Laptopku rusak dan aku butuh waktu 2 tahun untuk memperbaikinya. Sudah. Itu saja alasanku xD (jelas bohong)
So… here is it! 14k+ words
Happy Reading~ (belum diedit, kemungkinan akan banyak typo)
.
.
.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Only The Ring Finger Knows © Kannagi Satoru & Odagiri Hotaru
SEIYUU! Say I Love You!
Chapter 7: Is it Training? (2)
Pairing: SasuNaru. Slight pair-pair lain.
Seiyuu!Naruto, Seiyuu!Sasuke, AU, ShounenAi, BoyxBoy, Drama, Romance, Family dengan sedikit humor.
Rate M untuk sedikit dirty-talk.
Warning: Terkadang typo, sedikit OOC, bahasa dan diksi seadanya, beberapa kata-kata kasar, bahasa santai, penyebutan merek yang gamblang.
Judul terinspirasi dari manga berjudul SEIYUU! Say You! Terbitan m&c
.
.
.
.
.
Kakashi terlambat sekitar tiga puluh menit.
Jam tujuh pagi seperti ini Kakashi tahu kalau Sasuke sudah bangun, mengenakan baju olahraganya yang biasa. Kalau tidak sedang berada di taman area apartemen, dia pasti ada di ruang latihan. Kakashi bahkan tidak sempat membuat sarapan. Di waktu seperti ini minimarket jadi sangat berguna.
Pagi ini Kakashi masuk ke dalam apartemen Sasuke dengan kunci cadangan berbentuk kartu pipih berpermukaan glossy, melangkah ke dalam ruang latihan olah tubuh yang terletak paling jauh ─melewati perpustakaan.
Dia terhenti kaku di depan pintu.
"T─tunggu... dulu… Sasuke…" Suara yang Kakashi kenal sebagai suara Naruto, terputus-putus dengan napas berat. "Pelan-pelan…" Suara itu memohon, lirih.
"Tetap akan sakit walau pelan-pelan." Suara rendah Sasuke menyusul.
"Aku takut."
"Kau bisa."
"Aku tidak bisa."
Kantong plastik berisi beberapa potong sandwich dan susu kotak less sugar jatuh terlepas dari genggaman tangan Kakashi, isinya berceceran.
"Kau bisa."
"O-oke... Tapi kau janji harus pelan-pe─ Akhhh!"
Kakashi tersentak karena teriakan kencang itu, keluar dari ketidaksadarannya.
"Sakit! Kubilang pelan-pelan, Brengsek!"
Apa itu tadi?
Kekerasan? Pelecehan seksual?
Wajah Kakashi memucat.
Tidak! Tidak bisa. Kakashi tidak bisa membiarkan ini. Dia belum siap ditanya oleh Fungaku tentang di mana tanggung jawabnya saat Sasuke melakukan tindak kriminal seberat itu. Terlibat pertengkaran ringan dengan sesama entertainer sudah biasa. Tapi kalau sampai tindak kekerasan atau pelecehan seksual, apalagi dua-duanya, dikenai pasal berlapis atas kekerasan sekaligus pelecehan, diciduk pihak berwajib, disiarkan media massa, menyebabkan Mikoto pingsan lagi, dan akhirnya melibatkan nama besar Uchiha Group, Kakashi memilih gantung diri saja dibanding ditembak mati Itachi di hadapan pegawai yang lain. Bagaimana juga dia bertanggung jawab pada Iruka soal Naruto?
Kakashi menerjang pintu dengan hati kalut dan gumaman berulang, 'matilah aku'.
Pintu terbuka kasar, lebar. Menampakkan ruangan berlapis lantai kayu itu secara keseluruhan. Dinding-dindingnya berupa kaca, replika sempuran dari ruang latihan tari Hyuuga Entertainment, hanya saja lebih kecil. Empat berbanding satu.
Di tengah ruangan, wajah Naruto terlihat sengsara, menahan sakit mati-matian. Sasuke berada di belakangnya, menekan punggung Naruto ke depan sampai bocah pirang itu bisa membuat ujung jari-jarinya mengenai ujung jari kaki.
Kakashi mengerjap.
"Kau mengagetkan, Kakashi." Sasuke melepas tekanan tangannya pada punggung Naruto. "Sudah membeli sarapan?"
Kakashi mengerjap lagi. Mulai bisa membaca situasi.
"O─oh. Sarapan, ya. Iya, ya. Hahaha." Kakahi mencoba mengingat di mana tadi dia menjatuhkan kantong plastiknya. Sambil merutuki kekonyolannya sendiri, Kakashi memunguti sandwich-sandwich yang dikemas dalam plastik kedap udara itu.
Sasuke mengerutkan kening sambil melihat Kakashi. Kemudian dia berjalan ke pojokan, mengambil handuk yang tergantung dan melap keringat di lehernya.
Napas terputus-putus Naruto terdengar jelas di ruangan itu. Dia sudah merebahkan tubuhnya di atas haribaan lantai kayu yang berdecit tiap bergesekan dengan sepatu olahraga Sasuke yang mahal, mengingatkannya dengan lantai kayu di tempat latihan basket sekolahnya dulu. Terlentang dengan merenggangkan kedua tangan, dadanya naik-turun seirama napas.
"Ini... belum selesai...?"
Satu kalimat dan Naruto sudah sulit mengatakannya.
Mata birunya mungkin terpejam, tapi dia bisa sadar kalau wajahnya ditutupi handuk. Sasuke menjatuhkan sehelai handuk kecil itu ke wajah Naruto. "Satu kali lagi olah tubuh, setelah itu selesai." katanya dengan datar. "Setelah ini kita menggerakan badan dan bibir sesuai musik yang mengalun. Berguna untuk melatih sistem koordinasi antara semua bagian tubuh."
Naruto berduduk, handuk di wajah turun ke pangkuannya. Matanya menatap tajam Sasuke. Setelah joging satu jam, pemanasan yang menghabiskan sepuluh menit dan sekarang masih ada satu lagi? Gila. Naruto sampai bangun jam lima hari ini!
Katanya, orang yang dibangunkan dengan paksa akan bermood jelek sepanjang hari.
"Apa?" Sasuke balas menatap Naruto. "Kau mau bilang kalau kau tidak sanggup lagi?"
Lagi-lagi. Tatapan merendahkan itu.
"Bisa!" Naruto berdiri dengan cepat, berhadapan dengan Sasuke. Tangannya mengepal handuk kuat-kuat. "Aku bisa."
"Bagus."
Kakashi menatap mereka berdua, menghela napas. Entah ini terlalu muluk atau tidak, Kakashi sempat berpikir kapan kira-kira dua anak ini bisa membangun hubungan yang baik. Setidaknya, hentikan dulu soal tatap-tatapan yang seakan menghasilkan kilat yang berbenturan itu.
"Ngomong-ngomong, ada apa dengan penampilan Naruto? Kenapa kalian beda sekali?" Kakashi coba memecah ketegangan. Duduk di pojokan, di dekat gantungan handuk dan dispenser ukuran kecil. Sarapan sudah masuk kantong plastik, tidak ada yang tertinggal.
Naruto melirik dinding-dinding kaca, melihat pantulan dirinya sendiri. Kaos usang warna hijau, celana trening pinjaman yang warnanya sama sekali tidak matching dengan atasannya ─merah tua, kakinya tanpa sepatu, dan rambut yang bagian poninya diikat ke atas dengan karet seadanya. Wajahnya cemberut. Terlihat lucu, seperti anak asuhan Johny Jimusho yang baru mulai debut.
Tidak perlu mencuri pandang, Naruto sudah bisa melihat Sasuke dari pantulan cermin. Sasuke memakai kaos longgar putih dengan celana trening hitam, berbeda warna, tapi dari garis putih yang menghias bagian pinggir celana itu, siapapun akan tahu kalau pakaian yang Sasuke kenakan sangat serasi. Kakinya dibalut sepatu sport merek terkenal. Haedband melingkar di sekitar keningnya, menyingkirkan rambut dari bentuk wajahnya yang sempurna. Dimbah dengan wristband di tangan kiri, Sasuke sungguh terlihat seperti artis sekaligus olahragawan profesional.
Tidak adil! Naruto mana tahu akan dilatih seperti ini. Dia tidak rela menggunakan sepatu sneaker kesayangnya untuk lari-lari. Atau kaos-kaos bagus itu untuk dipakai sebagai bahan penyerap keringan di pagi hari. "Aku juga mau pakai yang seperti itu!" Naruto menunjuk headband yang dipakai Sasuke, tangannya yang lain membuka karet di rambutnya dengan kasar.
"Dasar bocah."
"Apa katamu? Ngajak berantem, hah?"
Kakashi salah langkah. Menyulut sumbu petasan di siang hari, bunyinya mengganggu telinga. Dia menghela napas lagi. Tidak ingin mengorbankan diri jadi penengah.
Terserah mereka berdua saja lah.
.
.
Walau Sasuke bilang latihan terakhir hanya menari dan menyanyi, pada kenyataannya tidak semudah yang Naruto kira. Bukan tarian asal angkat dan lambaikan tangan seperti anak-anak playgroup. Atau nyanyian-nyanyian berdurasi pendek yang lirik dan nadanya cepat diingat. Gerakannya memakai semua anggota tubuh, dari gerakan kaki, pinggul, tangan, sampai tengokan kepala. Naruto mencoba mengikuti, dan menyerah di menit kelima.
"Bangun." Perintah Sasuke singkat, tanpa basa-basi. Dia menghadap Naruto yang berjongkok di tempatnya.
Naruto menatap, mata biru jernihnya menantang. "Untuk apa latihan ini? Kenapa aku harus melakukannya?" Dia kesal, dan menahan sakit dari kakinya yang berdenyut. Hanya lima menit dan Naruto sudah jatuh satu kali. Dalam tiga puluh menit, dia akan jatuh enam kali.
"Untuk menghasilkan suara yang bagus kita juga harus menggerakkan badan."
Naruto mencari kebohongan dari tatapan mata Sasuke. Apa dia hanya ingin membodohinya lagi? Atau memang ini latihannya?
Yang manapun...
Naruto bangkit sambil menggigit bibirnya.
Yang manapun Naruto tidak peduli. Dia hanya tidak suka kalah, tidak pada orang di hadapannya ini. Jatuh enam atau sepuluh kali akan sama saja hasilnya. Tetap sakit juga, kakinya tetap berdenyut juga. Sekalian saja.
Musik masih mengalun sampai lebih dari sepuluh menit kemudian. Sejak menit kelima Naruto sudah tidak terjatuh, lumayan bisa mengimbangi gerakan Sasuke. Entah karena Sasuke yang menurunkan speed-nya atau Naruto yang mulai terbiasa walau sudah sangat kelelahan. Suara Sasuke terdengar di sepanjang lagu, one-two one-two. Sisa waktu mereka lewatkan tanpa keluhan dari Naruto atau kata-kata pancingan emosi dari Sasuke. Hanya ada napas terengah dan tetesan keringat yang jatuh ke lantai.
Naruto ambruk begitu Sasuke mematikan musik, tidur terlentang seperti tadi. Napasnya lebih memburu.
Sasuke masih sanggup berdiri, melangkah ke arah Kakashi dan mengambil sarapan mereka. Mendapatkan plastik belanjaan itu, Sasuke sedikit melihat isi di dalamnya. Sandwich keju dan susu. Dia tidak langsung membawa makanan itu ke tengah ruangan, mengembalikan pada Kakashi dan memberi isyarat agar manajernya itu makan lebih dulu bersama Naruto.
Tuan Muda Uchiha yang satu itu tidak pernah marah atau melapor pada Fungaku kalau Kakashi sering terlambat, yang penting dia tetap mendapat sarapannya. Toh roti minimarket tidak begitu buruk. Dibanding mantan manajer-manajernya, seorang wanita dengan dandanan mencolok yang sering curi-curi kesempatan menyentuh Sasuke, atau seorang pria kaku berpotongan seperti dosen teladan yang membosankan, Kakashi sudah jauh lebih baik. Lebih baik, tolong garis bawahi pada kata-kata itu. Setidaknya, Sasuke bisa tidur dengan nyenyak di mobil tanpa takut ditelanjangi wanita jalang berkedok manajer. Bisa bersantai seminggu sekali dengan menonton DVD koleksinya tanpa perlu diperiksa dulu oleh manajer merangkap dosen kolot yang penuh aturan.
Sasuke menghilang di balik pintu, berbelok ke arah kiri. Naruto masih dalam posisinya saat Kakashi duduk bersimpuh di sampingnya, membongkar isi plastik dan mambaginya untuk tiga orang. Masing-masing mendapat dua sandwich dan satu susu kotak. Sasuke mendapat sandwich special dengan ekstra tomat. Kakashi selalu membeli cadangan, dalam plastik masih ada beberapa bungkus lagi.
"Kau tidak apa-apa, Naruto?"
"Aku..." Naruto terengah, "seperti akan mati kehabisan napas…" Ini mengherankan sebenarnya. Seingat Naruto, saat masa sekolah dia adalah orang yang bisa berlari keliling lapangan sepuluh kali dengan wajah girang. Apa dia memang sudah jarang menggerakkan badan sehingga rasa capeknya sangat terasa?
"Kau tidak alergi keju kan? Susu bagaimana?" tanya Kakashi. Baru sadar dia belum menanyakan hal sepenting itu dari awal.
Naruto bangkit, duduk dan mengatur napasnya sebelum menjawab. "Aku suka keju. Susu juga suka." Dia berpikir sebentar, "Sepertinya tidak ada makanan yang aku pantangi. Hanya saja, aku memang paling suka ramen."
Kakashi tersenyum melihat cengiran Naruto.
"Apa si Uchiha itu selalu seperti ini? Maksudku, bangun jam lima hanya untuk joging dan serentet latihan pagi lainnya?" Naruto berbisik sesudah celingukan, memastikan Sasuke tidak ada.
"Joging memang tiap pagi, tapi latihan gerak tubuh dengan musik biasanya hanya tiga kali dalam seminggu, paling banyak empat kali." Kakashi memakan sarapannya lebih dulu. Dia sudah lapar dari tadi.
"Oh..." Naruto memberi angukan sebagai respon. Akhirnya handuk yang dilempar Sasuke digunakan juga untuk melap keringatnya.
Kakashi menyalakan TV yang tertempel di sisi dinding, tipe dan merek yang sama sperti yang ada di dapur. Pindah-pindah chanel sampai mendapatkan saluran berita yang biasa Sasuke tonton. Kakashi jadi ikut terbiasa nonton chanel yang satu ini. Penuh berita, dalam maupun luar negeri.
Naruto sudah mulai membuka kemasan rotinya saat Sasuke kembali masuk dengan selembar handuk basah di tangan kanan.
"Mana yang berdenyut?" tanyanya saat duduk di dekat Naruto.
"Eh?"
"Kakimu, Bodoh." Sasuke menghela napas. Tidak suka mengulang pertanyaan. "Mana yang berdenyut?"
Naruto memajukan bibirnya. Sebal dibilang bodoh. Walau memang sudah sering, tapi tetap saja suara itu menyebalkan.
"Semuanya sakit!" jawab Naruto kesal. "Yang kanan, yang kiri juga. Telapak kakinya, pergelangan kakinya. Betisku juga. Sampai ke pangkal paha juga." Bagaimana? Banyak bukan? Lihat hasil latihan mengerikanmu!
Kakashi tidak mau terlibat, pura-pura fokus pada TV. Berita tentang pertentangan antara musisi nasional yang tersohor dan pengacara kondang yang diperkirakan sakit jiwa. Tidak penting, tapi terasa lebih penting dari pada pertengkaran Naruto dan Sasuke.
Sasuke berdecak. Sadar harusnya dia tidak usah bertanya. "Luruskan kakimu."
"Untuk apa?" Naruto mengernyit.
"Luruskan saja."
Naruto mengikuti perintah, meluruskan kaki. Mulutnya mengemut ujung roti. Sasuke dengan yakin meletakan handuk basah itu di bagian pergelangan kaki kanan Naruto. Rasanya dingin.
"Kompres selama sepuluh sampai lima belas menit. Kalau sakitnya masih terasa, lakukan lagi tiap jam dengan durasi yang sama." Sasuke berkata pelan, tapi Naruto maupun Kakashi dapat dengan jelas mendengarnya. "Aku tahu ini melelahkan. Bertahanlah. Kau hanya butuh dua sampai tiga hari agar terbiasa."
Naruto menatap Sasuke, masih dengan mengemut rotinya.
Suara Sasuke mungkin memang terdengar datar seperti biasa, seperti tidak peduli. Raut wajahnya tidak berubah. Alisnya bahkan tidak bergerak dari tempatnya dan Naruto tidak habis pikir soal itu. Tapi dengan gerak tangannya yang lembut, pelan-pelan menekan handuk kompresannya di atas kaki Naruto, bocah pirang itu tahu kalau Sasuke sedang melakukan pertanggungjawaban.
Kakashi sedikit melirik, mencuri pandang. Lalu cepat-cepat menatap TV agar tidak tertangkap basah sedang memperhatikan.
Hanya suara TV yang mengisi hening, sayup-sayup.
Sasuke mendongakan kepala saat sebuah roti tersodor di depan mulutnya.
"Ma─makanlah, aku suapi. Tanganmu basah kan." Naruto berkata tanpa menatap Sasuke. Iruka-sensei dan Gaara selalu mengingatkannya tentang membalas kebaikan orang.
"Kau menawariku roti yang dari tadi kau emut?" Sasuke berkata dengan sedikit dengusan.
"Sudah untung aku─"
Omelan Naruto tidak terselesaikan. Sasuke menggigit roti dari tangan kanan Naruto, bukan potongan kecil. Benar-benar satu gigitan penuh. Sasuke mengunyah dan menelan makananya sebelum berkata, "Bukakan sandwich milikku."
Ternyata dia tetap menginginkan yang ekstra tomat.
Naruto sedikit tersentak kaget. Dan tanpa sadar langsung mengikuti perintah Sasuke, membuka kemasan sandwich dengan ektra tomat itu.
Sasuke sudah memindahkan kompres ke pergelangan kaki kiri Naruto ketika untuk kedua kalinya roti isi itu tersodor. Dia tidak perlu menatap wajah Naruto untuk memutuskan melahap lagi roti itu atau tidak.
Naruto tetap memakan rotinya, menggenggam dengan tangan kiri sementara tangan kanannya menyuapi Sasuke.
Kakashi merasa damai. Tidak ada suara-suara bentakan yang bersahutan. Menonton berita tentang kasus pertentangan pun rasanya tetap jadi tentram. Makan sandwich, nonton TV, dan tanpa keributan dari dua orang anak muda yang sama-sama keras kepala. Bahagia itu sederhana. Sesederhana saat kau menadahkan tangan untuk mendapaykan kembalian ketika belanja di supermarket dengan uang sepuluh ribu yen.
"Besarkan volume TVnya, Kakashi."
Kakashi tersentak karena kalimat tiba-tiba dari Sasuke yang sudah pindah duduk di sampingnya, Tuan Mudanya sedikit mendongak untuk fokus menatap layar yang menggantung.
Di dalam kotak elektronik itu, acara berita usai. Berganti talkshow berbintang tamu orang-orang yang disebut sebagai inspirator. Acara rutin tiap pagi berdurasi kurang lebih satu jam. Seorang wanita dengan setelan semi formal ber-rok ketat, duduk di atas sofa bersama seorang pemuda berkulit pucat, senyum tidak pernah tanggal dari bibir tipis pemuda pucat itu. Mereka melakukan penggalian informasi dengan cara tanya jawab, bersuasana akrab dengan beberapa canda dan tawa.
"Siapa itu?" tanya Naruto, mulai penasaran dan ikut nonton di belakang punggung Kakashi dan Sasuke, melihat dari celah di tengah-tengah mereka berdua.
"Sai-kun." jawab Kakashi.
"Apa dia orang terkenal?" Naruto menatap Kakashi.
Kakashi tersenyum sebelum menjawab, selengkap yang dia tahu. "Sai-kun terkenal, tapi hanya di kalangan tertentu. Dia aktor teater dan drama musical. Terkadang main drama TV dan menerima tawaran menjadi seiyuu, tapi tidak banyak. Dia punya fanbase yang solid. Dari tiga bulan lalu dia dan tim drama musicalnya mengadakan tour, menggelar pertunjukan di beberapa negara Asia dan Eropa. Dan sepertinya dia baru kembali kemarin lusa, beritanya menyebutkan begitu."
Sasuke tidak berkomentar.
"Dia seiyuu juga? Hebat sekali!" Naruto terbelalak. "Apa kau berteman dengannya?"
Sasuke menghela napas pelan sebelum membuka mulut. "Dia lawan main kita mulai episode sembilan."
.
.
Hidup Naruto tidak pernah seterorganisir ini.
Waktu makan, waktu tidur, waktu bangun, semuanya sudah tercatat dalam kertas yang ditempel Sasuke di dinding dekat dapur. Itu agenda hidup Naruto selama kontrak anime pertamanya. Disiplin. Naruto mulai rindu rumah, padahal belum ada dua malam dia meninggalkan Gaara dan yang lainnya.
Untuk kelima kalinya Naruto menghela napas, memandang ke luar jendela. Keramaian kota, jejeran gedung tinggi, dan barisan kendaraan di jalanan beraspal jauh di bawah dari tempat dia berdiri tidak terlihat menarik lagi baginya. Naruto ingin lihat pekarangan rumahnya yang luas, dengan rumput hijau dan bunga-bunga yang yang ditanam oleh Iruka-sensei.
Setelah latihan olah tubuh, masih ada olah suara. Naruto diberi waktu istirahat selama satu jam.
Naruto masih dalam pakaian olahraganya yang tidak matching, yang celananya pinjaman dari Sasuke. Dan Sasuke, setelah selesai latihan tadi dia menghilang di balik kamar, tidak keluar selama hampir tiga puluh menit.
"Kalau nanti ingin makan, aku sudah siapkan beberapa makanan. Kau tinggal menghangatkannya. Bisa kan?"
Naruto menoleh saat Kakashi bertanya padanya, bukannya menjawab dia malah bertanya balik. "Kalian mau pergi ya?"
"Iya, Sasuke ada jadwal kerja."
Naruto tidak tahu harus senang tau tidak. Ditinggal sendiri di tempat asing? Rasanya tidak enak. Dia tidak mau sendiri. "Kapan pulang?"
Sasuke keluar kamarnya dengan pakaian bagus. Seperti bisa, dengan jas semi formal dan kemeja yang dua kancing atasnya terbuka. "Kenapa masih belum ganti baju?" pertanyaan pertama Sasuke. "Gantilah. Kau bisa masuk angin."
"Kan kau yang pakai kamar. Kau bilang aku tidak boleh masuk." Jawab Naruto kesal. "Tasku kan ada di dalam."
Sasuke menghela napas, membuka pintu kamarnya. "Gantilah sekarang."
Naruto tidak berkata apa-apa saat berjalan melewati Sasuke di ambang pintu. Dengan segera membongkar tasnya dan masuk ke kamar mandi, membersihkan diri seperlunya. Sabun mandi di apartemen Sasuke semuanya berbau sama. Kamar mandi di kamar ini, kamar mandi di dekat dapur, sama-sama beraroma sejuk pepohonan yang kayunya baru diguyur hujan dengan campuran mint. Naruto lebih suka sabun mandinya yang wangi jeruk segar. Dia akan meminta Gaara untuk membelikannya kalau dia mampir ke sini.
Saat keluar dalam keadaan sudah berganti baju dan rambut masih basah, Sasuke masih ada di sana. Duduk di sofa panjang depan TV.
Layar TV tidak menyala.
"Belum berangkat?" tanya Naruto sambil mendekat ke tempat Sasuke.
"Ada yang ingin kuberitahu." Sasuke berdiri, berhadapan dengan Naruto. "Latihan selanjutnya olah suara."
"Iya aku sudah tahu. Pelancaran prononsiasi kan? Tinggal baca naskanya saja."
Sasuke mengambil bolpoint yang menggantung di saku jasnya. Tangnnya mendekatkan bolpoint itu ke mulut Naruto.
"Apa?"
Sasuke bisa melihat bola mata bundar Naruto menatapnya bingung. "Gunakan ini sebagai alat bantu. Gigit di sela-sela gigimu, dan baca naskahmu keras-keras sambil tetap mengapit bolpointnya."
"Hah?"
Bola mata Sasuke berputar, sudah bisa menduga dia harus menjelaskan lebih rinci. "Baca naskahmu sambil tetap menggigit bolpoint." Sasuke memasukan batang bolpoint ke mulut Naruto yang masih agak menganga, repleks dua belah bibir Naruto mengapitnya. Sasuke melanjutkan, "Memang suaramu akan terdengar aneh dan tidak jelas, tapi ini akan membantumu labih lancar mengucapkan dialog-dialognya nanti. Lakukan minimal dua jam dalam sehari."
"Henapha hahus behini?"
"Bolpoint yang berfungsi sebagai penghalang itu tanpa sadar bisa membuatmu lebih berusaha untuk memperjelas pengucapan. Saat sudah terbiasa latihan dengan cara begitu, kau tidak perlu bersusah-payah untuk membuat prononsiasimu lebih jelas. Otakmu akan terbiasa untuk bekerja lebih keras."
Sasuke hampir saja meninggalkan Naruto tanpa mengatakan syarat penting yang lainnya. "Satu lagi, " katanya.
"Hapha?" Sepertinya Naruto sudah mulai latihannya, bolpoint masih belum dilepas.
Sasuke memegang kedua pundak Naruto, menegakkan tubuhnya. "Posisimu harus tegak saat latihan mengucapkan dialog."
Sasuke berjalan berputar, berdiri di belakang Naruto. Menepuk punggungnya, dan yang terakhir menepuk bokongnya, membuat Naruto sedikit terlonjak. "Ingat posisi itu. Pertahankan saat latihan nanti."
"Akhu hahus muhai haphan?"
"Kapanpun kau mau, asal lakukan selama dua jam." Sasuke sudah mulai melangkah pergi.
Naruto menatap punggungnya. Dia benar-benar akan ditinggal. Naruto tidak pernah terbiasa sendiri.
Saat Sasuke kembali menengokkan kepalanya, menatap Naruto yang masih berada di tempat dengan mengapit bolpoint, untuk sesaat Naruto berpikir kalau Sasuke sepertinya bisa mendengar pikirannya.
"Pekerjaanku sampai jam satu, tapi aku perlu pergi ke cafe untuk mengecek sesuatu. Aku usahakan selesai secepatnya." Sasuke menatap Naruto dari jarak dua meter. "Kalau ada apa-apa langsung telepon aku. Mengerti?"
Sasuke akan mengusahakan cepat pulang!
Naruto mengulang perkataan itu dalam pikirannya sampai lupa menganguk. Sasuke sudah menutup pintu apartemen.
.
.
.
.
.
Benar kata Sasuke, butuh dua hari agar Naruto cukup terbiasa dengan kehidupan barunya. Dengan sedikit rengekan dan aduan pada Gaara yang dilakukan ketika bicara lewat telepon sebelum tidur, pembicaraannya hanya seputar betapa inginnya Naruto makan ramen. Kehidupan dengan segala aturan yang katanya bisa membantu untuk memperlancar proses rekaman yang tinggal beberapa hari lagi.
Setelah melakukan rentetan latihan pagi seperti yang kemarin, tapi tanpa pengawasan Sasuke sama sekali karena dia sudah berangkat setelah membangunkan Naruto, sore hari ini untuk pertama kalinya Naruto mendatangi apa yang orang-orang berdompet tebal sebut sebagai Fitness Club. Katanya, itu tempat Sasuke biasa melatih kebugaran tubuh.
Karena mereka bukan seorang model atau atlet yang menuntut terbentuknya otot, Sasuke bilang cukup dengan memakai treadmill. Hanya perlu untuk melatih pernapasan. Lebih praktis jogging di area taman apartemen atau taman kota, tapi Sasuke selalu mendapatkan masalah kalau coba-coba keluar ke tempat umum pada jam-jam sore. Jaman sekarang, seorang seiyuu dituntut serba bisa, Sasuke memang serba bisa. Makin terkenal juga karena wajahnya. Menguntungkan, tapi kalau dilihat dari sisi lain bisa dibilang merepotkan. Ketika bahkan kau akan sulit pergi ke toilet di tempat umum, tentu saja itu merepotkan. Pria mana yang mau ditunggui gadis-gadis di luar toilet hanya untuk dilirik-lirik.
Sasuke menjatuhkan diri di sofa ruang depan, tangannya dengan cepat meraih remote AC. "Ambilkan aku minum," perintahnya pada Naruto yang memang memilih langsung menghampiri meja makan dari pada duduk di samping Sasuke.
Naruto mengumpat.
Kakashi sudah menyiapkan minuman di atas meja makan yang sengaja dikeluarkan dari lemari es. Ditambah dengan bagian Naruto kali ini. Naruto bersyukur Kakashi tidak lupa kalau dia memesan orange juice saja dibanding minuman isotonic kesukaan Sasuke yang rasanya tidak jelas itu.
"Ada pesan. Dari Kakashi-san sepertinya." Naruto mengambil lembaran kecil memo di atas meja, dia menghampiri Sasuke dengan membawa dua minuman. "Dia bilang 'Ada panggilan dari Itachi, aku sudah siapkan makan malam kalian di atas meja.' begitu."
"Eh, siapa Itachi?" Naruto meremas kertas itu, memasukkannya asal ke dalam kantong untuk dibuang ke tempatnya nanti. Tangannya terulur memberikan minuman untuk si Tuan Rumah.
Sasuke mengambil minumannya, sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan Naruto.
Ih dasar sombong!
Naruto ─lagi-lagi─ mengumpat.
Sasuke membiarkan Naruto duduk di lantai berlapis karpet. Dia sadar juga kalau si bocah berisik ini memang lebih suka duduk lesehan di lantai, meletakkan kepalanya dengan malas di atas meja rendah di antara sofa-sofa. Posisi mereka berhadapan.
Dua mata biru besar dengan bulat sempurna itu menatap orang di hadapannya. Sasuke masih diam dengan menyenderkan kepalanya pada tangan yang bertumpu pada pinggiran sofa, dia mengatur nafasnya yang masih sedikit terputus-putus.
Uchiha Sasuke si BL Prince. Rasa-rasanya Naruto mulai tahu kenapa dia begitu terkenal. Kesampingkan masalah tampangnya yang bagus itu. Tidak, tidak, bukan berarti Naruto mengakui kalau Sasuke dengan kulit mulus, mata tajam, tubuh tinggi atletis, dan pembawaan yang tenang itu punya wajah yang tampan sekaligus cantik. Naruto masih lebih tampan dibanding Sasuke ─menurut Naruto sendiri. Kadang-kadang para gadis memang punya penilaian yang salah kan? Naruto berdalih.
Naruto sudah mendengar beberapa peran yang dimainkan oleh Sasuke, Drama CD ataupun anime. Naruto mengakui kemampuannya yang satu itu. Karakternya kuat, berubah-ubah dengan sempurna. Tidak akan ada yang merasa aneh ketika dia yang biasa memerankan karakter dingin tiba-tiba dituntut memainkan karakter yang konyol.
Terlebih lagi dengan semua tuntutan soal anime bertema BL itu. Naruto rasanya malu sendiri mendengar suara orang di hadapannya berkata sesuatu yang terkesan sensual ─lebih menjurus porno─ tanpa merasa canggung. Kalimat semacam, "Kau suka aku menyentuhmu di sini, kan? Hm?" atau "Berhenti? Tapi sepertinya tubuhmu menginkinkan lebih." atau "Mendesahlah. Memohonlah. Goda aku. Buat aku mau menyentuh tubuhmu."
Naruto sudah memerah hanya dengan mengingatnya.
"Kenapa?" Sasuke menyadari perubahan pada wajah Naruto. Dahinya mengeryit, sedikit bingung.
"T─tidak. Hahaha." Naruto sedikit terlonjak, menjawab terbata. Tawanya sangat dipaksakan. "Oh ya, m─menurutmu voice actor yang hebat itu yang seperti apa?" tanyannya kemudian, mencoba mengalihkan pembicaraan. Hanya itu yang terpikir, pertanyaan level anak SD.
Sasuke diam, sebelah alisnya sedikit terangkat.
Beberapa detik berlalu.
"Junko Takeuchi-san." jawab Sasuke pada akhirnya, singkat.
"Ya?" Naruto sedikit bingung, kepalanya miring ke sebelah kanan. Tidak tahu siapa Junko Takeuchi itu.
Sasuke menghela napas, bisa membaca pertanyaan 'siapa itu?' yang tidak diajukan Naruto. "Dia seorang seiyuu senior yang hebat. Seorang wanita dewasa tapi sukses memerankan bocah laki-laki berumur dua belas tahun. Kau tahu anime tentang bocah ninja yang bercita-cita menjadi hokage? Atau anime tentang seorang bocah laki-laki yang ingin menjadi hunter agar bisa menemukan ayahnya?"
Naruto menganguk berkali-kali dengan semangat. Dua anime itu kenangan di masa kecilnya. Dua-duanya anime terkenal yang membuat industry anime jepang tersohor sampai ke berbagai negara. Pelopor anime shounen, sejajar dengan One Piece dan Dragon Ball. Itu menurut pandangan pribadi Naruto ─dengan sedikit dipengaruhi oleh omongan Kiba.
"Dua karakter utama itu diisi oleh orang yang sama. Oleh seorang perempuan." Sasuke melanjutkan. Tidak menggebu secara berlebihan, tapi Naruto bisa melihat keseriusan dalam ucapannya. Rasa mengidolakan yang dibuat stabil, mungkin istilahnya seperti itu.
"Dua karakter itu seumuran dan punya sifat dasar yang sama, dua-duanya bocah dua belas tahun yang polos dan naif. Takeuchi-san bisa memerankan keduanya dengan meninggalkan kesan yang berbeda untuk masing-masing karakter. Bocah ninja itu dengan segala kepolosannya yang bodoh, sok tahu, dan ceroboh. Sedangkan bocah hunter itu dengan segala kepolosannya yang lebih terkesan manis dan tidak segan memuji orang lain walau itu musuh sendiri." Sasuke terdiam sesaat sebelum melanjutkan pada intinya, "Ini soal kesan yang ditinggalkan."
Naruto sedikit tercengang. Tidak juga memberi respon, membuat Sasuke akhirnya bertanya, "Kenapa?"
Naruto menggelengkan kepalanya. "Kupikir kau akan menjawab 'Seiyuu yang hebat itu yang seperti aku', tapi ternyata tidak." Dia memamerkan cengirannya. "Kau yang bisa memuji kemampuan orang lain itu rasanya tidak buruk juga." Naruto memujinya tulus kali ini.
Mungkin, mungkin saja, sebenarnya Sasuke tidak seangkuh yang Naruto kira. Mungkin.
Tadinya Naruto memang berpikir begitu, tapi itu semua dia tarik kembali saat merasakan sebuah handuk dilempar tepat mengenai wajahnya, dengan sukses menutupi pandangannya. Tidak sakit, lemparannya tidak keras, tapi tetap saja menyebalkan.
"Apa-apaan kau?! Dasar brengsek!" bentak Naruto sambil menyingkirkan handuk kecil di wajahnya.
"Bodoh." Sasuke berkata tanpa ada nada sinis kali ini. Pandangannya tidak lagi menatap Naruto.
"Ih apa sih?" Naruto menggembungkan pipi, kesal. Handuk di tangannya jadi pelampiasan, di cengkram dan di remas-remas kasar sebelum di lingkarkan disekitar lehernya untuk menyerap keringat yang masih tersisa.
"Eh, kalau begitu, standar seperti apa yang kau pakai agar aku sudah bisa dibilang cukup siap untuk rekaman?" tanya Naruto kemudian. Dia cepat kesal, cepat baik lagi.
"Kenapa ingin tahu?" bola mata kelam milik Sasuke sedikit melirik lawan bicara.
"Hanya penasaran saja."
"Kau akan menyesal sudah bertanya."
"Kenapa? Mentalku tidak akan selemah itu." Kurang kuat mental apa Naruto yang sudah pernah kena pelecehan seksual di hadapan orang banyak? Dipermalukan dihadapan umum dan juga terang-terangan dikatai oleh Sasuke tentu saja sudah melatih mental Naruto. Memang ada yang bisa lebih buruk dari itu?
"Lalu bagaimana?" Naruto masih penasaran, tidak tahu target rasanya seperti bekerja tanpa tahu apa yang jadi tujuan. Naruto hanya ingin tahu. "Kapan aku sudah bisa dibilang siap untuk rekaman?"
Sasuke menjawab santai setelah dia meneguk minuman isotoniknya, "Saat kau sudah bisa membuatku terangsang dengan desahanmu walau hanya melalui telepon."
"Uhuk!" Naruto terbatuk, hampir mati tersedak jus kalengan. "G─gila!" Beberapa tetes tumpah membasahi kaos oranye yang dipakainya. "Kau bercanda!"
Naruto tidak salah dengar kan?
"Kapan kau pernah lihat aku bercanda soal pekerjaan?"
Tidak pernah. Naruto tahu jawabannya, dia melihat sendiri bagaimana seriusnya Sasuke dalam melatihnya. Tidak ada ampun. Tidak ada alasan. Tidak ada belas kasih. Tidak ada ramen. Sasuke itu jahat.
Sekarang Naruto menyesal sudah bertanya.
Sasuke meneguk minumannya sekali lagi, kemudian berkata, "Itu standar yang kupakai, kalau kau memang mau ke level tinggi. Tapi dalam kasusmu sih, kau sudah bisa mengeluarkan desahan saja sudah syukur."
"Lagi-lagi kau meremehkanku!"
"Tidak."
"Iya!"
Sasuke menghela napas, malas ribut. "Kalau memang iya pun, lalu kenapa? Itu kenyataanya."
"Kau akan meyesal!"
Alis Sasuke terangkat lebih tinggi kali ini. "Oh, ya?"
"Iya! Aku akan bisa melakukannya. Membuatmu 'tegang' kan? Baik. Biar kutunjukkan nanti!"
"Hn…" Sasuke bangkit dari duduknya, berjalan memutari meja, dan berjongkok di hadapan Naruto. Jarak mereka dekat.
"A─apa?" Naruto gagap.
Demi koleksi majalah porno Kiba yang disembunyikannya di bawah kasur tempat tidur agar Gaara dan Iruka-sensei tidak pernah tahu, tolong jangan salahkan kenapa Naruto jadi waspada tiap Sasuke mendekatinya dalam jarak kurang dari satu meter. Entah kenapa menatap mata itu sedekat ini selalu membuat kulitnya meremang.
Perasaan yang Naruto sebut aneh itu datang lagi, perasaan yang sama saat jarak mereka lebih dekat dari ini, saat serat pakaian mereka yang bergesekan, wangi parfume itu, bibir tipis yang pernah menyentuhnya itu.
Sial! Naruto kembali mengingatnya. Dia menggerutu dalam hati, menyalahkan hormon remajanya. Wajahnya merah, tidak bisa dikontrol. Dia bergeser menjauh sebisanya, tidak lebih dari sepuluh senti. Mata dan mulutnya mengatup kuat saat merasakan tangan pucat Sasuke terulur mendekati wajahnya, sedikit gesekan mengenai leher Naruto yang masih lembab karena keringat. Sasuke meraih handuk di lehernya, memindahkan kain penyerap keringat itu ke atas kepala si pemuda pirang.
"Tuan perjaka yang satu ini ingin mencoba membuatku 'tegang'?" Tatapan Sasuke menantang, dipenuhi kesenangan tersirat. Tangannya bergerak menggesekan handuk dengan helaian rambut Naruto, sangat kasar sampai bocah itu tidak akan sadar kalau Sasuke sedang membantu mengeringkan rambutnya yang basah karena keringat.
Naruto membaca tatapan mata Sasuke yang menggodanya, menerjemahkannya menjadi: 'Kau yang masih perjaka, bahkan belum pernah pacaran, mau coba menantangku yang penuh pengalaman ini?'
Emosi Naruto makin tersulut saat Sasuke mengatakan, "Aku tidak sebar menantikannya."
"Sialan!"
Handuk tidak bersalah lagi-lagi dilempar dengan kasar, tapi tidak sampai mengenai Sasuke yang sudah berjalan menjauh sambil menenteng sisa minumannya.
.
.
.
.
.
Biasanya, Naruto pasti cerita apapun pada Gaara. Meminta pendapat, minta saran, dan ujungnya pasti minta dibantu secara langsung agar Gaara mau turun tangan. Masalah keluarga seperti ribut dengan Kurama atau Konohamaru, masalah PR, masalah dengan guru, masalah dengan teman-teman sekelasnya, bahkan masalah dengan ibu-ibu tetangga yang mengira Naruto mencuri sesuatu dari pekarangan rumah mereka. Semua masalah terselesaikan dalam sekejap, simsalabim dan voila.
Bagi Naruto, Gaara adalah pesulap paling hebat, mengalahkan Jean Eugene Robert Houdin. Pahlawan paling berguna, mengalahkan Superman atau Fantastic Four. Sekarang ini, Naruto menyimpulkan kalau hanya ada dua macam hal yang tidak bisa dibicarakan dengan sahabat sejatinya itu.
Masalah wanita dan masalah 'anu'.
Masalah wanita, bukannya Naruto menilai Gaara tidak laku. Oh, jangan bercanda. Gaara itu tampan, Naruto akui. Masalahnya, sepertinya pemuda dengan rambut merah sexy itu sudah berdamai saja dengan hidup melajangnya. Naruto juga masih sedikit canggung kalau bicara masalah wanita.
Kedua, masalah 'anu'. Ketika Naruto masih canggung membicarakan masalah wanita pada Gaara, apalagi membicarakan tentang masalah 'anu'. Untuk masalah anu yang pakai tanda kutip ini, tidak ada yang lebih bisa dari orang yang sekarang sedang ditelepon Naruto.
Dari sebrang telepon, samar-samar terdengar bunyi nguapan pelan, sedikit gesekan kain dan erangan ringan, enggan diajak bicara.
"Hallo? Hallo? Kiba? Hey, Kiba!"
Dan akhirnya bentakan keras. "Berisik! Biarkan aku tidur! Kau pikir ini jam berapa, hah?" Kiba akhirnya meledak. Didiamkan, ternyata Naruto malah makin hallo-hallo. Gagal sudah rencana tidur delapan jam demi menjaga kebugaran tubuh. "Ada apa?" bentak Kiba galak.
Naruto bisa mendengar suara Kiba jadi lebih berat dari biasanya, serak. Efek tidur yang terganggu. "Aku ada masalah. Ingin konsultasi."
"10 batang lollipop rasa cola." tanggap Kiba cepat.
Naruto menggerakkan jari-jarinya, menghitung berapa uang yang harus dia keluarkan untuk membeli 10 lollipop. "3 buah?" tawarnya. Itu maksimal, setelah disisihkan untuk jatah ramen selama satu bulan.
"7 buah."
"5 saja bagaimana?"
"15, ya."
"Dasar lintah darat!"
"7 buah atau tidak ada sesi konsultasi sama sekali."
"Oke, 7 buah." Sebenarnya Naruto tidak rela.
"Baiklah, Dude… Silakan ceritakan masalahmu. Dokter Kiba siap melayani."
"Begini, Dokter Kiba, " Dan Naruto juga sungguh tidak rela memanggil Kiba dengan sebutan dokter. Tapi itu memang kodenya, aturan yang sudah dibuat dari dulu. Naruto tidak pernah mengira bisa membutuhkan jasa konsultasi kacangan seperti ini. "bagaimana caranya… eh tapi jangan menganggapku aneh karena pertanyaanku ya."
"Iya, iya."
Naruto tidak langsung menjawab. Dia mengamati keadaan. Tengok kanan, tengok kiri, tubuhnya merangkak beberapa langkah, kepalanya menyembul dari bawah meja makan di dekat dapur. Setelah yakin keadaan aman, tidak ada tanda-tanda keberadaan Sasuke, Naruto kembali ke tempat persembunyian. Duduk sambil menekuk kakinya sampai menyentuh dada, seperti di tempat penampungan korban bencana yang memiliki ruangan sempit, tidak sebanding dengan jumlah orang yang ditampung. Lampu dapur sudah dia nyalakan terlebih dahulu, cahayanya sampai ke kolong meja. Temaram tapi lebih baik dari pada tidak ada. Sunyi ditemani suara detik jam yang menunjukkan lewat dari tengah malam dan sesekali suara dengungan halus mesin lemari es. Tangannya masih menggenggam handphone kuning mencoloknya. Suaranya pelan saat mengatakan "Bagaimana caranya membuat laki-laki…kau tahu, istilah bagusnya sih…" Naruto lebih memelankan suaranya, kata-kata erotis ─menurutnya─ meluncur. "bergairah…"
"Bagaimana caranya membuat laki-laki bergairah?" Kiba mengulang, suaranya keras. Sepertinya cukup tertarik dengan topik ini. Naruto bisa mendengar suara gaduh, seperti pegas ranjang dan selimut yang disibak. Kiba sudah benar-benar bangun sekarang.
"Stttt…" Naruto menaruh telunjuknya di depan bibir.
"Yaampun… berlebihan sekali. Masih untung tadi aku tidak bilang 'Bagaimana caranya membuat kejantanan menegang seperti menara kokoh?' dengan suara keras."
Sama saja! Kiba sudah mengatakannya. Naruto butuh kesabaran lebih untuk berdamai dengan teman satu tempat tinggalnya itu. Tidak ada waktu untuk mengulang adegan adu mulut yang biasa mereka lakukan. Waktu semakin sempit.
"Terserah apalah katamu, Dok."
"Baik..." Kiba menganguk walau Naruto tidak bisa melihatnya. "Sekarang ceritakan detailnya. Kenapa kau sampai ingin tahu soal itu?"
"Ini pertaruhan. Membuktikan kejantananku sebagai laki-laki!" Tangan Naruto terkepal erat, "Aku tidak bisa tetap direndahkan seperiti ini. Pokoknya aku harus menang."
Kiba tidak mengerti apa yang Naruto bicarakan. Percuma bertanya, dia jadi merasa dungu sendiri. "Terserah apalah katamu, Bodoh." Dia berkata sedikit ketus. Sensi karena kepo yang tidak terpuaskan. "Kau juga seorang laki-laki, kan? Tinggal lakukan saja hal-hal yang sekiranya bisa membuat dirimu sendiri terangsang. Begitu saja kenapa kau harus bingung!"
"Jadi bagaimna?" Naruto bertanya polos, tidak membaca nada jutek Kiba sama sekali.
"Aku akan memberitahu isi kolom diskusi di website langgananku. Ini perpaduan antara pendapatku dan pendapat sahabat mayaku, WaterMoon." Kiba berkata bangga.
Naruto memajukan bibirnya, sedikit kesal. Dia sudah berkali-kali dengar nama itu. Naruto sudah tahu web langganan Kiba. Username Kiba di sana adalah UnderDog. Dan UnderDog berteman baik dengan WaterMoon. Mereka sahabat satu jurusan. Penelitian lebih lanjut tentang anatomi tubuh manusia, subjek pelajaran dipersempit jadi 'Reaksi Seksual'.
"Langsung saja, Dok." Naruto berkata sedikit tidak sabar. Dia mengeluarkan buku catatan dari kantong sweeter diapit di antara telinga dan kanan menggenggam bolpoint. Senter kecil digigit di antara gigit-gigi rapinya, menerangi tulisan.
Naruto bersusah payah mencatat point-point apa yang Kiba katakan. Tidak ada jeda. Tulisan Naruto yang dalam keadaan biasa saja sudah jelek jadi terlihat lebih buruk rupa. Mengalahkan kejelekan tulisan Konohamaru ketika masih kelas tiga sekolah dasar. Memangnya Naruto peduli? Tulisan itu asal bisa dimengerti diri sendiri sudah lebih dari cukup. Toh tidak ada yang pernah pinjam catatan pada Naruto. Tentu saja, teman sekelas Naruto masih waras untuk pilih-pilih pinjaman buku.
Kiba masih mengoceh, penuh percaya diri dan keyakinan. Sesekali beralih topik, pamer soal bagaimana pengalaman prakteknya sendiri. Dan Naruto sudah lebih dari empat kali memutar bola matanya, lelah harus mengingatkan benang merah pembicaraaan mereka. Naruto tidak peduli soal Kiba yang katanya pernah dihadiahi pakaian dalam oleh mantan pacar LDR-nya atau bahkan soal bagaimana dia dan pacar mayanya itu bisa berkenalan ─Naruto bahkan tidak yakin kalau mereka benar-benar menjalin hubungan, Kiba adalah pembohong ulung dan Naruto sudah diingatkan oleh Gaara. Yang Naruto butuhkan hanya point pentingnya saja. Soal pertanyaan awalnya. Satu hal, satu kalimat kalau bisa. Bukan penjelasan setebal satu novel dengan jumlah halaman lebih dari 500 lembar.
"Sampai mana kita?"
"Point ketiga, Dok." Naruto menjawab setengah ogah-ogahan. Pertanyaan yang sama, jawaban yang hampir sama juga.
Detik menjadi menit. Menit pertama jadi menit kedua, menit kedua jadi menit ketiga. Dan saat itu sudah menit ke 30, masuk point keempat ketika Kiba malah menceritakan tentang perdebatan sengit di web tongkrongannya seputar bagaimana cara yang tepat untuk meletakkan kejantanan saat memakai celana. Mengarah ke samping kah? Ke bawah kah? Atau ke atas? Kiba menceritakan pengalamannya, mengemukakan teorinya soal seharusnya kejantanan diarahkan ke atas saat memakai celana. Katanya, bayangkan kalau manaruhnya dengan mengarah ke bawah atau ke samping kemudian tiba-tiba ─tanpa disangka-sangka─ ada suatu insiden yang menyebabkan benda itu 'bangun'. Pasti akan ngilu rasanya karena tertekan celana. Kalau menaruhnya ke arah atas sejak awal, akan aman karena tidak melawan gravitasi. Perdebatan konyol yang hebohnya bagaikan perdebatan karena pusat ibukota diserang teroris atau presiden yang sedang kompoi bersama antek-anteknya ditembak snipper bayaran. Perlu, tapi tidak terlalu perlu. Yang pasti, itu memang konyol. Sekonyol-konyolnya Naruto, dia tidak akan mau daftar jadi anggota web hanya untuk sekedar membahas bagaimana cara memakai celana dalam yang benar.
Naruto sudah cukup bersabar sejak tadi, dan Kiba sudah melampaui garis batas yang Naruto tetapkan. Naruto mengamuk. "Aku tidak butuh cerita-ceritamu! Katakan dengan singkat saja. Kau tidak tahu betapa putus asanya aku. Ditatap oleh pandangan merendahkan si Uchiha itu, pernah dipermalukan juga olehnya dalam hal kemampuan dan soal harga diri sebagai seorang pejantan. Baru sekali ini aku merasa bahwa perjaka adalah lebel paling memalukan di dunia! Lebih memalukan dibanding label sebagai penjahat kelamin yang cocok kau sandang!"
Di sebrang sana, Kiba mulai terbawa emosi, tapi tidak punya kesempatan menyela. Naruto masih dengan suara cempreng, emosi menggebu dan gemeletukan gigi.
"Jadi intinya," Naruto menarik napas dalam-dalam sebelum mengatakan kalimat permintaannya dengan sangat keras, "katakan saja infonya dengan cepat!"
Napas Naruto terputus-putus, diam menunggu respon dari sebrang sana. Namun nihil.
Hening. Lebih dari beberapa saat berlalu tanpa ada respon.
"Hallo?" Suara Naruto terdengar jelas dalam keheningan malam. Dia mendapati layar hitam saat mengecek handphonenya. Mati.
Dalam sekejap rasa heran itu, penerangan yang tiba-tiba menyilaukan mata membuat tubuh Naruto terlonjak kaget, kepala hampir terantuk meja.
Lampu menyala sendiri!
Dia panik. Sedikit takut.
Rentetan kejadian berputar di otaknya, HP tiba-tiba mati, lampu tiba-tiba menyala. Entah perasaan saja atau bukan, dia merasa temperatur ruangan lebih dingin dari keadaan awal tadi. Bulu halus di sekitar lengannya meremang. Naruto tidak suka ini. Dia selalu terlalu parno, merasa perlu dengan cepat keluar dari persembunyiannya dan meluncur kilat ke pembaringan hangatnya di samping Sasuke ─di samping ranjang Sasuke, maksdunya.
Naruto bersiap merangkak keluar. Saat hampir membebaskan diri dari bawah bayang-bayang meja makan, seseorang melongok ke bawah meja.
Wajah orang itu berada sejajar dengan garis mata Naruto. Putih pucat.
Terkaget, Naruto berteriak spontan, "Wuuuaaaa!"
Kepalanya sukses terantuk meja kali ini, teriakan Wuuuaaa jadi ringisan perih Adaaw.
"Dasar bodoh."
Kalimat yang sudah sering Naruto dengar, bukan suara asing. Di sana, dengan posisi Naruto yang berjongkok, Sasuke yang sedang berdiri terlihat tinggi menjulang.
Dengan memegangi kepalanya yang terasa sakit, Naruto muncul ke permukaan luar meja. Kakinya yang menginjak lantai gemetar, seperti bayi rusa yang baru belajar berdiri. Dia masih merasa takut ─atau kaget─ tapi tidak sudi menunjukkan. Tidak pada orang di hadapannya.
"Sedang apa?" Sasuke melirik curiga. Mendapati orang asing yang menumpang di rumahnya sedang berada di bawah kolong meja pada tengah malam, pertanyaan tadi itu terdengar wajar.
Naruto membuang muka. "Main dokter-dokteran!" Dia berkata kasar, sedikit membentak. Suaranya melengking lucu.
Melihat langkah menyentak Naruto yang sangat dibuat-buat dan mengingat jawaban penuh keganjilan barusan, di tempat dia berdiri, Sasuke mencoba sebisa mungkin untuk tidak mengerutkan kening, dia bergumam "Main dokter-dokteran?"
.
.
.
.
.
Tantangannya, Naruto menggoda dan Sasuke harus terangsang. Pertaruhannya, harga diri sebagai seorang pejantan. Hadiahnya, pencabutan sikap meremehkan terhadap Naruto.
Sempurna!
Semua sistem dan prosesnya diatur sebelah pihak. Lawannya bahkan tidak tahu ada kesepakatan seperti itu. Naruto tidak peduli. Walau suara desahannya belum meyakinkan, asal bisa mengikuti saran , Sasuke tetap akan bisa terangsang. Begitu kata si dokter.
Menjelang pagi, sebelum bersiap jogging, Naruto melihat buku catatan kecilnya sekali lagi. Menghapal lebih giat dibanding saat tes sekolah. Kamar yang Naruto tempati sudah ditinggalkan penghuninya. Gordennya sudah disibak, lampu sudah dimatikan. Setelah beberapa hari tinggal di sini, Naruto bisa menyimpulkan kalau Sasuke adalah penganut hemat listrik, padahal dengan semua barang elektronik yang dia punya, penghematan itu tetap terasa sia-sia. Cahaya matahari pagi yang menampakkan diri membantu Naruto untuk bisa melihat deretan tulisannya yang begitu artistik.
"Cepatlah."
Suara Sasuke yang berdiri di ambang pintu mengagetkannya. "I─ini… bukan apa-apa ehehe." kata Naruto walau sebenarnya Sasuke tidak bertanya apa-apa. Dia lemah untuk merahasiakan sesuatu. Tangannya dengan cepat menyembunyikan buku catatan kecilnya di belakang punggung.
Sasuke memicingkan mata, tahu ada yang disembunyikan tapi tidak terlalu tertarik untuk mengurusi. "Cepat siap-siap." ulangnya.
Naruto tidak perlu bertanya tentang bersiap-siap untuk apa. Dia sudah tahu jadwalnya, yang satu ini sangat gampang diingat. Joging.
"Tunggu, lima menit lagi."
Lima menit untuk menyembunyikan buku catatannya di saku celana yang akan dia pakai nanti, mencuci muka, mengganti pakaian dengan trening yang dipinjamkan Sasuke ─walau terlihat sedikit kebesaran, dan memakai sepatu sneaker kesayangan yang terpaksa dia gunakan.
.
.
Tingkat genit yang pernah Naruto lakukan ada 4 level. Level pertama adalah memelototi wanita cantik yang muncul di layar TV. Aneh memang. Konyol pula. Sebenarnya, itu Naruto lakukan hanya karena rasa ingin tahu, mencari alasan kenapa Kiba begitu tergila-gila pada penyanyi R&B yang sedang Naruto pelototi itu. Walau pada akhirnya Naruto tidak bisa menemukan jawabannya. Dia tidak merasakan daya tarik wanita sexy itu meski memelototinya sampai ke bagian pusar yang ditindik.
Level kedua adalah main lirik kalau bertemu gadis rupawan, contohnya saja recepcionist berambut pink di studio P-iero itu. Ini hal wajar, laki-laki manapun melakukannya ─dan Naruto juga adalah laki-laki.
Level ketiga bilang "Hai " sambil melambaikan tangan, sering sekali Naruto melakukannya saat masih sekolah. Sebagai iseng pernah satu atau dua kali, kebanyakan hanya karena mencoba peruntungan untuk mencari contekan PR ─dan berbuah tamparan di pipi karena disalahpahami.
Level teratas adalah mengajak kenalan gadis yang kebetulan lewat di depan B-z Agency. Bukan karena mau, hanya permainan truth or dare dari Kiba dan Kurama ─akhirnya berbuah tamparan juga. Selama ini, dalam kehidupan Naruto, wanita ada diurutan kesekian setelah ramen dan gula-gula. Malah, hampir tidak pernah masuk hitungan. Yang cantik banyak, tapi tidak akan pernah semenggoda Ichiraku Ramen yang dijual di depan gang.
Lalu Hari ini Naruto nekad dengan menerima misi langsung ke level lebih tinggi. Ibarat permainan Space Impact, Naruto sedang menghadapi kapal ruang angkasa raksasa berbentuk monster mengerikan tanpa melawan upo-upo mungil terlebih dulu.
SkinShip. Kulit bertemu kulit. Saling sentuh. Objeknya bukan seorang gadis, melainkan pemuda nyaris sempurna dari fisik maupun kemampuan otak. Setidaknya itu yang dikatakan orang-orang dan lembaran majalah SeiyuuPedia, walau Naruto tahu minusnya ada di soal kelakuan dan watak. Uchiha Sasuke si BL Prince.
Jogging track di area Falcon-Residance terlihat nyaman untuk penghuninya berolahraga dan bersosialisasi. Mereka punya bagian yang bisa digunakkan untuk bermain skateboard atau sepatu roda, bahkan punya tempat untuk memasang kaca besar sehingga orang-orang yang punya hobi dance bisa menggunakannya untuk latihan. Konsepnya sama seperti taman besar di tengah kota buatan pemerintah, hanya saja dengan standar yang lebih tinggi. Digabung dengan konsep taman tempat beradu kasih bagi pasangan dan tempat permainan anak, plus tambahan beberapa danau buatan yang dihias bunga teratai. Sekali lihat Naruto sudah tahu bahwa rumput di area itu dirawat dengan baik, tidak kalah dengan rumput-rumput yang dirawat Iruka-sensei di pekarangan tempat tinggal mereka. Keputusan Sasuke sudah tepat dengan memakai jogging track hanya pada pagi hari. Kalau sore sudah datang, Naruto bertaruh area ini pasti akan ramai oleh celotehan anak-anak atau tingkah wanita kecentilan yang tidak peduli kalau mereka datang bersama kekasih masing-masing. Yang paling membuat mata Naruto terbelalak adalah saat dia mendongakkan kepala ke atas, seluruh areanya indoor dengan model rumah kaca. Atapnya bisa dibuka tutup seperti stadium olahraga bergengsi. Entah Naruto harus bekerja berapa lama sampai dia bisa tinggal di residence macam ini.
Sambil merapatkan jaketnya, Naruto terus menatap punggung Sasuke saat mereka jogging. Bocah pirang itu sengaja mengambil jarak, berlari-lari kecil di posisi belakang. Napasnya berhembus beraturan seperti apa yang Sasuke ajarkan.
Point pertama dalam list 'Cara Membuat Seorang Pria Menegang' yang terlipat rapi dalam saku celana Naruto adalah : Tunjukkan bagian tubuh secara sensual, bagian garis pinggang atau dada. Kalau perlu lakukan sambil bergoyang agar terkesan makin seksi.
Entah kenapa saat mengingat poin pertama ini, yang terbayang di kepala Naruto adalah sosok Kiba yang berdiri di hadapannya dengan sikap menggurui. Kemudian yang disusul dengan Kiba yang mempraktekan goyangan tubuh sensual minimalis. Kiba pernah bilang, kalau kau tidak bisa menari, kau hanya perlu berlatih dengan mandi shower air dingin di tengah malam pada musim salju. Setelah itu tubuhmu pasti akan otomatis bergoyang seperti Shakira (karena menggigil).
Masih menatap punggung Sasuke, Naruto mulai berdebar-debar. Bukan karena jatuh cinta, hanya reaksi normal seperti akan menghadapi ulangan fisika. Kalau dicoba, siapa tahu lulus. Kalau tidak dicoba, sudah pasti tidak lulus.
Naruto pernah menonton suatu acara konsultasi di TV. Setiap hari temanya berbeda-beda, ada kalanya seorang dokter lelaki kemayu yang jadi nara sumber kalau sedang membahas soal masalah suami-istri di ranjang. Oh, itu acara pilihan Kiba, tentu saja. Mungkin bisa dibilang beruntung, karena saat Naruto menonton saluran itu pembahasannya adalah tentang psikologi cinta. Salah satu surat penonton yang dikirim lewat email isinya pertanyaan seperti ini : Aku punya orang yang kusukai. Saat bertemu dia, aku pasti berdebar-debar dan itu membuatku tidak bisa bicara dengan lancar padahal aku ingin sekali terlihat keren di hadapannya. Apa yang harus kulakukan?
Jawaban si dokter juga menjadi kunci untuk perjuangan Naruto saat ini. Si Dokter ─Dokter yang memang dokter psikologi sungguhan. Bukan label Dokter dengan upah lollipop 7 batang seperti Kiba, mengatakan kalau hal itu wajar. Saat bertemu orang yang disukai, sebagian dari kita memang akan mengalami kegugupan. Syaraf akan otomatis mengirimkan sensasi menyenangkan pada otak. Efeknya berbeda-beda, bisa jantung berdebar atau telapak tangan berkeringat. Dalam kasus Naruto, ganti istilah 'Orang yang disukai' menjadi 'Orang yang dibenci' dan istilah 'Sensasi menyenangkan' menjadi 'Sensasi menakutkan'.
Nah, apa yang bisa kita lakukan kalau hal itu terjadi?
Jawabannya adalah 'Tidak ada'.
Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah langsung saja maju. Terlihat bodoh atau tidak, itu masalah nanti. Laki-laki memang seharusnya seperti itu.
Berbekal nasehat dokter yang wajah dan perawakannya mirip dengan wakil gubernur yang baru dilantik di prefektur sebelah, Naruto siap maju ke meja taruhan. Dia mulai menambah kecepatan larinya hingga mensejajarkan posisi dengan Sasuke.
Sasuke sempat melirik dari ekor mata. Naruto tidak sadar.
Masih dengan melirik-lirik, Naruto coba mengingat lagi obrolanya dengan Kiba semalam. Kiba menjelaskan langkah pertama agar bisa ke tahap 'bergoyang dan pamer lekuk tubuh' adalah pastikan dirimu tidak ada jarak sama sekali dengan si target. Paling jauh sebentangan tangan, agar bisa tetap menjamah. Pertama-tama elus pundak, sentuh dadanya singkat, atau pura-pura tak sengaja menyenggol tangan. Klasik, tapi katanya selalu berpotensi tinggi untuk berhasil.
Naruto memilih yang paling mudah, elus pundak.
Tapi sayangnya Naruto tak pernah menyelesaikan pemikiran itu, karena saat mendekati satu belokan di jalur track, saat lengannya mulai mencoba menggapai bahu Sasuke, ia tersandung ranting yang jatuh dari salah satu pohon.
"AW!" teriaknya.
Sasuke menghentikan langkahnya, Keningnya mengernyit mendapati Naruto dalam keadaan memalukan. Sasuke berbalik dan mulai menghampirinya. Dengan terburu-buru dan agak susah payah, Naruto berusaha bangun. Tetapi tidak bisa menahan keseimbangan. Dia terjerembab, wajah lebih dulu dan terguling ke rumput basah yang sepertinya belum lama disiram.
Sekarang bukan hanya Sasuke yang memperhatikannya, beberapa pasang mata lain menonton sambil menahan tawa. Selamat Datang Rasa Malu.
"Kau ini sedang apa?" Sasuke telah berdiri di dekatnya, mengulurkan tangan untuk membantu Naruto bangun.
Naruto kembali merasa perlu untuk meningkatkan harga diri, karenanya dia membiarkan uluran tangan Sasuke tak bersambut. Dengan posisi bertumpu pada kedua lutut dan telapak tangan, Naruto mencoba bangkit sendiri. Sialnya, kakinya yang tadi sempat terpeleset membuat Naruto lagi-lagi gagal menahan keseimbangan.
Naruto memejamkan mata, mengira sedetik kemudian akan terjatuh lagi.
Tapi tidak terjadi.
Lengan Sasuke gesit melingkari tubuh Naruto, dari pinggang sisi kiri ke sisi satunya. Decakan kesal Sasuke membuat Naruto membuka matanya. Mereka beradu pandang.
"Aku tidak butuh pertunjukkan sirkus." sindir Sasuke.
"Ini bukan sirkus! Ini─ Ini namanya menyatu dengan alam!"
Sasuke mendengus, setengah tersenyum miring.
Tidak lama kemudian wajah Naruto memerah, bukan hanya karena menyadari betapa bodohnya jawaban yang dia berikan, dia juga sadar bagaimana posisi mereka saat ini. Langkah mundur diambil oleh Naruto, Sasuke memegangi lengannya sampai dia yakin Naruto tidak akan terjatuh lagi.
"Oh ya memang, wajahmu sudah menunjukkan kau menyatu dengan alam." kata Sasuke datar. Tentu saja itu bukan kalimat pujian. Matanya menatap dingin sebelum berbalik dan berjalan pulang. "Kita tidak bisa lanjut dengan baju dan wajahmu penuh tanah basah seperti itu."
Naruto mengikuti di belakang dengan wajah dungu.
Intinya, joging hari itu setengah batal. Rencana Naruto batal sepenuhnya. Sia-sia sesi konsultasi semalam. Naruto merasa lebih dipermalukan lagi sekarang.
.
.
.
.
.
Kiba berkali-kali menelepon, tidak Naruto angkat. Berkali-kali email, tidak Naruto jawab.
Untuk dua minggu ke depan Naruto memang berniat mendiamkannya. Atau mungkin hanya untuk dua hari. Naruto lemah kalau disogok, terutama kalau menggunakan ramen. Tapi masalahnya sekarang, Naruto benar-benar kesal. Saran dari Kiba memang tak pernah menghasilkan kebaikan. Harusnya Naruto sudah tahu.
Mencoba cuek, Naruto menyibukkan diri dengan latihan. Bertanya ini itu pada Sasuke, sampai yang bersangkutan jadi kewalahan.
Sejak sore tadi mereka duduk berhadapan di atas sofa.
"Ingat saat kau datang menemuiku di tengah malam?" tanya Wataru, melepaskan diri dari ciuman mereka.
"Ya?" kata Kazuki, terlihat sedikit bingung.
Suara Sasuke terdengar di suasana malam, tercampur sayup-sayup suara kendaraan dari luar gedung apartemen dan suara TV yang volumenya diset sangat pelan. Naruto duduk di sebelahnya, di atas sofa panjang ruang tengah. Hanya ketika Sasuke membacakan novel itu Naruto bisa diam dengan duduk bersila, tidak peduli walau Sasuke sudah memperingatkannya berkali-kali untuk tidak mengangkat kaki di atas sofa. Sasuke membacakan novel itu setiap ada waktu dan Naruto tetap berusaha untuk membacanya sendiri dengan bantuan kamus kanji ketika Sasuke tidak ada di rumah. Hasilnya terlihat jelas, malam ini sudah sampai pertengahan volume empat.
Naruto sudah tahu sebagian besar ceritanya. Dan suara Sasuke, walau tidak mau Naruto akui, tetap membuatnya terpesona.
"Kau bilang ada hal yang ingin kau bicarakan. Pikiranku penuh dengan itu. Kau pernah berkata padaku kau bisa saja berlari menemuiku kapanpun, tapi malam itu benar-benar sangat tiba-tiba. Aku senang, tapi di waktu bersamaan aku merasa khawatir. Bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang terjadi. Biasanya kau tidak akan menjawab walau kutanya, makanya saat itu aku─"
"Mizuho meneleponku."
Wataru sudah mempersiapkan diri kalau ini terjadi. Berpikir, sudah kuduga. Kazuki menyembunyikannya dengan baik, tapi Wataru tidak salah. Dia memang merasakan suatu keanehan pada malam itu.
"Aku sudah bilang padamu kalau aku menulis surat untuknya kan? Di surat itu kutulis kalau aku tidak bisa pergi ke New York. Tapi setidaknya, dia bisa menghubungiku. Aku memberikannya nomor telepon dan alamat emailku. Kemudian dia menelepon langsung dari rumah sakit, berterimakasih untuk surat yang kukirim."
"Ayolah, bukan cuma itu yang kalian bicarakan kan? Jujurlah, Kazuki. Apa kau mau tetap berpura-pura? Kalau hanya itu yang kalian bicarakan, tidak mungkin kau sampai ingin bertemu denganku di tengah malam."
"Ya tuhan..."
Aku memang selalu ingin menemuimu setiap saat, bahkan di tengah malam atau di pagi buta sekalipun, Kazuki tidak mengatakan pikirannya. Dia menghela napas, menekan bahu Wataru agar dia tetap terbaring di atas ranjang. "Apa kau yakin kau tidak apa-apa kalau aku pergi ke New York?" tanya Kazuki, memeriksa bagaimana raut wajah Wataru. "Tidak ada lagi kepura-puraan. Kita sudah berjanji seperti itu kan?"
"Aku tahu. Maksudku, aku tahu apa konsekuensi dari semua hal yang aku katakan. Percayalah."
"Wataru... apa yang kukatakan saat kita berada di rumah kakakku itu─ itu semua serius. Aku tidak ingin menyakitimu. Aku tidak peduli bahkan kalau hal itu membuat orang lain menderita. Kau yang utama." Tidak ada keraguan dalam suaranya.
Wataru bisa merasakan tatapan serius Kazuki memenuhi dirinya sampai ke tiap ujung jari.
"Terimakasih, Kazuki." Ada sebuah kebimbangan besar dalam hati wataru. Bohong kalau dia bilang dia melakukan ini tanpa mengabaikan keinginannya yang sebenarnya. "Tidak apa-apa, Kazuki. Pergilah menemui Mizuho dan beri dia kekuatan untuk melewati operasinya."
Sasuke menarik napas dan Naruto tahu kalau itu berarti bacaan untuk malam ini sudah selesai. Sasuke selalu memotong di bagian yang mendebarkan, membuat Naruto berusaha keras membuka kamus kanji setebal ensiklopedia dunia dan membaca lanjutannya sendiri ketika punya waktu istirahat.
"Apa setelah ini Kazuki akan pergi ke New York demi permintaan mantan pacarnya itu?" Suara Naruto sedikit membentak, lumayan kencang. Mengalahkan suara klakson kendaraan di jalanan. Bantal sofa digunakan sebagai samsak tinju, Sasuke membiarkannya. "Akh! Ini membuatku sebal. Harusnya sejak awal Kazuki mengabaikan wanita itu! Aku merasa kasihan pada Wataru."
"Kata-katamu terdengar seperti komentar seorang gadis." Sasuke menyimpan novel itu di atas meja kecil di samping sofa.
"Memangnya kau tidak punya perasaan? Coba bayangkan kalau pacarmu diminta pergi ke luar negeri oleh mantan kekasihnya dengan alasan ingin ditemani ketika menjalani operasi!"
Sasuke mendengus, "Kau bahkan belum pernah pacaran."
Mati kutu. Naruto diam sambil mengembungkan pipi.
"Kita sebagai pemeran, bukan pembaca. Bagaimana kalau kau ada di posisi Wataru? Pikirkan seberapa bimbangnya Wataru untuk memilih keputusannya. Menyuruh Kazuki pergi atau menyuruh Kazuki tetap tinggal."
"Di akhir tadi dia menyuruh Kazuki pergi." tanggap Naruto pelan.
"Bisa bayangkan seberapa baiknya Wataru itu? Sifatnya yang seperti itu yang akhirnya membuatnya menyuruh Kazuki pergi. Sebesar itu dia mempercayai Kazuki. Itulah Wataru. Peranmu."
Naruto bisa mendengar Sasuke menekankan pada kata 'Peranmu'. Terdiam, Naruto mulai berpikir.
Benar. Wataru adalah perannya. Hati dan perasaan seperti apa yang harus Naruto punya ketika memerankan Wataru yang memiliki sifat seperti itu?
Sasuke menyadari kebingungan Naruto. "Animenya hanya sampai novel volume tiga. Kau tidak perlu terlalu memikirkan cerita bagian itu. Aku hanya ingin kau tahu dan mengerti cerita mereka secara keseluruhan. Bukan tahu dari naskah saja."
Naruto tidak juga bicara sampai pertanyaan Sasuke mencapai telinganya. "Apa kau bisa?"
Manik kebiruan Naruto menemukan mata Sasuke yang menatapnya. Sasuke serius. "Apa menurutmu kau bisa melakukannya?" ulangnya.
Naruto bisa merasakan kalau dirinya menelan ludah sendiri, gugup. "Aku tidak tahu..." tangannya mengepal, mencengkram sarung bantal yang terasa selembut mantel Louis Vuitton. "Tapi aku tetap harus melakukannya kan?"
"Berapa hari lagi kita akan mulai rekaman?"
"Tiga hari lagi."
"Itu sisa waktumu." Sasuke menyender pada lengan sofa, posisi duduknya sudah lebih nyaman dibanding tadi. Dia menghadap Naruto yang kini tertunduk. Mereka diam beberapa saat.
"Dengarkan aku, aku hanya akan mengatakannya satu kali. Dan aku tidak suka mengulang." Sasuke yang pertama mengeluarkan suara, Naruto mendongak menatapnya. "Aku pembimbingmu. Aku mencoba membantumu. Jadi sebaiknya kita bicarakan semua kegelisahanmu sekarang. Saat ini juga."
Sesaat, Naruto rasanya tidak percaya apa yang dia dengar barusan.
"Apa kau percaya padaku?"
"Aku..." Ragu terdengar jelas. "Entahlah…" Naruto sempat melirik Sasuke, bola matanya bergulir menunjukkan ketidakyakinan. Sebaiknya bicara atau tidak. Tapi Naruto bukanlah orang yang kuat lama-lama menahan keluhan. "Kau begitu menyebalkan. Perkataanmu menyebalkan. Tingkahmu menyebalkan. Suaramu yang harganya mahal itu bisa sangat terdengar menyebalkan."
"Terimakasih. Bukan hanya kau yang berpendapat begitu." Sasuke menaggapi datar, jawabannya adalah sebuah kejujuran. Dia tidak perlu mengingat bagaimana Mikoto mengeluh soal sikap membosankannya. "Tapi aku tidak peduli pendapatmu tentangku. Kau hanya perlu melakukan apa yang kuminta."
Itu juga sebuah kebenaran. Tidak peduli bagaimana pendapat Naruto tentang Sasuke, pemuda Uchiha itu, saat ini, memang lebih unggul darinya. Jauh lebih unggul.
Naruto mencoba membuat rileks tubuhnya, masih tetap dengan kedua kaki bersila di atas sofa. "Bolehkah aku menanyakan sesuatu?" suara ceprengnya pelan, ragu tapi penasaran.
"Hn." Sasuke tidak menganguk.
"Kenapa kau mau menolongku?"
Mata mereka bertemu, tidak ada yang berniat mengalihkan pandangan.
Setelah beberapa detik, Sasuke memberikan respon atas pertanyaan Naruto. Namun itu bukanlah suatu jawaban. "Apa itu penting?"
Kesal, Naruto menggertakan giginya, sama sekali tidak merasa ngilu. Kebiasaan yang Naruto sendiri tidak pernah sadari. Entah berapa kali Sasuke sudah membuat giginya bergesekan seperti itu. "Tentu saja itu penting! Kau ingin aku percaya padamu kan?!"
Naruto diam, dia menunggu. Selama ini Sasuke akan langsung menjawab pertanyaan apapun tanpa perlu berpikir banyak, semua hal ─setelah Naruto amati─ serasa dikuasai secara ahli oleh Tuan Muda Uchiha yang satu itu. Tapi mungkin ada satu hal yang Sasuke sendiri tidak begitu pahami; hal tentang dirinya sendiri. Atau kemungkinan yang lain, Sasuke tidak ingin menceritakan soal dirinya terlalu banyak, terlebih pada seseorang yang baru dia kenal seperti Naruto.
Naruto tidak pernah melupakan pertanyaan yang sudah dia ajukan. Dia masih menunggu, matanya menatap tanpa gentar. Sasuke pada akhirnya menghela napas. Dia menyerah dan kemudian berkata, "Karena tidak ada orang yang lebih mengerti posisimu selain aku."
"Eh?"
"Kau mirip denganku." tambah Sasuke. "Situasimu."
Kening Naruto berkerut, seperti saat Iruka-sensei menjelaskan tentang teori pembentukan proses produksi anime dan Naruto tentu saja tidak mengerti. Tidak mengerti untuk teori pembentukan proses produksi anime yang dulu diajarkan itu maupun untuk jawaban Sasuke tadi. "Tolong, bisakah kau bicara lebih panjang? Setidaknya biarkan aku mengerti intinya."
Sasuke berdecak, dia benar-benar tidak suka menghadapi bocah dengan banyak pertanyaan. Peduli apa dengan omongan Mikoto yang bilang kalau masih belum berubah juga, nanti Sasuke pasti tidak akan jadi ayah yang baik. Punya anak saja Sasuke memang enggan. Kalau mau jujur, dia lebih suka mengoceh panjang membacakan novel Only The Ring Finger Knows sampai tamat detik ini juga daripada harus berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan Naruto. Pandangan mata Sasuke teralih, tak fokus arah, bukan pada layar TV yang masih menanyangkan acara malam. Dia menumpukan dagunya pada telapak tangan, suaranya sedikit teredam saat bicara namun masih bisa Naruto tangkap dengan baik. "Aku sama sepertimu. Mendapat peran utama dalam anime BoysLove pada debut pertamaku. Itu sulit. Aku tahu itu." Sasuke memberikan jeda, Naruto tahu diri untuk tetap diam dan menunggu lanjutannya. "Situasiku bisa dibilang lebih parah. Dengan isu pengaruh keluarga dan semacamnya. Aku tidak tahu apa-apa soal tehniknya, sama sepertimu. Dan aku tidak punya pembimbing. Aku berusaha sendiri. Memulai dan berjalan sendiri."
Naruto harus membalik-balik memorinya, memastikan tadi itu adalah sebuah rekor, Sasuke bicara padanya lebih dari 9 kalimat. Tanpa sadar, Naruto mengerjapkan matanya, tidak percaya.
"Melihatmu seperti melihat diriku sendiri ketika itu. Rasanya kesal tapi tidak bisa kuabaikan."
Hening kemudian. Naruto tidak berkomentar satu katapun, memandang orang di hadapannya dengan tatapan menduga-duga. Dan tatapan Naruto itu kembali terpaut dengan sorot mata kelam milik Sasuke begitu Sasuke menengokkan kepalanya. Mereka mencoba membaca pikiran satu sama lain, mencoba menemukan kebenaran dari apa yang masing-masing mereka pikirkan.
Kata-kata Sasuke terngiang di telinga Naruto.
Tidak ada orang yang lebih mengerti posisimu selain aku.
.
.
Selama Naruto tinggal di tempat Sasuke, tiga hari terakhir ini, Naruto belajar banyak hal. Dari hal besar semacam bagaimana cara menjaga suara agar tetap bagus sampai hal sepele semacam bagaimana caranya mengoperasikan mesin pembuat kopi keluaran terbaru. Naruto melihat banyak hal seperti bagaimana cara seorang Uchiha Sasuke menjaga kesehatannya, mengaplikasikan kedisiplinan tanpa cela, memarahi tanpa ragu, dan mencibir bagai raja dzolim. Naruto merasakan hal-hal baru sejak bersama Sasuke. Dan yang Naruto tahu tanpa ragu, dia tahu bahwa Sasuke bisa melakukan segala hal dengan sempurna. Membuat Naruto bertanya-tanya apa kiranya keahlian Sasuke yang paling menonjol. Naruto meragukan 'kemanusiaan' Sasuke. Benar kah dia manusia sama sepertinya, yang kadang-kadang makan nasi dan sup miso saat sarapan.
"Kupikir... kau terlahir jenius." Bukan salah Naruto kalau dia beranggapan seperti itu. Dengan segala kebisaan itu, mendengar pengakuan soal Sasuke yang pernah menghadapi kesulitan rasanya seperti setengah bermimpi atau seperti saat berhasil menyebrangi jurang dengan berjalan di atas sehelai rambut, hal tidak mungkin tapi ternyata mungkin.
"Bahkan seorang jenius harus belajar merangkak terlebih dulu."
"Wow." Naruto melengkungkan punggungnya, matanya membesar. "Kau bisa lihat wajahku? Ini wajah kagetku! Aku kaget! Dan aku tidak tahu harus berkata apa."
Sasuke sungguh tidak ingin menanggapi komentar itu.
"Jadi, kau serius ingin membantuku?" tanya Naruto kemudian.
Sasuke menglihkan pendangannya sebelum berkata, "Jangan membuatku terlihat seperti orang baik. Menggelikan."
Naruto menatap Sasuke tanpa bersuara sebelum akhirnya meledakkan tawanya. "Hahahaha."
Sungguh sulit dipercaya!
Naruto berani bertaruh Sasuke pasti tetap tidak akan menunjukkan emosinya bahkan ketika menonton Loud Of Laugh tengah malam di saluran TV berbayar. Dan Sasuke yang seperti itu, bisa merasa risih karena tidak ingin dianggap berbuat baik. Ini tawa lepas Naruto setelah sekian lama dia dihantui soal pekerjaan pertamanya. Rasanya begitu menyenangkan. Tapi tidak untuk Sasuke, tawa itu membuatnya makin risih. Dan akhirnya bantal sofa melayang, sasaran utamanya adalah wajah Si Pirang.
"Hahahaha" Alih-alih berhenti, tawa Naruto makin keras. Lemparan tadi memang sama sekali tidak menyakitinya. Seorang pangeran melempar bantal. Itu hal yang lebih menghibur dibandingkan mendengarkan Kiba menyanyikan lagu enka sebagai hiburan basi yang dilakukan tiap malam tahun baru. Satu hal lagi yang Naruto tahu kali ini, Sasuke mungkin memang jenius serba bisa, tapi dia bukan pengeran. Hanya pemuda normal berwajah kaku yang lebih tua 1 atau 2 tahun darinya. Dan hal itu, Naruto pikir, malah membuat Sasuke terlihat lebih manusiawi.
Sasuke mengawali gerakan selanjutnya dengan pandangan curi-curi, yang kemudian berubah menjadi tatapan terang-terangan. "Berhenti tertawa. Dasar anak aneh." katanya. Detik kemudian, garis bibirnya membentuk satu lengkungan samar.
Bahkan Sasuke sendiri tidak menyadari kalau dia sedang tersenyum.
Naruto terperanjat, menunjukkan dalam tawa yang tiba-tiba terhenti, dia tidak pernah tahu bahwa senyuman seseorang bisa membuatnya terdiam seperti sekarang ini.
Senyum tulus Sasuke yang pertama kali dia lihat.
Mengira Naruto diam karena perintahnya, Sasuke tidak bertanya apapun tentang keadaan lawan bicaranya ─tidak juga menyadari saol wajah Naruto yang sedikit merona. "Ada tehnik dasar yang harus kau tahu untuk menjadi seorang seiyuu bergenre BoysLove."
"Y─ya?" Naruto gagap. Untungnya dia tersadar cukup cepat untuk menyimak hal yang Sasuke bicarakan.
"Kupikir sekarang waktu yang tepat untuk mengajari tentang tehnik itu."
Seperti tuas orgel yang diputar, otak Naruto langsung menyambut, memfokuskan kembali pikiran ke soal pekerjaan yang menantinya. "Tehnik apa?" tanyanya bersemangat. Naruto tipe anak yang bersemangat saat belajar, walau terkadang akan merengek di tengah jalan.
"Kau laki-laki. Dan aku juga. Jadi kita bisa membicarakan soal ini tanpa beban."
Kening Naruto berkerut, tidak bisa membaca arah pembicaraan. Jangan bilang kalau Sasuke ingin konsultasi tentang cinta. Sesama laki-laki pasti akan lebih saling mengerti. Begitu kira-kira. Kalau sampai pemikiran Naruto ini jadi nyata, maka Naruto akan mengalihkan curhatan Sasuke pada Dokter Kiba. Biarlah Sasuke merasakan apa yang namanya terlibat dalam solusi yang menyesatkan.
Kemudian Sasuke melanjutkan dengan pertanyaan yang tidak pernah Naruto sangka. "Kau pernah mastrubasi?"
Naruto diam, mencerna pertanyaan. Matanya berkedip beberapa kali.
Mastrubasi.
Mastrubasi.
Masturbasi adalah perangsangan seksualitas yang sengaja dilakukan pada organ kelamin untuk memperoleh kenikmatan dan kepuasan seksual. Perangsangan ini dapat dilakukan tanpa alat bantu ataupun menggunakan suatu objek atau alat, atau kombinasi dari keduanya. Dikutip dari kamus besar membaca kamus besar itupun, Naruto tahu apa maksud dari mastrubasi. Setidaknya, pengetahuannya yang minim cukup untuk membuat wajahnya memerah seperti warna matahari di kala senja. Agak oranye dan menghangat. "A-apa? Apa? K-kenapa kau bertanya soal itu?"
Pertanyaan itu rasanya lebih memalukan dibanding ketahuan mengompol di tempat tidur saat usia sudah 6 tahun.
Suara Naruto sedikit membuat Sasuke geli. Begitu naif. "Hanya bertanya." kata Sasuke. "Dan aku menunggu jawaban."
"Tahu tidak, kalau ini bisa disebut sebagai pelecehan seksual?!" bentak Naruto, suaranya meninggi hanya karena menyembunyikan rasa malu. "Hukuman untuk seorang pelaku pelecehan seksual adalah… adalah…" adalah apa ya? Naruto diam lima detik. Gaara pernah membahas ini sebelumnya, tapi Naruto lupa. Lompati saja lah. "Kalau aku melaporkanmu ke pihak yang berwajib, kau bisa─"
"Ini akan ada hubungannya dengan tehnik yang akan kau pelajari." potong Sasuke cepat.
Naruto berkedip lagi.
"Bohong." tuding Naruto langsung. Tapi yang dia dapati hanyalah wajah Sasuke yang masih datar, membuat Naruto menyimpulkan sesuatu. "Oh… bukan bohong, ya…"
"Dasar bodoh." Kalau bisa, Sasuke rasanya ingin sekali meninggalkan bocah berisik itu. "Jawab saja pertanyaanku."
"Ini tidak adil!"
Tidak adil. Kalimat itu akan berlanjut pada adu argumen. Sasuke sudah belajar cukup banyak soal pemuda di hadapannya itu.
"Kau tahu, ini rasanya seperti aku ditelanjangi olehmu. Memalukan sekali." Naruto masih mengoceh.
"Kau mau coba kutelanjangi? Agar tahu yang mana sebenarnya yang lebih memalukan."
Mulut Naruto menganga. "O─oke. Aku akan menjawab pertanyaanmu itu."
"Hn."
"Tapi sebagai gantinya kau harus mau menjawab pertanyaanku juga." tawar Naruto. Kalaupun dia harus kalah, dia tidak akan kalah telak. Naruto harus bisa menarik celana musuhnya sampai pergelangan kaki saat dia jatuh tersungkur, musuhnya akan merasa malu juga karena celana yang melorot. Teori mudahnya sih seperti itu.
Sasuke tidak menjawab. Naruto menyimpulkan itu sebagai 'ya'. "Yosh. Kalau begitu, ayo kita mulai. Kau pernah mastrubasi?"
"Aku yang bertanya lebih dulu."
"Apa bedanya kalau kau yang menjawab lebih dulu?"
Sasuke sudah benar-benar lelah adu argumen. Menjawab pertanyaan jauh lebih mudah. "Pernah."
Naruto menunjukkan seringaian dan mulutnya membentuk O dengan dibuat-buat. "Sering?" tanyanya kemudian.
"Tidak terlalu sering." jawab Sasuke cepat. Kepala Naruto menganguk-anguk penuh sok sambil tangannya dilipat di depan dada. "Untuk apa aku sering melakukan hal seperti itu? Aku bisa tidur dengan wanita manapun yang aku mau."
Itu! Itu! Kata-kata itu! Sasuke merebut kata-katanya! Kata-kata itu masuk dalam salah satu kalimat impian Naruto, yang dia dambakan suatu saat nanti dia bisa mengatakannya sambil memegang gelas krystal berisi wine mahal, di bar elit tempat orang-orang kaya selevel pembisnis minyak bumi dari Saudi Arabia. Nanti, Naruto yang sudah dewasa pasti akan bisa mengatakan hal seperti itu! Suatu saat nanti─entah kapan.
Beberapa detik terlewat tanpa pertanyaan lanjutan, Naruto ternyata tidak berbakat jadi tukang introgasi. Sasuke mengambil kesempatan itu dengan mengajukan pertanyaannya,"Kau pernah?"
Sasuke mendapatkan lirikan awas sebelum orang yang dia tanyai menjawab, "Aneh bukan kalau pemuda seumurku belum pernah melakukannya."
"Apa yang membuatmu melakukannya untuk pertama kali?"
Lirikan Naruto makin awas. Aura ruangan itu memberat, seperti sesi tanya jawab di kantor polisi saat kebetulan menjadi saksi mata suatu perbuatan kriminal. Naruto jadi takut sendiri, tanpa sadar jadi menjawab dengan sejujur-jujurnya. "Aku membaca sesuatu. Mendengar sesuatu dari seseorang. Dan aku penasaran. Selanjutnya kau tahu lah… Ini soal kamar mandi dengan pintu yang dikunci, soal sabun dan duduk di atas kloset dengan celana yang terbuka. Begitulah."
"Berhasil?"
"Mungkin bisa dibilang berhasil. Tapi setelah melakukannya, aku merasa lelah. Jadi aku tidak pernah melakukannya lagi."
Mendengar jawaban itu, Sasuke tidak bisa tidak untuk bertanya-tanya dalam diamnya, ketika sebenarnya Naruto sudah mengerti tentang itu semua, kenapa dia masih perlu bertanya macam-macam pada seseorang bernama Kiba itu.
Sasuke menghela napas. "Kau hanya pernah melakukannya satu kali?"
Naruto menganguk.
"Saat merasa terangsang dan kemaluanmu bereaksi, apa yang kau lakukan? Tidur dan pura-pura tidak terjadi apa-apa?"
"Aku pernah mencoba seperti itu. Tapi sulit. Untuk tidur saja rasanya tidak mungkin. Jadi aku menghilangkannya dengan mandi. Bahkan walau itu tengah malam, aku memilih untuk mandi daripada tetap mencoba melanjutkan tidur."
"Hn."
Naruto menambahkan dengan cepat. "Bukan berarti aku sering bereaksi! Kiba bilang aku termasuk orang yang sulit terangsang. Sejak masa mimpi basah, mungkin hanya ada 3 atau 4 kali. Itupun bukan karena aku membayangkan yang aneh-aneh, ya. Hanya karena setelah beraktifitas fisik saja, seperti olahraga dan lainnya."
Rasanya aneh bicara segamblang itu tentang hal seperti ini. Sepasang mata biru Naruto bergerak tidak tentu arah, ke manapun asal tidak menemukan mata onyx Sasuke yang menatapnya tanpa kata. "Apakah kita sudah bisa mengakhiri pembicaraan soal ini?"
"Kau malu?"
"Kau perlu bertanya?"
"Kalau saat membicarakan suatu hal selevel ini saja masih merasa malu, kau tidak akan bisa mendesah dan memakai tehnik itu di hadapan orang banyak saat proses rekaman."
"Maksudmu, aku harus menghilangkan rasa maluku?"
"Tepat." kata Sasuke singkat.
"Rasanya itu tidak mungkin."
"Bicaralah. Tentang apapun yang menurutmu bisa membuatmu malu. Biasakan diri."
Mata Naruto memicing curiga, "Kau tidak akan melakukan blackmail kan? Jangan-jangan setelah aku cerita banyak hal kau akan meminta uang tutup mulut."
"Uang jajanmu satu bulan saja tidak akan cukup untuk membeli satu set pakaianku."
"Benar juga sih…" Bibir Naruto mengerucut. "Eh tapi bukan itu masalahnya!"
"Ya. Memang bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah kau tidak percaya padaku."
Naruto diam.
"Menurutlah sampai project kali ini selesai. Bukan cuma dirimu yang muak terjebak dalam keadaan seperti ini."
Muak dia bilang? Muak?
Kata itu membuat Naruto sedikit kesal. Kalau memang Sasuke muak akan ini semua, kenapa tidak tolak saja permintaan Naruto sejak awal? Belum lama tadi dia bilang sungguh ingin membantu, tapi detik selanjutnya bilang kalau dia muak? Naruto tidak pernah merasa sekesal ini sampai tidak menyadari nada suaranya meninggi saat mengatakan keluhannya, "Memangnya apa yang kau harapkan dariku?" bentaknya agak kencang. "Berharap aku mau berdiskusi denganmu tentang kehidupan sex-ku yang minim, gadis idaman yang muncul dalam fantasy liar di kamar mandi atau film semacam Fifty Shades of Gray? Kalau kau menginginkannya, dan itu bisa membuktikan kesungguhanku, aku bahkan bisa saja membaca keras-keras novel porno yang Kiba sembunyikan di bawah kasur sekarang juga. Di sini. Biar aku buktikan kalau aku bisa jadi penurut. Itupun kalau alasanmu masuk akal dan bisa dipertang─"
Detik selanjutnya berjalan sangat cepat sampai Naruto tidak menyadari kapan Sasuke menggerakkan tangan untuk membungkam mulutnya. Naruto tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Sasuke yang mendekat.
"Sepertinya kau memang akan terus bicara sampai aku melakukan praktik langsung."
Naruto bisu. Tidak bisa bersuara walaupun dia ingin membentak.
Dia bahkan tidak berkedip.
"Diam dan ikuti saja perintahku. Kau bilang kalau kau mau, kau bisa melakukan apa saja yang kukatan bukan?" Sasuke berkata dengan nada bicaranya yang tetap stabil, rendah dengan nada datar. Mengintimidasi namun tidak membuat Naruto takut kali ini. Suara itu hanya membuat Naruto terpaku, seolah pusat dunia ada di hadapannya.
Naruto menganguk bagai tersihir.
Setelah yakin kalau Naruto tidak akan membuka mulut lagi, Sasuke menurunkan tangannya. Mulut Naruto terbebas, namun dia tidak berkata. Sasuke masih memandangnya.
Naruto jadi bertanya-tanya apakah Sasuke memang selalu menatap lawan bicaranya seintens ini.
"Bagus kalau kau sudah mengerti." kata Sasuke, dia tersenyum samar karena puas.
Satu lagi yang Naruto tidak suka tentang Uchiha Sasuke, kombinasi antara tatapan mata dan senyuman itu─Naruto sama sekali tidak menyukainya. Naruto tidak suka ketika jantungnya tidak tahu waktu yang tepat untuk berdegup lebih kencang dari biasanya.
Dasar jantung sialan!
"Tutup matamu."
Naruto menutup matanya, sesuai perintah. Dia tidak tahu apakah yang dia dengar itu memang suara Sasuke atau bukan, karena Naruto merasa kalau degupan jantungnya bersuara lebih keras dibanding suara-suara lain di sekitarnya.
Hembusan napas lega harusnya bisa keluar dari sela-sela mulut Naruto, tapi ternyata itu hanya sebuah keinginan belaka. Naruto mengira menutup mata adalah hal yang tepat untuk dia lakukan. Karena dia bisa menghindari tatapan itu.
Tapi semua itu tidaklah benar.
Gaara memberitahunya banyak hal, termasuk saat mereka berkunjung ke perpustakaan kota dan bertemu seorang pustakawan tunanetra di sana. Saat Naruto meragukan kemampuan si pustakawan itu soal tugasnya, Gaara berkata "Semua orang punya kelebihan masing-masing. Indera penglihatannya yang hilang membuat indera lainnya lebih tajam."
Dan kini Naruto mengalaminya sendiri.
Ketika dia menutup mata, suara Sasuke terdengar lebih─ Naruto tidak tahu apa namanya. Untuk mendiskripsikannya dia merasa perlu menggunakan semua kata ungkapan kagum yang ada di muka bumi.
"Naruto," Ini pertama kalinya Sasuke mengucapkan nama itu tanpa embel-embel atau nada ejekan, begitu lembut. Naruto merasa suara itu membuat darahnya berdesir, dia tidak pernah dipanggil dengan cara seperti itu. "aku butuh kau untuk fokus. Tutup pendengaranmu pada suara lain. Cukup suaraku, oke?"
Terlambat. Memang itu yang sudah Naruto lakukan. Tanpa perlu Sasuke suruh pun, Naruto sudah terfokus hanya pada suaranya.
Naruto menaruh telapak tangan di dada kirinya, tepat di atas jantung. Dia mengatur napasnya perlahan, berharap kalau itu akan bisa menenangkan dirinya.
Tidak ada apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja. Ini hanya sebuah tekhnik yang akan dipraktekan. Ayolah, Naruto, kau seorang professional sekarang. Ini tentang pekerjaan!
Saat merasa semuanya telah terkendali, degup jantungnya sudah hampir normal, mengatur posisi duduknya agar lebih tegak, dan pikirannya telah fokus sepenuhnya, Naruto menganguk sebagai tanda kalau dia sudah siap.
Sasuke menangkap tanda itu dan mulai melakukan sesuatu. Naruto baru saja akan memekik pelan saat merasakan tangan dingin Sasuke meraih telapak tangannya. Tangan kanan Naruto sudah tidak berada di atas dadanya lagi, melainkan sudah berpindah ke genggaman tangan Sasuke.
Sontak Naruto membuka mata dan menarik kembali tangannya.
"Jangan macam-macam!" Naruto gugup bercampur malu, perpaduan dua emosi itu membuatnya menatap nyalang, berusaha galak namun nyatanya terlihat lucu.
"Macam-macam apa, maksudmu?"
"Kau tau maksudku, itu… itu… umm…" Mulut terbuka dan tertutup bergiliran, Naruto sungguh enggan mengatakannya. "Y─ ya… ya seperti…" dia diam sebentar, menelan ludah serasa sedang menelan harga dirinya sendiri. "Seperti… saat kita proses rekaman itu…"
"Menciummu, maksudnya?" Sasuke masih dengan ekspresi datar.
Naruto harus mengetatkan rahang supaya tidak melongo seperti Kiba saat mendapati promo buy one get one di sudut penjualan DVD jadul.
Kenapa kata-kata yang dikeluarkan oleh si Uchiha ini 90%nya selalu tidak tahu malu dan menyakitkan hati?! Pantas saja mereka jarang membuka mulut! Sedikit bicara saja sudah menyakiti hati orang, apalagi kalau dia cerewet.
Detik ini juga Naruto berdoa demi kebisuan seumur hidup Uchiha Sasuke.
Namun Naruto lupa kalau di saat mendesak, biasanya doanya tidak pernah dikabulkan dewa. Bukannya bungkam, Sasuke malah berkata dengan sedikit seringai merendahkan, "Kau tak semenggoda itu sampai membuatku ingin menciummu lagi."
Tingkah Sasuke yang seperti ini harusnya membuat ketampanannya berubah menjadi seperti reptil buruk rupa. Ketampanan itu harusnya menguap seperti cairan nitrogen dalam metode pembuatan es krim terbaru, menyisakan sosok pemuda bak Hitler. Walau nyatanya Naruto sendiri tahu kalau Sasuke tetap saja tampan.
Sekarang Naruto rasanya ingin menghantamkan kepalanya sendiri ke lantai karena bisa-bisanya dia berpikiran seperti itu.
"Mengerti tidak apa yang kuperintahkan dari awal?" Pikiran Naruto buyar. Sasuke berkata tanpa beban, seolah tak pernah mengatakan suatu kalimat ─yang menurut Naruto─ selevel dengan pelecehan seksual.
Seperti seorang anak kecil yang kalah berdebat, Naruto menutup matanya dengan kesal dan mogok bicara pada lawan di hadapannya. Dia tidak sadar memang itu yang diinginkan Sasuke darinya. Diam.
"Jangan berkata apapun sebelum aku menyuruhmu." ujar Sasuke sambil menarik lagi lengan Naruto yang telapaknya masih terkepal. Sasuke membuka kepalan tangan itu. Jemari Sasuke menguntainya dengan perlahan sampai dia bisa menyentuh setiap ujung jari milik Naruto dan mengusapnya lembut dengan ibu jarinya sendiri. Matanya menatap Naruto lurus-lurus seakan Naruto masih bisa melihatnya. "Nanti tokoh yang kita perankan akan melakukan skinship seperti ini."
Naruto tersentak, tapi kali ini berusaha sekuat tenaga agar tidak melontarkan pertanyaan dan tetap menutup matanya. Tangan Sasuke memang terasa dingin, tapi anehnya itu bisa membuat Naruto lebih berkeringat. Ingin sekali dia menarik tangannya dari genggaman Sasuke, mengelapnya ke bajunya sampai kering agar Sasuke tak tahu kalau dia sedang gugup.
"Aku akan menjelaskan soal tehniknya." Sasuke mulai bicara, tanpa ada nada mengejek atau merendahkan. Bukan pula kalimat perintah, dia hanya memberitahu. Hal itu sedikit membuat Naruto kembali percaya kalau orang di hadapannya ini memang benar-benar berniat membantunya.
Emosi Naruto surut seketika, dia mengingat tekad awalnya. Keberadaannya di rumah Sasuke bukan sekedar untuk beradu omongan. Inilah saatnya Naruto menunjukkan keseriusannya. Dia menyingkirkan segala ego dan pikiran negatif. Satu-satunya hal yang dia tanamkan saat ini adalah : Sasuke ada untuk membantunya. Dan Naruto ingin percaya akan hal itu. Pikiran Naruto siap untuk apapun yang akan Sasuke jelaskan.
Dia pasti akan terlihat seperti orang idiot. Tidak berbeda jauh dengan kucing liar jalanan yang dimasukkan kandang tanpa meronta sama sekali. Biarkanlah. Fokus pada tujuan adalah salah satu kunci sukses yang paling utama ─kata Iruka-sensei. Naruto hanya perlu fokus. Selama Sasuke menjauhkan bibirnya dari bibir Naruto, semua akan tetap terkendali.
Sasuke menggumamkan sesuatu dengan suara pelan. Rendah dan berat. Siapapun yang mendengarnya pasti akan setuju kalau Sasuke sedang mengeluarkan wibawanya.
"Setiap orang punya titik sensitif masing-masing." ujarnya tanpa melepaskan genggaman pada tangan Naruto. "Misalnya saja, ujung jari…"
Naruto sedikit bergidik saat ujung-ujung jarinya menyentuh sesuatu yang lembab dan kenyal. Terasa lembut di ujung jari telunjuk dan jari tengahnya.
"Kalau kau perhatikan pelajaran saat sekolah, kau pasti tahu kalau ujung jari adalah bagian tubuh yang berguna untuk menerima suatu rangsangan asing."
Saat sesuatu itu bergerak seirama dengan suara Sasuke, Naruto tersadar akan apa yang sedang terjadi.
Sasuke menempelkan jemari Naruto di permukaan bibirnya.
Ya tuhan… Jari Naruto ada di atas bibir Sasuke. Membayangkannya saja Naruto tidak berani. Ini sungguh menjijikan ─seharusnya menjijikkan.
Naruto hampir saja gagal untuk mencegah mulutnya menganga lebar karena terkejut. Jelas sekali kalau Sasuke tidak peduli bagaimana metode pembelajarannya, yang terpenting baginya adalah Naruto bisa menjalankan proses rekaman tanpa menjadi penghambat. Naruto tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun walau sebenarnya dia ingin menjerit. Kegugupan mulai menguasai dirinya.
Sasuke tidak bodoh, dan dia memang sangat pandai dengan perhitungan sehingga dia bisa dengan mudah mengetahui bagaimana keadaan Naruto saat ini.
"Rasakan dengan baik bagaimana aku melakukan tehnik ini."
Harusnya Naruto tahu bahwa kalimat Sasuke tadi itu adalah peringatan untuknya. Tanpa butuh persetujuan sama sekali, Sasuke makin menekankan jari-jari Naruto ke arah bibirnya. Kalau saat awal Naruto hanya merasakan jari-jarinya menempel ringan pada permukaan bibir Sasuke, kali ini dia bisa dengan jelas tahu bagaimana tekstur bibir itu, begitu menempel sampai rasanya Naruto bisa merasakan ujung lidah Sasuke yang juga menyentuh jemarinya, basah dan hangat.
Perasaan Naruto campur aduk. Frustasi dan ingin menjambak rambutnya sendiri sekencang-kencangnya.
Ini tidak normal! Tidak normal!
Ketidaknormalan ini tidak berakhir sapai situ. Belum juga Naruto terbiasa dengan kejutan tadi, dia sudah mendapat kejutan lainnya. Sasuke mengecup jemari Naruto, bukan hanya kecupan singkat berdurasi satu atau dua detik. Itu kecupan panjang yang perlahan dan berhasil menghasilkan suara kecipak basah yang sangat jelas.
"Pernah berpikir bagaimana seorang voice actor menghasilkan suara ciuman?" ujar Sasuke di sela-sela kegiatannya yang menghujani telapak tangan Naruto dengan kecupan-kecupan beruntun. "Aku sedang mengajarimu soal itu." Selain suara Sasuke, ruangan itu sekarang dipenuhi sura kecupan yang berulang. Suara itu menggema dalam otak Naruto, dan berhasil membuat sekujur tubuhnya menerima sensasi menyengat yang asing.
Ughhh… Naruto ingin menutup telinganya.
"Saat rekaman, gunakan tehnik ini untuk menghasilkan suara ciuman yang terdengar nyata. Ingat dengan baik bagaimana aku melakukannya," Sasuke kembali memberikan kecupan-kecupan itu di sana, terlalu sering sampai rasanya Naruto bisa merasakan lembab bekas saliva Sasuke tertinggal di beberapa bagian telapak tangannya. "Kau mengerti?"
Cepat-cepat Naruto mengagukan kepalanya berkali-kali. Dan sukses membuatnya pusing, entah kerena angukan yang dia lakukan atau karena apa yang Sasuke lakukan padanya. Merasa canggung, Naruto spontan menarik tangannya. Sasuke membiarkannya.
"Itu yang pertama," Sasuke memberi jeda, "yang kedua─"
Sasuke bahkan belum menyelesaikan kalimatnya saat Naruto dengan sigat menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung. Setengah takut, sebagian lagi malu.
"─adalah bagaimana seorang voice actor menghasilkan suara saat adegan blowjob."
Naruto menegang. Kalau dibolehkan bersuara, dia pasti sudah berteriak "hiiiy" sambil berekspresi jijik bagaikan melihat cacing di atas roti lapis menu makan siangnya.
"Kita mulai." Sasuke memberi aba-aba kali ini ─oh yeah… haruskah Naruto berterimakasih pada kemurahan hati Tuan Uchiha Sasuke ini? Tidak akan pernah!
Aba-aba itu tidak membuat Naruto mempersiapkan diri dari apa yang akan Sasuke lakukan. Naruto tidak tahu apakah serangan selanjutnya akan berasal dari sisi kanan, sisi kiri, atas, atau bawah. Dia tetap tanpa pertahanan saat ternyata langkah selanjutnya dari Sasuke langsung datang dari depan. Tangan kiri Sasuke tiba-tiba mencengkram rahang Naruto. Sebelum berontak, Sasuke sudah berkata lebih dulu. "Diam. Jangan melawan."
Nada datar tapi Naruto tahu kalau itu sepenuhnya adalah kalimat perintah. Naruto tidak yakin sejak kapan dirinya disetting untuk otomatis mengikuti apa yang Sasuke perintahkan. Yang jelas, di sinilah dia. Mengikuti semua yang Sasuke mau, membiarkan rahangnya tertahan kuat tanpa bisa sedikitpun menengok ke samping. Tidak sedikitpun.
Masih dengan mata terpejam, Naruto mengira-ngira apa yang akan selanjutnya terjadi. Sayangnya, hal itu tidak berguna. Karna yang terjadi selanjutnya sama sekali tidak pernah ada dalam bayangan Naruto.
Kali ini giliran jari Sasuke yang tepat berada di depan bibir Naruto. Dengan posisi horizontal, Naruto merasakan setidaknya dua jari Sasuke menyentuh bibirnya tanpa ragu. Naruto serasa seperti bocah bandel yang sakit dan sedang dipaksa minum obat. Bedanya, bukan sendok berisi cairan kental obat rasa buah yang ada di depan mulutnya, melainkan jari tengah dan jari telunjuk dari tangan sebelah kanan milik Sasuke.
"Buka mulutmu." perintah Sasuke. Tidak juga mendapat respon, membuatnya berkata sekali lagi. "Apa kau tuli? Kubilang buka mulutmu."
Antara ragu dan putus asa, Naruto tak tahu apa yang seharunya dia lakukan. Dia hanya bisa melakukan apa yang Sasuke suruh. Dia membuka mulutnya sedikit dan merasakan jari Sasuke melesak masuk ke dalam mulutnya. Sasuke tidak peduli kalau deretan gigi Naruto bisa menggores jemarinya.
Naruto hampir tersedak saat jemari Sasuke masuk terlalu dalam ke rongga mulutnya. Dia ingin menggelengkan kepalanya, mebuat jari-jari itu keluar. Tapi rengkuhan Sasuke pada rahangnya begitu kuat.
"Saat aku menggerakkan jariku, cobalah untuk mengeluarkan suara seperti sedang mengemut es batangan. Jangan ragu. Aku tidak akan berhenti sebelum kau lancar melakukannya." Kata Sasuke dan kemudian menambahkan, "Gerakkan juga lidahmu. Beri aku angukan kalau kau sudah mengerti."
Naruto menganguk setengah hati, karena berdasarkan pengalamannya teori memang selalu terdengar lebih gampang daripada praktek langsung.
Pelan sekali Sasuke menggerakkan jari-jarinya, dengan pola in out bergiliran. Tarik dan dorong, keluar dan masuk. Awalnya Naruto tidak juga mengeluarkan suara, dia masih menyiapkan keberanian. Keberanian untuk salah dan menanggung malu. Sasuke dalam gerakan masuk keluarnya yang keempat saat Naruto mulai bersuara. Sasuke membiarkannya sekitar dua puluh detik, membiarkan Naruto meraba-raba sendiri bagaimana tehnik itu seharusnya. Seakan tidak terganggu sama sekali dengan ludah Naruto yang sudah sepenuhnya melumuri dua jarinya, Sasuke masih dengan ekspresi tenang dan sepenuhnya serius. "Ingat untuk menggerakan lidahmu juga. Jangan mengeluarkan suara semacam ck ck ck, keluarkan suara kuluman berbunyi umm ummm."
Mendapat petunjuk, Naruto meneruskannya dengan lebih berani. Dia mengulum jari Sasuke tanpa canggung dan lidah yang ikut bergerak menyusuri dengan pola spiral. "Ummnh… mmhh… emmmhh…"
Kepala Naruto serasa kosong. Dia hanya mendengar suara kuluman basah yang dia hasilkan sendiri.
Sasuke membimbingnya, sesekali mengatakan "Benar, terus begitu." yang tanpa sadar membangkitkan sedikit rasa bangga pada diri Naruto. Si bocah pirang tetap melanjutkan sampai beberapa menit selanjutnya, bergerak dengan menjadikan pujian dari Sasuke sebagai tujuan. Terus begitu sampai akhirnya Sasuke benar-benar mengeluarkan jarinya, membuat Naruto sedikit terbatuk karena tindakan yang tiba-tiba itu. Cengkraman pada rahang Naruto pun terlepas.
Sasuke mengambil dua lembar tissue dari atas meja, mengelap ujung-ujung jarinya hingga kering. Naruto melakukan hal yang sama, mengelap saliva yang sedikit mengalir dari sudut bibirnya menggunakan lengan baju.
"Tehnik kedua barusan, kau hanya perlu melancarkannya."
Naruto menganguk mendengar perkataan Sasuke. Karena matanya yang masih menutup, dia jadi mengira-ngira bagaimana ekspresi wajah yang ditunjukkan si bungsu Uchiha.
"Tahnik ketiga adalah cara untuk menghasilkan desahan." Dia sama sekali tidak memberi waktu untuk Naruto. Tidak ada jeda istirahat, hanya beberapa menit untuk menstabilkan napas. Naruto sudah menduganya.
"Kita tidak asal mengeluarkan desahan begitu saja. Voice actor mempunyai beberapa cara agar menghasilkan desahan yang terasa real. Salah satunya adalah dengan menyentuh titik sensitif yang ada di tubuh secara sengaja. Daerah tengkuk atau paha bagian dalam sekalipun. Rasa malu tidak akan berguna dalam profesi ini."
Naruto ingin merasa takjub walau sebenarnya tidak di tempat yang tepat. Dia mencerna perkataan Sasuke seperti seorang bayi yang diajari kata pertama.
"Kau tahu di mana titik sensitifmu?"
Tangan Naruto bergerak tak tentua arah. Menyentuh apa yang bisa dia sentuh seperti sedang menarik undian 'siapa tahu dapat'. Mulai dari kepala, ujung rambut, pipi, lutut dan ujung jari kaki.
"Biar aku yang mencarinya," kata Sasuke, sedikit jengah karna menunggu. Dia menyentuh siku Naruto, mengelusnya perlahan dengan ibu jari. Naruto tak merespon. Kemudian Sasuke menyentuh daerah belakang leher, mengusapnya dengan setengah menggelitik. Tanpa sadar Naruto sedikit menghindar. Terakhir Sasuke melakukan pencariannya dengan menyentuh bagian belakang telinga Naruto, menyusuri dari atas sampai bawah. Naruto memekik kecil, menepis cepat-cepat tangan Sasuke.
"Sudah kutemukan."
Naruto mengernyit, bingung. Dia menuntut jawaban, namun tak kunjung diberikan Sasuke. Naruto hanya mendengar helaan napas panjang. Karna itu bukan miliknya, berarti Sasuke yang melakukannya. Tanpa ada penjelasan lebih lanjut, Naruto mengira bahwa latihan kali ini elah berakhir. Hampir saja dia membuka mata, tapi gerakan Sasuke berhasil menghentikannya.
Kali ini Sasuke makin mendekat, hampir memepetnya sehingga Naruto bisa merasakan aura dingin samar-samar yang berasal dari tubuhnya. "Naruto…" Suara Sasuke membuai, memesona, dan indah. Mendesak sekaligus mulai menakutkan. Naruto merasa kepanikan menusuk-nusuknya. Dia berkeringat dan untuk kesekian kalinya menelan ludah lagi. Lengan kokoh Sasuke yang pucat terangkat ke depan. Gerakannya lembut, lalu merengkuh tubuh Naruto dalam pelukan ringan laksana angin yang yang bertiup pelan.
Naruto makin menegang saat Sasuke menariknya lebih dekat. Meskipun Naruto masih menutup matanya, dia bisa merasakannya. Dekapan Sasuke begitu lembut. Wangi mint terasa begitu pekat, berpengaruh seperti dinginnya musim salju yang bercampur dengan kehangatan tubunya sendiri.
Sasuke lagi-lagi berbisik di dekat telinga Naruto, suara itu menyengat kulitnya, mengirimkan arus listrik ke seluruh tubuhnya, menghangatkannya dengan hasrat yang tak ingin Naruto rasakan namun tak berdaya untuk dia tolak.
Bibir Sasuke menempel pada kulit telinga Naruto. Sentuhan fisik itu menggairahkan, rasanya Naruto ingin tenggelam dalam suara dan deru napas Sasuke. "Kau boleh membuka matamu." bisik Sasuke, sangat lambat.
Perlahan Naruto membuka matanya, tersengal dengan suara yang cukup terdengar sementara aroma tubuh Sasuke masih memenuhi penciumannya, menyesakkkan hingga rongga dada.
Naruto memundurkan tubuh, mencoba melepaskan diri dari kontak fisik. Mereka memang sedikit berjauhan, sebatas 1 jengkal. Tapi kemudian yang menyambut Naruto adalah tatapan dari sepasang mata onyx yang lagi-lagi berhasil membuatnya membeku. Sepasang mata itu bagai pantulan langit malam, kelam namun tetap memikat.
Bibir Sasuke bergerak, bersamaan dengan tangannya yang membelai sisi wajah Naruto. Dari telinga sampai sisi rahang, menyentuh tanpa ragu dengan sesekali mengusap beberapa titik. Sentuhan yang memperkuat perasaan aneh yang dirasakan oleh si bocah pirang.
"Naruto..." panggilnya lagi.
Suara itu mengirimkan sensasi asing yang membuat Naruto ingin menjauh namun juga mengirimkan sensasi erotis ke tempat-tempat di dalam tubuh Naruto sehingga membuatnya lepas kendali. Sasuke tahu begian belakang telinga adalah titik sensitif bagi Naruto, dia menyentuhnya lebih intens dibanding menyentuh bagian lain.
"Mendesahlah,"
Suara itu. Lagi-lagi suara itu.
Datik selanjutnya, dalam pasungan sepasang mata kelam, Naruto berhasil mengeluarkan desahannya. Desahan yang Sasuke inginkan.
.
.
.
TBC
.
.
.
.
.
Sekilas info :
Pembaca Seiyuu! Say You! Pasti tahu soal dua pemeran utamanya juga latihan olah tubuh seperti Sasuke & Naruto di fanfic ini. Mereka joging tiap pagi dan nge-dance di kelas latihan tari. Kata pelatihnya memang 'Untuk menghasilkan suara yang bagus kita juga perlu menggerakkan badan' jadi aku pakai latihan-latihan di manga itu untuk diterapkan ke fanfic ini, tapi dengan jalan cerita yang tetap beda. Ada beberapa latihan yang merupakan tambahan dari hasil riset juga. Membiasakan diri untuk menggerakkan tubuh sambil bernyanyi juga berguna menjaga napas tetap stabil saat membacakan kalimat sepanjang apapupun.
.
Ini chapter kemunculan Sai, lewat TV. Chapter sebelum-sebelumnya juga ada adegan Sasuke nongol di TV, maaf aku memang kurang kreatif hahaha.
Untuk profesi Sai di sini, aku mendapat penggambaran dari seseorang di Jepang sana. Seorang aktor panggung. TheatreBoy. Para aktor panggung ini biasanya diajarkan bagaimana cara merubah suara. Jadi mereka bisa jadi seiyuu siap pakai(?)
Miyano Mamoru, KENN dan Masuda Toshiki adalah beberapa contoh aktor panggung yang melanjutkan karir ke dunia seiyuu.
.
Lalu tentang Junko Takeuchi-san, dia seorang wanita. Seiyuu Naruto sekaligus Gon di anime Hunter x Hunter (versi awal).
Memang benar, terkadang ada karakter pria yang diisi suaranya oleh perempuan. Sebagai Fujoshi, pasti ingin juga shipperin para seiyuu karakter favorit kita (seperti di fandom-fandom lain), aku ngerti perasaan itu. Tapi pengisi suara Naruto adalah perempuan, jadi para Fujoshi ga bisa kaya fandom-fandom lain yang heboh ngeshipperin seiyuu-nya.
Ada yang kecewa?
Wajar.
Tapi ayo kita lihat dari sisi lain, dari sisi kemampuan seiyuu itu sendiri. Kalau seiyuu-nya bukan Takeuchi-san, akankah Naruto punya image seperti Naruto yang sekarang? Seperti yang Sasuke katakan di chapter ini, ini semua soal kesan yang ditinggalkan bagi para penontonnya.
.
Terus soal "zaman sekarang seiyuu dituntut bisa banyak hal" itu memang nyata adanya, mungkin beberapa tidak ditunjang dengan wajah setampan dan secantik aktor/aktris pada umumnya, tapi kemampuan nyanyi atau akting tetap diperlukan.
Untuk soal nyanyi, kadang-kadang ada anime yang punya character song, dijual dalam bentuk CD. Seiyuu-seiyuu ini akan bernyanyi dengan suara karakternya masing-masing dengan lagu yang sudah diciptakan pihak studio (Biasanya lagu ini akan tetap berhubungan dengan jalan cerita animenya ataupun dengan kebiasaan unik si karakter, soal curcolan mereka, cinta-cintaan dll. Bisa juga dirilis saat hari-hari spesial seperti natal, valentine atau ulang tahun karakternya). Pernah denger lagu yang dinyanyiin Naruto, Sasuke dan Sakura? Yang terkadang bisa ada obrolannya juga di dalam lagu, nah yang seperti itu namanya character song. Bisa solo, duo, trio atau grup. Bebas lah.
Kalau untuk akting (malah biasanya ada tuntutan buat bisa sedikit dance), setiap konsep SeiyuuEvent itu berbeda, ada yang hanya baca naskah di hadapan para pengunjung, bahkan ada yang bernyanyi (dengan sedikit gerakan dance) dan ada juga yang berakting sambil ber-cosplay. Setiap seiyuu harus siap dengan konsekuensi itu.
Aku suka para seiyuu lawas yang wanitanya bahkan bisa mengisi suara pria. Percayalah, ketika kalian menyukai satu karakter sampai ke suaranya, bahkan ketika kalian tahu bahwa seiyuu-nya tidak setampan atau secantik bayangan awal, kita akan tetap berdebar-debar saat menonton dia beraksi di atas panggung dan mendengar suaranya secara langsung.
.
Tekhnik cium tangan dan keluar masukin jari dari mulut itu memang ada sumbernya.
Untuk kecup-kecup dan emut telapak tangan, Ishida Akira, seiyuu-nya Gaara itu, pernah ngaku gitu di artikel salah satu majalah terbitan yang udah lama banget, 14 tahun lalu lah. Aku pakai tehnik dia di chapter ini. Sedangkan tehnik yang keluar masukin jari di mulut itu aku dapet referensi dari seiyuu cewek yang biasa main di anime hentai (jangan salah paham, aku melakukan riset hanya untuk keperluan ff #halah).
Aku pikir seiyuu-seiyuu lain juga pasti punya tehniknya sendiri-sendiri. Jadi di sini aku cuma memberikan sedikit gambaran saja tentang betapa banyaknya tehnik untuk menghasilkan adegan anu.
.
.
.
.
.
Sesi tanya-jawab :
Cerita tentang Neji dan Gaara gimana? Mereka berdua akan dibuat cerita lepasnya, tapi seiring berjalannya chapter, akan terungkap sedikit demi sedikit (walau ga lengkap).
.
Kurama ada di mana? Kalau kalian teliti di chapter 4, kalian akan tahu Kurama ada di mana ehehehe. Aku memang tidak berniat menyembunyikan dia kok, cuma waktunya saja yang belum tepat.
.
Ada karakter pria yang diisi suaranya oleh perempuan, tapi adakah karakter perempuan yang suaranya diisi oleh pria? Sejauh yang aku tahu sampai saat ini, belum pernah ada karakter perempuan yang diisi oleh suara laki-laki Sejauh yang aku tahu ya, ini belum tentu juga. Mungkin saja aku kurang riset.
Tapi aku pernah nonton anime yang ceritanya cowok cantik berpenampilan cewek. Dengan segala keanggunan, kecantikan, kelembutan, kecentilan dan keceriaan yang dia punya, dia terlihat seperti seorang wanita yang sempurna. Seorang Puteri sejati. Dan seiyuu-nya tetap seorang laki-laki kok, tapi dengan suara yang dilembutkan dan terkesan ke-cewek-an. Jadinya tetap terdengar oke. Oke banget.
Jadi ini bisa membuktikan juga kalau seiyuu laki-laki itu sebenarnya bisa saja mengisi suara untuk perempuan.
.
Belum begitu paham soal BLCD? Ah untuk soal ini, aku sudah menjelaskannya di chapter sebelum-sebelumnya. Tapi wajar sih kalau belum mengerti sebelum dengar sendiri. Kalau masih kurang tergambar jelas, bisa langsung searching di internet. Atau kalau mau dapat jawaban cepat (soal dunia seiyuu) dari aku yang sebenernya pengetahuannya juga belum apa-apa, kalian bisa kirim pm langsung ke akun FFN atau Wattpadku~
.
.
.
.
.
Maaf untuk penjelasan dan info yang sangat panjang. Maaf untuk typo yang masih luput dari pengawasan. Maaf untuk keterlambatan yang menjengkelkan.
Terimakasih sudah selalu mendukung. Terimakasih untuk review, kesan, kritikan dan saran kalian. Itu sungguh menjadi motivasi. Terimakasih kepada YKaoru alias Annie, sayangku yang siap direpotkan untuk jadi editor dari FF amatir yang panjang wordsnya ga nanggung-nanggung ini.
Terimakasih, semuanya.
Dengan segala kekurangan yang masih kupunya, aku selalu di sini untuk menunggu kesan, pesan, saran, kritikan atau hanya salam perkenalan dari kalian.
.
.
.
Salam,
Chiuu.
See you in next chapter
Chapter 8: Phone Sex?? Bring It On!