yang tertera di sana. Kakashi menyenderkan punggungnya di sofa sambil menghela napas. Kemudian ekspresinya kembali serius.
Nama : Uchiha Sasuke
Desa Asal : Konohagakure
Klasifikasi : Nukenin
Elemen : Katon, Raiton, Enton
"Mereka masih mengincarmu," jelas Kakashi. Sasuke tak bergeming memandangi buku yang berisi data tentang dirinya. "Meskipun kau salah satu orang yang berhasil menghentikan Perang Dunia Ninja Keempat, kenyataan bahwa kau pernah menjadi seorang nukenin tidak dapat dihindari," jeda sejenak. Kakashi memperhatikan raut wajah Sasuke yang sama sekali tak berubah. Tetap datar.
"Aku mengerti." Seiring ucapan Sasuke, ia pun menutup buku tersebut. Matanya menatap tajam. Fokus. Ia sudah mengerti apa yang harus dilakukannya.
"Sebagai Hokage, aku akan melin-"
"Tidak perlu," potong Sasuke cepat. Kakashi menatapnya sedikit tak terima. "Kalian tidak ada hubungannya dengan semua ini. Lagipula … ini semua adalah kesalahanku. Apapun yang terjadi padaku, akan kupastikan Konoha tidak berada dalam bahaya."
"Jangan mengatakan seolah-olah ini semua adalah bebanmu. Kau tidak bisa seperti ini, Sasuke. Ada Sakura yang harus kau jaga. Dan juga calon anakmu," bantah Kakashi. Dia mengerti maksud Sasuke. Tapi tetap saja dia tak bisa membiarkan Sasuke menanggung semua ini sendirian. Bagaimanapun, setelah apa yang dilakukan Sasuke terhadap Perang Dunia Shinobi Keempat dan juga pembuktian bahwa dia telah berubah, Kakashi sebagai Hokage merasa bahwa Sasuke berhak mendapatkan pembelaan dan juga perlindungan. Ini karena Sasuke adalah shinobi Konoha, yang berjuang dan berkorban demi Konoha.
"Itachi bisa melakukannya," jawab Sasuke. Kakashi terdiam. Jika sudah menyangkut Itachi, ia tak bisa mengatakan apapun. "Apa yang akan kulakukan ini, tak sebanding dengan apa yang sudah dilakukan oleh Itachi. Sudah kubilang, kan? Aku akan melindungi apa yang Itachi lindungi," jeda sejenak, " tentang Sakura …." Sasuke nampak berpikir. Pikirannya agak sedikit kalut. Memikirkan Sakura dan calon anaknya membuatnya tak bisa berpikir jernih. Tapi dia harus melakukannya. Ya, harus.
.
Pemuda berambut raven itu duduk di sisi ranjang Sakura, atau lebih tepat disebut sebagai ranjang mereka berdua. Ia menatap wajah damai itu yang masih tertidur pulas. Perlahan, ekspresi wajahnya menampakkan raut kesedihan. Kemudian tatapan matanya beralih pada sebuah ikat kepala yang ada di tangannya. Ia terus memandangi ikat kepala miliknya tersebut. Ada sebuah goresan di sana akibat pertarungannya dengan Naruto dulu. Namun meski begitu, ikat kepala tersebut tetaplah simbol bahwa ia adalah seorang shinobi dari Desa Konoha.
Memikirkan hal itu, ia kembali mengingat perkataan Kakashi. Rasa-rasanya memang benar. Dia diincar. Dan keberadaannya di desa ini hanya akan membuat desa ini dalam masalah. Namun … tatapan matanya kembali pada Sakura yang belum juga terbangun. Lalu mengarah pada perut rata wanita itu yang di dalamnya terdapat calon anaknya. Seketika rasa sesak menyerang dadanya. Bahwa ia memang telah membawa Sakura dalam bahaya. Bukan hanya Sakura, tapi juga calon anak mereka.
Jika para orang-orang yang mengincarnya mengetahui perihal Sakura dan anaknya, sudah dapat dipastikan mereka berdua akan menjadi incaran. Dan ia tidak bisa. Dia tidak bisa membiarkan kedua orang berharga dalam hidupnya mendapat bahaya. Dia tidak ingin kehilangan lagi. Pemuda itu mengusap wajahnya pelan, frustasi. Lalu kembali memandangi ikat kepalanya.
Apa yang harus dia lakukan?
"Sasuke-kun?" Suara serak Sakura menyadarkan Sasuke. Pemuda itu buru-buru menyembunyikan ikat kepalanya. Ia menatap wanita itu yang menatapnya bingung.
"Sudah baikan?" tanyanya basa-basi. Sakura segera bangkit dari tidurnya dan menghadap Sasuke. Rasanya aneh mendengar pertanyaan basa-basi dari Sasuke. Ia ingin tertawa namun dalam hati senang karena itu artinya Sasuke perhatian padanya.
"Sudah lebih baik," jawab Sakura. "Berkat Sasuke-kun yang merawatku," lanjut Sakura sambil tersenyum. Sasuke memalingkan wajahnya. Rasa hangat menjalari hati dan juga wajahnya. Sakura terkekeh pelan.
"Aa. Aku akan menemui Naruto sebentar," ujar Sasuke memberitahu. Ia menatap mata hijau bening milik sang istri.
"Tapi, aku belum menyiapkan sarapan. Kau belum sarapan, Sasuke-kun."
"Aku hanya sebentar," jawab Sasuke menenangkan kekhawatiran Sakura. Ia mendekati Sakura dan mengecup singkat dahi lebar Sakura. "Istirahatlah."
Sasuke pergi. Sakura menatap nanar punggung sang suami yang kian menjauh darinya. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak, kemudian beralih mengusap perutnya yang rata.
"Aku takut kau meninggalkanku lagi, Sasuke-kun."
Wanita berambut merah muda itu berdiri, membuka jendela kamarnya. Panas matahari pagi seakan menyilaukan pandangannya. Semuanya sudah berubah. Namun entah mengapa ia merasa tak akan ada yang berubah dalam kehidupannya.
.
"Kau tidak harus melakukan hal itu, Sasuke! Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal itu!" larang Naruto keras. Sasuke menghela napasnya. Ternyata memang sesuai dugaannya. Bicara dengan Naruto hanya akan membuatnya buang-buang tenaga.
Melihat Sasuke yang tak membalas perkataannya, Naruto bertambah jengkel. Ia menatap Sasuke sengit. Sedangkan Sasuke hanya menatapnya datar.
"Aku tidak akan membiarkanmu. Tidak akan, setelah semua yang kita lalui, perjuangan kita, kau tidak harus menanggung semua itu. Pasti ada cara lain." Kali ini nada bicara Naruto sedikit turun.
"Sudah kuduga. Kau memang tidak bisa diajak bicara," ujar Sasuke dingin. Naruto menatapnya tajam. Emosinya sudah terkumpul nyaris meledak.
"Memangnya kau pikir kau bisa melakukan semua itu sendirian?!"
"Ini semua tidak ada hubungannya denganmu!"
Kedua mata berbeda warna itu saling menatap tajam, tak ada yang mau kalah dalam perdebatan ini.
"Kau hanya akan melukai Sakura, Bodoh!"
Sasuke terdiam. Ucapan Naruto mengenainya telak.
"Aku tidak peduli soal itu," jawabnya ringan. Sebuah tinju nyaris melayang mengenai wajah tampan Sasuke. Namun Naruto menghentikannya karena melihat gurat penyesalan di wajah itu. "Aku ingin melindungi keluargaku. Dan juga desa ini."
Naruto menatapnya sedih.
"Aku … pernah kehilangan segalanya. Aku tak mau lagi kehilangan orang yang berharga bagiku," lanjut Sasuke. "Selama ini aku tidak bisa melindungi orang-orang yang aku sayangi. Orangtuaku, Itachi, klanku … aku tak bisa melindungi mereka semua. Aku hanya terlalu takut menghadapi kenyataan. Hingga akhirnya aku kehilangan hal yang berharga bagiku. Hidup dalam penyesalan."
"Sasuke …."
"Sekarang, aku tak ingin mengalaminya lagi. Sakura … aku sudah terlalu banyak menyakitinya. Dan sekarang aku menyeretnya dalam masalahku. Aku tidak bisa, Naruto," jeda sejenak Sasuke menarik napasnya. "Aku tidak bisa membawanya terlalu jauh. Juga anakku. Mereka tidak pantas menanggung dosaku. Aku tak akan membiarkan hal itu."
"Sasuke, pasti ada cara lain. Kakashi-sensei juga tidak akan membiarkanmu melakukan hal ini."
"Aku sudah bicara dengannya."
"Eh?"
"Dan aku sudah memberikan jawabannya."
.
Berbaring bersama orang yang dicintai adalah kebahagiaan tersendiri bagi Sakura. Ia menyukai hal itu. Karena saat itu ia merasa aman dan nyaman. Karenanya ia begitu senang ketika Sasuke memeluknya di ranjang mereka. Tak ada kata yang terucap dari keduanya. Namun Sakura dapat merasakan betapa pemuda Uchiha itu sangat mencintainya.
"Sakura …."
"Hmm?"
"Kau … percaya padaku?" tanya Sasuke. Sakura melonggarkan pelukan Sasuke dan menatap mata hitam milik sang suami. Aneh, batinnya.
"Sasuke-kun, ada apa? Kenapa tiba-tiba bertanya hal seperti itu?" jawab Sakura yang malah berisi pertanyaan. Sasuke mengabaikan hal tersebut. Ia kembali menarik Sakura dalam pelukannya dan berbisik begitu lirih, "maaf." Karena keesokan harinya, Sakura tam melihat sosok itu lagi di sampingnya. Kosong.
Sasuke pergi. Sesuai dengan dugaaannya. Tak ada yang ia tinggalkan selain secarik kertas bertuliskan 'Jaga kesehatanmu.'
Hari itu Sakura menangis lagi untuk kesekian kalinya karena Sasuke. Namun kali ini ada yang berbeda. Sasuke tidak hanya meninggalkan Sakura. Tapi juga calon anak mereka. Dan hal itu yang agaknya sulit diterima oleh Sakura.
.
Pada awal-awal kepergian Sasuke membuat Sakura agak sedikit stres sehingga ia sering pingsan dan sedikit mengganggu kehamilannya. Bahkan Shizune sempat mengatakan padanya bahwa perkembangan bayinya agak terhambat. Hal tersebut membuat Sakura bangkit. Ia berusaha untuk tidak terlalu stres dan menjaga bayinya. Semua itu demi anaknya.
.
"Kau sudah menemukannya?" tanya seorang pria berjubah hitam dengan topeng yang menutupi wajahnya. Auranya mengerikan. Lawan bicaranya nyaris bergidik menghadapi pria tersebut.
"Ya. Istrinya sedang mengandung," jawab sang lawan bicara sambil menunduk hormat pada pria tersebut. Sang pria bertopeng itu menyeringai.
"Pastikan anak itu tidak pernah lahir ke dunia!"
"Baik."
.
Tak ada yang berbeda dari kediamannya. Sakura melakukan aktivitasnya seperti biasa. Ia menyiapkan makan malam yang hanya untuk dirinya dan tak lupa meminum susu khusus untuk kehamilannya. Tangannya mengusap perutnya yang membesar itu dengan penuh kasih sayang. Ia tersenyum ketika merasakan pergerakan sang bayi.
"Mama sudah tidak sabar ingin melihatmu," ujarnya penuh senyum.
Prang
Kedua mata hijaunya membulat terkejut ketika mendengar kaca jendela kamarnya dilempar sesuatu. Ia hendak menghampiri namun langkahnya terhenti ketika merasakan ada sebuah kunai terlempar nyaris mengenainya.
Terlihat seorang pria berjubah dengan bekas luka di wajahnya yang kemudian menghampirinya. Sakura mundur perlahan. Bagaimanapun, ia tidak dalam kondisi yang baik untuk bertarung melawan pria itu. Ia takut terjadi sesuatu terhadap bayinya jika ia salah perhitungan.
"Siapa kau?" tanya Sakura berani. Ia menatap tanpa takut pria tersebut, diikuti gerakan mundurnya hingga akhirnya tubuhnya menabrak dinding. Sang pria tersebut menyeringai. Bahkan nyaris tertawa melihat Sakura terpojok.
"Tidak kusangka kau cukup berani," sindir pria itu. Sakura berusaha tetap tenang. Tapi kondisinya tidak memungkinkan. Ia tidak bisa. Jika ia tidak melawan, kemungkinan besar orang itu akan membunuhnya. Namun jika melawan … wanita itu memikirkan bayinya. Ia merasakan pergerakan bayinya. Astaga. Bayinya seolah merasakan bahaya yang mengancamnya.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Sakura lagi, berusaha mengulur waktu. Ia berharap ada orang yang menolongnya. Namun entah mengapa semua itu terasa mustahil. Seandainya saja ada Sasuke. Perlahan airmata menuruni wajahnya. Pria tersebut tertawa melihatnya.
"Jika kau berharap suamimu datang, itu hanya mimpi!"
Kenapa? Sakura hanya berharap ada yang menolongnya. Ia tak memiliki kekuatan untuk melawan.
Dengan gerakan cepat, pria itu langsung membekap Sakura dan seketika wanita itu pingsan tak berdaya. Pria itu langsung membawa wanita itu pergi untuk melancarkan aksinya; membunuh calon penerus Uchiha.
Deg
Seperti mendapat hantaman besar, pemuda bermata hitam itu langsung membuka matanya, menatap langit-langit kamar tempat persembunyiannya. Sesuatu terasa menyerang dadanya. Ada yang aneh. Firasatnya buruk entah kenapa. Dia pun bangkit dari tidurnya dan keluar dari menara tempatnya bersembunyi selama ia tidak ada di desa. Sharingannya aktif seketika. Dia tampak waspada terhadap sekelilingnya. Tak ada tanda-tanda mencurigakan. Tapi kenapa perasaannya seperti ini? Ada yang salah. Ia tau itu. Namun ia tak mengerti apa yang salah.
.
"Eungghh." Suara lenguhan wanita itu terdengar. Sang pria yang masih belum diketahui identitasnya tersebut menatapnya datar. Ia menarik pedang miliknya dan mengarahkannya langsung ke wajah wanita itu.
Sakura tersadar dari pingsannya dan matanya membulat sempurna melihat pedang yang mengarah langsung ke wajahnya. Keringat dingin membasahi wajahnya. Tangannya memegang perutnya. Ia tak berharap apapun selain bayinya. Ya, yang terpenting adalah bayinya, anaknya. Dia harus kuat. Dia harus melawan. Dan entah mendapat kekuatan dari mana, Sakura langsung meninju pria tersebut tanpa bisa pria itu hindari. Sang pria terlempar hingga beberapa puluh meter. Topengnya nyaris hancur.
Sakura bangkit. Dia harus lari. Kabur. Bagaimanapun caranya. Namun langkahnya terhenti ketika ia merasakan nyeri yang amat sangat pada perutnya. Dan juga dapat ia rasakan darah merembes keluar membasahi kakinya. Matanya terbelalak. Tidak. Tidak. Ia tak boleh membiarkan hal ini terjadi. Belum saatnya bayinya lahir. Ia harua kabur. Namun rasa sakit itu luar biasa menyiksanya. Ia tak sanggup bergerak. Tangannya terus memegangi perutnya sambil merintih kesakitan. Tubuhnya melemas. Ia nyaris ambruk jika tangan kanannya tidak berpegangan pada batang pohon di sampingnya.
Pria yang ingin membunuhnya merasa marah. Harga dirinya tercabik karena telah dikalahkan oleh seorang wanita, apalagi wanita tersebut sedang hamil. Pria itu pun bangkit dan merapikan topengnya yang retak. Lalu berjalan mendekati Sakura yang sedang berusaha menahan sakitnya.
"Jika saja kau tidak melawan, aku akan membuat kematianmu menjadi lebih mudah." Suara berat sang pria membuat Sakura bergidik ngeri. Ia merasa kematian semakin mendekatinya. Ia pasrah pada takdir. Matanya terpejam. Kenangannya bersama Sasuke kembali memenuhi ingatannya. Ia ingat kembali betapa bahagianya Sasuke ketika ia memberitahu sang pemuda Uchiha itu bahwa ia hamil. Bagaimana kemudian pemuda itu menjadi lebih perhatian dan protektif padanya. Ia ingat bagaimana pemuda itu menyanyangi bayi dalam kandungannya. Namun kini ia tidak bisa bertahan. Ia merasa gagal. Seketika itu pula airmatanya jatuh.
"Sasuke-kun … maafkan aku …."
ZRAAAASSHH
Suara kucuran darah memberi nyanyian tersendiri di malam yang begitu hening ini. Pemuda itu datang tepat waktu dan langsung menebas leher pria yang sudah menyakiti istrinya. Ternyata saat Sakura menyebut namanya, ia merasakannya. Keduanya terhubung oleh sesuatu tak kasat mata. Dan hal itulah yang membawanya ke tempat dimana Sakura nyaris dibunuh.
"SAKURA!"
"Sasuke-kun …"
Apakah Sasuke-nya kembali? Kenapa ia mendengar suara pemuda itu? Namun kesadarannya yang semakin menipis membuatnya kesulitan untuk membuka mata. Tubuhnya semakin melemas dan jatuh, jikalau tangan besar itu tak menahannya.
"Sakura! Sadarlah Sakura!" panggil pemuda itu khawatir. Ia tak pernah sekhawatir ini pada seseorang, kecuali saat ini. Terlebih lagi ketika matanya menangkap cairan berwarna merah membasahi kaki wanita yang disayanginya.
Uchiha Sasuke panik. Luar biasa panik.
Dan ia segera menggendong Sakura untuk mencari bantuan. Ia butuh dokter. Hanya itu yang ia butuhkan. Dan tujuan akhirnya adalah Konoha.
.
Pemuda itu menyandarkan tubuhnya di dinding Rumah Sakit Konoha. Wajahnya memucat. Rambutnya sedikit berantakan. Ekspresi wajahnya dipenuhi kecemasan yang luar biasa. Ia tak bisa menyembunyikan hal tersebut, karena kini nyata, Sakura sedang bertaruh hidup dan mati demi anak mereka.
Jam berlalu begitu cepat. Ia bahkan tak sempat menghitungnya. Yang ia tau, ini sudah hampir pagi dan belum ada satupun dokter yang keluar dari ruangan bersalin untuk menemuinya.
Sasuke sudah tak sanggup lagi menahan perasaan cemasnya. Jantungnya memompa lebih cepat. Dan akhirnya Sasuke berniat masuk ke dalam ruangan tersebut demi melihat sendiri keadaan Sakura. Namun belum sempat ia melakukannya, Shizune telah keluar terlebih dahulu. Wanita itu terlihat kelelahan. Dan juga, penyesalan.
Sasuke menatapnya menuntut jawaban. Shizune menarik napasnya pelan sebelum menjelaskan.
"Anakmu perempuan. Dia selamat," ujar Shizune. Sasuke menghela napas lega. Bebannya sedikit berkurang. Tatapan matanya menunjukkan ia bahagia. Shizune pun tersenyum karenanya, namun hanya sebentar. Karena kata-kata yang diucapkan oleh Shizune selanjutnya, malah membuatnya merasa hancur seketika.
"Tapi anakmu membutuhkan perawatan intensif. Dia lahir belum pada waktunya. Dan juga … detak jantungnya sangat lemah," lanjut Shizune. "Sakura juga … dia mengalami syok yang cukup parah. Dan kehilangan banyak darah," lanjut Shizune.
"Tapi mereka akan baik-baik saja, kan?" tanya Sasuke tak sabar. Ia tak sanggup jika harus kehilangan lagi.
Shizune menggelengkan kepalanya lemah lalu menundukkan kepalanya, menatap lantai dingin itu sedih. Sasuke memejamkan matanya, mendesah pelan, dan merasakan setitik airmata di sudut matanya.
"Aku tak bisa memastikannya. Kondisi mereka berdua cukup parah, Sasuke," jawab Shizune penuh sesal. "Tapi aku akan berusaha. Nona Tsunade juga sedang berusaha. Kau tidak perlu khawatir. Mereka akan baik-baik saja. Percayalah," hibur Shizune yang wnyatanya tak memberikan efek apapun pada Sasuke. Pemuda itu terlihat begitu sedih.
.
"Mereka mengincar anakku."
"Eh?"
"Setelah ini aku akan memberikan pengamanan khusus untuk Sakura dan putrimu," ujar Kakashi.
"Tidak," tolak Sasuke tegas.
"Apa-apaan kau, sih, Sasuke!? Hokage sedang berusaha melindungi keluargamu," sewot Naruto. Sasuke terdiam sejenak. Kakashi hanya mengamati raut wajah pemuda itu.
"Perlindungan yang terlalu berlebihan hanya akan membuat terlihat mencolok. Dan itu hanya akan membuat musuh terlalu mudah mengenali keluargaku," jawab Sasuke. Naruto mengangguk paham. Namun tetap tak terima.
"Aku mengerti maksudmu," kata Kakashi.
"Rahasiakan kelahiran anakku. Data-data kelahiran anakku juga. Jangan biarkan ada pihak luar yang mengetahui anak itu. Dan jangan biarkan anakku mengetahui semua ini. Dan juga … aku akan pergi setelah bicara dengan Sakura," pinta Sasuke yang lebih terdengar seperti perintah.
"Sasuke! Itu sudah keterlaluan!" Naruto nyaris berteriak pada pemuda berambut raven itu. Kakashi memejamkan matanya sejenak, kemudian menjawab, "baiklah. Akan kulakukan yang kau minta."
"Tapi, Hokage …."
"Ini demi kebaikan anak itu Naruto."
.
Tiga hari berselang sejak kejadian itu. Kondisi Sakura dan juga putri mereka sudah membaik. Sasuke menemui Sakura yang masih berada dalam perawatan. Wanita itu sudah terlihat mulai menyusui sang bayi mungil yang masih nampak kemerahan. Wajah wanita itu terlihat lebih segar dan ceria.
Sasuke menghampiri kedua orang yang disayanginya tersebut. Ia mengambil tempat di sisi ranjang Sakura. Wanita itu tersenyum padanya. Luka hati yang sempat muncul karena Sasuke meninggalkannya tergantikan oleh rasa bahagia yang tak mampu ia lukiskan dengan kata-kata. Yang terpenting baginya adalah Sasuke kembali.
"Sasuke-kun, lihatlah. Dia cantik sekali, bukan?"
Sasuke tersenyum tipis padanya ketika melihat bayi mungil itu dalam gendongan Sakura. Mata bayi itu terpejam. Wajahnya nampak begitu damai. Tak ada beban. Anaknya lahir tanpa mengetahui betapa kerasnya dunia. Wajah tampannya ia dekatkan pada sang bayi dan mengamati tiap lekuk wajah bayi tersebut.
Bayi perempuan itu anaknya. Calon penerus Uchiha.
Sasuke tersenyum sekaligus sedih memikirkan hal itu. Ia mencium dahi lebar milik sang bayi. Lama. Matanya terpejam. Memikirkan kembali jalan yang telah dipilihnya. Tanpa sadar, tetes airmata jatuh membasahi dahi sang anak, membuat pergerakan kecil dari anaknya tersebut. Sasuke menarik wajahnya. Ia menatap sang anak yang kini berusaha untuk membuka matanya. Sakura menatap sang bayi penuh antusias.
Mata milik bayi mungil itu terbuka. Hitam.
Sakura melebarkan matanya seiring senyumnya yang semakin terkembang.
"Sasuke-kun … matanya … matanya mirip denganmu," seru Sakura antusias. Airmata menggenangi pelupuk matanya. Sungguh, ia bahagia. Sasuke pun tak kalah bahagianya. Kali ini ia benar-benar menangis. Dan itu adalah tangis kebahagiaan. Meski pada akhirnya ia tetap harus pergi. Namun kini ia bisa mempercayakan hal itu pada Sakura. Ia bisa mempercayakan putrinya pada sang istri tercinta.
Dan kali ini, ia memberitahu segalanya pada Sakura. Tak ada satupun yang ia sembunyikan. Kali ini pun, meski dengan berat hati, Sakura mendukung keputusan Sasuke.
.
.
.
.
.
.
"Sasuke-kun … kita belum memberinya nama!"
"Uchiha Sarada."
Sebuah simbol kebangkitan klan besar dalam sejarah. Dialah yang akan membawa nama Uchiha. Dengan bimbingan dan didikan dari sang ibu, anak itu akan membawa perubahan pada klan yang semenjak dulu menjadi klan terkutuk.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tidak ada satupun orangtua di dunia yang tidak menyayangi anaknya.
Walau dibenci, orangtua tetaplah orangtua.
Seseorang yang akan dengan sukarela mengorbankan nyawa demi anaknya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Beneran Tamat
terima kasih sudah membaca. :)
3,989 words