My Daddy

Standart Disclaimer Applied

Terinspirasi dari Naruto Gaiden chapter 04

SasuSakuSara

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Saat di akademi, dia populer di kalangan kunoichi … sama sepertiku, menurutku…. Dia juga keren dan enak dipandang … sama sepertiku juga …. Dan di akademi, peringkat ninjutsunya juga yang tertinggi. Sama persis denganku ….

"Tapiii dia adalah penyendiri total dengan sikap tercela dan bicara omong kosong kepada orang lain. Dia juga sok pintar! Beda sekali denganku!"

"…"

"Dengan kata lain … dia adalah rivalku! Sampai sekarang pun tidak berubah!"

"…"

"Sarada … saat aku melihatmu, aku benar-benar teringat pada Sasuke dan Sakura-chan dulu….

"Sasuke tidak pernah memakai kacamata … tapi kau terlihat mirip sekali dengannya. Terutama matamu …. Apalagi kalau matamu sharingan, pasti akan mirip sekali. Tapi tingkah lakumu, bagai kembaran Sakura-chan … terutama saat betapa menakutkannya kalian saat sedang marah …."

("Perasaan apa ini …. Saat berada di dekat Hokage Ketujuh … rasanya aman dan nyaman ….")

.

.

.

.

.

.

.

.

Papa … kenapa?

Aku rindu Papa.

Benar-benar rindu hingga rasanya perasaan ini ingin meledak.

Tapi kenapa ….

… kenapa kau meninggalkanku?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kebencian itu akan terus berlanjut, entah sampai kapan.

.

.

.

.

.

.

.

.

Papa

.

.

.

.

.

.

"Sarada, kau mau kemana?" tanya Sakura ketika melihat gadis kecilnya itu berlari terburu-buru setelah keluar dari kamarnya. Sarada menghentikan langkahnya sejenak. Ia menoleh sebentar menatap sang ibu. Tatapan itu … dingin. Sakura mengenalinya persis. Tatapan putri kecilnya sama seperti sang suami. Dadanya bergemuruh. Rasa sesak dan tak nyaman menyelimuti. Kenapa? Kenapa putrinya seperti ini?

"Latihan," jawab Sarada singkat, datar, seakan tak ada emosi di sana. Kemudian ia berbalik dan kembali berlari meninggalkan kediamannya, meninggalkan Sakura yang kini memandang sendu putri semata wayangnya. Tangannya meremas dadanya. Kenapa?

Apa ia telah gagal menjadi seorang ibu?

Tatapan matanya pilu. Ia memandang meja makan yang masih penuh dengan masakannya. Tak tersentuh sedikitpun. Putrinya tak memakan masakannya. Padahal dulu, tak peduli seperti apa, Sarada akan selalu memakan apapun yang ia masak. Gadis kecil itu sangat menyukai masakannya, meski sebenarnya ia tak pandai memasak dan rasa masakannya pun terkadang tidak enak. Namun sekarang, gadis itu seolah memiliki dunianya sendiri. Seakan-akan putri kecilnya itu ada di dunia yang berbeda dengannya. Seolah ia tak pernah ada. Sama persis dengan pria yang dicintainya.

Gadis kecilnya yang manis telah berubah menjadi dingin seperti ayahnya. Dan Sakura teramat menyesali hal itu. Seharusnya ia bisa menjaga dan mendidik anak itu. Tapi ia gagal. Kerinduan Sarada pada ayahnya dan kekecewaan Sarada pada sang ayah telah membuat gadis itu menjauh darinya. Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya Sakura bisa lebih jujur pada putrinya; tentang alasan kepergian Sasuke hingga bertahun-tahun lamanya, tentang perasaannya pada Sasuke, tentang pernikahannya, dan juga tentang masa lalu pria itu.

Namun, bahkan sampai saat ini pun Sakura seperti tak memiliki hak untuk mengatakan itu semua. Seharusnya Sasuke yang mengatakannya. Tapi ia tau betul bagaimana Sasuke. Pria itu tak akan menjelaskan hal seperti itu kepada orang lain.

Orang lain? Sakura tersenyum miris. Ya, mungkin Sasuke memang menganggap ia dan putrinya hanya orang lain. Bukan keluarga. Dan orang lain tak akan bisa menyentuh hati Sasuke, kecuali Naruto. Pria itu, entah apa yang dilakukannya, tapi hanya pria itu yang bisa mengubah Sasuke. Bukan dirinya. Atau juga Sarada.

Lalu, apa ia bahagia?

Sarada benar. Pernikahan macam apa yang ia jalani bersama dengan Sasuke-nya?

Masih pantaskah ia menyebutnya sebagai pernikahan?

Ia bahkan meragukan hal itu sekarang.

.

"Ayolah, Shishou! Ajari aku jurus itu!" rengek bocah bermata biru itu. Sasuke menatapnya datar, tak minat. Boruto mengerucutkan bibirnya.

"Kenapa aku harus mengajarimu? Kau bisa latihan dengan ayahmu," jawab Sasuke. Nada suaranya terdengar sedikit dingin. Ia bahkan sama sekali tak mengubah sikapnya ketika berhadapan dengan bocah.

Boruto memandang lurus pepohonan di hadapannya. Ayah? Ia bahkan merasa tak memilikinya.

"Ayahku orang tersibuk di Konoha. Dia tidak ada waktu untuk mengajariku. Lagipula …." jawabnya sebal. "… aku tidak ingin latihan dengannya," lanjutnya yang sukses membuat Sasuke terkejut dalam hati.

Anak ini … ia bahkan tak percaya jika anak yang ada dihadapannya sekarang adalah anak Naruto. Anak ini terlalu berbeda dengan Naruto. Dia seperti … dirinya yang dulu? Entahlah.

"Hn. Siapkan tenagamu kalau begitu." Sasuke pun berjalan membelakanginya. Boruto tersenyum sekilas dan mengikuti Sasuke.

.

Sarada memandangi kedua lelaki berbeda usia itu dari kejauhan. Sejak tadi ia bersembunyi di balik pohon. Dan beruntungnya karena kedua lelaki tersebut tak menyadari keberadaannya. Ia menatap tajam kedua lelaki itu. Hatinya panas. Ayahnya lebih memilih mengajari orang lain dibandingkan dirinya. Ia … iri. Sekaligus benci. Dan itu tanpa sadar memancing 3 tomoe sharingan di matanya.

"Aku akan membuatmu menyesal."

.

"Tadaima."

"Okaeri, Sarada."

Sakura menyambut Sarada dengan sebuah senyuman manis yang menenangkan. Ia menghampiri Sarada yang tengah melepaskan sepatunya. Mensejajarkan diri dengan putrinya, ia bisa melihat dengan jelas wajah kelelahan itu. Tatapannya terlihat sedih. Namun ia kembali tersenyum ketika Sarada menatapnya.

"Mandilah. Setelah itu kita makan malam bersama," ucap Sakura sambil menyentuh kepala Sarada. Mendengar ucapan Sakura, Sarada menundukkan kepalanya. Ia menatap lantai yang dingin itu. Tatapannya berubah sedih. Ibunya terlalu baik. Sangat baik, malah. Namun ayahnya … mengingat sang ayah membuat Sarada mengepalkan tangannya erat. Ekspresi kebencian terlihat jelas dari mata hitamnya. Ayahnya telah meninggalkan ia dan ibunya. Ayahnya telah membuat ibunya merawat ia sendirian selama bertahun-tahun. Dan sekarang ketika sang ayah kembali, ia malah sibuk dengan anak orang lain.

Sakura yang menyadari perubahan emosi sang anak pun langsung menepuk pelan kepala putrinya, membuat sang putri tersadar dan menatapnya. Sakura tersenyum menenangkan. Mata hijaunya terlihat begitu teduh dan … hangat. Namun menyimpan banyak luka. Sarada bisa melihat hal itu dengan jelas. Dan itu membuat hatinya seperti dicubit. Mata hitamnya berkaca-kaca. Namun sebelum Sakura menyadari hal itu, ia segera mengalihkan pandangannya.

"Hn," jawabnya singkat dan kemudian meninggalkan Sakura. Wanita itu menatap punggung anaknya yang menjauh. Sebagai seorang ibu, ia mengerti dengan jelas perasaan Sarada. Hal itu menyakiti dirinya. Karena itu, ia harus bicara dengan Sasuke.

.

Menjelang tengah malam, ketika Sarada sudah tertidur dengan pulas di kamarnya, Sakura bergegas untuk menemui pria itu. Ya, ia akan menemui sang suami yang telah kembali ke Konoha namun tak tinggal dengannya. Memikirkan hal itu membuatnya semakin bertanya: sebenarnya, apa yang Sasuke pikirkan tentang dirinya? Apa … Sasuke mencintainya?

Dan ia tak menemukan jawabannya. Bahkan ketika secara tiba-tiba pria itu mengajaknya menikah. Atau bahkan ketika mereka berdua tinggal serumah tanpa ikatan. Sakura tak mengerti dengan jalan pikiran Sasuke. Sebelum mereka menikah, Sasuke bersikap baik padanya. Namun semenjak menikah, ia tak tau mengapa sikap Sasuke kembali berubah seperti dulu. Dan parahnya pria itu meninggalkan dirinya selama bertahun-tahun tanpa kabar.

Sasuke hanya berkomunikasi dengan Naruto. Dan Naruto pun tak tau jika Sasuke tak pernah mengabari Sakura. Wanita itu merahasiakannya. Semuanya ia simpan rapat-rapat seorang diri. Berusaha memperlihatkan kepada orang lain dan juga putrinya bahwa ia bahagia, meski nyatanya ia ragu. Namun ia tak bisa berbohong bahwa kehadiran Sarada adalah obat paling mujarab untuk mengobati kerinduannya pada Sasuke. Dan juga obat untuk membuatnya kuat.

Sakura bertahan demi Sarada. Sakura berusaha bahagia demi Sarada. Semuanya hanya demi Sarada. Bukan lagi demi Sasuke. Ia pun sudah tidak terlalu peduli pada pria itu jikalau putrinya tak membutuhkan ayahnya. Namun Sarada membutuhkan Sasuke. Maka demi sang putri, ia harus tetap pura-pura bahagia menikah dengan Sasuke. Dan juga tetap mempedulikan pria itu.

Mengetuk keras pintu apartemen pria itu, Sakura berharap ia dapat menemukan sebuah solusi.

"Mau apa kau kesini?" tanya pria itu dingin ketika membukakan pintu dan melihat siapa yang datang. Sakura menatapnya tak terartikan. Wajah pria itu tidak banyak berubah kecuali model rambutnya. Pertahanannya nyaris runtuh. Ia ingin memeluk pria itu dan mengatakan bahwa ia merindukannya. Namun semua terlihat tak mungkin.

"Aku ingin bicara," jawab Sakura tegas. Sasuke menatapnya bertanya sebelum akhirnya mempersilahkan wanita itu masuk. Sakura pun tak mengatakan apa-apa. Mereka berdua terdiam cukup lama.

"Katakan apa yang ingin kau bicarakan?" Suara Sasuke akhirnya memecah keheningan diantara mereka. Sakura menatap wajah itu tegas. Ia ingin mengeluarkan suaranya namun terasa begitu sulit. Alhasil ia hanya menundukkan wajahnya sambil meremas roknya erat. Sasuke menatapnya dengan tatapan yang tak terartikan.

.

.

.

.

.

.

.

"Sasuke-kun … apa kau membenciku?"

Ia terdiam. Tak menjawab.

"Aku selalu berpikir bahwa kau membenciku. Terlebih lagi ketika kau ingin membunuhku." Sakura tersenyum miris. Sasuke tetap terdiam dan memperhatikan wanita itu.

"Tapi ketika pada akhirnya kau meminta maaf dan berterima kasih padaku, lalu menyuruhku untuk menunggu, aku berpikir kau tidak benar-benar membenciku. Kita tinggal bersama, kemudian menikah. Apa kau tau bagaimana perasaanku saat itu?"

"…"

"Aku bahagia sekali akhirnya bisa menikah dengan Sasuke-kun. Tapi kemudian kau meninggalkanku. Bertahun-tahun. Tanpa memberi kabar apapun. Dan saat itu aku merasa bahwa kau memang membenciku."

"…"

Tapi dibandingkan semua itu … yang membuatku begitu terluka adalah ketika kau menyakiti putri kita."

Ekspresi Sasuke mengeras. Suara Sakura terdengar bergetar.

"Dia bahkan tak tau apa-apa. Dia hanya tau bahwa dia merindukan ayahnya. Tapi kau menyakitinya, Sasuke-kun. Kau membuat Sarada sedih. Dia menangis saat kau tidak mengenalinya dan memilih bersama orang lain."

"…"

"Kau boleh membenciku sebanyak yang kau mau. Tapi … tidak bisakah kau menyayangi Sarada? Tidak bisakah kau memberinya perhatian?"

Sasuke menundukkan kepalanya. Airmata Sakura sudah menetes sejak tadi. Ia menatap pria yang kini tengah duduk dihadapannya. Tangannya yang mungil menyentuh punggung tangan Sasuke dan menggenggamnya. Sasuke menatapnya. Ekspresinya tak terbaca.

"Aku mohon … ijinkan Sarada untuk mendapatkan kasih sayang ayahnya …."

.

.

.

.

.

.

.

Perubahan.

Sakura selalu berharap adanya perubahan dalam kehidupan keluarganya yang dibangunnya. Ia berharap Sasuke berubah. Namun pada kenyataannya, pertemuannya dengan Sasuke tak mengubah apapun. Semuanya masih sama.

Hari demi hari berlalu. Sikap Sarada semakin dingin. Tatapan matanya yang dulu hangat kini dipenuhi oleh ambisi dan kebencian. Gadis kecil itu semakin menjauh darinya. Begitu jauh hingga rasanya Sakura sulit untuk menggapainya. Sakura hanya mampu menangis dalam hati dan memohon pada Tuhan agar kehidupannya, terutama kehidupan putrinya berubah menjadi bahagia. Namun Tuhan belum menjawab doanya.

Sarada adalah anak yang cerdas. Anak itu bahkan menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Setiap hari gadis kecilnya itu berlatih seorang diri dengan hanya berbekal buku pengetahuan ninja yang didapatkannya dari akademi. Tak ada yang melatihnya. Sasuke sibuk dengan dunianya sendiri. Pria itu sibuk melatih anak Naruto tanpa mempedulikan anak kandungnya. Sakura tersenyum miris.

Ia tak tau lagi apa yang harus ia lakukan untuk putrinya. Ia merindukan Sarada-nya yang dulu.

.

"Kau jauh lebih berkembang dari dugaanku," puji Sasuke pada Boruto. Bocah lelaki itu tersenyum. Lalu terkekeh ketika Sasuke menepuk kepalanya pelan sambil menyunggingkan sebuah senyuman tipis. Boruto tertegun. Sasuke tidak pernah tersenyum. Namun kali ini pria itu tersenyum padanya. Hatinya menghangat seketika.

"Cih." Tatapan kebencian itu berubah menjadi sharingan. Sasuke menyadari kehadiran gadis itu. Ia menatapnya. Agak sedikit terkejut ketika melihat sharingan aktif di mata putrinya.

"Eh? Sarada …." Suara riang Boruto terdengar begitu menggelikan di telinga Sarada. Ia menatap bocah itu sekilas. Ekspresi kebencian itu terlihat jelas di sana. Boruto yang tak mengerti apa-apa hanya menatapnya bingung. Sasuke yang menyadari hal tersebut langsung menyuruh Boruto untuk pergi terlebih dulu. Boruto menyanggupi, meski ia bingung dengan apa yang terjadi.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sasuke. Nada suaranya datar. Namun menusuk, seakan-akan ia memang tak menginginkan kehadiran Sarada. Gadis itu menatapnya tajam, masih dengan sharingannya.

"Aku hanya melihat Papa ku," jawab Sarada sarkastik. Sasuke mengernyit tak suka. Anak ini berbeda jauh dari saat pertama kali ia bertemu dengannya. Meski Sasuke tak bersamanya, tapi pria itu tau bahwa sifat asli putrinya tidak seperti ini. Anak itu seperti Sakura. Dan sekarang dia berubah. Sasuke baru menyadarinya. Kemana dia selama ini?

Mata sharingan Sarada berubah kembali menjadi hitam. Ia menatap tajam mata sang ayah. Batinnya bertanya kenapa ia begitu mirip dengan ayahnya? Ia membenci pria itu. Namun, jauh di lubuk hatinya ia merindukan pria itu. Ia masih berharap ayahnya akan bersamanya, mengajaknya berlatih. Namun ketika mengingat kembali apa yang telah dilakukan oleh pria itu, rasa rindunya terkikis, terganti oleh rasa kebencian yang amat mendalam. Hingga rasanya ia ingin membenci dirinya sendiri yang sangat mirip dengan pria itu.

"Pulanglah. Sudah sore," kata Sasuke sambil berbalik hendak meninggalkan Sarada. Gadis itu menatap punggung Sasuke.

"Seharusnya kau mengatakan hal itu pada dirimu sendiri," lirihnya sambil menundukkan wajahnya. Suaranya terdengar pelan namun masih dapat didengar oleh Sasuke. Tak ada yang dapat mengerti dirinya. Ekspresinya tak terbaca. Dan ia berlalu pergi meninggalkan gadis itu seorang diri.

.

"Sarada …." panggil Sakura. Gadis yang tengah duduk di meja makan pun menatap ibunya tersebut.

"Hn," sahutnya singkat. Sakura terdiam sejenak.

"Makanlah. Nanti makananmu dingin," perintah Sakura lembut. Sarada menatap makanan piringnya. Masih utuh makanan yang disiapkan oleh ibunya. Ia mengambil sumpit dan mulai menyuap makanan itu ke mulutnya. Tak ada kata yang terucap setelah itu. Sakura menatapnya sedih.

"Aku selesai," ucapnya datar. Kemudian berdiri dan hendak meninggalkan meja makan itu. Namun Sakura menahan tangannya. Sarada menoleh dan mendapati mata hijau itu tengah menatapnya penuh kerinduan.

"Bisa kita bicara?"

"Hn."

Akhirnya kedua perempuan itu duduk di sofa. Sarada menundukkan wajahnya sementara Sakura terus mengamati putrinya tersebut. Ia benar-benar merindukan Sarada. Ia ingin memeluknya. Dan tanpa bisa ia tahan, ia melakukannya. Sarada terkejut. Namun tak menolak. Ia membenamkan wajahnya di dada Sakura. Wanita itu pun mengusap punggung putrinya.

"Apapun yang terjadi, mama akan tetap di sisimu, Sarada."

Dan isakan itu terdengar jelas. Memilukan. Menyesakkan. Sakura hanya bisa menahan airmatanya agar tak keluar. Karena ia tak boleh terlihat lemah di depan anaknya. Ia harus kuat. Seperti halnya ketika berhadapan dengan Sasuke.

Bicara soal Sasuke, tanpa mereka berdua sadari, pria itu tengah memandangi kedua perempuan itu. Ekspresi wajahnya terlihat terluka. Kakinya melangkah pelan berusaha mendekati mereka dan memeluk mereka berdua. Namun ketika ia tersadar, langkahnya terhenti. Ia hanya memandang kedua perempuan itu tanpa bisa melakukan apapun. Kemudian ia berbalik. Langkahnya terdengar begitu pelan. Namun Sakura menyadari hal tersebut. Ia membuka matanya dan menatap sang pria Uchiha yang tengah mematung membelakanginya. Dari posisinya saat ini, Sakura bisa melihat bahwa punggung Sasuke bergetar.

Ia ingin menyebut nama itu. Namun kondisinya tak memungkinkan. Ia hanya berharap Sasuke kembali berbalik dan menatapnya. Dan harapannya terkabul. Kedua mata sehitam jelaga itu menatapnya terluka. Ia mengucapkan sesuatu tanpa suara. Sakura mengerti hal itu. Ia mengangguk. Dan kemudian pria itu kembali pergi.

"Maafkan aku …."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Ummm … Hokage Ketujuh … bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Kau mau bertanya apa, Sarada?"

"Kenapa … kenapa Papa meninggalkanku? Hokage Ketujuh sahabatnya. Jadi, pasti tau kan? Papa … dia tidak memberitahuku alasannya."

"Hmmm … bagaimana, ya? Hehehe. Aku bingung menjelaskannya hal itu Sarada."

"…"

"Tapi percayalah, Sasuke pergi bukan berarti dia tidak menyayangimu. Dia hanya … bagaimana, ya? Aku benar-benar bingung harus memulainya dari mana."

"Aku hanya ingin bersama Papa."

Naruto memandang sendu gadis itu. Tangannya pun ia letakkan di kepala Sarada, menyadarkan gadis itu akan kesedihannya.

"Kau beruntung karena memiliki Sasuke dan Sakura-chan sebagai orangtuamu."

("Benarkah … aku seberuntung itu?")

.

.

.

.

.

.

.

.

Gadis itu berlari menyusuri hutan belantara. Keringat mulai membasahi wajahnya yang kelelahan. Namun ia tak mempedulikan hal itu. Hanya satu tujuannya saat ini; ayahnya. Ia harus bicara. Meski yang ia dapatkan nanti hanyalah kebencian yang semakin mendarah daging.

Mata sharingan dengan 3 tomoe itu menatap tajam menara tempat ayahnya berada. Ia berjalan pelan menuju gerbang menara tersebut. Tepat ketika berada di depan gerbang, gerbang itu terbuka dengan sendirinya. Ia masuk perlahan dan dapat ia jelas bahwa sang ayah tengah menunggunya di sana. Mata hitam milik Sasuke menatapnya datar.

"Aku tidak menyangka kau akan menemuiku." Sasuke bersuara, datar, namun terkesan meremehkan. Sarada menatapnya berani.

"Katakan semuanya padaku! Apa alasan kau meninggalkanku?" tanya Sarada dingin. Sasuke mendengus. Ia memejamkan matanya sejenak. Kemudian matanya kembali terbuka dengan tatapan dingin.

"Aku tidak membutuhkan anak sepertimu."

Deg

Mata Sarada membulat. Detak jantungnya tak beraturan. Emosinya meluap namun berusaha ia tahan.

"Uchiha adalah klan yang terhormat. Butuh seorang laki-laki untuk menjadi pemimpin Uchiha. Dan kau bukanlah bagian dari itu. Kau hanya bocah lemah yang dipertahankan oleh Sakura," lanjut Sasuke ringan tanpa beban. Sarada semakin menatapnya tajam dan berusaha untuk menahan emosinya. "Sakura terlalu bodoh. Dia terlalu dibutakan oleh cinta sehingga mau mempertahankan seorang anak yang bahkan tidak pernah aku inginkan."

Trang

Suara kunai terdengar beradu dengan pedang Sasuke.

"JANGAN PERNAH MENGHINA IBUKU, BRENGSEK!"

Sarada berlari, menerjang pria itu. Entah sudah berapa kunai yang ia lemparkan namun berhasil ditangkis oleh Sasuke.

"Kemampuanmu bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan Boruto."

Deg

Tidak ada apa-apanya? Selama ini hasil latihannya tidak membuat sang ayah mengakuinya. Sarada menggeram marah. Sasuke hanya menatapnya datar tak peduli. Chakranya terkumpul di satu titik. Ia benar-benar ingin membungkam ayahnya. Tidak. Ia bahkan sudah tak ingin memgakui Sasuke sebagai ayahnya. Namun belum sempat ia melanjutkan serangannya, Sasuke sudah terlebih dahulu membuatnya tak berkutik.

"Mangekyou Sharingan!"

Dengan kesadaran penuh, Sasuke melakukan genjutsu pada putri semata wayangnya. Ia memperlihatkan dengan jelas masa lalunya sebagai seorang ninja pelarian, kriminal, dan buronan. Ia juga memperlihatkan bagaimana ia berkali-kali ingin membunuh Sakura. Sarada tak sanggup mengatakan apapun. Ia tak menyangka bahwa ayahnya adalah mantan penjahat. Atau sampai sekarang pun tetap menjadi penjahat.

Jurus itu dihentikan oleh Sasuke beberapa menit kemudian. Sarada terlihat syok. Keringat dingin membasahi wajahnya. Ia kembali menatap ayahnya. Kali ini ada ekspresi ketakutan di sana. Sasuke menatapnya datar.

"Pergilah! Sebelum aku melakukan hal lebih buruk dari ini padamu," perintah Sasuke sambil membalik tubuhnya dan hendak meninggalkan Sarada yang kini berlinangan air mata. Gadis itu tak mengerti kenapa ia menangis. Ia hanya … ia hanya begitu terluka mengetahui kebenaran. Sekaligus … merasakan kesepian pria yang tengah berjalan menjauhinya.

"Aku hanya ingin bersama Papa." Suaranya terdengar bergetar. Sasuke menghentikan langkahnya. Rasanya de javu.

"Aku iri pada teman-temanku karena mereka bisa berlatih bersama ayah mereka. Tapi aku … aku tidak pernah mengenal ayahku. Aku tidak ingat seperti apa dirinya. Mama juga tidak mengatakan apapun. Tapi, setelah akhirnya aku bertemu dengan Papa, aku benar-benar senang. Aku … aku ingin memeluk Papa. Tapi Papa terlihat seperti tidak menginginkanku." Gadis itu menundukkan wajahnya. Tetesan airmata membasahi lantai tempat ia berpijak. Isakan kecil keluar dari mulutnya. Sasuke terdiam di tempatnya. Tak ada yang tau seperti apa ekspresinya saat ini. "Saat Papa kembali, Papa malah menjadi guru Boruto. Aku iri padanya. Padahal, aku anak Papa. Tapi Papa malah lebih memilih Boruto. Aku membenci itu. Aku membenci Papa yang sudah meninggalkanku dan Mama. Tapi, setiap kali melihat Papa, perasaan itu selalu muncul. Aku … merindukan Papa …." Isakannya terdengar menyesakkan. Sasuke mengepalkan tangannya erat di balik jubahnya. Hatinya sakit mendengar pengakuan putrinya.

"Aku … aku … aku merindukan Papa. Aku sayang Papa. Sebesar apapun rasa benciku, aku … aku tidak bisa … benar-benar membenci Papa. Tapi kenapa … Papa membenciku? Apa … salahku?" Sarada semakin terisak. Airmata semakin deras membasahi wajah ayunya. Sasuke tetap terdiam sambil merasakan gejolak yang sangat menyakitkan hatinya. Beberapa saat keduanya terdiam. Yang terdengar hanyalah suara isakan Sarada. Hingga akhirnya Sarada dikejutkan oleh kehadiran Sasuke di belakangnya. Ia bahkan tak sempat bergerak. Ayahnya terlalu cepat. Ingin menoleh namun tak bisa.

"Sarada …."

Tuk

"… terima kasih. Dan …." Sasuke membopong anaknya yang jatuh pingsan karena pukulannya di titik vital bocah itu. Ia menatap wajah gadis yang begitu mirip dengannya tersebut. Tatapannya berubah sedih. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gejolak hatinya. Sungguh, ia tak pernah bermaksud melakukan hal ini pada putrinya. Ia tak pernah ingin menyakiti anaknya. Namun tak ada yang bisa ia lakukan selain hal tersebut. Hanya inilah satu-satunya cara untuk … melindungi Sarada.

"… maafkan Papa, Sarada."

.

.

.

.

.

.

.

Ketika ia terbangun, ia sudah berada di kamarnya. Rasanya seperti mimpi.

Ketika akhirnya ia melihat sang ibu tengah memasak dan sang ayah duduk di meja makan menunggu hasil masakan ibunya.

Ia tersenyum. Ingin menghampiri mereka. Namun semua terasa jauh dan sulit dijangkau.

Ia terjatuh. Dan ketika tersadar, semuanya hilang.

Senyumnya memudar. Hatinya terasa kosong.

Semuanya benar-benar mimpi. Karena kini yang ada dihadapannya hanyalah sang ibu yang terlihat begitu ringkih.

"Kau sudah bangun, Sarada? Aa, Mama sudah menyiapkan makanan kesukaanmu. Duduklah. Dan kita akan makan bersama."

Suara Sakura tak berubah. Tetap bersemangat seakan-akan wanita itu bahagia. Sarada menuruti kemauan ibunya. Ia duduk dan memandangi wanita yang tengah memindahkan makanan yang dimasaknya ke meja makan.

"Mama …?

"Hmm … ada apa, Sarada?"

"Kenapa … kenapa Mama mau menikah dengan Papa?"

"Eh? Aa … itu karena … Mama mencintai Papa mu."

"Cinta?"

"Ya. Aa, kau masih terlalu kecil untuk mengerti hal itu."

"Tapi Papa …."

Sakura tersenyum lembut.

"Kau mau tau satu rahasia?"

"Eh?"

"Saat Papa mu tau Mama mengandung dirimu, dia sangat senang. Mama tidak pernah melihatnya sebahagia itu. Dan saat melihatmu lahir, dia … itu pertama kalinya Mama melihatnya begitu bahagia sampai ia meneteskan airmatanya. "

Sarada tertunduk. Ia tak tau harus mempercayai hal itu atau tidak. Karena kini faktanya, Sasuke bersikap enggan padanya.

"Dia sangat menyayangimu, Sarada. Melebihi dirinya sendiri."

"Eh?"

"Hanya saja, ia menunjukkan hal itu dengan cara yang berbeda. Papa mu orang yang sedikit kaku dan sulit bersosialisasi. Tapi setiap kali kami bertemu, dia selalu menanyakanmu. Dia selalu mengkhawatirkan dirimu."

"…"

"Sasuke itu … dia hanya menyayangimu, putrinya."

.

.

.

.

.

Uchiha adalah klan yang dipenuhi oleh cinta. Dan mereka memiliki cara tersendiri untuk mencintai.

.

.

.

.

.

.

"Terima kasih … karena telah terlahir ke dunia ini, Sarada."

.

.

.

.

.

.

The End


3,386 words


Akhirnya kelaaaarrrrrr... semoga gak ada typo dan hal semacam itu. Males baca ulang dan ngedit. Jadi butuh kritik dan sarannya. :)

Betewe, sebeeeeeellll sama Sasuke. Beneran sebel. Pertama, dia ninggalin keluarganya. Kedua, dia gak ngenalin anaknya plus nodong pake katana pula. Dan yang ketiga, yang super duper ngeselin adalah … Sasuke makin ganteng. Kan resek. Mau benci gak bisa benci jadinya. Hahahaha

Yosh. Terima kasih sudah membaca :)