SEIYUU! Say I Love You!
Chapter 1 : I am a SEIYUU!

.

.

.

"Ja-jangan… Ahngg!… ber… henti… ah!" Suara bergetar. Desahan paksa keluar.

Terdengar dibuat-buat. Jelas sekali.

"Cut, cut." Helaan napas seseorang membuat beku tiap aktivitas di sana. Sunyi seketika.
"Ternyata memang tidak semudah itu ya…" Gara memijit pelipisnya, habis ide.

"Hmph! Hahahahaha. Konyol sekali. Sungguh!" Setelah menahan tawa dari tadi akhirnya Kiba meledak juga. "Coba saja kau bisa lihat tampangmu sendiri, Naruto!" Tangannya memukul-mukul meja.

Lembaran kertas naskah ditaruh di atas meja dengan hentakan keras, frustasi. "Arggghhh!" Naruto mengacak rambutnya sendiri. "Aku bisa gila!"

"Ternyata sebaiknya memang ditolak saja, ya." Tangan pucat Gaara sudah merogoh saku, mengeluarkan ponsel pintarnya yang berwarna senada dengan rambutnya, ─bukan keluaran terbaru, tapi cukup bergaya untuk dibawa-bawa─ berniat menghubungi seseorang.

"Jangan!" Kedua tangan Naruto mengibas-ngibas. "Ini kan kesempatan emas."

"Ya, kesempatan emas. Itu pun jika kau bisa." Kiba berhenti memukuli meja, tangannya berganti mengusap air mata di sudut matanya. Terlalu banyak tertawa. "Nyatanya caramu mendesah dan caramu menahan buang air besar saja tidak ada bedanya hahaha."

"Sialan kau!" Naruto menyeberangi meja, hampir berhasil menoyor kepala Kiba kalau saja Gaara yang duduk di sampingnya tidak mengetuk kepalanya dengan gulungan kertas naskah lain di genggamannya.

"Sudah. Ini serius." Helaan napas kembali keluar dari mulut Gaara. "Kita tak punya pilihan selain menolaknya."

"Beri aku waktu. Aku jamin aku akan bisa melakukannya sebelum proses rekaman mulai nanti." Naruto menatap Gaara. Pandangannya sungguh-sungguh.

Gaara masih tidak yakin.

"Biarkan saja dia, Gaara. Jangan terlalu dimanja. Pengalaman itu perlu." Kiba berkata sok bijak.

Naruto menganguk-anguk, tak sangka Kiba ada di pihaknya kali ini.

"Kan kalau gagal yang malu juga tetap dia. Bukan kita." Kiba menambahkan. Pemikiran Naruto terlalu muluk ternyata. Naruto kembali menahan diri untuk menghajar teman satu agensinya itu.

"Dengar, Naruto…" Nada bicara Gaara biasanya memang sudah serius, tapi kali ini lebih serius. Masih dengan suara rendahnya yang khas. "Ini akan sulit. Memang kebanyakan seiyuu bisa langsung diakui kemampuannya saat mereka bisa mengisi suara di anime bertema BoysLove. Tapi aku tidak mau memaksamu melakukan itu walau demi kebaikan agensi. Percayalah, agensi kita bisa bertahan."

Naruto terdiam. Kepalanya menunduk. Otaknya berputar memikirkan banyak hal. Keadaan agensi kritis, hampir bangkrut.
Agensi ini sudah seperti rumah baginya. Semua orang di sana adalah keluarga.

Mereka. Gaara, Kiba, Naruto, dan staff lainya berasal dari panti asuhan yang sama. Pria tua dermawan bernama Sarutobi adalah kepala panti asuhan itu. Beliau membiayai semua keuangan panti dari uangnya sendiri.

Dulunya agensi pengisi suara ini adalah kantor yang dipimpin oleh kakek Sarutobi ─begitu mereka memanggilnya─, tapi sejak beliau meninggal, Gaara yang memang memiliki intelektual lebih mulai mengambil alih walau di umur muda. Mereka membangun bersama. Bersusah payah selama ini agar eksistensi mereka tidak hilang.

Naruto mendongak. Kedua tangannya mengepal mencengkram serat celana yang dikenakannya. "Kau tidak memaksaku, Gaara. Ini keputusanku sendiri." Siapapun yang ada di sana, pasti dapat merasakan tekad bulat yang terlihat di ke dua bola mata Naruto. Tak tergoyah.

Uzumaki Naruto, 18 tahun. Menerima pekerjaan pertamanya sebagai pengisi suara.

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Only The Ring Finger Knows © Kannagi Satoru & Odagiri Hotaru

SEIYUU! Say I Love You!

Chapter 1 : I am a SEIYUU!

Pairing: SasuNaru

Seiyuu!Naruto, Seiyuu!Sasuke, AU, Yaoi, Shounen Ai, BoyxBoy

Rate T akan berubah M seiring berjalan cerita.

Terkadang typo, bahasa dan diksi seadanya, gaya amatir.

Judul terinspirasi dari serial manga terbitan m&c yang berjudul SEIYUU! Say You!

.

.

.

Bangun pagi selalu menjadi hal yang sulit bagi Naruto dan Gaara selalu setia membangunkanya. Gratis, tanpa bayaran apapun ─sungguh sosok pengasuh idaman. Dan setelah itu Naruto akan berkeliaran dengan matanya yang masih setengah merem, berjalan sesukanya tanpa arah dengan piyama dan topi tidur lucunya sambil masih memeluk bantal. Tapi entah kenapa, setiap kali, naluri pencinta makanannya pada akhirnya pasti akan membawanya ke dapur juga, meraih roti bakar dan memberi perutnya asupan pertama. Masih dengan setengah sadar.

"Gosok gigi dulu." Kalimat wajib tiap pagi. Entah kapan Gaara akan merasa bosan mengatakannya.

"Emmn…" Menganguk tapi gigi-gigi rapi Naruto tetap mengapit roti.

Gaara acuh. Cukup pintar untuk menyadari apapun yang dikatakannya hanya akan jadi angin lalu. Membiarkan Naruto duduk di depan meja makan dengan tampang dungunya. Dia kembali menyiapkan sarapan untuk semua penghuni agensi, tidak banyak ─menurutnya, hanya lima untuk orang dewasa dan tiga untuk anak-anak di bawah umur.

"Kak Naruto selalu begitu. Jorok sekali."

"Konohamaru-kun benar. Uh aku tak akan mau punya suami seperti itu kalau nanti sudah besar."

"Anak kecil seharusnya tidak diajarkan hal seperti itu kan, ya?"

Kasak-kusuk tiga bocah yang sudah seperti cara menggosip ibu-ibu arisan membuat Gaara tersenyum samar. Hiburan kecil seperti ini selalu cukup untuk membuat rasa lelahnya menguap lenyap. Pekerjaan paginya selesai. Jemari Gaara melepas untaian tali di belakang pinggangnya, mencopot celemek bergambar rubah lucu di bagian pojok kanan bawahnya. Naruto yang menghadiahkan celemek itu ketika Gaara ulang tahun.

"Sarapan kalian sudah selesai?" Gaara mendekati ketiga bocah yang masih sibuk dengan obrolan mereka. "Perlu diantar ke sekolah?" Cekatan, Gaara memakaikan ransel ke punggung bocah-bocah itu secara bergiliran.

Bocah yang kelihatannya menjadi pemimpin, Konohamaru namanya, meninju udara. Berkata dengan semangat, "Tidak perlu! Kami kan sudah besar!"

Sebagian orang akan sungkan atau bahkan merasa takut kalau berbicara dengan Gaara. Pengaruh tampang datar dan tatapan dinginnya. Tapi itu tidak berlaku untuk mereka yang sudah hidup bersama bertahun-tahun di bawah satu atap. Begitu juga dengan bocah-bocah itu, mereka tau kalau Gaara sangat baik hati, ingat saja istilah yang bilang 'anak kecil tidak bisa dibohongi. Mereka bisa tau mana orang yang menyayangi mereka'.

Gaara hanya bermasalah dengan cara mengekspresikan emosi saja.

"Ingat. Jangan jajan sembarangan. Jangan mau diajak oleh orang yang tidak dikenal."

"Ughh Kak Gaara selalu khawatiran." Konohamaru menyilangkan tangannya, berdiri sok gagah. "Tenang, kan ada aku." Jempolnya menunjuk diri sendiri, "Ayo Moegi, Udon, kita mulai misi menjadi pintar!"

Konohamaru berlari ringan ke luar, disusul oleh dua bocah sisanya. Kakinya sempat menendang kaki Naruto yang pikirannya masih di awang-awang, cukup keras sampai sukses membuat Naruto mengaduh. Sadar sepenuhnya.

"Awas kalian ya!" Pemuda blonde itu mengumpat. Amarahnya menjadi sampah yang tak dipedulikan, hanya mendapat suara tawa bersaut dan derap langkah yang semakin menjauh sebagai jawaban.

Gaara geleng-geleng. "Sudah bangun?"

"Ah Gaara," Mata shapphire itu akhirnya menatap. "Selamat pagi."

Gaara menganguk. Duduk bersebrangan dan mulai menyantap sarapan bagiannya. Selai coklat dipilih sebagai topping roti bakar. "Telur dan sosismu sudah aku buatkan, bagian Iruka-san, Kiba dan Shikamaru juga. Makan dulu sebelum pergi."

Satu piring menu sarapan sederhana tidak luput dari penglihatan Naruto. Gerakan tangannya yang memegang garpu untuk menyuap potongan sosis terhenti, "Pergi?" bola matanya berputar, berusaha mengingat. Pergi ke mana?

Perhatian mereka teralihkan ketika mendengar sapaan "Selamat pagi." Dari seseorang yang baru saja mendudukan diri di samping Gaara. Wajah lembutnya tersenyum. Dan tangannya mengacak rambut Naruto sekilas.

Naruto bersungut-sungut, kesal masih diperlakukan seperti bocah. "Hentikan, Iruka-sensei!" Kemudian sibuk merapikan rambutnya. Padahal dari awal juga rambutnya sudah acak-acakan.

Pria dewasa lemah lembut itu, Umino Iruka, adalah figure 'Ibu' yang sempurna. Memang agak aneh menyebutnya seperti ini ketika kolom bagian jenis kelamin di KTP-nya jelas-jelas diisi dengan keterangan 'Laki-laki', tapi memang itulah julukan yang paling cocok untuknya.

Di agensi itu Iruka satu-satunya yang yang menempuh pendidikan seiyuu secara resmi. Dia lulus dari universitas kejuaruan Konoha─ dengan nilai tertinggi. Biasanya setelah dianggap cukup dewasa dan dapat membiayai hidup sendiri, anak-anak tanpa keluarga itu akan meninggalkan panti. Memulai hidup baru, seperti anak-anak lain yang sudah pergi.

Alih-alih menerjunkan diri di dunia seiyuu, Iruka lebih memilih untuk membuat kursus swasta pengisi suara atas nama agensi. Keuntungannya benar-benar dia berikan untuk keuangan agensi. Dedikasinya tidak dapat diragukan. Iruka adalah aset utama.

"Maaf ya membiarkanmu mengurusi urusan dapur sendiri pagi ini." Iruka menoleh ke sampingnya, berbicara pada Gaara. Biasanya memang Iruka dan Gaara yang mengurusi bersama.

"Tidak apa-apa. Aku tidak merasa keberatan." Gaara segera menuangkan air putih ke dalam gelas Iruka. "Sarapan sudah aku siapkan."

"Umm. Oh ya, aku juga sudah selesai menghubungi studio. Katanya jadi jam 10. "

"Begitu? Baiklah. Terimakasih, Iruka-san."

Naruto mengerutkan kening. Tidak menemukan celah untuk mengerti omongan dua orang dihadapannya. Studio? Studio apa?

"Selamat pagi." Dua pendatang lainnya menyusul duduk. Kiba dan Shikamaru. Sudah dalam keadaan rapi. Wangi. Kemeja bersih. Naruto bertaruh demi seporsi ramen Ichiraku jumbo kalau sepatu mereka juga pasti sudah disemir sampai mengkilat. Keningnya makin berkerut. Semakin bertanya-tanya 'Pergi kemana?'

Tampang ling-lung Naruto menggelitik insting Kiba untuk menggodanya sedikit. "Apa-apaan tampang begomu itu?" Dan kemudian berkata, "Sudah siap dengan pekerjaan pertamamu sebagai pengisi suara, Naruto?"

Garpu di tangan Naruto terjatuh nyaring di atas lantai marmer dingin. Mata terbelalak. Mulut mangap.

Naruto ingat sekarang.

.

.

.

Dalam sejarah hidupnya, baru sekali ini Naruto tidak menghabiskan makanannya. Biasanya perutnya jadi tempat penampungan makanan sisa, jahat memang tapi begitulah keluarganya yang ramai menjulukinya. Naruto berubah menjadi patung ─bukan dalam artian sebenarnya─, tubuhnya kaku, matanya memandang kosong. Iruka mengguncang-guncangkan bahunya, mencoba menyadarkan. Nihil. Roh Naruto bagai lepas dari kerangkanya, terbang bersama suara cemprengnya yang kini ikut tak terdengar juga.

Gaara dibuat khawatir setengah mati, kalau saja wajahnya bisa merefleksikan.

Kiba terbahak.

Shikamaru menguap malas.

Naruto masih dalam keadaan begitu saat menuju studio. Iruka mendampingi sebagai manajer. Tadinya Gaara memaksa ikut, tapi tugas lain sebagai pimpinan kantor agensi memanggil.

Setelah menyetir hampir satu setengah jam akhirnya mereka bisa memarkirkan mobil ─satu-satunya milik agensi mereka. Waktu satu setengah jam itu bukan karena jauh, tapi karena Iruka harus mengantar anak didiknya yang lain, Kiba dan Shikamaru yang juga punya proses rekaman hari itu. Sayang studio tempat mereka melakukan rekamannya berlainan arah dengan studio tujuan Naruto.

"Sudah sampai." Iruka mencoba mengguncangkan tubuh Naruto lagi.

Terimakasih tuhan, kali ini berhasil. Ingatkan Iruka nanti supaya lebih sering mengunjungi makam Tuan Sarutobi, meminta wejangan.

Naruto sedikit tersentak kaget. "Eh?" kepalanya celingukan. Gedung cukup tinggi terpampang dalam pandangannya. Megah dengan dominasi kaca. "P-iEro Studio?" matanya menyipit, membaca tulisan ukuran raksasa di atas gedung itu.

"Iya." Iruka membantu melepas seatbelt Naruto. "Ayo jalan."

Mereka melewati tempat parkir.

Gila! Tempat parkirnya saja luas sekali, Naruto membatin. Matanya mengamati beberapa mobil mewah yang terparkir di sana. Dia mulai bertanya-tanya, apa kalau kerja di industri anime bisa menghasilkan banyak limpahan uang sampai orang-orang di sini bisa membeli mobil seharga tiga buah rumah gedong di kompleks perumahan elit. Jangan salahkan Naruto jika dia mulai berangan-angan. Oh ayolah, dia hanya remaja naïf yang baru AKAN tahu bagaimana dunia sebenarnya.

Dunia kerja.

Iruka tersenyum ramah pada security di depan pintu geser kaca yang dibalas dengan angukan formalitas. Naruto mengikuti sampai meja recepsionist.

Gadis berambut merah jambu tersenyum professional di balik meja. Naruto sedikit melirik.

"Kau tunggu di sana dulu saja, Naruto. Aku masih harus mengisi beberapa data." Telunjuk Iruka mengarah pada tempat menunggu di bagian samping.

Naruto menganguk samar. Kakinya melangkah ke sofa dengan balutan beludru warna coklat tua. Minimalis, namun sangat elegan. Naruto yang kudet saja bisa tahu bahwa satu set sofa dengan meja kaca di tengahnya itu tidaklah murah harganya.

Setelah duduk lalu apa?

Naruto celingukan lagi. Bola matanya bergerak melihat satu sisi ruangan, dipercantik dengan lemari kaca yang menampilakan sederetan action figure di dalamnya. Ah, Naruto tau tokoh yang berambut jabrik pirang dengan pakaian orenye nyentrik itu, itu kan si ninja ceria yang bisa melipatkan diri sampai seribu copy. Dulu Naruto sering menonton animenya beramai-ramai. Oh jadi studio ini yang memproduksi animenya. Naruto mangut-mangut.

Kenangan masa kecilnya jadi menyeruak keluar. Naruto tersenyum-senyum sendiri.

Bagus, perasaannya lebih baik sekarang. Lupa hal yang membebaninya.

Bola matanya bergerak lagi. Dilihatnya deretan poster ukuran besar menghiasi satu sudut sisi lain ruangan itu. Naruto melihat salah satu poster animasi bergambar dua orang pemuda yang duduk berdekatan, satu orang menyenderkan kepalanya di atas bahu seorang yang lain.

Naruto memelototinya, seketika poster itu menjadi titik perhatiannya.

Anime!
[その指だけが知っている]
[
Sono Yubi Dake ga Shitteiru]
[いくら 何でも としした の 男 好きに なる と は おもうわなかった]

[Story by: Kannagi Satoru]
[Art by: Odagiri Hotaru]

[COMING SOON!]
[on July 23
rd ]

[P-iEro Studio]

Sial. Salah langkah.

Itu anime yang akan menjerumuskan Naruto pada dunia bergenre 'Yaoi ' mulai hari ini.

Perasaanya jadi tidak enak lagi, campur aduk. Gugup yang pasti. Tangannya mulai berkeringat. Kakinya bergerak-gerak tidak jelas. Berharap hari ini cepat berakhir tapi sekaligus berharap waktu dapat diperlambat.

Naruto menelan ludah beberapa kali, berharap dapat mengurangi rasa kering pada tenggorokannya. Namun tak berhasil. Wajahnya semakin pucat. Biasanya Naruto hanya akan begitu ketika mendengar soal isu hantu dan Kiba sengaja menakut-nakutinya.

Cepat-cepat dia mengalihkan pandangannya ke bawah. Didapatinya setumpuk majalah di bawah meja kaca itu. Naruto mengambil satu. Apapun asal bisa mangalihkan perhatiannya. Dibuka asal pada halaman tengah.

'Menyerang Raksasa Versi Live Action Siap Mengudara'

Naruto sudah tahu. Tak usah dibaca. Dibuka halaman selanjutnya.

'Wanita Sexy, Tsunade, Meninggalkan Dunia Seiyuu & Membintangi Film Dewasa Terbaru' Plus dengan potret diri pamer belahan dada yang… montok.

Gila. Naruto cepat-cepat membalik lagi halaman selanjutnya. Mencari-cari artikel yang bisa dibacanya.

Ekor mata Naruto sempat mengamati ke arah meja recepsionist. Iruka masih betah di sana, dengan bolpoint dan kertasnya. Bersama dengan satu orang lain, pria berabut keperakan yang memakai masker. Mereka menulis sesuatu dengan suara si gadis merah jambu tadi sebagai pemandu, entah bicara apa.

Perhatiannya teralih lagi ketika mendengar langkah kaki mendekat. Pelan tapi penuh keyakinan.

Naruto mengamati gerakan langkahnya.

Seseorang itu mendudukan diri di seberang Naruto, melipat tangan dan kakinya. Bahkan cara duduknya saja sangat menarik mata.

Naruto iseng main observasi.

Rambut, garis wajah, lekuk tubuh, cara bergerak. Semuanya tak luput dari penglihatan Naruto.

Si kuning berisik itu tidak pernah menghabiskan uang banyak untuk membeli barang-barang bermerek. Baju, sepatu, jam tangan atau parfume. Masih lebih berharga kalau uangnya dia belikan ramen. Beli kedainya sekalian kalau perlu. Lalu ketika melihat sosok di hadapannya itu Naruto mulai berpikir, apakah kalau dengan membeli baju bermerek bisa membuat tubuh pemakainya terlihat seatletis itu? Membalut pas, menunjukan ototnya yang tidak berlebih dan mencetak sixpack perutnya yang ideal. Apa kalau dengan sepatu bermerek bisa membuat kaki pemakainya terlihat jenjang seperti itu? Membuat semua gerakannya menjadi begitu berkelas. Apakah dengan membeli jam tangan bermerk bisa membuat pergelangan tangan pemaikanya terlihat begitu cantik seperti itu? Melingkar elegan, warna hitam menonjolkan kulitnya yang putih bersih. Dan apa kalau membeli parfume bermerek bisa membuat pemakainya seharum itu? Wangi segar mint merebak di indra penciuman Naruto sejak sosok itu mendekat ke arahnya, bercampur dengan wangi alami si pemakai. Begitu maskulin. ─Entah sejak kapan hidung naruto jadi sensitif terhadap wangi-wangian seperti Kiba.

Kalau barang-barang bermerek bisa membuat pemakainya jadi sesempurna sosok berambut raven dihadapannya, Naruto tidak akan bertanya-tanya lagi kenapa orang-orang mau menghabiskan uang demi barang-barang itu.

Ah tapi Naruto mengherankan soal kacamata hitam yang dikenakannya di dalam ruangan. Apa itu juga barang bermerek? Kok tidak terlihat terlalu punya makna seperti barang-barang lainnya. Ketika semua barang-barang lain menonjolkan sesuatu dari si raven, kacamata itu malah menyembunyikan dua manik di baliknya. Naruto mulai menebak-nebak apa warna matanya.

Sepertinya Naruto terlalu fokus berspekulasi, sampai melupakan si objek pengamatan yang sadar kalau dirinya sedang diamati.

"Apa?" Bibir tipisnya bergerak membuka, sosok sempurna di hadapannya berkata sinis.

Suara baritone itu membuyarkan pikiran-pikiran Naruto. Tersentak.

"Ti…tidak. Bukan apa-apa." Salah tingkah, Naruto segera menundukkan kepalanya, fokus kembali pada majalah comotannya tadi.

Lalu produk bermerek apa yang bisa membuat suara jadi sedalam itu? Menggema rendah.

Begitu…

Umm…

Sexy.

Benar kan, Naruto?

Naruto membalik-balik halaman majalahnya mambabi buta. Sampai satu artikel yang menarik perhatiannya.

'Uchiha Sasuke, Sang BL Prince Kembali Mengisi Suara Anime Yaoi'

BL Prince? Julukannya norak, batin Naruto.

Dia anteng membaca. Sampai dia menyadari sesuatu. Tunggu. Kalau dia memang sering tercatat namanya di genre Yaoi, berarti si Uchiha Sasuke ini akan menjadi teman satu kelompoknya dong?

Kelompok Yaoi, maksudnya?

Naruto membalik halaman selanjutnya. Semoga saja ada potret si BL Prince itu.

Dan gayung pun bersambut. Lebih malah.

Halaman itu full potret berwarna seorang laki-laki muda. Satu foto menghadap samping, dalam proses rekaman, dan tangannya menggengam naskah. Tidak begitu jelas.

Potret berikutnya wajahnya menghadap depan, namun ada beberapa kelompok orang yang menyodorkan mik ─wartawan sepertinya─ menghalangi setengah sosoknya. Ini juga tidak begitu jelas.

Lalu potret paling bawah, ukurannya lebih besar dari potret-potret yang lain. Foto tiga perempat badan. Seorang pemuda berpose natural. Sepertinya di atap sebuah gedung. Pakaian casual, kemeja hitam yang lengan panjangnya digulung sampai siku. Dua kancing teratas terbuka, mengekspos sedikit bagian dada mulusnya. Kaki dibalut celana semi formal. Berfose satu tangan masuk ke saku celana, dan satu tangan lagi mencengkram pagar pembatas gedung. Sudut wajah 45° menatap tajam ke arah kamera. Sorot mata sepekat malam. Rambut melambai lembut tertiup angin.

Naruto mulai berpikir lagi. Si Uchiha ini sepertinya salah langkah. Jadi model majalah sajalah sana.

Tapi kok wajahnya familiar.

Naruto mengerutkan dahi, kedua alisnya sampai saling bertaut. Dimana ya pernah lihat si Uchiha ini…

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik dan otaknya mulai mendapat ingatan yang dibutuhkan. Naruto cepat-cepat mendongak. Menatap sosok yang tadi sempat jadi objek penelitiannya dengan mata terbelalak horror, membulat penuh.

Dia kembali melihat potret di majalah.

Balik lagi mendongak.

Fokus ke majalah lagi.

Mirip.

Sama.

"Akhhh!" Naruto berteriak spontan "Kau si Uchiha Sasuke yang punya julukan norak 'BL Prince' itu!" tangannya menunjuk tidak sopan pemuda di hadapannya.

"Hah?" Tangan Uchiha Sasuke bergerak santai membuka kacamatanya. Memandang lurus ke depan.

Dan biru langit siang hari bertemu hitamnya malam, saling menatap satu sama lain.

.

.

.

TBC

Hallo semua~
Aku author baru di fandom Naruto, boleh panggil Chiu aja ehehehe
Salam kenal ya :3

And thanks for read ^^
Aku berharap kritikan soal gaya tulis atau alur cerita. Menerima flame asal bukan soal genre dan kekurangn-kekurangan yang sudah diperingatkan sebelumnya.

Kalau berkenan dengan fanfic ini, tolong tinggalkan jejak~ .

See you in next chapter~

Update tiap hari Sabtu atau Minggu~ diusahakan hehehe.